Ilustrasi: Pixabay/ Kellepics |
Membaca puisi Manusia-Manusia
Patung karya Gusty Fahik (Gufak) yang terpampang pada halaman Headline
Kompasiana (27/1/2019) menuntut pembaca untuk melakukan aktivitas membaca 'beberapa kali'. Saya yakin bahwa pembaca gelisah (aktif-kritis) tentu
membutuhkan waktu ekstra untuk memaknai dan memahami intensi puisi tersebut.
Syukurlah jika ada pembaca yang 'sekali baca' langsung memahami motivasi dari
puisi tersebut. Apresiasi patut dilayangkan.
Tentunya bukan tanpa alasan sistem/
kurator di Kompasiana memberikan label Headline
tidak lebih dari 20 menit ketika Manusia-Manusia Patung ditayangkan Gufak.
Saya sempat 'terkejut' ketika puisi tersebut langsung diberi label headline, saat
itu. Bukan soal kualitas tetapi tempo yang menurut saya terlampau singkat untuk
sebuah karya (puisi) lolos kurasi. Gufak yang adalah salah satu penulis
(sastrawan) NTT produktif memang sudah tidak diragukan lagi kualitas
tulisannya. Ah, agar tidak terjebak dalam subyektivitas, mari kita menyimak
interpretasi berikut.
Dalam posisi sebagai pembaca
gelisah, ulasan ini mungkin mewakili para pembaca yang sempat berkerut kening
ketika membaca puisi tersebut. Gufak dalam proses kreatifnya menghadirkan imaji
liar dan kaya akan metafora yang liar pula.
Tentang Manusia-Manusia
Patung, Gufak seolah mengajak pembaca untuk berfilsafat. Toh, memang karya
sastra tidak bisa dilepas-pisahkan dari filsafat. Adalah hambar jika suatu
karya sastra dipisahkan dari cabang ilmu tersebut. Demikian puisi lahir dari
dunia sunyi penyair. Ia yang menyikapi realitas melalui permenungan mendalam,
sebagaimana manusia berfilsafat.
Sebelum mengulas lebih jauh ada
baiknya saya lampirkan puisi Gufak. Berikut puisinya:
Manusia-Manusia Patung
/1/
Beberapa malam terakhir
entah oleh sebab apa ia terbangun, melihat
sosok-sosok yang telah menjadi patung
saling kunjung
oh, itu bukan patung-patung
mereka manusia
atau yang sesekali waktu
pernah menjadi manusia
seperti dirinya?
Ia bertanya entah tentang siapa.
/2/
Ia telah membeli kaca mata untuk berjaga-jaga
bila terbangun lagi malam ini
ia akan mampu membedakan patung-patung
dari manusia,
dari dirinya
tapi ia tak melihat (si)apa-(si)apa
hanya suara-suara berkisah tentang kemarau panjang
yang membakar ladang-ladang jagung
seperti kabar kematian yang dekat meski tetap asing
/3/
Aku bosan menjadi patung, ia mendengar sebuah suara
Oh, aku sudah lelah menjadi manusia,
Lalu kisah-kisah mengalir lewat sepasang mulut yang
bertukar suara
Malam basah, rupanya di luar sedang gerimis
dia takut pada gelap, juga lelap
dibiarkan telinganya terbuka,
menangkap suara-suara
/4/
Jadi apakah patung ini harus dirobohkan juga?
Ya. Kasihan. Ini patung paling indah di kota kering
ini.
Ia mendengar mesin-mesin bekerja
5/
Tubuhnya rubuh, hancur berkeping-keping
Oh, aku hanya sebuah patung!
Ia berseru, entah kepada (si)apa.
(Kupang, 17-19)
Agar dapat memaknai Manusia-Manusia Patung sebagai teks sastra yang utuh, pembaca diharuskan
masuk ke dalam puisi itu sendiri. Tetapi dengan catatan bahwa pembaca 'melupakan posisi penyair' dan menjadi 'aktor' di dalam puisi tersebut. Artinya
sebelum membuka kemungkinan bagi interpretasi-interpretasi lain, terlebih
dahulu memposisikan diri sebagai sosok yang dicitrakan dalam puisi.
Meminjam istilah Afrizal Malna
(Sastrawan Indonesia), pembaca hendaknya melakukan pembacaan terhadap puisi
dengan cara masuk dan keluar lagi dari puisi yang dibaca. Selain itu bisa
menerapkan teknik pembacaan klasik dua dinding internal-eksternal.
Bayangkanlah bahwa di dalam
puisi tersebut, Anda (aku/ pembaca) adalah sumber, sense dan intention bagi
citraan Gufak. Tetapi jangan sampai terjebak dengan posisi penyair, karena saat
puisi sampai di hadapan pembaca penyair seolah 'mati'.
Sesungguhnya pembaca adalah
sosok yang mengalami dan merasakan kegelisahan-kegelisahan dalam puisi tersebut.
Setelahnya pembaca kembali mengambil posisi sebagai 'pengamat' yang melihat
dirinya sendiri dan membuka peluang bagi kompleksitas interpretasi.
Gufak membuka puisinya dengan usaha
memahami kegelisahan 'sosok-sosok lain' (the
second other) setelah memahami diri sebagai 'aku yang lain' (the other). Artinya dalam posisinya
sebagai kreator, penyair menyadari dan turut merasakan kegelisahan yang dialami
sosok tersebut. Kegelisahan macam mana?
Pada bagian /1/, pembaca akan
meneropong interaksi sosok (persona I) terhadap sosok-sosok (persona III) yang
sama-sama mengalami kegelisahan. Larik sosok-sosok
yang telah menjadi patung/ saling
kunjung sesungguhnya merupakan metafora yang mewakili kegelisahan.
Nah, agar dapat mengetahui
kegelisahan dimaksud maka pembaca perlu menguak makna simbolik yang terdapat
pada bagian /1/. Sebab di dalamnya, penyair menyandingkan pilihan kata manusia dan patung. Sudah tentu pembaca dapat memaknainya secara terpisah.
Manusia sebagai makhluk yang 'hidup', berakhlak mulia mampu menjadikan persona (propritus) itu manusiawi (humanus).
Ketika disandingkan dengan pilihan kata patung maka interpretasi yang muncul
berisikan satir-sarkas. Gufak melalui puisinya berusaha meramu sindiran dengan
adanya manusia patung.
Patung adalah karya tiga
dimensi yang sarat nilai estetis, sebab adanya memang sebagai karya seni.
Patung dalam segala wujudnya mewakili pesan-pesan (makna) dari keberadaannya. Dalam
diam, tidak berkata-kata, tidak tahu apa-apa, tidak punya rasa; sebenarnya patung
sedang berbicara dan merasa dalam konsep dan situasi tertentu.
Itu patung-patung atau yang
sesekali waktu pernah menjadi manusia adalah gambaran akan situasi dimaksud.
Pembaca bisa menginterpretasi situasi “keterasingan” yang dialami oleh
manusia-manusia yang tidak berdaya.
Ketakberdayaan itu merujuk
pada sosok aku yang sebenarnya bimbang dengan keberadaannya dalam ruang dan
waktu tertentu. Aku yang tidak berdaya adalah “aku” yang tidak berguna.
Seperti sampah? Iya, aku itu manusia sampah. Penyair sengaja memberi label
manusia patung, biar aku tampak berguna yang mungkin sesekali memberi
keindahan di kota, tempat tinggal. Rupanya penyair masih merasa kasihan
terhadap “aku”. Dasar penyair sukanya bersembunyi di balik kata (lupakan ini!)
Pada bagian /2/, menyadari aku yang tidak berguna, ada usaha dari dalam diri untuk coba keluar dari
keterpurukan itu. Walau sebenarnya usaha itu makin memperparah dan membebankan. Kaca mata yang aku kenakan tidak lebih dari sampah busuk yang telah
melahirkan ulat-ulat berbulu di mata. Jika pada bagian /1/ aku masih mampu
membedakan, di bagian ini aku bahkan tidak melihat siapa-siapa dan apa-apa.
Kegelisahan makin merasuk
dengan dikirimkannya hantu-hantu musim yang mematikan. Ada kisah tentang
kemarau panjang, ialah kelaparan akibat gagal panen, mungkin. Walau sebenarnya aku tidak mempunyai ladang jagung atau punya sebidang tetapi malas untuk
mengelolanya. Oleh sebab itu, aku sebenarnya tidak perlu merasa asing dengan
kematian. Penyair terlalu 'sadis' memberi citraan atau mungkin ini adalah
bagian dari usaha 'memaksakan' hiperbola? Entahlah, mungkin metafor 'lebay' yang berkelas.
Memasuki bagian /3/, penyair
mendramatisir situasi. Perhatikan larik-larik bercetak miring yang
mengisyaratkan monolog si aku dan 'aku yang lain'. Aku sudah bosan menjadi patung/…Oh, aku sudah lelah menjadi manusia.
Pembaca akan menghadirkan respon visual dengan presisi dan metafora yang
ditawarkan penyair dalam teknik jukstaposisi ini. Ada dua unsur yang dibandingkan,
tetapi bukan pertentangan (kontradiktif). Jika dicermati, maka penyair sebenarnya
ingin menegaskan situasi (kegelisahan) aku yang tiada bedanya dengan 'aku
yang lain'.
Penegasan itu kemudian
diperjelas lagi dengan beragam ketakutan yang dialami si aku. Akibat dari
ketakutan adalah terperangkap dalam situasi pasrah, lebih konyol dari
ketakberdayaan.
Perhatikan bagian /4/, pertanyaan
sekaligus pernyataan reflektif hadir sebagai gambaran realitas. Bahwa sosok aku yang tidak berdaya dan tidak berguna sangat pantas untuk dilenyapkan
sebagaimana patung dirobohkan.
Di sana ada satir-sarkas bahwa
belas kasihan tidak lebih dari cemooh sosok-sosok di sekitar aku. Mesin-mesin
yang berperan untuk merobohkan adalah gambar penolakan (sosial) terhadap si aku, manusia tidak berdaya, manusia tidak berguna, manusia patung, manusia
sampah, manusia yang sebaiknya mati saja.
Sehingga pada bagian /5/
sekaligus penutup puisi, Gufak menggambarkan sosok aku yang telah mati
sebelum meninggal. Si aku bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah patung (bukan
karya seni). Adanya hanya 'memperkosa' kehidupan itu sendiri. Ya, si aku adalah potret dari manusia-manusia patung yang membangkang kehidupan yang
seharusnya dihidupi. Hidup itu memuakkan, mati saja lebih baik. Setelah mati,
mati lagi.
Dalam puisi Aku karya Chairil Anwar ada intensi
tentang individualitas yang berusaha bebas dari situasi keterkungkungan tanpa
adanya kekuatan luar. Atau intensi yang selaras dengan konsep Friedrich
Nietzsche (Filsuf Eksistensialisme) bahwa penderitaan mengajarkan agar manusia
kuat. Nah, Manusia-Manusia Patung adalah kebalikan dari puisi Aku.
Jika Chairil ingin hidup seribu tahun lagi, maka Gufak menggambarkan sosok yang
ingin mati seribu tahun lalu.
Baiklah setelah masuk, kita
coba keluar lagi untuk melihat sepintas si aku dalam Manusia-Manusia Patung dari radius sejarak cinta dan benci. Bisa
jadi, melalui puisi tersebut Gufak menyikapi realitas yang tidak bisa
dipungkiri. Bahwa di sekitar pembaca atau pembaca itu sendiri adalah aku dan 'aku yang lain'.
Ada indikasi bahwa dalam
kehidupan ada sosok-sosok yang diasingkan atau mengasingkan diri, entah dalam
lingkup sosial, politik, budaya, ekonomi, dll. Namun demikian, sebagai individu
perlu ada perjuangan untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Seperti Chairil
yang dengan 'sombong' meramu kekuatan untuk bebas dari segala bentuk
penderitaan tanpa pengaruh kekuatan di luar dirinya.
Memang, adanya individu tidak
bisa terlepas dari orang lain. Ingatlah zoon
politicon-nya Aristoteles (filsuf Yunani) atau konsep Adam Smith (filsuf
berkebangsaan Skotlandia) tentang homo
homini socius. Tetapi perlu diingat pula bahwa dalam lingkup sosial,
manusia bisa saja menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus, Thomas Hobes).
Artinya lingkungan sosial
tidak seharusnya membuat nyaman keberadaan individu. Kalau usaha untuk
menghidupi diri sendiri saja tidak mampu, bagaimana mau memberi sumbangsih
terhadap lingkungan sosial? Hidup itu adalah pertarungan, yang menang akan
tetap hidup, yang kalah sudah tentu mati.
“Manusia dikutuk untuk bebas;
karena begitu terlempar ke dunia dia bertanggungjawab atas semua yang dia
lakukan” (Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis). Bisa jadi Manusia-manusia Patung adalah sangkalan atas pernyataan tersebut. Ialah
sosok yang setelah dikutuk untuk bebas, ia lalai akan segala bentuk
tanggungjawab, termasuk dirinya sendiri. Seperti patung, layaknya dirobohkan.
Kupang, 31 Januari 2019
HET
Artikel ini pernah tayang di Kompasiana, 31 Januari 2019
0 Response to "Memungut Keping-Keping Kehancuran “Manusia-Manusia Patung”"
Posting Komentar