Kampung Nelayan
Lapangan sepak bola itu tampak lenggang. Sebagian isi lapangan hampir tertutup dengan air, sisa hujan beberapa waktu lalu. Seekor kambing betina dengan anaknya mengembik di sudut lapangan, mengais sisa makanan dari penghuni rumah. Hampir tidak ada rumput di perkampungan itu. Entah dari mana, kambing dapat hidup.
Pasar harian di kampung itu menjual berbagai macam-macam kebutuhan pokok, ada sayur-mayur kebutuhan pangan, bumbu dapur, dan holtikultura. Saat musim gelombang laut sedang tinggi, nelayan di Nangadhero kesulitan untuk mendapatkan ikan. Mereka akan menukar ikan hasil tangkapannya dengan sayur mayur yang dijual di pasar Nangadhero.
Kehidupan di pesisir tidak mudah, hanya pribadi dengan jiwa petualang yang mampu bertahan hidup di sana. Kampung Nelayan itu pun terdiri dari berbagai suku. Ada suku Buton, Bugis, Bajo, Mbay, Alor, Meto dan Jawa. Mereka telah berbaur sebagai keluarga. Saling menopang dikala duka. Giat berbagi saat suka maupun duka sebagai satu keluarga besar yang mendiami perkampungan; yang rakyatnya masih jauh dari sejahtera.
Kisah Hidup Musrin
Di tengah perkampungan nelayan ini, hidup seorang anak muda tangguh. Namanya Musrin. Kini usianya telah mencapai dua puluh dua tahun. Musrin berkulit sawo matang, dengan tinggi 150-an cm. Sehari-hari ia bekerja di Puskesmas pembantu desa Nangadhero.
Aktivitas di Pustu ia jalani dari pagi hari pukul 08.00 hingga 13.00 WITA. Sepanjang bekerja di Pustu ada banyak pengalamannya melayani masyarakat kecil yang membutuhkan uluran tangannya. Pengalaman melayani masyarakat kecil membuatnya selalu murah senyum dan ringan tangan melayani siapa saja.
Rumah lulusan keperawatan ini terletak di ujung kampung, ukurannya mungil berdinding bebak. Di depan rumahnya tergantung sebuah baliho ‘Tempat Praktek Pengobatan.’ Ya, Musrin membuka praktik pengobatan di rumahnya, sembari menjual kebutuhan medis.
Ada berbagai jenis obat-obatan yang dijual Musrin di rumahnya. Berbekal ilmu kesehatan yang diperoleh di bangku kuliah, ia membuka tempat praktek di rumahnya. Warga di kampung merasa terbantu dengan kehadiran toko obat mini, mereka tak perlu lagi ke Kota Mbay untuk membeli obat-obatan bila diperlukan.
Biaya pengobatan disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien. Kalau pasien kurang mampu, Musrin menyesuaikan dengan kondisi dompetnya. Sementara untuk orang tua atau lansia, Musrin akan memberikan pengobatan secara gratis karena menurutnya pasien lansia tersebut adalah pengganti orang tuanya yang telah lama meninggal.
Pengalaman MATA KAIL
Musrin menuturkan bahwa program MATA KAIL sesuai dengan kebutuhan warganya yang ada di pesisir karena memiliki potensi perikanan dan pariwisata. “Di dekat sini ada air panas, kurang lebih 1 Km dari rumahnya, kami anak-anak muda di desa ini jualan di sana setiap hari Minggu.”
Hasil dari pelatihan yang diperolehnya, ia dapat memulai mengatur bisnis dan mengatur penghasilan dari tempat prakteknya. Kalau sebelumnya penghasilannya hanya empat juta rupiah per bulan, kini ia dapat memperoleh penghasilan hingga enam juta rupiah per bulan. Pengetahuannya jadi meningkat berkat pelatihan dari MATA KAIL.
Musrin menuturkan bahwa ternyata anak muda bisa untuk memulai sesuatu tanpa bergantung pada orang tua. Pelatihan ini membuatnya sadar untuk meningkatkan citra diri sebagai anak muda yang mampu memberikan contoh dan teladan bagi anak muda di kampungnya.
Ketika mengikuti pelatihan MATA KAIL, Musrin bertekad untuk menggiati usaha secara disiplin dan konsisten serta punya tujuan dalam berwirausaha. Dengan tekad yang kuat ia yakin usahanya akan tercapai.
Sebagai anak muda yang punya pengetahuan dan mampu bersekolah, ia berharap bisa memberikan contoh bagi sesama anak muda di kampungnya. Kampung mereka terdiri dari anak muda yang tak mampu bersekolah tinggi. Kebanyakan di antaranya tidak menamatkan pendidikan atau bahkan tidak bersekolah samasekali. Karena tidak mampu bersekolah, mereka memilih untuk menjadi nelayan atau pekerja kasar.
Kondisi ini yang membuat Musrin tergerak untuk memberikan contoh yang nyata bagi anak-anak muda, agar mampu bangkit dan berdiri sendiri. Tidak lagi tergantung pada orang lain, atau orang tuanya. Dengan kehadiran program MATA KAIL, Musrin mampu untuk memulai usahanya sendiri sehingga ia tidak lagi bergantung atau membebani siapapun.
***
Penulis: Ardy Milik