LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Agustus 2020

Suara di Balik ‘Telepon Tengah Malam’

Oleh: Herman Ef Tanouf


Ilustrasi: Frengki Lollo

Di kamar, sendiri. Tak ada sepi, hanya saja isi tengkorak kepala sedang sibuk bukan main. Mau tulis tentang apa atau siapa di ini hari? Tidak ada ide menarik untuk dituangkan dalam teks. Kata-kata sampah? Kemarin sudah dibuang dalam tulisan sampah! Lebih baik tidur saja, aman, nyaman lagi.

Baru saja mau tidur, handphone berdering. Nada suara Franky dan Jane dalam “Perjalanan” itu seperti suara ayah dan ibu. Itu memang nada panggilan yang sengaja kusematkan pada kontak mereka yang kebetulan pakai satu nomor HP saja. Sudah tentu, panggilan itu datang dari ayah atau ibu, atau kedua-duanya, atau kakak atau adik yang kehabisan pulsa dan memanfaatkan stok pulsa ayah dan ibu untuk menelepon.

“Nana, jang talalu mete. Lu pung badan su kurus bagitu, sonde baik buat lu pung kesehatan. Tidur su!” (Nana, jangan begadang. Badanmu sudah terlampau kurus, tidak baik bagi kesehatanmu. Segera tidur!”). Itu suara ibu mengawali percakapan dengan menyapa manja, namaku. Selanjutnya, lupakan ini!

Ilustrasi di atas hanyalah suara-suara liar. Suara sesungguhnya ialah suara yang akan kita dengar di dalam puisi Telepon Tengah Malam karya Joko Pinurbo (Jokpin). Berikut puisinya:

Telepon Tengah Malam

Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
“siapa ini?”, jawabnya cuma “ini siapa?”

Ada dering telepon, panjang dan keras,
Dalam rongga dadaku
“Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja.”
“Ini Ibu, Nak. Apa kabar?”
“Ibu! Ibu di mana?”
“Di dalam”
“Di dalam telepon?”
“Di dalam sakitmu.”

Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya.

2004, Joko Pinurbo

Menulis sesuatu yang belum sempat dipikirkan orang lain, sangat dekat, bahkan dilakukan dalam keseharian adalah salah satu kekhasan Jokpin. Tampilan sangat simple, gurih, enak dibaca dan dirasa. Kebanyakan puisinya memang sarat guyon, tapi juga sarat makna-mendalam.

Tentang puisi Telepon Tengah Malam, Jokpin menulisnya secara dramatis. Ada percakapan singkat antara seorang anak dan ibunya. Percakapan yang terjadi dalam puisi tersebut mengandaikan adanya jarak (jauh) antara ibu dan anak. Sosok ibu yang dicitrakan dalam puisi tersebut tengah berada di rumah, sedangkan si anak seolah sedang pergi (berada) di tanah rantau, entah karena sekolah ataupun bekerja.

Sebelum lanjut, mari kita dengar tembang kenangan Sio Mama, biar lebih nyaman dan hikmat bacanya (klik pada gelombang audio di bagian paling bawah ataupun tombol hijau di kiri atas).



Adanya jarak sebagai pemisah antara ibu dan anak, senantiasa mendatangkan kegelisahan berwujud rindu. Demikian para ibu, berpisah beberapa jam saja sudah sangat gelisah, apalagi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Bayangkan, bagaimana seorang ibu berusaha menyimpan itu rindu.

Saat-saat seperti itu, rindu adalah air mata bagi ibu. Sosok yang dicitrakan Jokpin dalam puisi (teks), tidak hanya menjadi ibu bagi penyair, tetapi juga pembaca. Siapapun tentu mengalami dan merasakan sifat ‘alamiah’ dari seorang ibu yang menjadikan kita ada.

Jokpin membuka puisinya dengan gaya yang sangat kental. Ialah guyon yang seringkali menjadikan pembaca seperti ‘orang gila, senyum ataupun tertawa sendiri. Saya yakin, semua pembaca tentu pernah mengalami (bertindak sebagai pelaku) respon penyair dalam puisi tersebut. Telepon kabel (tablephone/ wallphone) ataupun handphone (HP), sering membuat kita melupakan banyak hal yang ada di sekitar, bahkan sesama manusia. Terlampau mengakrabi HP membuat kita tampak acuh tak acuh. Perhatikan image Jokpin, berikut:

Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
Siapa ini?”, jawabnya Cuma “Ini siapa?
                                                                             
Telepon sebagai wujud perkembangan teknologi membantu umat manusia dalam berkomunikasi. Kapan dan di mana saja orang-orang berinteraksi, baik melalui pesan singkat, panggilan suara hingga video. Dunia yang begitu luas jadi sempit di layar berdimensi kecil.

Informasi seputar keseharian, semisal saling berkabar nyaris dilakukan setiap saat. Namun ada saat dimana jenuh menguasai, dan kita mulai lupa akan hasrat mendasar manusia yakni komunikasi riil. Masa bodoh terhadap pesan singkat ataupun panggilan telepon kekasih itu ‘biasa-biasa saja'. Sikap itu baru akan menjadi 'liar dan luar biasa' ketika seorang anak acuh terhadap panggilan telepon seorang ibu, ia yang menjadikan kita ada. Betapa sakit (mungkin) hati seorang ibu yang ingin segera mendengar suara dan tahu kabarmu tidak terwujud. Jokpin menggambarkan actus tersebut dalam bait berikut:

Ada dering telepon, panjang dan keras
dalam rongga dadaku.
Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja.”
Ini ibu, Nak. Apa kabar?
Ibu, Ibu di mana?
Di dalam
Di dalam telepon?
Di dalam sakitmu.

Sebagai pembaca, percakapan-percakapan dalam puisi tersebut selalu membawa saya untuk menghadirkan sosok (wajah) ibu di isi kepala, di isi hati. Mungkin terlintas juga di benak dan hati pembaca, mengapa penyair di dalam puisi (teks) masih sempat bertanya tentang ‘siapa’ yang menelepon? Jika memang ibunya, sudah seharusnya si anak menyimpan nama kontak kan? Ataukah si anak menjawab panggilan telepon tersebut tanpa melihat identitas pemanggil? Bisa jadi, sebab situasinya tengah malam (saat-saat lelap, kecuali ia insomnia).

Ada juga kemungkinan lain, si ibu baru sempat memiliki HP. Ia tidak ‘sabar lagi’ untuk segera mendengar suara anaknya melalui panggilan telepon. Tapi penyair dalam posisinya sebagai seorang anak, sudah semestinya ia kenal suara ibu. Banyak kemungkinan yang bisa diciptakan untuk menyangkal isi percakapan tersebut.

Pembaca pun hendaknya bertanya, mengapa penyair menulis demikian? Mari, kita sama-sama simak dan berefleksi.

Sense dalam puisi Telepon Tengah Malam merujuk pada sikap seorang anak yang terkadang lupa akan setiap bentuk perhatian, kasih sayang dan cinta seorang ibu. Sosok ibu selalu ada bagi anak-anaknya dalam suka maupun duka. Namun dalam status sebagai seorang anak, Anda dan saya seringkali tidak menyadari hal itu. Dalam kealpaan itu, kita adalah anak-anak ‘durhaka’.

Jokpin dalam puisinya menggambarkan situasi ‘sakit’. Disini, sakit bukan saja fisik, tapi juga psikis. Ibu senantiasa ada di setiap luka dan duka anak-anaknya. Ia ada untuk menguatkan, menyemangati bahkan menyembuhkan.

Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya.

Malam identik dengan gelap. Ialah situasi dimana ‘luka’ dan ‘sakit’ bisa saja ada. Ibu hadir sebagai cahaya yang menerangi dan menyembuhkan, ada nyaman tak terkira yang dijanjikan. Suara ibu, itu suara yang mampu menghalau segala sesak di rongga dada. Suara ibu ada untuk menguasai malam-gelisah yang menyelimuti anak-anaknya. Suara ibu senantiasa ada di mana-mana, juga di hatimu. Kalau sempat, coba dengar saat ini juga!
***
Kupang, 2016

Related Posts:

Situsweb Diretas, Tirto dan Tempo Lapor ke Polda Metro Jaya


Dua media besar di Indonesia diretas. Situsweb dirusak, tampilan berubah dan sebagian artikel dihapus. Polisi segera ungkap pelaku!

Jakarta, LekoNTT.com - Dua media daring, Tempo.co dan Tirto.id yang mengalami peretasan dan perusakan situsweb pada Jumat, 21 Agustus 2020, telah bersama-sama melapor ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Perwakilan kedua media tersebut melapor pada pagi hari ini, Selasa, 25 Agustus 2020 sekitar pukul 09.00 WIB.

Pelaporan dilakukan di SPKT Polda Metro Jaya dan selesai sekitar pukul 11.30 WIB. Pada saat melaporkan, kedua media ini didampingi oleh LBH Pers, YLBHI, dan SAFEnet.


Polisi Segera Ungkap Pelaku!

"Sebagaimana orang yang rumahnya dibobol oleh maling, saya merasa Tirto.id yang tercatat adalah milik saya, telah diobrak-abrik oleh maling dan sebagaimana warga negara yang baik, saya melaporkan ke kepolisian untuk segera mengusut dan menemukan siapa pelaku kriminal yang sudah masuk ke Tirto.id dan merusak artikel-artikel yang ada di dalamnya," ujar Atmaji Sapto Anggoro selaku pemimpin redaksi Tirto.id sebelum dipanggil oleh petugas SPKT PMJ melalui keterangan tertulis yang diterima Leko NTT pada Selasa (25/8).

Sapto Anggoro dipanggil pertama untuk didengar laporannya. Laporan Tirto.id telah terdaftar dengan Nomor Laporan LP/5.035/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ Sapto Anggoro melaporkan kepada polisi bahwa ada yang meretas akun email editor Tirto.id, lalu masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus 7 artikel Tirto.id, termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat corona.

Sapto didampingi oleh penasihat hukum menduga bahwa pelaku telah melanggar aturan hukum yang telah diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers, orang yang menghambat dan menghalangi kerja wartawan dapat dipidana. Bunyi lengkap pasal tersebut sebagai berikut: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tabun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)."

Selain itu dalam laporan juga disebutkan ada dugaan pelanggaran pidana sesuai pasal 32 ayat 1 UU ITE yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik."

Adapun hukuman untuk pelanggar Pasal 32 ayat 1 dijelaskan pada Pasal 48. Bunyinya, "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)."


Sedangkan pelaporan Tempo.co dilakukan oleh Setri Yasra selaku Chief Editor Tempo.co. Ia dipanggil tidak lama menyusul Tirto.id dan saat ini telah terdaftar dengan Nomor Laporan LP/5037/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.

Dalam pengaduannya, Setri Yasra melaporkan bahwa situs Tempo.co tidak bisa diakses sejak 21 Agustus 2020 pukul 00.00 WIB dan kemudian peretas merusak tampilan halaman Tempo.co dan muncul tulisan: Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok.

Laporan disertai dengan keterangan kronologi yang dialami oleh Tempo. Atas kejadian ini, Tempo mengalami kerugian imaterial dan material dan karena itu melaporkan ke polisi atas dugaan adanya tindak pelanggaran hukum berdasar pasal 18 ayat 1 UU Pers dan pasal 32 ayat 1 UU ITE.

Pelaporan ke kepolisian berjalan lancar dan selesai sekitar pukul 11.30 WIB. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, SHI selaku salah satu penasihat hukum bagi kedua media menyatakan bahwa pelaporan ini adalah langkah awal dari upaya mengungkap siapa pelaku peretasan dan menegakkan hukum secara adil untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia.

Ade Wahyudin pun menyatakan, dengan adanya pengaduan, diharapkan kepolisian bisa bergerak cepat melakukan penyelidikan, menelusuri bukti-bukti untuk menemukan pelaku peretasan. Selain itu, pelaku kriminal pun harus diproses hukum sebab telah meretas dan merusak kedua media tersebut.

"Sekalipun hari ini hanya ada dua media yang hadir melaporkan, tetapi sebenarnya yang mengalami peretasan dan perusakan lebih dari ini dan itu belum menghitung jumlah jurnalis, aktivis, yang karena kritis dan vokal harus mengalami peretasan, doxing, dan hingga ancaman yang merusak sendi-sendi demokrasi dan kebebasan pers. Oleh karena itu, kami ingin kepolisian serius menanggapi laporan klien kami untuk membuktikan bahwa Negara hadir melindungi hak-hak warganya!" pungkas Ade Wahyudin. (red)

Related Posts:

A Luta Continua, Leko Menyapa Anak-Anak Ex Timor-Timur



Noelbaki, LekoNTT.com - Momen bulan kemerdekaan, memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Republik Indonesia tahun 2020, Komunitas Leko dan Buku Fanu melaksanakan Safari Literasi di kelompok Belajar A Luta Continua, Pabrik Kulit, Camp Noelbaki Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Sabtu (15/8).

A Luta Continua, kelompok belajar yang dibentuk untuk anak-anak ex Timor-Timur yang tinggal Noelbaki. Chintia Meok, salah satu pendamping A Luta Continua kepada Leko NTT mengatakan, taman baca ini didirikan untuk membantu anak-anak ex Tim-Tim untuk bisa membaca dan belajar.

"Taman baca ini dibangun karena sebagian anak-anak di sini tidak bisa membaca dan menulis, ayah-ibu mereka hanya buruh tani, dan sebagian anak-anak bersekolah di sekolah gratis, tetapi di sekolah itu dikarenakan tenaganya sukarelawan, maka anak-anak bisa dan tidak membaca tetap naik kelas. Saat taman baca ini dibangun, bahkan ada anak kelas 3 dan 4 SD yang belum tahu membaca," tandasnya.

Sejak berdiri pada Mei 2020, kelompok belajar ini memiliki dua orang pengurus yang melaksanakan kegiatan setiap Sabtu. Chintia berharap agar anak-anak A Luta Continua bisa memiliki masa depan yang lebih baik. "Paling tidak anak-anak di sini bisa membaca, menulis dan berhitung. Dengan begitu, jika dewasa nanti anak-anak ini tidak mudah ditipu".

Safari literasi sendiri merupakan agenda rutin Komunitas Leko Kupang selain Kencan Buku. Herman Efriyanto Tanouf, Koordinator Komunitas Leko berharap dengan adanya kunjungan ini anak-anak di A Luta Continua bisa lebih bersemangat. "Safari ini merupakan agenda rutin komunitas Leko Kupang. Kami berharap dengan adanya kunjungan ini, nantinya kami bisa berkolaborasi lagi dengan beberapa komunitas untuk berkunjung lagi ke taman baca A Luta Continua," kata Herman.
Ayi Rambu Kareri, pustakawati Komunitas Leko saat mendongeng di hadapan anak-anak.

Herman pun membeberkan kegiatan yang dilangsungkan seperti mewarnai gambar, mendongeng, pembacaan puisi, donasi sekaligus membuka taman baca. "Semoga nanti Leko bisa kembali dan memberi lebih banyak sumbangsih dan motivasi kepada adik-adik di sini".

Suasana mewarnai gambar


Penyerahan buku dari Komunitas Leko kepada Taman Baca A Luta Continua




Penulis: Silviona Pada & Emanuel Seto Rangga

Related Posts:

A Luta Continua, Anak-Anak Timor dan 75 Tahun Indonesia Merdeka




Dalam rangka merayakan ulang tahun ke-75 Republik Indonesia, beberapa penggiat Komunitas Leko Kupang mengunjungi anak-anak yang tinggal di Pabrik Kulit, Camp Noelbaki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan tersebut dilangsungkan pada Sabtu (15/8) pukul 15.00 sampai 18.00 Wita.

Adalah kerja sama Komunitas Leko, Buku Fanu-lini usaha Leko, dan kelompok belajar A Luta Continua. Kegiatan yang bertajuk Safari Literasi Leko ini sekaligus dalam rangka menyongsong ulang tahun Komunitas Leko dan Buku Fanu pada 9 September mendatang, dan festival tahunan: Kencan Buku Fesek III yang belum pasti jadwal keberlangsungannya sebab adanya pandemi Covid-19.

Melalui kegiatan tersebut, para penggiat bermain dan belajar bersama anak-anak lewat mewarnai gambar, mendongeng, pembacaan puisi, baca gratis dan membuka taman baca mini A Luta Continua. Di Pabrik Kulit-satu gedung disekat-sekat dan dihuni oleh 29 Kepala Keluarga. Di antara mereka, terdapat lebih dari 40 anak. Anak-anak itu, kini tergabung dalam satu kelompok belajar yang dinamai "A Luta Continua" yang berarti Teruslah Berjuang.

Bertepatan dengan perayaan HUT ke-75 RI, para penggiat di Komunitas Leko mengajak semua orang untuk kembali merefleksikan keberadaan saudari-saudara yang sejak tahun 1999 memilih untuk mencintai NKRI secara utuh. Mereka memilih meninggalkan sanak saudara, tanah tumpah darah, dan segala kepunyaan untuk hidup di tanah Indonesia, sebagai bagian intim dari bangsa Indonesia.

Namun demikian, situasi yang mereka alami tidak sepenuhnya diperhatikan Indonesia sebagaimana cinta mereka kepada NKRI itu sendiri. Beberapa kebutuhan seperti tempat tinggal, kebun, bahkan bahan bacaan alternatif tidak mereka miliki.

Melalui Safari Literasi dengan mengindahkan protokol kesehatan (Covid-19), para penggiat menyapa mereka, anak-anak yang hampir dilupakan. Dengan segala kepunyaan dan keterbatasan, para penggiat berbagi bersama anak-anak di Pabrik Kulit, Camp Noelbaki.
Berikut, dokumentasi kegiatan pertama saat anak-anak mewarnai gambar.


(aleksa)

Related Posts:

Konser Amal Laboratorium Riset Biomolekuler di NTT: Untuk Apa?

 Oleh: Elcid Li* & Fima Inabuy*







Empat bulan berlalu. Laboratorium biomolekuler untuk kepentingan Tes Massal yang didanai Pemerintah Provinsi NTT masih dalam penantian. Aslinya kami ingin agar laboratorium yang dimaksud untuk kepentingan pencegahan penyebaran Covid-19 sudah bisa beroperasi pada tanggal 17 Agustus 2020 ini. Namun mekanisme anggaran punya logika sendiri, tidak mengenal kata darurat atau emergency.

Mungkin karena mengerti rumitnya urusan keuangan di negeri ini Menteri Kesehatan Republik Indonesia, juga ikut mendukung usaha rakyat mengadakan laboratorium riset biomolekuler lain, selain laboratorium milik pemerintah, sehingga berkenan memberikan kata sambutan untuk Konser Amal ‘Harmonivasi  Dari Timur: Harmoni dan Inovasi- Mendukung Riset Biomolekuler di NTT'. Sebuah Konser Amal yang didukung oleh para seniman dari berbagai kota di Indonesia.

Mengapa harus ada laboratorium milik rakyat selain milik pemerintah? Bukankah laboratorium milik pemerintah juga bekerja untuk rakyat? Dua pertanyaan ini penting untuk memperjelas kondisi yang ada. Yang dimaksud laboratorium rakyat adalah laboratorium yang dikelola oleh para peneliti yang tergabung dalam Forum Academia NTT (FAN). Secara khusus, ini merupakan wadah bagi para peneliti yang nantinya tergabung dalam NTT’s Science and Technology Institute. Sejak tahun 2004, gerakan sukarela mengirimkan para pemuda dari berbagai wilayah di NTT, maupun di belahan Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian, menjadi agenda tetap para peneliti FAN.

Entah sudah berapa banyak peneliti yang muncul. Awalnya cukup banyak para ilmuwan sosial, tapi belakangan ini kami pun ‘mulai panen’ scientist. Para doktor baru dengan kemampuan beragam dan menguasai teknologi ujung (high-end technology). Yang artinya jika tidak didukung, mereka dengan mudah mengalami brain drain dan masuk dalam berbagai lembaga riset negara lain, maupun riset korporasi biofarmasi dan lainnya. Artinya mereka dengan mudah masuk dalam kepentingan negara lain dan korporasi.

Padahal di NTT, isu biosecurity sudah menjadi isu penting dan menjadi kebutuhan. Hadirnya pandemi Covid-19, yang dikatakan sebagai siklus 100 tahunan, hanya salah satu dari sekian persoalan yang mungkin ‘didekati’ dan ‘dipelajari’ dengan menggunakan modal laboratorium biomolekuler. Ya, dengan model pendekatan keilmuan ‘egosentris’ yang masing-masing ladang (field) keilmuan menjadi haram untuk dimasuki oleh para peneliti dari bidang ilmu lain, upaya untuk berkolaborasi melawan pandemi juga makin sulit.

Kompleksitas persoalan tidak didekati dengan nafas riset interdisipliner, sebaliknya kompartemen keilmuan dipasang tinggi-tinggi sehingga semakin sulit upaya kerjasama.
Forum Academia NTT punya ide lain. Sejak awal tim yang dibentuk untuk berkolaborasi mendekati persoalan pandemic Covid-19, datang dari latar belakang ilmu dan bahkan profesi. Tim kerja untuk Tes Massal (Pool Test) terdiri dari para ilmuwan, akademisi, dan peneliti dari ilmu biomolekuler, kimia, teknologi industri, matematika, kesehatan, pemerintahan, hukum, kebencanaan, dan sosiologi.

Ketika bertemu persoalan yang sama dibaca dengan kacamata beragam. Ini respons yang saling memperkaya. Untuk memperkaya hasil analisa, sebelum dibuka kepada publik, ide-ide dibuka kepada ‘publik terbatas’. Agar ada tanggapan.

Salah satu tanggapan muncul dari ‘ETIKA’ (Etnis Tionghoa Kupang), yang dipimpin oleh Theo Widodo. Seorang pensiunan dosen kampus negeri yang juga pengusaha. Ia mendukung agar ide ini bisa diwujukan. Dalam beberapa bulan terakhir, Theo Widodo dan tim mengajak berbagai kalangan untuk turut mendukung insiatif ini. Ia juga melihat bahwa riset biomolekuler khususnya tes massal sebagai alat pencegahan (surveillance) sangat penting, selain untuk tujuan klinis atau pengobatan. Keduanya bisa dikombinasikan.

Daerah NTT yang angka positif Covid-19 ada di angka 157 (data 11/8/2020), atau memasuki angka 160-an dengan penambahan positif beberapa hari terakhir yang belum di-update, masih mungkin melakukan tindakan pencegahan penyebaran virus. Kita di NTT seharusnya tidak perlu menunggu sampai transmisi lokal tidak terkontrol, dan tes massal menjadi sudah sangat terlambat, karena peta contact tracing sudah amat sulit dibuat. Karena mana ujung, mana pangkal penyebaran tidak jelas lagi, karena kemungkinan penularan sudah begitu luas dan tidak terpetakan.

Pool test, yang perwujudannya terus diperjuangkan FAN, hanyalah efektif untuk pencegahan apabila positivity rate, penambahan kasus positif, masih rendah. Oleh karena itu masih relevan dibuat di provinsi ini. 

NTT dengan kondisi kepulauan idealnya secara minimum perlu mempunyai lima laboratorium biomolekuler yang mampu secara organik mengantisipasi ancaman biosecurity yang datang silih berganti di provinsi kepulauan ini. Ancaman virus ASF (African Swine Fever) yang mematikan puluhan ribu ternak babi di NTT hingga hari ini tidak mendapatkan perhatian dari ‘pemerintah pusat’.

Di Kabupaten Belu saja, angka kerugian hingga pertengahan Juli sudah mencapai angka 33 Miliar. Untuk memeriksa sampel, NTT harus mengirimkan sampel ke Sumatra Utara. Di NTT urusan sumber daya manusia tidak kurang. Tetapi dukungan infrastruktur teknologi tidak ada.

Akibatnya kita hanya bisa mengeluh, dan rakyat hanya bisa menangis, sebab aspek penghidupan (livelihood) dan tabungan mereka lenyap begitu saja tanpa ada daya perlindungan negara.

Hal yang sama juga dialami oleh para peneliti biomolekuler asal NTT ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19. Ilmu mereka tidak banyak dimengerti di sini, sehingga kadang ada yang berkomentar bahwa ‘ini ilmuwan nekad’. Virus memang berbahaya, tetapi jika dengan ‘mental mode’ yang memadai elemen-elemen mikrobiologi ini bisa dihadapi dengan mata terbuka. Kita tidak hanya menjadi konsumen vaksin, maupun pasar bagi perusahaan bio-pharmacy global, tetapi kita punya agenda tersendiri untuk kepentingan warga. Hal ini sederhana, tetapi dilupakan.

Contohnya ketika krisis dan terjadi kelangkaan PCR, reagen, bahkan masker N-95. Indonesia bukanlah negara produsen utama untuk ketiga hal ini. Kita adalah importir. Mungkin sebagian orang Indonesia adalah peneliti di berbagai perusahaan dunia, tetapi di rumah mereka, visi aparat pemerintahan mereka tetap lah konsumer sejati, bukan inovator. Sambil tiap kali publik harus waspada mengawasi apakah ada pemburu rente yang sedang mengintai kebijakan yang ditelurkan.

Berhadapan dengan situasi ini, para peneliti biomolekuler butuh dukungan rakyat. Kita butuh sesuatu yang bisa dibandingkan dengan ‘arus utama’. Tanpa penelitian tidak mungkin ada inovasi. Sekian turunan kebijakan dari WHO, sumbernya adalah riset. Tetapi di Indonesia diperlakukan seolah fatwa WHO turun dari langit, bukan dari hasil kerja berkeringat di dalam hazmat para peneliti dalam laboratorium dalam rentang waktu tertentu.

Apakah sudah minta dukungan negara? Visi semacam ini masih belum dikenali di kampus sekali pun. Jika kampus saja juga masih merasa asing dengan kerja interdisipliner, kita mungkin butuh 30 tahun baru ide semacam ini diadopsi sebagai kebijakan publik.

Elit kita jarang mengenali detil pembuatan dan isi dapur pembuatan kebijakan. Elit kita sering lalai pada metode, dan suka dengan kesimpulan prematur dan bombastis. Untuk memenuhi arus informasi sikap ini mungkin cukup. Tetapi jika tujuannya untuk selamat, ini ceroboh.

Apakah kita punya waktu menunggu ketika berhadapan dengan situasi emergency? Jawabannya tidak. Waktu untuk bergerak, sebelum krisis mengunci, merupakan waktu untuk mengantisipasi agar korban tidak lebih banyak jatuh. Makin banyak ilmuwan dunia yang hari ini memprediksi bahwa pandemi demi pandemi akan terus terjadi di masa mendatang. Swine Flu salah satunya. Dalam konteks ini, krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi, bukan lagi sesuatu yang hanya dinanti dalam ketakutan, tetapi diantisipasi sejak dini dengan langkah-langkah kecil yang strategis.

Pembukaan wilayah dan dibukanya pembatasan aktivitas, perlu didukung dengan alat pencegahan yang memadai. Kita perlu mengevaluasi kebijakan publik sekali pun itu dari pusat, bahkan WHO sekali pun. Sebab kenyatannya, kebijakan berbasis data dan fakta juga amat minim. Jika ‘pusat’ saja pusing menghadapi Covid-19, mengapa kita di daerah tidak berinsiatif melakukan sesuatu?

Konon NTT adalah daerah miskin, tetapi kita tidak pernah ‘miskin ide’ dan ‘nurani’. Intelektual yang berdiri di garis penderitaan rakyat perlu hadir ketika berhadapan dengan revolusi pandemi Covid-19.

Konser Amal ‘Harmonivasi dari Timur’ didukung dari para musisi NTT, Indonesia hingga mancanegara. Tidak ada kata selain ‘Terima kasih’ dan ‘Terima kasih’. Berbagai organisasi maupun orang per orangan. Para seniman panggung teater, dan secara khusus rekan-rekan Komunitas Film Kupang (KFK) yang dalam dua minggu terakhir menjadi garda terakhir yang jasanya tidak bisa dilupakan. Terima kasih Kak Boni. Juga Kak Hanni pendukung publikasi dari Jogja. Terima kasih!

Dalam ‘revolusi’ kata siapa menjadi tidak penting. Kita hanya saling bantu. Dan itu bisa datang dari seorang tukang bangun laboratorium, yang karena mengerti terhadap mekanisme anggaran yang rumit, ia menimpali ‘ini bagian dari amal ibadah saya’ ketika ada alat-alat terkait keselamatan (safety) para laboran dinyatakan pihak terkait harus menunggu anggaran berikut. Ia ikut menyumbang.

Hari minggu malam nanti jam 7 malam. Kita akan nonton bersama Konser Harmonivasi yang pertama. Acara ini akan dipandu oleh Abdi Keraf ‘si raja monolog’, dan Lany Koroh ‘si ratu puisi’.  Ketika uang bukanlah causa prima dalam bergerak, tetapi rasa manusia yang menjadi panduan, mungkin keindahan hidup bisa ditemukan.

Mari pantau Facebook dan Youtube Forum Academia NTT, dan  Pos Kupang. Jika ada rezeki mari saling bantu. Jika belum, mari tolong doakan supaya kita sama-sama kuat berjalan bersama di dalam era revolusi senyap.

Kupang, 16 Agustus 2020
(Menjelang peringatan kemerdekaan RI yang ke-75)

**Para penulis, Anggota Forum Academia NTT

Related Posts:

Saksikan PodBox Alih Wahana Karya Sastra di TVRI



Jakarta, LekoNTT.com - PodBox alih wahana karya sastra dalam jadwal, ditayangkan di stasiun TVRI pada Sabtu (8/8/2020) pukul 10.00-11.00 WIB. Selanjutnya akan ditayangkan pada Minggu (9/8/2020) pukul 09.00-10.00 WIB (re-run).

PodBox Sastra akan menayangkan bincang proses alih wahana karya sastra dalam wujud Sandiwara Sastra. Adalah sandiwara radio yang diharapkan mampu menghidupkan karya sastra Indonesia dalam bentuk siniar (podcast).

Hadir sebagai bintang tamu, penulis novel Orang-Orang Oetimu Felix K. Nesi, dua aktor pengisi suara yakni Chelsea Islan dan Iqbaal Ramadhan. PodBox ini dipandu oleh aktris sekaligus produser Happy Salma.

Link Live Streaming:

1. TVRI (Vidio)
2. TVRI (metube)
3. TVRI 






Sebuah kiriman dibagikan oleh Komunitas Leko Kupang (@komunitasleko) pada

Orang-Orang Oetimu (OOO) karya sastrawan muda Indonesia asal NTT ini, sebelumnya dipilih sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. Novel yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri, jadi salah satu karya sastra pilihan dalam Sandiwara Sastra.

Happy Salma, produser Sandiwara Sastra kepada Leko NTT mengatakan, salah satu alasan dipilihnya karya Felix karena novel tersebut merupakan karya terbaik dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 lalu. Happy pun menilai OOO sebagai salah satu karya terbaik.

"Karya Felix memberikan variasi dan juga kekayaan sehingga menambah spektrum lebih luas untuk karya sastra yang dialihwanakan," kata Happy ketika dihubungi melalui kontak pribadinya pada Selasa (7/7) lalu.

Lebih lanjut Happy mengatakan OOO mampu memperkaya referensi sastra di Indonesia. "Orang-Orang Oetimu ini bisa memberikan wawasan yang lebih luas, kita mengenal Indonesia Timur khususnya bahwa mereka itu adalah bagian dari kita. Dan ini adalah upaya agar kita tetap bersaudara, semakin dekat, tidak ada sekat, dan kita juga bisa memahami sejarahnya juga sehingga rasa persaudaraan jauh lebih baik."



Felix Nesi sendiri ketika dikonfirmasi terkait OOO, karyanya yang jadi pilihan Sandiwara Sastra Kemendikbud mengatakan itu kesempatan yang baik. Ia pun berharap agar OOO bisa lebih banyak dibaca dan menjangkau semua kalangan masyarakat dan mendiskusikannya.

"Saya harap generasi muda yang mampu menulis, juga menulis tentang persoalan sosial dan jangan lupa untuk selalu ada bersama masyarakat," kata Felix yang saat ini juga fokus mengelola Tua Kolo, sopi khas Insana, Timor Barat. (red)

Related Posts:

Unit Layanan Disabilitas, Upaya APS Kupang Mewujudkan Kampus Inklusi di NTT




Kupang, LekoNTT.com - Webinar nasional yang diselenggarakan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi Nusa Tenggara Timur (GARAMIN NTT) dan Kampus Akademi Pekerjaan Sosial (APS) Kupang memilih fokus pada peningkatan layanan bagi disabilitas. Webinar yang dilangsungkan pada Selasa (4/8) ini, kerja sama dengan Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) dan Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.

Slamet Thohari, Indonesia Chair of AIDRAN yang menjadi salah satu narasumber mengapresiasi upaya kampus APS Kupang. Slamet menekankan agar perjuangan ini bisa terus dilakukan dengan pantang menyerah. Perjalanan Pusat Studi Layanan Disabilitas yang sudah berjalan kurang lebih delapan tahun pun masih terus berupaya agar bisa menjadi kampus inklusi yang ideal.

"ULD APS ini hendaknya didukung oleh kebijakan dari kampus berupa SK Direktur. Semua elemen dalam kampus perlu saling mendukung terciptanya budaya inklusif di kampus," kata Slamet.

Ia pun menegaskan peningkatkan kapasitas dosen untuk memahami disabilitas melalui training-training seperti disability awareness. "Kampus juga bisa melibatkan forum-forum mahasiswa dan melibatkan orang tua mahasiswa-mahasiswi disabilitas agar bisa saling mendukung".

Slamet juga menyampaikan bahwa ULD dilindungi oleh regulasi. Landasan payung hukum yang menaungi ULD APS antara lain:

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi.

Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Permenristekdikti No 46 tahun 2017 tentang Pendidikan dan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi.

Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Peraturan pemerintah Nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, khususnya Pasal 26 dalam PP ini menyebutkan bahwa setiap Lembaga penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.

Sunarman Sukamto, Tenaga Ahli Madya Kedeputian V Kantor Staf Presiden Republik Indonesia bidang pengelolaan dan kajian isu POLHUKAM dan HAM Strategis menyampaikan bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan pekerja sosial yang berparadigma inklusif. "Pemerintah sendiri sangat mendukung melalui Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas".

Sunarman mengapresiasi upaya APS Kupang untuk menjadi model bagi kampus-kampus lainnya di NTT. "Pengembangan unit layanan disabilitas tidak boleh terpisah dari prinsip inklusi disabilitas dan pelibatan difabel secara aktif untuk mewujudkan pendidikan inklusi di NTT, khususnya perguruan tinggi yang inklusi".

Ia pun menegaskan, penyandang disabilitas sendiri pun harus terus bergerak. Sasaran utama, memastikan implementasi Undang-undang No 8 tahun 2016 dengan aktif dalam pertemuan-pertemuan inklusi.

Baca juga: APS Kupang Menginisiasi Unit Layanan Disabilitas Pertama di NTT

Dina Noach, Staf Khusus Gubernur NTT bidang disabilitas juga memaparkan kondisi perguruan tinggi di NTT yang masih jauh dari mimpi NTT Inklusi. "Untuk saat ini baru tujuh kampus di Kota Kupang yang menerima mahasiswa-mahasiswi disabilitas, namun masih bersifat parsial," kata Dina.

Menurut Dina, masih banyak kampus yang melakukan diskriminasi dalam kegiatan belajar mengajar. "Ruangan yang belum akses bagi disabilitas fisik, bahan ajar yang belum aksesibel bagi difabel netra, kemampuan bahasa isyarat dosen yang masih minim untuk teman-teman tuli. Para difabel yang berkuliah masih dipaksa beradaptasi dengan sistem dan kampus sebagai penyedia layanan belum memberikan layanan yang komprehensif terhadap para difabel".

Dina juga menyampaikan bahwa Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dalam diskusi bersamanya pada 22 Juli 2020 lalu, mengapresiasi upaya APS untuk membentuk ULD yang dikelola oleh GARAMIN NTT. Dina sendiri terlibat aktif dalam proses penyiapan ULD dan masuk dalam bidang humas ULD APS Kupang.

Dina dan Gubernur NTT dalam webinar bersama BAPPEDA Provinsi juga mendorong terbentuk ULD di kampus-kampus di NTT dalam salah satu rekomendasi pada 24 Juli 2020 lalu. Dina juga berharap para difabel juga bisa memanfaatkan beasiswa-beasiswa yang dibuka oleh penyedia beasiswa agar bisa menunjang perkuliahan di kampus.

Dina mengapresiasi APS Kupang yang berani memulai hal baru untuk mendukung pemenuhan hak Pendidikan bagi mahasiswa-mahasiswi difabel di NTT. Ia mengingatkan, hal paling penting dari proses menuju perguruan tinggi inklusi ini adalah kewajiban pemerintah dalam memastikan keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam pembangunan yang inklusif sesuai amanat Peraturan pemerintah Nomor 70 tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

"Pembangunan inklusif disabilitas menitikberatkan pada integrasi dan pengarusutamaan keterlibatan penyandang disabilitas sebagai subyek dan penerima manfaat pembangunan dalam seluruh tahapan meliputi perencanaan, penganggaran, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi. Dalam pembentukan unit layanan disabilitas hendaknya melibatkan mahasiswa disabilitas sebagai subyek".

Di akhir pemaparannya, Dina menyampaikan bahwa Perda Kota Kupang Nomor 2 tahun 2019 hendaknya juga menjadi payung hukum bagi ULD APS Kupang. Ia akan terus memperjuangkan agar Pergub terkait perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas bisa segera diterbitkan.

Serafina Bete, Ketua Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI NTT),  Imanuel Nuban (Ketua Komite Penyandang Disabilitas TTS) dan Romo Cyllu Meo Mali, salah satu anggota Forum Bela Rasa Difabel Niang Sikka (FORSADIKA) Maumere, mengapresiasi dan memberikan dukungan dengan adanya ULD APS Kupang. Apresiasi dan dukungan itu muncul karena melibatkan peran serta aktif para difabel muda dari GARAMIN NTT, dan siap bergandeng tangan mendukung terwujudnya kampus inklusi di NTT. (red)

Related Posts:

APS Kupang Menginisiasi Unit Layanan Disabilitas Pertama di NTT




Kupang, LekoNTT.com - Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) NTT dan kampus Akademi Pekerjaan Sosial (APS) Kupang menggelar webinar nasional. Webinar ini, kerja sama Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) dan Kantor Staf Presiden Republik Indonesia pada Selasa (4/8). Seminar nasional maya ini bertajuk “Peran Unit layanan disabilitas (ULD) dalam mempersiapkan generasi pekerja sosial yang inklusif di Akademi Pekerjaan Sosial Kupang”.

Stef Reinati selaku direktur APS Kupang sekaligus narasumber pertama dalam kegiatan ini menyampaikan, APS berkomitmen dan tengah mempersiapkan sebuah unit layanan disabilitas sebagai laboratorium kampus. Selain itu, pun sebagai langkah pemenuhan hak mahasiswa/i difabel di kampus tersebut.

"Hal tersebut didasari oleh pengalaman APS yang sudah memiliki 19 angkatan, telah berhasil mewisudakan 575 orang dan 28 diantaranya adalah penyandang disabilitas," kata Stef.

APS Kupang yang beralamat di Jln. Jambu No. 10 Oepura Kota Kupang ini kata Stef, memberi perhatian khusus kepada penyandang disabilitas. "Sejak tahun 2006, APS Kupang berkomitmen untuk menerima mahasiswa disabilitas, baik Disabilitas fisik, sensorik netra, tuli, kesulitan berbicara dan mendengar serta disabilitas intelektual".

Menariknya para alumni difabel ini menjadi agen-agen perubahan di NTT. Beberapa diantaranya, I Made Astika Dhana (Ketua organisasi disabilitas PERTUNI Kota Kupang), Elmi Sumarni Ismau (Wakil Direktur GARAMIN NTT), Yunita Baitanu (Sekretaris GARAMIN NTT, Febyanti Kale (anggota PERSANI NTT), dan ada yang menjadi guru. "Semua jadi bagian dalam pergerakan advokasi untuk NTT inklusi".

Voni Yandri Malelak, Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan APS membenarkan pernyataan tersebut.  Voni pun menyampaikan tantangan yang dihadapi dalam kampus.

"Belum semua pengajar memiliki kepekaan dan memahami kebutuhan khusus penyandang disabilitas baik fisik, netra, tuli, hambatan mendengar dan berbicara, serta intelektual," kata Voni.

Ia pun menjelaskan, bahan ajar yang diberikan dosen-dosen belum aksesibel. Masih ada mahasiswa/i difabel yang belum percaya diri dan sulit berinteraksi bersama yang lain. Selain itu, belum semua mahasiswa sensitif dan ramah dengan mahasiswa/i difabel, fasilitas kampus yang masih terbatas dan belum sepenuhnya aksesibel.

Kurangnya pemahaman dan keterbukaan orang tua atau keluarga terkait kondisi mahasiswa-mahasiswi karena "takut ditolak kampus karena kedisabilitasan mereka. Belum semua dosen mampu melakukan screening sejak awal mahasiswa mendaftar di kampus".

Tantangan yang terbesar yang dihadapi dalam kampus APS adalah mahasiswa/i dengan disabilitas intelektual. "Mereka sering mendapat diskriminasi dikarenakan hambatan berpikir mereka".

Ardent K. Titu Eki, dosen APS sekaligus koordinator bidang tutorial ULD APS Kupang menambahkan, saat ini ada ada lima orang mahasiswa difabel yang sementara berkuliah dengan ragam disabilitas fisik, disabilitas sensorik netra dan disabilitas intelektual. "Ini jadi alasan mengapa ULD sangat dibutuhkan di kampus APS Kupang," kata Ardent.

Ia juga menyampaikan, APS mempekerjakan seorang difabel netra atas nama Moses Fadha Goda. "Dosen-dosen siap mendukung dan siap belajar tentang inklusi disabilitas di kampus".

Berti Soli Dima Malingara selaku koordinator Unit Layanan Disabilitas (ULD) kampus APS Kupang, dipercayakan mengelola sebuah gedung yang akan menjadi laboratorium dan media untuk mendorong lingkungan inklusif. Upaya itu juga untuk memenuhi hak disabilitas oleh pihak kampus.

Berti memaparkan progress persiapan ULD APS Kupang mendapat support dari organisasi difabel GARAMIN NTT dan Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC). "Mimpi besar ULD adalah melahirkan generasi pekerja sosial yang inklusif dan menjadi pusat kajian dan pembelajaran terkait isu disabilitas di NTT," kata Berti.

Ia pun menegaskan, penyandang disabilitas bukan menjadi obyek lagi melainkan calon peneliti-peneliti yang akan berkontribusi bagi pembangunan di NTT. Mengusung visi “Menjadi unit layanan disabilitas yang inklusif, mandiri, nyaman, aman dan antusias bagi semua mahasiswa difabel dan non difabel APS”, ULD berkomitmen untuk menjalankan lima misi besar antara lain:

Pertama, membangun kapasitas pendidik yang mengedepankan inklusi, berkualitas, unggul dan berintegritas. Kedua, meningkatkan kapasitas peserta didik agar mampu mengaktualisasikan diri dan menjalankan keberfungsian secara psikososial. Ketiga, melakukan penjaringan informasi dan pendataan mahasiswa disabilitas. Keempat, mengembangkan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kelima, membangun kerja sama lintas sektor.

Baca juga: Unit Layanan Disabilitas, Upaya APS Kupang Mewujudkan Kampus Inklusi di NTT

"Di bawah motto: Bersatu, Bergerak untuk NTT
Inklusif, ULD APS Kupang memerlukan dukungan dari organisasi disabilitas, LSM lokal, pemerintah, media dan berbagai pihak untuk bisa maksimal dalam pelayanan". (red)

Related Posts:

Anak-Anak Pubabu Jadi Korban Penggusuran, LPA NTT: Negara Punya Tanggung Jawab


Kupang, LekoNTT.com - Penggusuran rumah warga di Pubabu- kawasan Besipae, Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan selain mencaplok hak masyarakat adat pada  37 Kepala Keluarga (KK), peristiwa ini sangat berdampak negatif. Selain itu, adanya peristiwa tersebut telah melanggar hak anak-anak dan ibu-ibu pada 9 KK yang jadi target penggusuran.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Ester Selan dan Niko Manao sebagai  masyarakat yang terkena dampak penggusuran, total anak dalam 9 KK berjumlah 18 orang, terdiri dari 13 anak laki-laki. Satu diantaranya bayi berumur tiga bulan, dan lima anak perempuan.

"Rumah digusur, barang-barang dikeluarkan. Ada keluarga yang terpaksa tidur di lopo, termasuk anak-anak," ungkap Niko Manao kepada Leko NTT pada Rabu (5/8).

Ester Selan pun mengungkapkan hal yang sama, yang dialami anak-anak di Pubabu. "Anak-anak trauma. Ada yang kuat, ada yang tidak kuat, tapi namanya anak-anak pasti trauma dengan keadaan seperti itu. Kepedihan yang orang tua alami, anak-anak juga rasakan itu," kata Ester ketika dikonfirmasi pada Kamis (6/8).

Situasi yang demikian disesalkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT. "Kami sangat menyesalkan tindakan represif ini tanpa melihat dampak dan upaya perlindungan bagi ibu-ibu dan anak-anak di lokasi tersebut," ungkap Ketua LPA NTT, Veronika Ata melalui keterangan tertulis pada Rabu (5/8).

Menurutnya, harus ada mekanisme dan cara   persuasif, dialog  dan memperhatikan hak warga masyarakat, terutama hak anak dan perempuan yang sangat rentan. "LPA NTT  menolak proses yang tidak menghargai ataupun melindungi anak dan perempuan apalagi dalam masa pandemi  ini."

Proses penggusuran di Pubabu telah melanggar hak anak karena menimbulkan trauma, rasa tidak aman, dan proses belajar anak jadi terganggu. Di antara 18 anak ini terdapat siswi-siswa SD, SMP dan SMA.

"Sangat disayangkan karena juga terdapat  balita dan bayi. Jika tidak disiapkan rumah untuk tempat berlindung, ke mana rakyat harus pergi? Ke mana anak-anak dan perempuan harus berlindung? Satu sisi kita bersemangat untuk upaya pemenuhan  dan perlindungan  hak anak, kampanye patuhi protokol Covid-19, namun di sisi lain kita tidak konsisten bahkan melanggarnya."


LPA NTT juga menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang tidak ramah anak. "Pada saat anak-anak menangis, mereka ditarik dan dimasukkan dalam mobil keranjang. Perlakuan ini menimbulkan rasa takut dan trauma bagi anak."

Oleh sebab itu, LPA NTT menghimbau agar  Pemerintah Provinsi NTT memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak yang tengah ada dalam situasi darurat. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 59 UU tersebut, pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

"Negara harus bertanggungjawab kepada anak-anak yang sedang dalam pengungsian, tidak ada tempat perlindungan dan dalam situasi darurat." (red)

Baca juga artikel lainnya terkait KONFLIK PUBABU

Related Posts:

Obituari | Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter


Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A (Foto: Taufiq Hakim)

Conny, demikian ia biasa dipanggil. Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setelah lulus SMA Negeri 1 Kupang,  ia akhirnya terdampar di Jurusan Ilmu Pemerintahan  Fisipol UGM (S1) 1980-1987. Memperoleh gelar master di International Development Studies di St. Mary's University Canada (S2) 1989-1991. Sekarang menjadi staf pengajar Fisipol UGM dan penulis, dan pengamat politik.

Anak Daerah

Seperti banyak orang dari daerah saya pengen sekali bisa sekolah di Jawa tetapi informasi dan pengetahuan tentang sekolah dan segala macam mengenai Yogya sangat minim. Satu-satunya yang saya ketahui adalah di Yogya ada Universitas Gadjah Mada.

Memang waktu itu saya belum tahu betul berapa besar dan betapa berpengaruhnya Universitas ini dalam jajaran perguruan tinggi negeri. Setelah sampai di Yogya, kok nama Gadjah Mada ternyata cukup besar banyak diperhitungkan orang. Itu saya ketahui kemudian. Dalam masa persiapan sekolah SMA di Kupang tidak banyak informasi saya peroleh. Pada tes pertama saya nggak lolos di Gadjah Mada, ya karena saat saya datang, tes sudah ditutup.

Saya kemudian memutuskan untuk ikut tes di Universitas Airlangga karena tingkat kompetisi yang begitu tinggi sementara kualifikasi pendidikan dari daerah apalagi di NTT sangat rendah, akhirnya saya tidak lolos tes pertama. Itu sungguh mengecewakan, setelah itu memang ada banyak pilihan di perguruan tinggi swasta tapi standarnya sangat tinggi.

Bagi rata-rata orang daerah itu merupakan beban ekonomi yang sangat besar, jadi karena hasrat untuk sekolah besar sekali, ya sudahlah tunggu agar bisa masuk ke UGM saja. Waktu itu kan biaya kuliah sangat murah, cuma Rp 15.000,00 per semester. Sambil menunggu, saya mengikuti bimbingan tes. Tes lagi, akhirnya bisa juga lulus di UGM.

Awal-awal kuliah, seperti juga banyak anak daerah yang merasa besar di daerahnya sendiri, lingkup pergaulannya terbatas. Ketertarikannya mahasiswa dari Kupang pada lembaga atau organisasi mahasiswa, sangat minim. Tapi, secara bertahap kami mulai bisa melihat. Ternyata ada banyak organisasi, banyak orang terlibat aktif. Akhirnya, saya masuk; beraktivitas, belajar dan berorganisasi.

Saya bersyukur bisa cepat belajar, cepat melihat banyak persoalan. Ya, mulai ada kompetesi yang sangat sehat dan kuat, terutama di kalangan aktivis. Ini untuk membuktikan, bawa aktivitas di kampus bukan kompensasi melarikan diri dari kemampuan. Saya merasa kombinasi aktivitas-aktivitas kemahasiswaan--sekaligus intensitas diskusi di antara kawan-kawan dan kelompok-kelompok--sangat luar biasa pada zaman itu.

Memang, secara pribadi saya mengalami kesulitan uang yang luar biasa ketika kuliah. Namun saya akhirnya harus berusaha sendiri menemukan solusinya.

Ndesa, Survive

Yang menarik, Yogya waktu itu masih sangat ndesa. Bentuk-bentuk kehidupan, seperti yang sekarang terkenal di stasiun, dan macam-macam lainnya, tidak menjadi ganjalan. Itu sudah menjadi gejala umum. Namun, itu bukan penyelesaian atau model dari mahasiswa ataupun anak-anak SMA zaman itu.

Awal tahun 80-an, semua hal memang sangat sulit di Yogya. Sampai tahun 1982, belum ada bus kota. Saya naik Colt. Kalau ke kampus, numpuk jadi satu dengan segala macam barang. Juga, seperti biasanya, mahasiswa yang susah itu yang dari daerah-daerah. Makanya kalau makan, misalnya makan tempe; makan tiga bilang satu, makan empat bilang dua. Semua gejala itu normal terjadi.

Sementara pergaulan lintas etnik, lintas agama mulai berlangsung baik. Kami berusaha bersama memecahkan berbagai masalah, terutama ekonomi. Lalu, saya temukan salah satu cara agar bisa survive. Yang saya lakukan, ialah mulai menulis, mengirim ke koran dan sebagainya.

Tulisan-tulisan itu mulai ada yang dimuat. Tetapi karena waktu itu, saya tidak begitu percaya diri. Saya pakai nama samaran Conny. Mungkin banyak orang sampai saat ini lebih tahu Conny. Nama itu dipakai dalam begitu banyak tulisan sampai pertengahan tahun 80-an. Begitu awalnya.

Saya bertahan hidup dengan nama itu dan terus menulis. Meski ada juga kiriman dari kakak, orang tua, sekian bulan sekali dengan jumlah yang sangat kecil. Bagi saya, yang luar biasa adalah perluasan wawasan saya, lewat keterlibatan dalam berbagai organisasi, intensitas membaca dan sebagainya.

Terus terang di Kupang saya tidak pernah baca Koran. Nggak tahu tokoh-tokoh itu dan seterusnya. Dari aktivitas itu, tumbuh motivasi melakukan hal-hal di luar sekedar kuliah. Saya kira itu perjalanan umum.

Lewat Interaksi

Ada hal lain yang ingin saya garis bawahi. Setelah melewati perjalanan kuliah, saya sadar. Ternyata pembentukan jaringan, hubungan sosial di antara berbagai kelompok masyarakat. Lewat interaksi kegiatan-kegiatan intern kampus maupun antar kampus, cukup memainkan peran yang sangat besar dalam menggembleng kita. Membentuk karakter, visi, bahkan moralitas kita.

Semua itu menopang karir selanjutnya. Saya merasa, kalau tidak mempunyai relasi sosial yang luas di kalangan kawan-kawan mahasiswa di zaman kuliah, sangat sulit membayangkan saya akan bisa dengan gampang muncul di mana-mana.

Saya tekankan, kapasitas individual seseorang tanpa kemampuan membangun relasi sosial yang baik, hampir mustahil dia bisa tumbuh dan berkembang secara baik.

Kapasitas untuk mengembangkan relasi sosial itu sangat ditentukan oleh hasrat beberapa hal ada dari kita lebih mengkonsumsi banyak waktu. Kadang-kadang ada kuliah terbengkalai. Tetapi pasca kuliah, kita bisa mengejar ketertinggalan jauh lebih cepat dari orang yang sekedar kuliah.

Kepedulian terhadap banyak hal muncul secara naluriah. Ketika masih di daerah dan hidup susah, menjadi terkonsep setelah mengalami pengalaman hidup bersama kawan-kawan organisasi. Apa sih, kenapa kita peduli orang susah, orang miskin? Kenapa harus berjuang untuk keadilan? Semua itu menemukan bentuknya secara konseptual. Justru setelah berinteraksi dengan banyak kelompok, banyak orang.

Yang lebih penting adalah proses moderasi atau pengurangan ekstrimitas kelompok yang bersifat tertutup. Seperti, merasa suku, daerah, agama sendiri yang lebih besar, lebih baik--mengalami penurunan secara bertahap.

Akhirnya, mencapai suatu fase di mana kita melihat bahwa semua orang, etnik, agama, sama penting. Semuanya sejajar. Kalau ada dialog, itu bisa dikerjakan dengan baik. Tapi harus dipahami betul. Untuk keterlibatan awal dalam aktivitas organisasi, seseorang harus bersedia menjadi pengikut, mengikuti aturan main.

Kadang-kadang, dalam hubungan sosial itu, yang ada bukan aturan organisasi. Tapi aturan-aturan sosial yang muncul. Ya, kalau beli rokok, ya beli rokok. Kalau harus di belakang, ya di belakang. Ini proses kaderisasi, proses pematangan. Luar biasa! Proses ini akhirnya membentuk kita untuk siap, menerima, mau menjadi pemimpin atau pengikut dan seterusnya.

Persahabatan, Lingkungan

Hal lain, saya kira penting juga. Misalnya, kita dapat menemukan bentuk-bentuk persahabatan yang lebih tulus, yang benar dan lebih baik. Bahkan, kalau kita bisa menjaganya, kita nggak bisa mengkhianatinya setiap saat. Saya kira, hal-hal semacam ini tidak bisa, tidak akan pernah kita dapatkan dari kuliah-kuliah, atau dari diktat-diktat.

Bagi saya, soal komitmen, loyalitas pada idealisme, atau pemihakan pada masyarakat, lebih merupakan post-pembentukan-watak yang distimulasi oleh lingkungan kita, bukan hasil dari bacaan-bacaan kita. Hal-hal seperti ini sebenarnya, ikut menentukan perkembangan kita. Bahkan,kalau secara konyol ya, karir kita juga akan sangat banyak ditentukan oleh alam seperti ini.

Yang lain saya kira, motif-motif ekonomi yang rendah dalam relasi sosial kita dalam organisasi, zaman itu. Persaingan di antara organisasi memang sangat kuat. Tetapi motif-motif ekonomi, misalnya, masuk organisasi untuk dapat uang, ikut berpengaruh.

Kadang-kadang, sengketa relasi sosial dalam organisasi dimulai dari hal seperti itu. Nah, segala proses dalam pengalaman seperti itu bisa menolong kita sehingga tidak kaget.  Banyak mahasiswa ke kampus hanya untuk kuliah. Dari ruang kuliah, langsung ke kamar belajar. Begitu terus. Lalu, ikut ujian dan selesai kuliah. Tapi, ketika berhadapan dengan realitas konkret, dia kaget. Bisa saja karena kaget, kemudian dia mengikuti arus kegilaan yang muncul tiba-tiba. Atau, dia frustasi karena kenyataannya begitu berbeda.

Tidak seperti zaman dia kuliah, kalau kita berada dalam lingkaran organisasi, dalam berbagai bentuk diskusi dan aktivitas, akan menolong kita untuk mengenal banyak sekali realitas di masyarakat. Hal itu mungkin terjadi karena kita memiliki kesempatan pengendapan, bukan mimpi! 

Mungkin, saya termasuk orang yang beruntung.
Bisa melewati-dalam arti sesungguhnya-sesuatu yang belum atau tidak pernah terbayangkan ketika masih di Kupang. Dapat anda bayangkan jika sampai tahun 1979 baru ada dua SMA Negeri di seluruh NTT. Satu di Alor dan satunya lagi di Kupang.

Saya dulu hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekolahnya, gurunya pun hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekali, apalagi fasilitasnya. Tetapi akhirnya saya bisa memasuki sebuah dunia pergaulan yang jauh lebih besar dari sekedar dunia Universitas.

Saya bertemu dengan sekian banyak orang, mulai dari ujung Aceh sampai ujung Irian. Bisa berdiskusi, beraktivitas. Saya kira, Itu merupakan pengalaman luar biasa untuk mengenal Indonesia lebih baik.

Soal Studi

Studi setiap orang harus punya prinsip. Tak ada alasan untuk gagal dalam studi. Tidak ada alasan untuk menjadi nomor 2, nomor 3 atau nomor 4. Saya kira setiap mahasiswa siapapun juga harus punya keyakinan diri. Sekaligus punya motivasi. Bohong menjadi yang terbaik itu merupakan pilihan yang- tidak bisa tidak- harus dipenuhi. Memang untuk itu akan melibatkan banyak hal.

Zaman saya kuliah dulu ada taruhan. Misalnya kalau seorang kawan dapat nilai A, ya di traktir sate. Ada kompetisi yang sangat sehat. Jelas itu mendorong kita untuk banyak membaca, untuk sungguh-sungguh belajar. Lantas apakah pekerjaan kawan- kawan cuma belajar?
Belajar ya belajar, tapi ada saja aktivitas umumnya, orang-orang muda pada zaman itu. Secara normal ya dilakukan. Bisa jadi main billiard sampai pagi, nonton film, pergi jalan-jalan atau ke luar kota. Semua kegiatan tetap berjalan normal. Ada waktunya sesuai kebutuhan.

Ada satu yang harus disadari dan tidak pernah bisa berubah. Pertama, tujuan kita adalah studi. Kedua, kita memang perlu bergerak dalam kerangka ideal itu. Namun kita juga harus bisa membangun relasi sosial dan mulai belajar berorganisasi. Bagi saya itu sedikit banyak, tetapi menjadi persoalan dari setiap kehidupan kita sebagai mahasiswa. Kapan dan di manapun anda berada.**

Tulisan tentang Cornelis Lay ini sengaja tidak diubah dari bentuk aslinya 22 tahun silam. Tahun 1998. Waktu itu ia diwawancarai sebagai salah seorang role model kami, para mahasiswa di Jogja. Jadi kumpulan narasi mereka sengaja menjadi bahan belajar kami.

Sengaja mereka yang terpilih berasal dari intelektual, aktivis, seniman, penulis, pendidik, dan filsuf untuk diabadikan dalam buku yang bertajuk Belajar Untuk Hidup. Bukan sekedar belajar untuk dapat gelar. Buku ini diterbitkan secara eksklusif untuk para mahasiswa baru tahun 1998 sebagai Buku Suci Ospek. Buku ini sendiri juga menjadi salah satu artefak sejarah, beberapa orang yang ditulis sudah meninggal, dan ada penulisnya pun yang sudah meninggal.




Pada tahun-tahun itu, tahun 1990-an, salah satu kantong gerakan mahasiswa di Jogja juga muncul dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Selain itu, Unit Penerbitan Mahasiswa PASTI juga menjadi salah satu simpul gerakan.

Tulisan ini hasil wawancara salah seorang mahasiswa yang kebetulan sekota asalnya, dari Kupang yang waktu itu menjadi Pemred PASTI, Dominggus Elcid Li.



(Ya, Bu NeI demikian panggilan kami sesama anak daerah dari Kupang biasanya keras mendidik. Ia hanya berpesan, cari jalan sendiri, dan bikin jaringan sendiri. Pesannya adalah petuah dan dikerjakan hingga hari ini. Selamat jalan Bu Nel! Kakak dan tetua Perkuray (Persaudaraan Kupang Raya)) Selamat bertemu dengan Mas Riswanda Imawan, salah seorang Rajawali yang pergi jauh lebih awal.) Banyak cita-cita 98 yang masih menjadi PR bersama).

Related Posts: