LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Oktober 2019

Layar Merdeka: Merayakan Sumpah Pemuda, Hak Semua Manusia


Kiupukan, LekoNTT.comLayar Merdeka, tajuk dalam perayaan sumpah pemuda di Aula Paroki Sta. Maria Pengantara Segala Rahmat, Kiupukan, Insana, Kabupaten TTU pada Senin (28/10/2019). Perayaan Sumpah Pemuda dihelat dengan pameran karya pelajar dan seniman, tarian kreasi, modern dance, live mural, live music, pembacaan dan musikalisasi puisi. ‘Nokas’ sebuah film dokumenter garapan sutradara Manuel Alberto Maia menjadi penutup acara. 
Suasana pameran karya, pentas seni dan pemutaran film di Aula Paroki Kiupukan (28/10)

Sebelumnya, dalam menyongsong hari Sumpah Pemuda, lima Komunitas Kreatif yang bergerak dalam bidang Fotografi, Videografi, Perfilman, Grafiti, Penulisan dan Pementasan menggelar berbagai workshop sejak Sabtu hingga Minggu (26-27/10/2019) demi merayakan Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 yang kini diperingati ke-91 kalinya.
Pemutaran Film NOKAS dalam Layar Merdeka di Aula Paroki

Workshop dilakukan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Utara. Bertempat di SMK Katolik St. Pius X Bitauni, SMAN 1 Insana dan SMK Wilibrodus Betun, kelima komunitas; Komunitas Film Kupang (KFK) Sekolah Multimedia untuk Semua (SkolMus),  Timore Art Graffiti (TAG) Komunitas Leko Kupang (Leko) dan Coloteme Art’s Movement (CAM), didukung Pusbang Film, hadir dan berbagi bersama pelajar SMA di ketiga sekolah tersebut.
Salah satu sudut pameran karya Layar Merdeka

Setiap sekolah mengutus 20 siswi-siswa untuk mengikuti workshop yang bertujuan menggali bakat pelajar, berkarya dengan kemampuan sendiri hingga pameran/ pementasan hasil karya. Selain para pelajar SMA, workshop juga diikuti oleh sebagian Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santa Maria Pengantara Segala Rahmat Kiupukan, Insana.

Thomas Nesi, mewakili OMK Paroki Kiupukan, mengapresiasi kehadiran beberapa komunitas kreatif lintas karya tersebut. “Orang Muda Katolik Paroki Kiupukan dalam kegiatan Layar Merdeka mendapatkan pengalaman, karena komunitas-komunitas kreatif datang dan berbagi, kesan baik tentang dinamika hidup anak muda, kreativitasnya dan profesi hidup. Dengan hadirnya teman-teman Komunitas, memantik OMK untuk berani berkreasi dan menunjukkan semua potensi diri dan bakat yang dimiliki.”


Ivan Baowolo pegiat seni di TAG berujar, “Layar Merdeka sebagai ajang untuk memperkenalkan TAG, berbagi pengetahuan tentang seni kepada sesama generasi muda, melawan stigma negatif tentang seni yang terlanjur hidup dalam pikiran masyarakat.”

Hal senada juga dikemukakan oleh salah satu anggota Komunitas SkolMus, Ete Umbu Tara, “melalui Layar Merdeka SkolMus dapat menunjukkan visi SkolMus sebagai medium solidaritas fotografi. Sekaligus membangun relasi baru, berbagi mimpi dengan komunitas masyarakat dan anak-anak.”
Modern dance oleh siswi-siswi SMA Negeri 1 Insana
Tarian Oefatu yang dipentaskan oleh Oby Tukan
Penampilan OMK Paroki Kiupukan dalam Layar Merdeka

Pegiat di Komunitas Film Kupang pun berharap, melalui Layar Merdeka kerja kolaboratif, baik antar komunitas kreatif maupun dengan pihak lain makin marak dilakukan demi produktivitas dalam berkarya.  “Harapannya dengan Layar Merdeka, KFK bisa menjalin kolaborasi dengan berbagai komunitas. Bukan saja berkarya tapi juga berbagi dari apa yang dimiliki,” ujar Adriana Ajeng Ngailu, EO Layar Merdeka, pegiat film di KFK. (AM)

Foto: Dokumentasi Panitia Layar Merdeka

Related Posts:

Peringati Hari Sumpah Pemuda, Lima Komunitas Kreatif Gelar Layar Merdeka


Insana, LekoNTT.com - Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019, lima komunitas kreatif di Kota Kupang menggelar Layar Merdeka. Kelima komunitas tersebut antara lain, Komunitas Film Kupang (KFK), Sekolah Multimedia Untuk Semua (SkolMus), Timore Art Graffiti (TAG), Komunitas Leko dan Coloteme Art’s Movement, didukung oleh Pusat Pengembangan Film.
Kelas Videografi

Layar Merdeka digelar sejak tanggal 26 hingga 28 Oktober 2019 di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Malaka. Event ini diisi dengan berbagai jenis kegiatan seperti kelas fotografi oleh SkolMus, videografi oleh KFK, menggambar oleh TAG, dan kelas menulis oleh Komunitas Leko. Kelas-kelas tersebut dilangsungkan pada Sabtu dan Minggu (26-27/10), diikuti oleh siswi-siswa SMA Negeri 1 Insana, SMK Katolik St. Pius X Insana (TTU) dan SMK St. Wilibrodus Betun (Malaka).
Kelas Fotografi

Selain kelas kreatif, Layar Merdeka pun diisi dengan pameran karya para peserta, pentas seni dan pemutaran film yang akan dilangsungkan pada Senin (28/10) di Aula Paroki Sta. Maria Pengantara Segala Rahmat Kiupukan, Insana. Peserta dalam event ini melibatkan siswi-siswa SMA, Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Kiupukan, tokoh masyarakat, tokoh umat, dan seluruh masyarakat Insana.
Kelas Menggambar

Irwan Sebleku, pegiat film di KFK kepada LekoNTT.com mengatakan, adanya Layar Merdeka bertujuan untuk menumbuhkembangkan keterampilan kaum muda sejak dini. "Layar Merdeka ini kolaborasi dari empat komunitas di kota Kupang, ada KFK, TAG, Leko dan SkolMus. Dalam kegiatan ini kita mau beri ruang bagi orang muda untuk berekspresi melalui karya-karya kreatif."

Lebih lanjut Irwan menjelaskan, momen memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober dimanfaatkan oleh keempat komunitas tersebut untuk berbagi pengalaman. Remaja dan orang muda menjadi sasaran utama dalam kegiatan tersebut.


Kelas Menulis

Hal senada diungkapkan Kepala SkolMus, Armin Septiexan. "Layar Merdeka itu ruang kebebasan. Kita berbagi pengalaman, kita juga mau beri ruang bagi orang muda untuk bebas berkarya sesuai talenta masing-masing."

Ia juga berharap, pengetahuan dan pengalaman yang telah dibagi tidak sebatas situasional. Lebih dari itu dijadikan dasar bagi orang muda untuk terus berkarya.
(het)

Foto: Adi Otanu


Related Posts:

Belajar Jadi Jurnalis Warga bersama Leko NTT


Kupang, LekoNTT.com - Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian, slogan kecil ini menghias slide pemaparan materi dari Herman Efriyanto Tanouf dalam workshop bertajuk ‘Literasi dan Jurnalisme Warga’. Workshop tersebut diselenggarakan oleh HMPRO Ilmu Komunikasi Undana, menggandeng Komunitas Leko Kupang. 
Mini workshop 'Literasi dan Jurnalisme Warga', 21 Oktober 2019. (Foto: Panitia)

Workshop yang berlangsung di ruangan A5 Prodi Ilmu Komunikasi Undana pada Senin (21/10/2019), diikuti oleh perwakilan mahasiswa Ilkom semester I, III hingga semester VII. Pemateri yang dihadirkan dalam kegiatan ini adalah Herman Efriyanto Tanouf dari Komunitas Leko Kupang sekaligus perwakilan media LekoNTT.com dan Henny Lada sebagai perwakilan dosen Prodi Ilkom Undana.

Ketua HMPRO Ilkom Undana periode 2019-2020, Maria G. Ana Kaka mengawali kegiatan ini dengan sambutan singkat perihal tujuan kegiatan. Ia menjelaskan, workshop tidak saja dilangsungkan dalam rangka menyongsong event tahunan Jikom Festival, tetapi juga sekaligus untuk menumbuhkan geliat literasi di kalangan mahasiswa. Selain itu, mahasiswa dapat menambah pengetahuan baru berkaitan dengan tema yang dibahas.

Kegiatan tersebut kemudian dilanjutkan dengan sambutan Ketua Prodi Ilkom Undana, Dr. Mas’Amah, sekaligus membuka secara resmi kegiatan dimaksud. “Mahasiswa harus memperhatikan secara serius setiap materi yang disampaikan agar ketika keluar dari ruangan ini bisa membawa sesuatu yang baru dan bermanfaat,” ungkapnya.

Sebagai ungkapan terima kasih atas kehadiran Komunitas Leko Kupang dalam kegiatan tersebut, Ketua Prodi didampingi ketua HMPRO menyerahkan souvenir kepada Herman Efriyanto Tanouf selaku perwakilan Komunitas Leko Kupang dan juga kepada  Henny Lada, perwakilan dosen.



Dua tema besar yang dibahas adalah tentang Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) dan Mobile Photography. Herman dalam pemaparan materinya menjelaskan betapa sentralnya keberadaan jurnalisme warga sebagai wadah bagi masyarakat dalam mengumpulkan informasi, melakukan verifikasi hingga mempublikasikan berita.

Herman juga menjelaskan, LekoNTT.com sebagai media alternatif memilih fokus pada jurnalisme warga, siapapun dapat berkontribusi. “Di Leko NTT, kami juga masih belajar jadi jurnalis warga yang baik. Saya bersama teman-teman di Komunitas Leko, juga teman-teman jaringan Leko, lebih fokuskan konten ke jurnalisme warga. Termasuk di dalamnya semua model pelayanan publik dan sebagai usaha mendokumentasikan aktivitas komunitas lintas karya yang luput dari perhatian.”

Ia pun menambahkan, Leko NTT sendiri disupport oleh Perhimpunan Pengembagan Media Nusantara (PPMN), sebuah organisasi nonprofit yang yang mendorong profesionalisme media dan independensi dalam melayani publik. Sedangkan Henny dalam materinya menjelaskan pentingnya mobile photography, dalam hal ini menghasilkan foto-foto yang nantinya akan mendukung informasi dalam jurnalisme warga.

“Semua orang, termasuk jurnalis warga, dapat memanfaatkan kamera HP-nya sebagai media untuk mengabadikan momen, yang bisa mendukung suatu liputan,” ungkap Henny.
Suasana pelatihan dalam kelompok. (Foto: Panitia)

Peserta tampak antusias dan serius mengikuti kegiatan ini. Setelah pemaparan materi, peserta kemudian dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok Citizen Journalism yang didampingi Herman, sedangkan kelompok Mobile Photography didampingi oleh Henny.

Baca juga: Jikom Undana Gandeng Komunitas Leko Gelar Workshop Literasi dan Jurnalisme Warga

Diki Ballo, seorang peserta menguatarakan kesan sekaligus harapannya berkaitan dengan workshop tersebut. “Kegiatan ini menjadi media bagi saya untuk belajar lebih banyak tentang jurnalisme warga dan mobile photography, yang tentunya sangat berguna bagi saya di kemudian hari.” Diki pun mengapresiasi para pemateri dan panitia yang telah menggagas adanya workshop tersebut. Ia berharap, kegiatan-kegiatan seperti itu terus dilakukan di waktu-waktu mendatang.

Penulis: Oswald Kosfraedi, peserta mini workshop ‘Literasi dan Jurnalisme Warga’ (Tulisan ini merupakan hasil pelatihan)

Baca Juga: Workshop bersama Komunitas Leko Menyambut Jikom Fest

Related Posts:

Dari Wai Humba VIII, Sumba Punya Gelanggang Olahraga Tradisional


Waingapu, LekoNTT.com - Pagelaran Festival Wai Humba (FWH) VIII di Desa Kananggar, Kecamatan Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur berlangsung selama tiga hari, sejak tanggal 18 hingga 20 Oktober 2019. FWH mengusung tema Nda Humba Lila Mohu Akama (bukan Sumba yang menuju kemusnahan) dengan sub tema Tau Raka Tau, Mai Ta Padjulu (Manusia Sepantasnya Manusia, Mari Kita Bermain).



FWH VIII 2019 ini melibatkan perwakilan dari masyarakat  di empat gunung (simbolis) yang ada di pulau Sumba, yakni Wanggameti, Porunombu, Tanadaru, dan Yawila. Selain masyarakat adat setempat, hadir juga pemerintah kecamatan/desa, pegiat budaya, Jatam, Aman, Walhi NTT, Donders, STT GKS Lewa, Akademi Keperawatan Sumba, dan masih banyak lagi yang hadir dalam festival tersebut.

Kegiatan ini dibuka oleh Staf Khusus Direktorat Jendral Kebudayaan Republik Indonesia, Lefidus Malau. Dalam sambutannya, Lefidus mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan aktivitas luar biasa yang perlu dipertahankan sebagai nilai yang terus digaungkan, terutama oleh orang muda. “Kegiatan ini menjadi pengingat bagi setiap generasi muda Sumba dalam melihat persoalan budaya dan lingkungan.”



Lefidus, secara seremonial melakukan peresmian Gelanggang Olahraga Tradisional. Seremonial penandatangan prasasti juga disaksikan oleh Umbu Kudu Nengi Rutung, selaku Kepala Desa dan Umbu Domu Maramba Didi, selaku tokoh masyarakat setempat.

FWH VIII menjadi momentum penting bagi masyarakat Sumba di empat kabupaten, peserta maupun pegiat kebudayaan dimana pada kegiatan ini menjadi bersejarah dengan diresmikannya gelanggang olahraga tradisional berupa lapangan pacuan kuda ini,” ungkap Lefidus.



Agenda dalam FWH VIII 2019 adalah upaya untuk pelestarian budaya dan lingkungan, penghargaaan terhadap pejuang lingkungan di Tana Humba dan peresmian Gelanggang Olahraga Tradisional yang bertujuan untuk menghidupkan kembali permainan tradisional masyarakat Sumba yang terancam hilang.

Umbu Kudu Nengi Rutung selaku kepala Desa Kananggar sekaligus panitia FWH VIII 2019 dalam sambutannya mengapresiasi seluruh pihak yang mendukung pelaksanaan FWH VIII di Desa Kananggar. “Ini merupakan sebuah kehormatan dan kebanggaan yang luar bisa bagi kami masyarakat desa. Budaya Sumba perlu kita pertahankan dan lestarikan bersama, identitas orang Sumba (Tau Humba) adalah budayanya, oleh karena itu kami sangat bangga ketika generasi muda Humba hari ini kembali mengingatkan kepada kita semua untuk tetap mempertahankan identitas budaya dan terus melestarikannya,” ujar Umbu.

Selain itu Pater Mike Keraf, salah satu dinamisator FWH VIII 2019 menyatakan Festival empat Gunung Wai Humba adalah jembatan alternatif baru untuk mendekatkan kembali manusia dengan Sang Pencipta dan alam sekitarnya. “Festival ini sesungguhnya terinspirasi dari Kalarat Wai atau Pa Erri Wee ala nenek moyang. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya Humba dalam konteks pelestarian dan perlindungan alam dari pengrusakan yang serampangan. Festival ini juga dibuat sebagai kesempatan untuk mengucap syukur kepada Pencipta dan berterimakasih kepada leluhur yang telah menanamkan kearifan alam.”



Sem Ridi Djawamara, Ketua Panitia FWH VIII 2019 menjelaskan, tema yang diusung sama seperti tahun-tahun sebelumnya. “Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan adalah refleksi diri kita sebagai orang Sumba yang berbudaya. Oleh karena itu, FWH VIII ini merupakan dialog kebudayaan dan ruang konsolidasi budaya masyarakat Sumba.”

Sem menambahkan bahwa, Festival ini telah digelar sebanyak delapan kali setelah sebelumnya yang pertama di tanggal 29 Oktober 2012 silam di Sungai Paponggu di kawasan pegunungan Tana Daru, Sumba Tengah; yang kedua di lereng Gunung Yawilla, tepatnya di Umma Pande, Desa Dikira Kabupaten Sumba Barat Daya. Ketiga di Desa Ramuk, Sumba Timur. Keempat di Paponggu, Tanadaru, Sumba Tengah. Kelima di Kadahang, Haharu, Sumba Timur. Keenam di Porunombu. Ketujuh di Yawilla, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kali ini Wanggameti Desa Kananggar, Kecamatan Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur, sebagai tuan rumah.

Festival ini juga dikemas sebagai ibadah, pesta rakyat, perayaan kebudayaan sekaligus kampanye pelestarian lingkungan hidup di Humba/Sumba. Kiranyanya semangat dan solidaritas persaudaraan kita sebagai orang yang berbudaya tetap diperkuat dengan karakter-karakter Pancasila. Bahwa perbedaan itu adalah kekuatan terbesar kita dalam membangun Sumba, semangat toleransi perlu dipupuk dengan nilai-nilai kearifan lokal baik dalam suku, agama, bahasa, dan adat istiadat,” tandas Sem. (DK)

Foto: Panitia FWH VIII

Related Posts:

Workshop bersama Komunitas Leko Menyongsong Jikom Fest 2019


Kupang, LekoNTT.com – Himpunan Mahasiswa Prodi (HMPRO) Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, menggelar workshop dengan mengusung tema ‘Literasi dan Jurnalisme Warga’. Workshop tersebut dilangsungkan pada Senin (21/10), di ruang A5 di Prodi Ilmu Komunikasi Undana Kupang.

Kegiatan ini dibuka oleh Ketua Prodi Ilmu Komunikasi, Dr. Mas’ Amah, dan dihadiri oleh 51 peserta dari mahasiswa Jikom semester satu, tiga dan lima. Workshop ini dilaksanakan dalam rangka menyongsong event tahunan Prodi Ilkom Undana, yakni Jikom Fest 2019.


Maria Goreti Ana Kaka, Ketua HMPRO Jikom Undana dalam sambutannya menyampaikan tujuan adanya workshop. “Workshop ini diadakan untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa dan menjadikan mereka sebagai pelopor yang mengubah pandangan masyarakat tentang penggunaan media, terutama media sosial,” ungkapnya.

HMPRO Jikom Undana menghadirkan dua narasumber. Masing-masing adalah adalah Herman Efriyanto Tanouf, perwakilan Komunitas Leko Kupang sekaligus mewakili media LekoNTT.com. Herman membawakan materi tentang ‘Literasi dan Jurnalisme Warga’, sedangkan narasumber kedua, Henny L. L. Lada, dosen Prodi Ilkom Undana, membawakan materi tentang ‘Mobile Photography’.

Herman dalam pemaparan materi mengungkapkan, aktivitas jurnalisme warga menjadikan warga sebagai obyek sekaligus subyek berita. “Warga, selain menjadi pembaca, dalam suatu peristiwa tertentu bisa menjadi ‘jurnalis’ yang menghasilkan konten berita. Merekalah yang disebut jurnalis warga dengan segudang pegetahuan dasar jurnalistik.”

Di tengah bimbingan, ia juga mengatakan bahwa pada umumnya, tidak semua jurnalis warga merupakan jurnalis profesional sebagaimana jurnalis di media-media mainstream. Pada dasarnya, jurnalis warga yang menjunjung tinggi etika publik akan melakukan aktivitas yang sama, yakni peliputan, verifikasi hingga publikasi. “Dalam jurnalisme warga, siapapun bisa membuat liputan, tapi tidak semua disebut jurnalis professional,” tegas Herman.

Pada sesi kedua tentang ‘Mobile Photography’, Henny Lada menjelaskan hal-hal teknis terkait pengambilan foto dengan menggunakan kamera handphone. “Semua orang, termasuk jurnalis warga, dapat memanfaatkan kamera HP-nya sebagai media untuk mengabadikan moment yang bisa mendukung suatu liputan.”


Ia pun berharap, kegiatan tersebut dapat menjadi bekal bagi mahasiswa Jikom Undana untuk menjadi seorang jurnalis yang baik dan beretika dalam memberikan informasi kepada publik.

Baca Juga: Jikom Undana Gandeng Komunitas Leko Gelar Workshop Literasi dan Jurnalisme Warga


Para penulis: Kelompok 1, peserta mini workshop ‘Literasi dan Jurnalisme Warga’ (Ramia Tukan, Yosefa Saru, Maranatha Yewang, Dikki Ballo, Oswald Kosfraedi, Maria R. Ntumuk, dll)

Related Posts:

Jikom Undana Gandeng Komunitas Leko Gelar Workshop Literasi dan Jurnalisme Warga


Kupang, LekoNTT.comHimpunan Mahasiswa Prodi (HMPRO) Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana menggelar mini workshop bertajuk Literasi dan Jurnalisme Warga, di ruang A5 Perpustakaan Undana Kupang pada Senin (21/10). Mini workshop ini difasilitasi oleh Herman Efriyanto Tanouf, Koordinator Komunitas Leko Kupang rekaligus salah satu redaktur LekoNTT.com bersama Henny L. L Lada, dosen dan akademisi Prodi Ilmu Komunikasi Undana.

Dalam kegiatan ini, Herman atau yang akrab disapa HET, sharing banyak pengalaman menarik tentang Komunitas Leko yang giat menggelar Kencan Buku di Taman Nostalgia setiap weekend, sejak September 2017 dan kehadiran website LekoNTT.com. HET dalam sharingnya, bersama teman lainnya di Komunitas Leko menjadikan website yang disupport oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), sebagai salah satu media jurnalisme warga alternatif untuk memproduksi dan menyebarluaskan konten-konten yang tentunya memiliki powerfull impact.


Sementara Henny Lada sharing tentang mobile photography sebagai salah satu produk jurnalisme warga di era serba modern, saat ini. Sebagai salah satu alumni Sekolah Musa angkatan VII, Henny memberikan banyak pengetahuan baru soal phonegraphy kepada para peserta.

Seusai sharing, peserta dibagi ke dalam dua kelompok kecil dan melakukan praktek reportase sederhana serta hunting foto di area perpustakaan. Hasil praktek peserta kemudian dipresentasikan di forum untuk kemudian dinilai dan dikomentari oleh para fasilitator sebagai bahan pembelajaran bersama.

Peserta workshop yang berjumlah 51 orang ini akan menjadi trainer bagi mahasiswa Jikom lainnya pada workshop-workshop lanjutan beberaa waktu mendatang. Dalam waktu dekat, hasil karya mereka, baik tulisan, foto maupun video akan dipamerkan di acara JikomFest.

Akhirnya atas nama HMPRO Jikom Undana, kami mengucapkan terimakasih berlimpah kepada semua pihak yang sudah terlibat dan mendukung workshop ini, teristimewa kedua fasilitator yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk berbagi bersama kami. Kiranya moment ini bisa menjadi langkah awal untuk mempererat kerja sama antara pihak kampus dengan berbagai komunitas orang muda di Kota Kupang.

Berikut, dokumentasi mini workshop oleh panitia:








Penulis: Maria Goreti Ana Kaka, Ketua HMPRO Jikom Undana periode 2019-2020

Related Posts:

Lampu Tamnos Padam Jelang Pelantikan Presiden dan Wakilnya


Lampu Tamnos padam, apa hubungannya dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih? Saya sendiri bingung dengan ini judul tulisan. Tapi itu judul yang pertama kali melintas dalam isi kepala. Sempat ditolak, tapi tetap memaksa, masuk dan merasuk. Jadilah demikian, tertulis seperti ilham yang menyata sabda dalam kitab-kitab.

Tamnos itu bukan sejenis lampu, tapi nama sebuah taman di tengah-tengah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang. Orang-orang yang tinggal di Kupang atau pernah mampir ke ini taman, sudah tentu tahu. Tamnos, singkatan dari Taman Nostalgia. Adanya memang menyisakan kisah-kisah nostalgik di ini kota, termasuk kisah melankolis, ada dalam gelap di tengah taman, di tengah ibu kota.

Sabtu malam, 19 Oktober 2019. Malam ketika orang-orang di seluruh pelosok tanah air, cemas dan gemas menanti-nanti perayaaan puncak atas kemenangan yang diraih. Ialah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019-2024, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2019 (ini hari). Malam yang sama, lampu di salah satu sudut Tamnos pun padam.
Area di dekat Gong Perdamaian Taman Nostalgia, gelap. Sabtu, 19 Oktober 2019

Malam itu banyak pengunjung, seperti malam-malam minggu sebelumnya. Taman yang terletak di Jalan Frans Seda ini memang paling ramai dikunjungi setiap malam minggu. Banyak aktivitas, baik dari komunitas-komunitas, kelompok diskusi, musik, individu hingga pasangan-pasangan individu yang kadang bikin mata enggan menyaksikan aksi mereka.

Beberapa komunitas yang paling saya ingat aktivitas mereka adalah, Komunitas Raskal. Ialah komunitas yang menghimpun anak-anak muda yang memiliki minat dalam olahraga basket. Ada juga komunitas skateboard, kelompok musik seperti rock or die, OI Kupang dan tentu Komunitas Leko Kupang yang senantiasa menjalankan Kencan Buku, lapak baca buku gratis sejak tahun 2017.

Kejadian semalam (19/10), lampu padam. Itu bukan pertama kalinya, tapi sudah berkali-kali, tidak terhitung jumlahnya. Selain beberapa tiang tanpa bola lampu yang sudah sepantasnya dijadikan ‘besi tua’, faktor penyebab utama dari padam lampu tersebut adalah meteran yang kehabisan pulsa (listrik).

Itu malam, bertepatan dengan jadwal Kencan Buku. Empat pegiat di Komunitas Leko yang bertugas, sudah mulai menggelar lapak baca gratis tepat pukul 17.45 Wita. Cahaya dari sisa senja yang nyaris hilang masih ada. Para pegiat dan pengunjung di Tamnos masih bisa melakukan aktivitas membaca. Tigapuluh menit kemudian, sisa senja benar-benar hilang. Area di sekitar Tamnos, di dekat Gong Perdamaian mulai gelap.
Bias cahaya dari kios dan warung-warung di Tamnos

Cahaya lampu dari warung dan kios-kios di sekitar Tamnos, pun terhalang oleh beberapa pohon lontar. Aktivitas membaca, mutlak tidak bisa dilangsungkan. Dipaksakan, sudah tentu bikin mata rusak.

Duapuluhlima menit, para pegiat dan pengunjung menanti, lampu sesegera mungkin menyala, entah oleh siapa yang bertanggungjawab atau mungkin restu semesta (ini konyol). Tapi, tidak ada tanda-tanda. Para pegiat dan pengunjung memilih, memindahkan lapak ke salah satu sudut tepat di bawah tulisan TAMAN NOSTALGIA KOTA KUPANG.


Setelah lapak kembali digelar, aktivitas membaca pun kembali normal diselimut cahaya kuning. Berlama-lama, lagi-lagi bisa bikin mata rusak. Itu sebabnya, para pegiat menyiasati dengan adanya diskusi tematis, perform art dan obrolan lepas lainnya.

Kebetulan malam kemarin, para pegiat membuka ruang diskusi tentang buku dan ilustrasi. Buku pilihan yang didiskusikan adalah kumpulan cerpen ‘Kode Etik Laki-Laki Simpanan’ karya Robertus Aldo Nishauf. Buku terbitan perdana Buku Fanu ini, habis terjual pada cetakan pertama, telah menyebar dan dibaca di mana-mana.

Kumcer tersebut diberi ilustrasi oleh seorang seniman dan seniwati muda asal NTT, Armando Soriano dan Merlin Mare. Tapi hingga saat ini, sebagian besar pembaca masih bertanya-tanya, siapa itu Robertus Aldo Nishauf? Lupakan ini, kita kembali ke

Sebelum diskusi dimulai, saya kembali ke tempat semula, di dekat Gong Perdamaian. Area di sekitarnya masih gelap, ya gelap, hanya ada sedikit titik cahaya dari kios-kios itu. Sempat tidak nyaman, sebab di beberapa sudut yang gelap itu, beberapa pasangan anak muda duduk berhadap-hadapan, saling mengelus pipi, merapikan rambut yang sebenarnya sudah rapi, suap-suapan, dan beberapa aksi yang kurang pantas untuk diumbar.

“Mungkin karena lampu padam,” bisik hati seperti itu. Ya sudah, itu urusan dan hak mereka. Urusan yang lebih penting adalah bagaimana mungkin itu lampu masih saja padam. Ini tempat umum, dijangkau publik di Kota Kupang, ini demi kenyamanan.

Saya mengecek meteran di bawah tiang lampu itu, benar, stok pulsanya masih nol rupiah. Dua minggu yang lalu, tepatnya 5 Oktober 2019, hal yang sama terjadi. Lampu padam. Saya dan beberapa teman sudah sempat ‘patungan’ uang untuk melakukan pengisian ulang, tapi terlanjur diisi oleh perwakilan dari sebuah komunitas. Tentu bukan pihak pengelola, apalagi pemerintah atau instansi terkait.

Di lapangan basket, beberapa anak muda dari Komunitas Raskal berlatih dalam suasana gelap. Saya menghampiri seseorang di antara mereka. Namanya Ari Mantolas, ia sudah lama bergabung dalam komunitas tersebut.

Lampu padam, gelap, tapi mereka masih memaksakan diri untuk berlatih. Itu intensi saya menjumpai dan berbincang bersama Ari. “Selain di sini (lapangan basket Tamnos), kami tidak bisa berlatih di tempat lain. Kalau gelap begini, kami terpaksa latihan, lumayan ada cahaya dari kios di depan,” ungkap Ari meyakinkan.

Obrolan panjang terjadi di antara kami. Mulai dari sharing komunitas hingga mengarah pada lampu yang padam itu. Ia baru sadar. “Penerangan di sini, kalau pas lampu padam begini, biasanya katong batambah uang dari sesama pemain ko isi pulsa. Kalau sonde ada uang, ya katong main gelap-gelap begini.”

Ari mengisahkan kalau mereka sudah sering melakukan pengisian ulang pulsa. Pernah mereka menghubungi instansi terkait, tapi penerangan diatasi hanya dalam satu bulan. Setelahnya, lagi-lagi mereka melakukan pengisian. Komunitas Leko sendiri pun sudah pernah melakukan pengisian ulang sebanyak tiga kali.

Ari bersama teman-temannya berharap agar penerangan di Tamnos dapat dikelola dengan lebih baik lagi oleh pihak yang bertanggungjawab. “Pemerintah harus memperhatikan infrastruktur di sini. Hal kecil itu macam pantau pulsa listrik di meteran. Ini kan fasilitas publik, jadi masyarakat harusnya nyaman kalau ke Tamnos.”

Di lain pihak, saya menjumpai seorang pengunjung yang tengah asyik berbincang bersama temannya. Aditya Baskara, namanya. Ia lebih banyak ke Tamnos di malam minggu. “Lampu padam sih tidak terlalu bermasalah ya. Cuma kecewa, kalau lampu padam, terus dimanfaatkan untuk buat hal-hal tidak senonoh. Itu juga mengganggu kenyamanan kita yang berkunjung.”

Intensi yang diungkapkan Ari, Aditya dan para pengunjung tentu sama, yakni soal kenyamanan di Taman Nostalgia. Pemerintah dalam kasus ini, belum mampu menjamin sekaligus menjawab tugas mereka sebagai pelayan publik.
Suasana diskusi, buku dan ilustrasi dalam kumcer 'Kode Etik Laki-Laki Simpanan' karya Robertus Aldo Nishauf.

Di jalanan, di sudut-sudut Kota Kupang, lampu-lampu hias bertengger di mana-mana. Indah memang untuk dipandang, tapi satu titik pencahayaan yang bermanfaat bagi lebih banyak orang lagi, lalai diperhatikan. Ini di ibu kota provinsi, belum lagi kampung-kampung nun jauh di sana yang masih bertahan dengan asap pelita yang menyumbat lubang hidung saat anak-anak tengah belajar di malam hari.

Sampai kapankah komunitas-komunitas harus ‘patungan’ untuk mengatasi penerangan di Tamnos? Mungkinkah sesudah presiden dan wakil presiden dilantik? Kalaupun iya, hanya akan ada kenang bahwa dalam gelap, sebagian orang cemas dan gemas jelang pelantikan presiden dan wakilnya.

Selamat atas pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, periode 2019-2024!

Kupang, 20 Oktober 2019
HET

Related Posts: