LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Januari 2020

Menjawab Gugatan Pemutusan Akses Internet di Papua, Jokowi Mengutus Lima Pengacara Negara

Jakarta, LekoNTT.com - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara gugatan pemutusan akses internet di Papua yang diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers dengan agenda mendengar jawaban Presiden RI Joko Widodo selaku pihak Tergugat II. Sidang yang digelar di Gedung PTUN Jakarta, Jalan Pemuda, Rawamangun, pagi tadi (29/1) dipimpin Hakim ketua Nelvy Christin, S.H., M.H, serta hakim anggota Baiq Yuliani, S.H dan Indah Mayasari, S.H., M.H.
Suasana sidang lanjutan perkara gugatan internet shutdown di PTUN Jakarta, Rabu (29/1/2020). (Foto: SAFENet)

Presiden RI akhirnya memberikan jawaban dengan mengutus lima kuasa hukum dari jaksa pengacara negara, setelah pada persidangan sebelumnya dinyatakan mangkir. Selanjutnya, seperti pada agenda sidang pertama, penyampaian jawaban tergugat dibacakan langsung majelis hakim.

Dalam eksepsi, Presiden menyampaikan jawaban yang serupa dengan eksepsi yang dilakukan Kemkominfo RI pada pekan sebelumnya (22/1), yakni menyebut gugatan para penggugat error in persona (salah pihak), para penggugat juga dinilai tidak berhak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) dan dinilai isi gugatan kabur (obscuur libel).

Kuasa Hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Ahmad Fathanah Haris menyebutkan, dalil yang diutarakan Tergugat II dalam jawabannya keliru. "Secara garis besar dalam jawaban Tergugat II,  gugatan para penggugat tidak mempunyai legal standing untuk menggugat. Namun dalam fakta hukumnya, siapapun dapat mengajukan gugatan  bilamana terdapat hal yang merugikan terhadap tindakan tersebut," kata advokat publik dari LBH Pers ini melalui keterangan pers yang diterima LekoNTT.com, Rabu (29/1).

Ahmad mengatakan, pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat dirasakan para wartawan yang merupakan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia selaku penggugat I, dan anggota SAFEnet selaku penggugat II. Dalam kasus tersebut, AJI dan SAFEnet mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme hak gugat organisasi. "Karena anggota dari para penggugat yang merasakan langsung," sambungnya.

Selain itu dalam jawaban Tergugat II yang dibacakan oleh Ketua majelis hakim Nelvy Christin, Presiden RI mendalilkan dalam pokok perkara, objek sengketa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Selain itu, tergugat II juga meminta majelis hakim menyatakan tindakan Presiden RI yang sependapat tindakan Kemkominfo RI yang menjadi objek gugatan pemutusan akses internet, pelambatan dan perpanjangan pemutusan akses adalah bukan perbuatan melawan hukum.

Baca juga: Presiden Jokowi Mangkir dari Sidang Perdana Gugatan Internet Shutdown

Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Muhammad Isnur menegaskan, tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19 - 20 Agustus 2019, dilanjutkan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan perpanjangan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019 menjadi dasar gugatan. AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan bahwa Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah karena tidak mematuhi hukum dan melanggar asas pemerintahan yang baik.

"Persoalan kebijakan pemutusan internet di Papua lalu menunjukkan pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Indonesia adalah negara hukum sehingga tindakan ini bila tidak didasari oleh aturan hukum yang berlaku dan hanya berdasar pada permintaan dari pihak keamanan saja, maka dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum." katanya.

Setelah mendengar jawaban dari Presiden RI, sidang akan dilanjutkan pada 5 Februari 2020 dengan agenda Replik dari Tim Pembela Kebebaasan Pers. Ketua Majelis Nelvy Christin mengatakan, pihaknya menargetkan seluruh agenda sidang berjalan sesuai jadwal sehingga putusan dapat dilakukan pada Mei 2020 atau sebelum hari raya Idul Fitri mendatang.

"Kami berusaha menyusun jadwalnya dan kalau ini semua tepat waktu itu juga akan berakhir di bulan lima (Mei, red) dan kita usahakan sebelum itu. Kita berharap tidak lebih lima bulan. Karena sekarang MA cukup ketat, kalau merah majelisnya langsung ditegur. Apakah kita akan sidang seminggu dua kali atau cukup seminggu sekali sehingga semua pihak mohon dipersiapkan semua," jelasnya. (het)

Related Posts:

Komite Keselamatan Jurnalis Kecam Penahanan dan Pemidanaan Jurnalis Mongabay Philip Jacobson


Jakarta, LekoNTT.com - Komite Keselamatan Jurnalis mengecam penahanan dan pemidanaan Philip Jacobson, editor Mongabay, atas masalah administrasi. Philip Jacobson ditahan di Rumah Tahanan Palangkaraya atas dugaan pelanggaran visa oleh Imigrasi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Selasa, 21 Januari 2020. Philip diduga melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.
Philip Jacobson, Editor Mongabay. (Foto: Ist)

Philip sebelumnya telah menjadi tahanan kota selama 1 bulan. Dia ditahan pada 17 Desember 2019 selepas mendatangi acara dengar pendapat antara DPRD Kalimantan Tengah dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Sasmito Madrim melalui keterangan tertulis yang diterima LekoNTT.com (23/1) menilai penahanan dan penetapan status tersangka Philip Jacobson sangat berlebihan dan mencoreng demokrasi di Indonesia. Menurutnya, tindakan Philip yang mengikuti rangkaian kegiatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) termasuk menghadiri audiensi DPRD merupakan bentuk aktivitas yang masih sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku.

"Tindakan penahanan dan pemidanaan yang berlebihan ini juga membangkitkan kecurigaan terhadap motif pemerintah. Jangan sampai ada dugaan penahanan itu adalah refleksi sikap antikritik dan sensitivitas yang berlebihan atas laporan-laporan investigasi lingkungan yang diterbitkan Philip Jacobson di Mongabay," ungkap Sasmito.

Ia pun menegaskan posisi Philip sebagai editor Mongabay, media massa yang aktif menyoroti isu permasalahan lingkungan yang salah satunya terjadi di Indonesia. "Beberapa berita yang pernah dimuat di Mongabay di antaranya adalah kerusakan hutan dan lingkungan di Papua, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah wilayah lain. Selain itu, Mongabay juga menyoroti konflik lahan antara masyarakat adat dan sejumlah perusahaan serta antara masyarakat adat dan pemerintah."

Ade Wahyudin, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers ketika dihubungi LekoNTT.com mengatakan, penanganan terhadap kasus Philip Jacobson seharusnya tidak ditindak secara pidana, karena jurnalisme bukan kejahatan. "Pemidanaan terhadap jurnalis juga menjadi catatan buruk Indonesia di kalangan komunitas internasional," lanjutnya. Ade pun mengungkapkan, saat ini Komite Keselamatan Jurnalis terus melakukan komunikasi dengan pengacara di lokasi terkait kasus yang dialami Philip.

Baca juga: Imigrasi Palangka Raya Tahan Jurnalis Mongabay Philip Jacobson

Atas tindakan tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menuntut agar Kantor Imigrasi Palangkaraya segera melepaskan dan membebaskan Philip Jacobson dari jerat pidana. Komite menilai, dalam kasus tersebut tidak ada tindak pidana yang dilakukan oleh jurnalis Mongabay Philip Jacobson.

Selain itu, komite juga meminta Presiden Jokowi memastikan tidak ada upaya kriminalisasi jurnalis dan pers karena hal tersebut dapat mencoreng nama baik Indonesia dalam komunitas pers di Internasional. Presiden Jokowi harus memastikan keterbukaan informasi dan akses jurnalis asing untuk meliput di Indonesia atas dasar kebebasan pers, keterbukaan informasi, dan hak asasi manusia.

Untuk diketahui, Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 5 April 2019. Komite ini beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Komite Keselamatan Jurnalis, secara khusus bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. (het)

Related Posts:

Presiden Jokowi Mangkir dari Sidang Perdana Gugatan Internet Shutdown


Jakarta, LekoNTT.com- Persidangan perdana gugatan internet shutdown dilangsungkan pada Rabu (22/1/2020) bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFEnet, YLBHI, LBH Pers, KontraS, Elsam, dan ICJR.
Presiden Joko Widodo (Foto: Ist)

Persidangan yang dimulai tanpa dihadiri tergugat yaitu Presiden Jokowi tersebut, hakim ketua PTUN Jakarta membacakan obyek gugatan yang dipermasalahkan yakni tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19 - 20 Agustus 2019, tindakan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan lanjutan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019.

Atas dasar tersebut, kuasa hukum dari AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan bahwa Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah karena tidak mematuhi hukum dan melanggar asas pemerintahan yang baik.
Persidangan perdana gugatan internet shutdown, Rabu, 22 Januari 2020. (Foto: SAFEnet)

"Sidang ini merupakan sidang pertama gugatan kepada Presiden Jokowi lewat mekanisme PTUN. Sidang ini juga penting karena kami mempersoalkan tentang pelambatan akses yang terjadi yang kemudian disusul dengan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu," ungkap Muhammad Isnur dalam keterangan Tim Pembela Kebebasan Pers yang diterima LekoNTT.com, Kamis (23/1). Isnur pun mengatakan, yang menjadi tergugat adalah Menkominfo, tetapi juga sekaligus Presiden Jokowi yang menjadi atasan dari Menkominfo sebagai pihak yang seharusnya mengetahui dan dapat mengintervensi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Menkominfo.

Ia menilai, persoalan kebijakan pemutusan internet di Papua lalu menunjukkan pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. "Indonesia adalah negara hukum sehingga tindakan ini bila tidak didasari oleh aturan hukum yang berlaku dan hanya berdasar pada permintaan dari pihak keamanan saja, maka dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum," ungkap Isnur selaku kuasa tim hukum kebebasan pers.
Kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan pers. (Foto: SAFEnet)

Hal senada diungkapkan Putri Kanesia, salah satu kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers. Menurutnya, gugatan tersebut dapat menjadi pembelajaran penting bahwa ke depan, Negara tidak boleh secara serampangan melakukan kebijakan pelambatan bandwidth hanya karena alasan menghindari hoax. "Pembatasan ini tidak pernah diuji sehingga berdampak pada ketiadaan akuntabilitas Negara serta merugikan publik, khususnya jurnalis yang bekerja untuk memastikan kebenaran informasi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Papua agar dapat diketahui publik."

Di lain pihak, melalui kuasa hukum tergugat, Menkominfo menyatakan bahwa para penggugat yakni AJI dan SAFEnet tidak memiliki kewenangan sebagai penggugat, sekaligus menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan pada 2019 lalu sudah mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan jawaban dari Presiden Jokowi tidak bisa didengar seusai persidangan, sehingga majelis hakim memutuskan memberi kesempatan kedua pada tergugat Presiden Jokowi untuk memberikan jawaban pada sidang berikutnya, Rabu pekan depan. Kesempatan ini juga akan digunakan oleh pihak penggugat untuk membalas secara sekaligus jawaban yang disampaikan oleh para tergugat.

"Mangkirnya salah satu tergugat yakni Presiden Jokowi dalam persidangan perdana tadi menunjukkan persoalan ini masih dianggap tidak serius. Padahal permasalahan pemadaman internet adalah tindakan yang melanggar hukum internasional," ujar Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet.

Mengacu pada pernyataan bersama PBB pada 2015 menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pemadaman jaringan internet tidak bisa dibenarkan. Tak peduli bagaimana bentuk pembatasan dan pemberlakuannya dan apapun alasannya, pembatasan akses internet dan pemblokiran media sosial tidak pernah setimpal dengan masalah yang mereka sebabkan.

Alasan keamanan nasional dan perang melawan “kabar bohong” pun tidak cukup menjawab dampak sebenarnya dari pemotongan akses informasi terhadap jutaan orang. Pembatasan jaringan dan media sosial juga membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Bahkan Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi David Kaye menyebut bahwa pemadaman akses Internet adalah pelanggaran terhadap hukum internasional. Tindakan ini merugikan akses warga terhadap layanan publik.

Hal paling penting, pelanggaran itu telah merampas hak asasi orang untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, terutama ketika keamanan publik telah terganggu. Jika memang pemerintah peduli untuk menjaga ketertiban umum ketika terjadi peristiwa-peristiwa konflik, pemerintah yang bekerja dengan itikad baik akan memilih untuk meningkatkan transparansi, mendorong penyebaran informasi akurat, secara aktif membongkar kabar bohong, dan menjawab langsung keluhan yang menyebabkan kritik dan keresahan. Justru bukan melakukan pemadaman internet atau membatasi akses ke internet. (het)

Related Posts:

Imigrasi Palangka Raya Tahan Jurnalis Mongabay Philip Jacobson


Palangkaraya, LekoNTT.com - Philip Jacobson, editor pemenang penghargaan internasional, yang bekerja untuk media berita lingkungan Mongabay.com ditangkap karena dugaan pelanggaran visa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Selasa (21/1/20), setelah jadi tahanan kota di sana itu selama sebulan. Jacobson  (30) jadi tahanan kota sejak 17 Desember 2019,  setelah menghadiri sidang dengar pendapat di DPRD Kalteng dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kelompok advokasi hak-hak adat terbesar di Indonesia, soal “peladang” di kalangan adat.
Philip Jacobson, Editor Mongabay.com (Foto: Mongabay)

Jacobson melakukan perjalanan ke Palangkaraya, tak lama setelah memasuki Indonesia dengan visa bisnis untuk serangkaian pertemuan. Pada hari dia akan terbang dari Palangkaraya, pejabat imigrasi menyita paspornya, interogasi selama empat jam dan memerintahkan untuk tetap berada di Palangkaraya sambil menunggu penyelidikan.

Pada 21 Januari 2020, lebih dari sebulan kemudian, ia secara resmi ditangkap dan ditahan. Ia diberitahu bahwa ia menghadapi tuduhan pelanggaran Undang-undang Imigrasi tahun 2011 dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun, dan sekarang ditahan di rutan Palangkaraya.

"Kami mendukung Philip dalam kasus yang sedang berlangsung ini dan melakukan segala upaya untuk mematuhi otoritas imigrasi Indonesia,” kata Rhett A. Butler, Pendiri dan CEO Mongabay. Rhett tidak menyangka bahwa petugas imigrasi mengambil tindakan langkah hukum terhadap Philip atas masalah administrasi.

Penangkapan Jacobson dilakukan tak lama setelah Human Rights Watch mengeluarkan laporan yang mendokumentasikan adanya peningkatan kekerasan terhadap aktivis HAM dan aktivis lingkungan di Indonesia, dan di tengah meningkatnya tekanan terhadap suara-suara kritis.

“Wartawan dan awak media harusnya nyaman bekerja di Indonesia tanpa takut akan penahanan sewenang-wenang,” kata Andreas Harsono, dari Human Rights Watch, yang kenal Jacobson dan mengikuti kasus ini dari awal. Lebih lanjut ia mengatakan, perlakuan terhadap Philip Jacobson adalah sinyal yang mengkhawatirkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan kriminalisasi terhadap suatu pekerjaan yang vital bagi kesehatan demokrasi Indonesia.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan menilai penangkapan terhadap Jacobson adalah respon berlebihan dari pemerintah Indonesia terkait jurnalis yang kritis terhadap isu lingkungan di Indonesia. "Kami menganggap ini berlebihan karena menggunakan isu administrasi untuk menahan orang," ungkap Abdul Manan, sebagaimana dilansir BBC News Indonesia, Rabu (22/1).

Abdul juga menandaskan bahwa pemerintah Indonesia lebih alergi terhadap kritik. Menurutnya, peristiwa yang dialami Philip tidak bisa dibiarkan, sebab di waktu lain, peristiwa itu bisa saja menimpa yang lain, termasuk wartawan-wartawan Indonesia.
Kebakaran Hutan dan Lahan di Palangkaraya, Kalteng. (Foto: iNes/ Ade Sata)

Kronologis kasus keimigrasian Philip Jacobson:

Philip Jacobson adalah karyawan Mongabay, sebuah organisasi berita sains lingkungan nirlaba. Jacobson adalah editor Mongabay.com yang membagi waktunya antara Indonesia dan AS, negara asalnya. Kronologi ini menguraikan peristiwa yang puncaknya pada kasus penahanan Jacobson di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

14 Desember: Jacobson melakukan perjalanan dengan multiple-entry business visa, tiba di Palangkaraya, ibu kota provinsi Kalimantan Tengah, untuk bertemu dengan pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebuah kelompok advokasi hak-hak adat.

16 Desember: Jacobson menghadiri dialog di gedung parlemen daerah, DPRD Kalimantan Tengah dan cabang AMAN setempat.

17 Desember: Jacobson dijadwalkan terbang keluar dari Palangkaraya, tetapi sebelum dia bisa pergi ke bandara, petugas imigrasi pergi ke wisma tempat dia menginap dan menyita paspornya. Para pejabat memerintahkan Jacobson untuk datang pada hari berikutnya untuk diinterogasi. Diketahui kemudian bahwa seseorang telah memotret Jacobson di gedung parlemen dan melaporkannya ke imigrasi.

18 Desember: Di kantor imigrasi Jacobson diinterogasi tentang kegiatannya. Pihak berwenang mengambil pernyataan resmi, yang dikenal sebagai BAP, dan memerintahkan Jacobson untuk tetap di Palangkaraya sementara mereka melanjutkan penyelidikan.

20 Desember: Kedutaan Besar AS menelepon kantor imigrasi, disebutkan bahwa mereka tidak akan memberikan batas waktu untuk investigasi atau proses administrasi.

24 Desember: Jacobson ketinggalan penerbangan internasional keluar dari Indonesia, untuk liburan Natal dan Tahun Baru.

26 Desember – 7 Januari: Imigrasi terus mengelak tentang jadwal waktu untuk proses administrasi.

9 Januari: Jacobson dipanggil ke kantor imigrasi, di mana dia menerima surat resmi yang mengatakan dia dicurigai melakukan pelanggaran visa dan sedang diselidiki. Pihak berwenang menyatakan bahwa selama Jacobson tetap kooperatif, dia akan tetap menjadi tahanan kota, daripada ditahan di sel imigrasi.

21 Januari (Hari 36): Petugas imigrasi mendatangi wisma tempat menginap Jacobson dan memerintahkannya untuk mengepak barang-barangnya dan ikut bersama mereka. Dia ditahan dan dipindahkan ke pusat penahanan.

Sumber: Rilis Pers Mongabay.com, 21 Januari 2020

Related Posts: