LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Juni 2019

Pantun Anak Timor



Foto: Istimewa 

Salam jumpa di awal kata
Beta datang membawa cinta
Mari katong bercita-cita
Untuk Timor tanah tercinta
  
Sungguh enak jagung pempasu
Dimasak nona Bijaepasu
Timor berlimpah madu dan susu
Beta sonde berkata palsu
  
Jagung bose dimakan Ose
Ditambah se’i satu kilo
Ose lu jangan talalu lebe
Bagi itu se’i satu kilo
  
Bapak Lipus menggali mangan
Muka hitam tangan babatu
Orang Timor jang lupa pertanian
Deng dia pung saudara peternakan
Ada OBAMA di Niki-niki
Artinya Ojek Bawa Mangan
Ada OSAMA bukan bin Laden
Artinya Ojek Sampai Mati

Setelah nikmat menyantap katemak
Reguklah seteguk Tu’a Nakaf Insana
Jangan tidur ayo bergerak
Bangun Biboki Miomafo Insana

Di tepi sungai Noelmina
Beta duduk membakar ubi
Jalan putus dimana-mana
Masalah datang bertubi-tubi

Cendanaku sayang cendanaku malang
Harum cendana lembutkan keriting
Sekarang mangan makan orang
Gali tasalah nyawa malayang

Anak Timor bermain Juk
Sambil bernyanyi sol la sol mi sol
Bukan kami sekedar berlagak
Anak Timor bersaing global

Dari mana datangnya nona
Dari Oinlasi ke Kota Soe
Hati riang di mana-mana
Tanah Timor selalu bae

Bapak Cornelis Bapak Disiplin
Ajar kami nilai kehidupan
Mama Martina selalu ingatkan
Ingat berdoa kerja yang rajin

Ujung kata kalimat akhir
Tak sanggup lagi ini bibir
Sampai di sini beta bertutur
Beta tak mungkin mau kabur….




Amanche Franck Oe Ninu, Imam Katolik Keuskupan Agung Kupang. Ia lahir di Eusleu Niki-niki, 06 Februari 1983. Ia menamatkan Sekolah Dasar di SDK Yaswari Niki-niki III. Kemudian Sekolah menengah pertama di SMPK Santo Aloysius Niki-niki. Cita-citanya untuk menjadi Imam diwujudnyatakan dengan masuk ke  SMU Seminari Menengah Santo Rafael Oepoi Kupang dan Seminari Tinggi TOR Lo’o Damian Emaus Nela Atambua. Dan akhirnya di  Fakultas Filsafat Agama UNWIRA dan Seminari Tinggi Sint Mikhael Penfui Kupang. Amanche  pernah menjadi Ketua Kelompok Menulis di Koran dan Komunitas Sastra, serta pemimpin redaksi jurnal sastra FILOKALIA di Seminari Tinggi Sint Mikhael Penfui Kupang tahun 2010-2011. Kini mendapat kepercayaan sebagai Kepala Sekolah SMP Santo Yoseph Naikoten Kupang, salah satu penasehat Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Karya-karyanya yang telah diterbitkan jadi buku antara lain "Humor Anak Timor" dan "Pesona Flobamora". Ia juga rutin menulis Kusu-Kusu di Jurnal Sastra Santarang yang diterbitkan Penerbit Dusun Flobamora. Ia pernah diundang sebagai penulis dalam event Ubud Writers and Readers Festival (2012). Selain karya tulis, salah satu karyanya yang fenomenal adalah "Adik Menangis Satu Malam".

Related Posts:

Pulang | Puisi-Puisi Ricky Ulu


setelah nelci


anak-anak tetap berjalan
ke sekolah dengan mimpi
yang seragam, menenangkan

seekor anjing dalam kepala
:menjadi orang tua yang serius.

senin tetap ada, dunia tetap
berputar dalam irama tebe

di bawah mata Tuhan
yang nanar menerjemahkan

berapa air mata
untuk membayar
sebuah kepulangan.

setelah nelci, semuanya
baik-baik saja, sepertinya


Pulang 2

1.
pagi yang kuning, daun jati
dan asap di jalan

2.
jauh di bawah sana, laut
kudengar dari matamu,
sepasang camar, lampara
tak lain rinduku yang selalu
tahu harus berlabuh di mana

3.
Adakah yang lebih sakit
dari setiap kepulangan yang
selalu dibaca kepergian?

4.
Untuk menampung pulangmu
Tuhan rela menjadi peluk
mahalapang di depan pintu :hatiku

5.
Puisi akan memadamkan
arah ketika pulang
selalu berarti namamu



Dalam Warung

Kota ini menciptakan
Tuhan dari semangkok
bakso ketika hujan

kehilangan basahnya. lembap
ciummu menjadi jalan raya
yang memanjang sampai

hari itu, kita menghitung
jumlah penumpang yang tertinggal
di terminal padahal ada janji

pulang dan menghabiskan
segelas teh di beranda
puisi. Hanya kita
yang tertinggal saat itu, sayang.
kau tertinggal di bibirku
dan aku hanyalah kekalahan

di semua puisi-puisi
ini. Tuhan adalah mangkok
bakso kesukaanmu

ketika sekali lagi
ciummu kurasa di ujung
bibirku
yang dingin.


Ricky Ulu lahir di Dili, 27 Juli 1993. Bergiat di Komunitas Leko Kupang, Penggagas Komunitas Pohon Asam.

Related Posts:

Trotoar di Kupang Tidak Ramah Disabilitas, Berikut Pemandangannya

Kupang, LekoNTT.com - Trotoar adalah tepi jalan raya yang terletak sedikit lebih tinggi, tempat untuk orang berjalan kaki. Baik pejalan kaki normal maupun penyandang disabilitas sama-sama memiliki hak akses yang sama atas trotoar jalan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas sendiri, mengharuskan pemerintah untuk mewujudkan Kota Ramah Disabilitas (KRD).

Pemandangan guiding block di  Jl. Cak Doko, Kupang. Foto: Leko NTT

Namun, bagaimana bila kota tidak memerhatikan fungsi trotoar untuk penyandang disabilitas?

Pada hari Rabu (22/5/2019), reporter LekoNTT.com berjalan kaki dari Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Jalan Tompello, sampai ke Pos Polisi di Jalan El Tari, untuk melihat bagaimana penataan trotoar bagi pejalan kaki dan penyandang disabilitas.

Di ruas jalan tersebut, sudah ada guiding block khusus tuna netra, tetapi penataannya masih terkesan asal-asalan, tanpa tahu akan maksud dan kegunaannya. Ada guiding block yang mengarahkan  pengguna untuk menabrak pohon, ada juga yang mengarahkan pengguna untuk terjun ke selokan. Selain itu, ada juga beberapa penghalang lain yang tidak hanya akan menyulitkan penyandang tunanetra, tetapi juga penyandang difabel yang lain dan manusia normal pada umumnya. Penghalang itu seperti pot, jembatan kayu, tiang, maupun kendaraan yang diparkir sembarangan.

Berikut foto-foto yang dikumpulkan oleh reporter kami sepanjang jalan dari Perpustakaan Daerah Propinsi NTT menuju Pos Polisi di Jalan El Tari, melalui Jalan Cak Doko (lajur kiri). Semoga bermanfaat.


















Related Posts:

Mengenal Pemburu Kepala Manusia dari Pulau Timor

Kores memegang senjata ayahnya dengan bangga. Itu adalah sebilah kelewang pendek yang terbungkus dalam kain tenun dan dua bilah tombak kayu yang kasar.

Tatapannya telah memudar. Sebelah matanya menutup, lenyap seperti gigi-giginya. Ada sebuah gondok di bagian belakang tengkoraknya yang lebih besar dari lingkar pipinya.
Ia tak bisa lagi mengunyah sirih-pinang. Ia menumbuk bebijian itu di dalam sebuah tabung besi kecil, sebelum memasukkannya ke mulut untuk menyenangkan gusinya.


“Apakah ayahmu memenggal juga kepala perempuan dan anak-anak, atau hanya laki-laki?” aku bertanya.
“Anak-anak?” Ia mengulangi, dan menatap menantunya untuk memastikan. “Lebih baik menantu saya saja yang bercerita. Ingatannya masih kuat.”
Andreas, menantu Kores, yang tampak bercahaya dalam balutan kaos merah beriklankan tas plastik, dan mengenakan sebuah sarung kemerahan – semerah noda sirih-pinang di bibirnya, angkat bicara. Selain menguasai Bahasa Indonesia dengan lebih baik daripada ayah-mertuanya, ia juga bisa menulis. Ia baru saja tiba dari sebuah pertemuan adat, menenteng sebuah buku catatan. Dua anaknya yang kecil-kecil menyembunyikan kepala mereka ke dalam sarungnya, mendongak dari waktu ke waktu – dua orang penyusup berwajah pucat.
“Tidak,” katanya. “Kami tak pernah mengambil kepala anak-anak. Sudah delapan generasi tidak pernah. Delapan generasi…” ia berhenti sebentar untuk membuang ludah merah sirih-pinang, “Kami hanya mengambil kepala laki-laki dewasa.”
Asap dari tungku menampar wajah Z. Z terbatuk-batuk.
Keluarga itu terlihat keheranan. Asap sama sekali tak mengganggu anak-anak di kampung ini. Mereka telah terbiasa kena asap sejak lahir.
Kami sedang berada di Timor – Indonesia Timor – di sebuah kampung bernama Nome, yang diduga adalah kampung pemburu kepala terakhir yang masih bertahan.
Ini tempat yang tak biasa. Pondok-pondok berbentuk sarang tawon yang pendek dan melingkar, diatapi alang-alang yang telah menghitam sampai ke tanah karena asap, berjejer di atas tanah liat yang cerah, dikelilingi oleh pohon-pohon lontar dan, anehnya, pohon kayu putih.


Posisinya menunjukkan betapa kampung ini pernah menjadi sebuah kampung dengan benteng yang menakjubkan.
Sebuah pagar tembok dari batu karang yang bergerigi, yang telah dihancurkan untuk jalan dan pagar ladang, masih berdiri setengah meter tingginya, dan pernah berdiri setengah meter lebih tinggi lagi. Kaktus liar berbaris di atasnya, sisa-sisa pagar yang kokoh, dengan sejenis kawat duri alami.
Tebing menjulang setinggi 60 atau 70 meter di tiga sisi kampung ini, ditutupi pepohonan yang menjadi perisai pertahanan, sekaligus menawarkan pemandangan yang luar biasa.
“Ini adalah tempat mereka merencanakan penyerangan,” Aka, pemandu kami menjelaskan, saat kami berdiri di panggung kecil yang teduh tempat para pemburu mengadakan pertemuan. “Jika mereka datang dari utara, mereka mengukur sebatang tongkat dengan jarinya ke arah utara, dan jika jarinya tidak mencapai tengah, orang itu akan mati.”
Salah satu dari pemuda-pemuda kampung itu memeragakannya, memutar-mutar tongkat itu dan menjulur-julurkan tangannya.
“Hanya begitu saja caranya?” aku bertanya.
“Tidak,” ia menjawab, “mereka bisa mencoba lagi kedua kalinya. Jika kembali gagal, mereka mencari jawabannya di dalam telur. Jika ada darah di dalam telur, laki-laki itu akan mati.”
Aku mengangguk. Kami mengambil foto di dekat tiang takhta di bawah cengkeraman pohon ara. Pohon yang disucikan di seluruh Asia – di banyak tempat, mereka menyebutnya pohon Budha – dan menjadi rumah untuk para pendahulu suku.


Di luar pondok baru mereka, istri Kores tersenyum lebar dan menyodorkan semangkuk ubi jalar, umbi berwarna pucat yang masih segar dari tanah merah. Aku mengambil satu, mengupas dan menggigitnya. Sangat lezat.
“Apa yang kemudian mereka lakukan dengan dengan kepala-kepala itu?” Z bertanya.
Aku mengulanginya, dan Aka menerjemahkannya dalam Bahasa Dawan. “Apa yang kemudian mereka lakukan dengan kepala-kepala itu? Lalu, bagaimana dengan tubuh-tubuh tak berkepala itu?”
“Raja mengambil kepala-kepala itu. Raja Nope. Para ksatria menunggui kepala-kepala itu empat hari empat malam, lalu mereka memberikannya pada raja.”

“Tubuhnya?”
“Mereka meninggalkan tubuhnya di sana.”
“Apa yang kemudian dilakukan kepada kepala-kepala itu?”
“Tuan raja! Tuan raja menyimpannya.”
“Apa yang terjadi pada kepala-kepala itu sesudah orang-orang tidak diizinkan untuk berburu kepala lagi?”
Hening. Tak ada yang tahu.
Saat mereka menceritakannya – siapa yang tidak menceritakan kisah leluhurnya dengan baik? – perburuan kepala di Nome terdengar seperti ritual yang positif dan dihormati.
Seorang lelaki sudah harus mencapai usia empat puluh untuk diizinkan berburu kepala manusia. Hanya lelaki-lelaki terkuat yang bisa ikut berburu kepala – sebuah praktek yang, dalam istilah evolusi, terdengar seperti cara menentukan pemimpin.
Ksatria-ksatria yang terhebat, seperti tiga orang bersaudara yang terkenal, Oni, Boi dan Kao, akan dianugerahi pangkat “Meo” – ini seperti proses penentuan para ksatria pada abad pertengahan.
“Di mana kampung lain yang berburu kepala manusia di sekitar sini?”
“Hanya Nome.”
“Jadi, tak ada kampung lain yang berburu kepala orang? Hanya kalian?”
Hanya mereka. Hanya ksatria-ksatria mereka yang memburu kepala pria di kampung yang lain. Meski begitu, ada dua kerajaan lain di wilayah ini yang mempunyai pemburu kepala juga – begitu kata mereka kemudian.
Saat ksatria memasuki kampung, kepala-kepala bergantungan di bahu mereka, darah mengental di sekitar leher-leher yang telah terpotong itu, dan seluruh penduduk kampung, laki-laki, perempuan dan anak-anak, akan merayakannya, makan, minum dan menari di dalam benteng.
Kebanyakan rumah di kampung ini masih berdiri seperti adanya di masa perburuan kepala manusia. Sentuhan modernitas di tempat ini lebih sedikit, dibandingkan dengan rumah-rumah panjang di Borneo.


Tak perlu dipertanyakan lagi, ini adalah strategi pertahanan yang bagus.
Z, di usianya yang sepuluh tahun, hampir sama tingginya dengan laki-laki dewasa di kampung ini, harus membungkuk dua kali lipat saat ingin masuk ke dalam pondok tawon itu. Di situ, di pondok itu, seorang ksatria pemberani mati secara mengerikan dan dalam ketakpantasan.
Apakah begitu cara hidupnya hidup?
Pondok bundar ini memiliki diameter kurang lebih tiga meter. Tinggi pintunya kurang dari satu meter. Langit-langitnya satu meter lebih sedikit dari atas permukaan tanah. Di kasau-kasaunya, tergantung bulir-bulir jagung yang diasapi di atas tungku api; tungku api yang memanggang seisi ruangan itu sampai hitam berjelaga.

Di situ tidak ada jendela. Tidak ada cerobong asap. Saat pintu ditutup, asap merembes keluar melalui celah-celah pintu dan setiap celah alang-alang yang terlepas di atap.
Saat seorang bayi lahir di kampung ini, ari-arinya dikuburkan di lantai pondok, dan ditutupi dengan sebuah batu besar pipih.
Ibu dan bayinya harus menghabiskan empat puluh hari empat puluh malam pertamanya hanya di dalam pondok saja, diasapi seperti ikan kering – dan sebagai seorang perokok, saya tidak dengan asal saja memilih frasa ini.
“Ya Tuhan,” Z terlonjak, “pasti sangat besar tingkat kematian bayi di sini. Bayangkan semua kutu, serangga dan penyakit yang ada di dalam sana.”
“Tidak,” Aka berkata, “kaulihat anak-anak kampung itu? Mereka sehat dan kuat.”
Kelihatannya begitu. Mereka adalah anak-anak paling beringus yang pernah kulihat di Indonesia. Kemungkinan besar diakibatkan oleh terlalu banyak menghirup asap, meski tentu saja mereka tidak lebih beringus dari bocah-bocah di sebuah kelas Bahasa Inggris musim panas.


Tapi mereka berlarian ke sana kemari dengan kuat dan gembira, anak-anak yang periang.
Perburuan kepala manusia di Nome dihentikan pada tahun 1942, cerita dilanjutkan kembali. “Saat kemerdekaan,” begitu Kores menjelaskan.
Dalam logika seorang Eropa, tentu saja angka tahun itu mengagetkan. Aku menghitung kemerdekaan Indonesia dimulai di tahun 1945. Saat Perang Dunia II berakhir, Jepang pergi dan pemerintahan baru memproklamasikan kemerdekaan (meski Belanda tidak mau menyerah sampai tahun 1949).
Orang-orang ini menghitung kemerdekaannya dimulai sejak Jepang menghalau bangsa Belanda di tahun 1942.
“Kenapa dihentikan?” aku bertanya.
“Tidak diizinkan,” ia menjawab.
“Polisi?” Aku bertanya.
Ia diam lagi dan pertanyaanku menghadapi kebuntuan.
Aku menduga – dan ini adalah murni dugaan tak berdasar – bahwa pemimpin Indonesia di masa sesudah kemerdekaan diam-diam berbicara dengan raja mereka, mengatakan bahwa perburuan kepala manusia  tidak bisa dilakukan dalam pemerintahan modern…
Tampaknya, perburuan kepala ini, jujur saja, tidak mengganggu pemerintahan Belanda. Kita sendiri telah mempelajari, bahwa di Kepulauan Rempah ini, seseorang dapat melakukan pembunuhan massal hanya untuk membalaskan kematian anjingnya. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat di timur Indonesia tidak mengenal hukum lain di luar hukum adatnya, sering hingga beberapa dekade sesudah kemerdekaan.
Saya tidak yakin apa yang membuat saya dan Z merasakan sesuatu. Yang jelas, bukan persoalan perburuan kepala yang mengganggu kami. Ya, bagaimanapun juga, itu cukup bisa diterima sebagai cara hidup seorang ksatria.
Ini masalah asapnya!


Beberapa hari di Indonesia Timur, kami telah pernah tidur di bawah para-para dari papan tempat penampungan daun kelapa, di atas karung beras di sungai yang telah mengering, kencing di semak dan cebok dengan dedaunan, menyaksikan kerbau dikurbankan dan para pria saling hantam sampai mampus dengan tanduk kerbau, dan bertemu para pemburu-peramu nomaden, yang ke mana-mana membawa jimat dalam sabuk rotan.
Kami bisa melihat sisi pesona dari gaya hidup seperti itu. Itu sesuatu yang berbeda, tentu saja. Tetapi masih bisa dipahami.


Namun pengasapan di dalam ruangan gelap ini? Ini sama sekali tak bisa dipahami.
Di dunia ini, ada beberapa orang yang memilih untuk hidup dengan cerobong asap, atau paling tidak berusaha mengusir asap dari kediaman mereka.
Di sini, kita disambut di dalam pondok yang seperti sarang tawon, duduk di ruangan gelap yang hanya diterangi lampu minyak kecil: tungku untuk memasak dan sebuah periuk hasil modifikasi dari kaleng biskuit tua terletak di salah satu sudut, dan ada sebuah balai-balai kecil tempat anggota keluarga tidur bertumpuk-tumpukan.
Keluarga-keluarga di Nome bisa – dan mampu – membesarkan delapan atau lebih anaknya di dalam liang kecil ini, meskipun beberapa dari mereka mulai menambahkan ke dalam gaya hidup tradisional mereka, sebuah pondok yang lain lagi, yang berbentuk persegi panjang dan memiliki tempat terbuka untuk memasak.
Keluar dari pondok itu, mata kami beradaptasi kembali dengan matahari yang bersinar terang, dan kami duduk sebentar dengan para perempuan kampung, lalu menyodorkan sirih-pinang yang kami bawa. Sirih-pinang dikunyah dengan sedikit kapur yang terasa pedas; itu membuat nadi berdetak lebih cepat, meningkatkan laju pikiran, membuat mulut terasa kering.
Aku menyodorkan sirih-pinang dan membagikan rokok. Seorang perempuan dengan struktur tulang yang memesona, yang memiliki wajah model tahun 1930-an dengan sebuah jaket bekas menggantung longgar di atas kain tenunnya, menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke arah matahari.
Keriuhan terjadi. Semua orang – perempuan dan anak-anak – ketawa ngakak dan terguling-guling.


“Apanya yang lucu?” Z bertanya.
“Tidak tahu,” aku menjawab. “Mungkin karena perempuan itu merokok, dan perempuan di sini tidak diizinkan merokok.”
Dan saat kami berboncengan pulang ke Kefamenanu, kota kecil terbesar di Indonesia, dan sebelum kami menaikkan sepeda motor ke kapal untuk bertolak ke Papua, pikiran kami seperti bergentayangan tak tentu arah, hilang dari kepala kami.
Yang mengesankan kami adalah asap. Kegelapan. Lelucon yang terlalu sederhana untuk dipahami.

Kesederhanaan hidup yang tak terbatas di antara suku-suku pedalaman.[]



- Theodora Sutcliffe adalah penulis lepas. Suka mengajak anaknya, Zac, melakukan perjalanan ke negara-negara di Asia dan Eropa. Kini menetap di Bali.
- Versi Bahasa Inggris dari tulisan ini dimuat di Escape Artistes dengan judul My Father, The Headhunter. Terjemahan oleh Felix Nesi.

Related Posts:

PPDB Ditutup, Persebaran Pendaftar SMA Kota Kupang Merata


Kupang, LekoNTT.com - Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton mengatakan, persebaran pendaftar SMA di Kota Kupang sudah merata di seluruh sekolah. Hal tersebut dikatakan kepada awak media pada hari Jumat (28/05/2019), satu hari sesudah penutupan Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Daring.

Darius Beda Daton. Foto: kupang.tribunnews.com

Pernyataan Darius tersebut sesuai dengan hasil seleksi PPDB Daring yang diumumkan pada tanggal 27 Juni 2019. Sebelumnya, PPDB Daring ini telah berlangsung sejak tanggal 24-26 Juni 2019 di SMAN 1 sampai dengan SMAN 8, juga di SMKN 1 sampai dengan SMKN 6 Kupang. 

Data yang didapatkan oleh LekoNTT.com menyebutkan bahwa zonasi sekolah yang terisi penuh hanya terdapat di SMA Negeri 1 Kupang. Untuk sekolah negeri yang lain masih mengalami minus. Adapun minus paling tinggi ditemukan di SMA Negeri 2 Kupang sebanyak 26 siswa.

PPDB Daring yang telah terlaksana ini mempunyai kuota khusus jalur zonasi sebesar 90 persen, selanjutnya akan ditambahi dengan jalur siswa berprestasi sebanyak 5 persen dan pindah ikut orang tua sebesar 5 persen.



Lebih lanjut Darius berharap agar seluruh proses yang berlangsung dengan baik ini didukung oleh siswa dan orang tua.

“Semoga proses yang baik ini akan terus didukung dan dijaga para siswa dan orang tua  guna peningkatan kualitas pendidikan kita. Sekali lagi terima kasih banyak,” tutup Darius.

Related Posts:

DPRD Alor Dukung Pemindahan Lokasi SPBU

Alor, LekoNTT.com - Ketua DPRD Kabupaten Alor, Martinus Alopada mengatakan, perlu untuk memindahkan lokasi pembangunan Stasius Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) apabila memang tidak memenuhi syarat. Hal tersebut dikatakan di hadapan Aliansi Peduli Lingkungan Hidup (APLH) yang melakukan aksi pada hari Senin (24/6/2019).

Martinus Alopada menemui massa aksi. Foto: Alfa Atamau

“Kalau tidak memenuhi syarat ya lokasinya dipindahkan,” kata Alopada

Lebih jauh Martinus mengatakan, pihak DPRD Kabupaten Alor belum mengetahui tentang pembangunan SPBU di Kecamatan Alor Timur Laut.

“Sampai hari ini belum ada ijin dan kajian dari dinas terkait, jika ada pun ijin itu juga dari provinsi dan sementara ini kita juga sedang menunggu itu ijin,” katanya.

Meski pihak DPRD belum mengetahui tentang pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, pembangunan SPBU saat ini terus berjalan. Hal tersebut adalah salah satu alasan Aliansi Peduli Lingkungan Hidup (APLH) untuk melakukan aksi di hadapan DPRD Kabupaten Alor. APLH mendesak agar DPRD Kabupaten Alor memanggil pemerintah kabupaten Alor dan direktur PT Ombay Sukses Persada selaku pelaksana proyek.

Sebelumnya, APLH sempat melakukan aksi di depan kantor bupati. Mereka sempat mendesak untuk bertemu dengan bupati tetapi tidak berhasil.

“Pemerintah dan direktur PT Ombay Sukses Persada harus menjelaskan lokasi pembangunan SPBU di mata air,” tegas Gilamo Turwin, koordinator lapangan APLH.

Menindaklanjuti hal tersebut, Martinus Alopada pun berjanji akan segera melakukan rapat koordinasi untuk membahas persoalan pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

“Dalam waktu dekat DPRD akan melakukan rapat untuk membicarakan persoalan itu,” katanya.

Penulis: Alfa Atamau

Related Posts:

Ombudsman NTT: Daftar PPDB Dari Rumah Saja


Kupang, LekoNTT.comKepala Perwakilan Ombudsman Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Daton mengatakan, dengan sistem online pada pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), siswa yang ingin melakukan pendaftaran bisa mendaftar sendiri dari rumah saja.
Darius Beda Daton, Kepala Perwakilan Ombudsman NTT bersama tim ketika melakukan monitoring pelaksanaan PPBD di tingkat SMA/SMK di Kota Kupang. (Foto: Akun Facebook Darius Beda Daton)

Darius menyampaikan hal tersebut kepada awak media usai melakukan monitoring pelaksanaan PPDB Online di SMAN 3, SMKN 1 dan SMKN 2 Kota Kupang, pada hari Senin (23/6/2019). Ia menyayangkan, bahwa di tiga sekolah yang menjadi tujuan monitoring, ia bersama timnya masih menemukan antrian loket pendaftaran yang membludak.

"Mestinya dengan sistem online ini, siswa bisa mendaftar sendiri dari rumah dan hanya membawa bukti cetak pendaftaran dan berkas pendukung lainnya untuk diverifikasi di sekolah," ungkap Darius.
Tampak antrian panjang para calon siswa SMA di loket pendaftaran PPBD di salah satu sekolah, Kota Kupang. (Foto: Akun Facebook Darius Beda Daton)

Sistem pendaftaran PPDB daring sendiri akan tertutup otomatis jika kuota zonasi I sudah penuh. Selanjutnya  siswa akan diarahkan untuk mendaftar pada zonasi II.

"Mohon dukungan semua siswa dan orang tua agar memahami keterbatasan daya tampung sekolah dan mendukung penerapan sistem zonasi ini agar berjalan lancar. Terima kasih," tutup Darius.

Related Posts:

Puisi | Ruang Khayal

Sepilihan Puisi: Hendrikus Arianto Ola Peduli*
Ilustrasi: Pixabay/ Ist

Hari Tuhan

Luna, daun-daun hari terus gugur
Menumbuhkan tunas-tunas baru
Mungkinkah kau terus begitu?
Melangkah bersama manisnya kesenangan duniawi
Dan tak pernah ingat akan Penciptamu

Luna, lonceng itu sejak tadi berdentang
Seakan memanggilmu bergegas ke itu rumah
Mungkinkah kau membiarkan dentang pilu itu
Lantaran kau tak menghiraukannya?

Luna, jangan kau biarkan satu bangku kosong di antara orang-orang itu
Siapkan puisi indahmu, berikan kepada Tuhan.

Kupang, 31 Mei 2019

Tuhan

Tuhan yang indah
Aku yang tak indah
Berkunjung lagi kerumahMu yang  indah

Tuhan, ku bawakan Kau sepenggal puisi yang tak seindah Mazmur
Berangan Kau indahkan puisiku yang tak indah

Kupang, 29 Mei 2019


Mengail Puisi

Di suatu pagi  yang indah
Berbekal sepotong senar dan kail
Aku pergi melaut

Di antara deru ombak
Dan warna-warni karang yang indah
Aku berangan mengail banyak puisi
Untuk ku suguhkan di meja kertas

Kupang, 26 Mei 2019


Ruang Khayal


Di suatu sunyi yang damai
Senja yang temaram
aku berkeliling di ruang khayal
punyaku
ketika sedang melihat-lihat
kudapati sepotong sajak sedang manari
memanggil namaku
berkata "Hei, bawalah aku ke dalam kertas lusuhmu"

Penfui, 20 Mei 2019


*Hendrikus Arianto Ola Pedulimahasiswa semester IV Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Nusa Cendana.
Facebook:
Hendrikus Arianto Ola Peduli

Related Posts: