Oleh: Herman Efriyanto Tanouf
Adanya rindu mengandaikan adanya kenangan. Uiasa punya rindu, ialah kenangan-kenangan yang tertinggal di balik puing-reruntuhan dan penginapan-penginapan tua yang masih kokoh berdiri, sarat antik. Bersamaan dengan itu rindu, harapan digantung akan adanya sosok-sosok yang peduli, ialah mereka yang mampu menghadirkan kembali kenangan itu dalam wujud yang lain. Camp Uiasa adalah jawaban: rindu terbayar, harapan menyata.
***
Seperti tempat-tempat lain di Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur, Desa Uiasa dan masyarakatnya punya banyak kisah menarik. Pada tahun 1990-an, Desa yang terletak di Kecamatan Semau Utara, Kabupaten Kupang ini menjadi target kunjungan, terutama bagi wisatawan asing. Konon, sebelum orang-orang mengenal dan berkunjung ke berbagai lokasi wisata di Pulau Semau, Pantai Uiasa adalah tempat pertama yang dikunjungi wisatawan.
Situasi itu ditandai dengan adanya penginapan-penginapan tua yang berjejer di sepanjang garis Pantai Uiasa, sebagian telah menjadi puing-reruntuhan. Penginapan dan puing-puing bangunan itu, isyarat melankolik di Desa Uiasa; desa yang seturut arti nama dalam Bahasa Helong berasal dari dua kata: ui (air) dan asa (rahang).
Air Rahang, demikian arti nama yang merupakan keterwakilan akan alam dan orang-orang yang mendiami tempat ini. Kalau air identik dengan ‘yang menghidupkan’, maka rahang adalah simbol ‘kekuatan’. Bisa dibilang, Uiasa yang juga merupakan nama dusun memang berkelimpahan air. Setiap orang yang berkunjung ke tempat ini akan menjumpai Kolam Air Tawar Uiasa, sekaligus menjadi gerbang menuju dusun dan Pantai Uiasa.
Benar, bahwa di Uiasa ada kehidupan, ada kekuatan. Ialah para penghuni dan alam yang punya daya tarik-kekuatan yang tidak bisa dipungkiri. Uiasa tidak hanya menjadi milik Marga Daulika dan Laikuni (penemu mata air), tapi milik siapa saja yang berkunjung ataupun memilih menetap di tempat ini. Penginapan dan puing-puing bangunan, itu tanda bahwa selain penduduk asli, orang-orang asing pun bisa tinggal di Uiasa; ada dan hidup bersama masyarakat, menikmati pesona pantai yang menjanjikan keindahan sunrise.
Tentang kisah melankolik, pada tahun 1997 ketika Asia termasuk Indonesia mulai dilanda krisis moneter, para wisatawan asing yang nyaman di Uiasa pun merasakan kepanikan. Situasi ini diperparah dengan terhentinya penerbangan langsung Kupang-Darwin (Australia), gejolak Timor Timur bahkan peristiwa Bom Bali I pada 2002 silam. Situasi itu menjadikan para wisatawan asing meninggalkan Uiasa, penginapan-penginapan dikosongkan. Semua jadi kenangan, masyarakat pun merasakan kehilangan terutama usaha-usaha kecil yang bisa menopang kebutuhan hidup mereka.
Ekowisata, Jawaban Bagi Masyarakat Desa Uiasa
Semenjak Uiasa ditinggalkan para wisatawan asing, masyarakat kembali pada ‘situasi normal’. Segala usaha penunjang kebutuhan ekonomi, sama seperti masyarakat pada umumnya. Mereka mengandalkan kios-kios kecil, pasar, ataupun mengelilingi kampung-kampung menawarkan barang dagangan, entah hasil kebun, hasil laut, ternak ataupun produk inovasi lainnya. Selama belasan tahun, aktivitas semacam itu yang mereka lakukan.
Sarlota Baun, perempuan paruh baya turut merasakan situasi pasang-surut itu. Ia sedikit berkisah tentang situasi dan aktivitasnya pada era 1990-an. Sebagai seorang ibu rumah tangga, ia pun punya tanggung jawab untuk menghidupi keluarga dengan menjual hasil tanaman dan produk inovasi lainnya.
“Beta mulai jualan itu sebelum menikah. Kalau dulu, jualan di Kupang tapi masuk tahun ‘90 sampai 1997, katong jualan di kampung sini saja karena banyak bule yang datang ke sini. Setelah bule dong pulang, katong kembali seperti biasa, jualan di Kupang atau di kampung lain, juga di rumah saja tapi hasilnya sonde cukup,” ungkap Sarlota dengan wajah sedikit murung.
Ekpresi ceria, senang dan bahagia baru nampak di wajah Sarlota, warga Dusun Uiasa itu ketika ditanya mengenai Pengembangan Ekowisata Uiasa; sebuah program yang dijalankan oleh OCD Beach and Café di Desa Uiasa, kerja sama Global Environmental Facilities-Small Grant Program (GEF-SGP) dengan Perkumpulan PIKUL sebagai host. Seperti berendam di Kolam Air Tawar Uiasa, jawaban sejuk-segar muncul dari isi hati Sarlota.
“Bagus sekali. Katong di sini sangat senang, program ini buat katong dari bajual kecil-kecil, jual sayur atau apa saja yang bisa dong (pengunjung) beli, laku banyak. Sebelumnya katong sudah dapat pelatihan, buat minuman, kue, agar-agar, tanam sayur, terus dijual. Semua bahan dasar dari katong sendiri.”
Program tersebut telah membawa dampak baik bagi Sarlota dan masyarakat setempat. Pada tahun-tahun sebelumnya, kebanyakan masyarakat di Desa Uiasa belum berpikir tentang bagaimana menjadikan pekarangan rumah sebagai lahan untuk menanam, misalnya sayur-sayuran. Namun sejak tahun 2019 atau selama 10 bulan pengembangan ekowisata dilangsungkan di Uiasa, pola pikir dan aktivitas masyarakat mulai berubah.
“Dulu kan katong kira hanya orang yang punya tanah, punya air banyak yang bisa tanam, tapi setelah dapat pelatihan ternyata katong juga bisa. Mulai dari situ, katong bisa tanam tomat, sayur, pepaya, jual sedikit-sedikit.”
Melalui program tersebut didukung dengan adanya Camp Uiasa, dalam sehari Sarlota bisa memperoleh pemasukan sebanyak 400 hingga 500 ribu. Ia mengaku, walaupun program dari OCD Beach and Café telah berakhir pada Oktober 2020, tapi semua usaha yang telah didapat akan terus dijalankan. “Katong pasti teruskan karena itu berhasil buat katong. Lebih bagus buat katong ke depan. Semoga ada program lanjutan, biar masyarakat lebih banyak kerja sama,” tutup Sarlota yang tengah menjaga lapak jualannya di bawah pohon di pinggir Pantai Uiasa, di dekat terminal-Camp Uiasa.
Kesan yang sama pun diungkapkan oleh Feni Rosina Nope, seorang ibu yang sehari-hari menghabiskan waktunya dengan menyiram tanaman di pekarangan rumah. Sebagian tanamannya adalah hasil dari pelatihan bersama jaringan atau mitra kerja Perkumpulan PIKUL. Rumah dari perempuan yang akrab disapa Mama Rosi, memang rimbun-menghijau. Banyak tanaman seperti sirih, tomat, lombok, sayur-sayuran, sarat di pekarangan rumahnya yang berjarak kurang lebih 200 meter dari Pantai Uiasa. Seperti Sarlota, Rosi juga punya cerita.
“Dulu, akhir tahun 90-an di sini ramai sekali, tapi macet karena konflik Tim-Tim. Bule dong pulang ke Darwin, jadi itu penginapan-penginapan kosong. Dong sonde datang ke sini lagi,” kisah Rosi, perempuan kelahiran 3 September 1974.
Sejak adanya pengembangan ekowisata di Uiasa, Rosi yang juga pernah mengalami masa-masa sulit kembali produktif. Ekowisata telah menopang penghasilan perempuan dengan segudang pengalaman bersama mitra kerja Perkumpulan PIKUL. “Dengan adanya ekowisata, sangat menunjang kita punya penghasilan. Apalagi ada juga Pokdarwis yang dibentuk setelah OCD masuk, penghasilan masyarakat berjalan bagus. Pokdarwis harus harus tetap berjalan.”
Rosi menuturkan, program ekowisata sangat bagus untuk diterapkan karena ada kaitannya dengan keindahan alam. Untuk menjaga agar alam tetap indah, keramahtamahan terhadap lingkungan dan pengunjung perlu ditingkatkan. “Kalau kita mau tanam, ya pakai pupuk alam, bagian dari jaga lingkungan, hasilnya lebih bagus dan sehat. Hutan perlu dihijaukan, hutan perlu dijaga, laut dan pantai juga perlu dijaga. Ekowisata buat kita semakin sadar.”
Ia juga mengharapkan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah desa dan masyarakat setempat demi mewujudkan Uiasa lebih baik. Uiasa dengan keindahan pantai dan panorama bawah laut seperti terumbu karang, bisa jadi contoh bagi tempat-tempat lain di Pulau Semau.
“Ke depan itu harus berkelanjutan. Setiap proyek yang datang itu baik untuk masyarakat, ya kita lanjutkan toh, lanjut terus. Kita jangan cukup sampai berakhirnya proyek. Kalau hasilnya baik, kenapa tidak dilanjutkan? Itu kan untuk kita. Setiap yayasan yang masuk itu untuk memfasilitasi kita, bagaimana kemauan kita. Apalagi sebagai orang tua, harus disampaikan ke anak-anak juga, regenerasi begitu. Kalau tidak, nanti siapa yang mau lanjutkan?”
Sebagai orang tua, Rosi pun punya tanggung jawab kepada anak-anak. Mendidik dan mengarahkan anak-anak agar lebih cerdas membaca setiap peluang ada. “Anak-anak muda sekarang harus tangkap peluang ini. Pikiran harus berubah, jangan hura-hura saja demi masa depan yang bagus. Intinya ramah tamah, jaga lingkungan supaya tetap bersih, tetap rawat terumbu karang, jangan bom ikan sembarangan. Anak-anak muda juga harus belajar Bahasa Inggris, biar bule datang bisa ajak bicara.”
Ekowisata, Orang Muda dan Anak-Anak Uiasa
Sebagaimana harapan para orang tua, misalnya Feni Rosina Nope bahwa orang muda perlu membaca peluang dengan adanya ekowisata. Sebagai kelompok yang punya semangat tinggi, orang muda diharapkan makin produktif. Mereka adalah salah satu kelompok yang bisa menjadikan program ekowisata sebagai dasar untuk berkarya, menghidupi diri dan kelompok, menjaga alam Uiasa dan segala isinya.
Di tengah persiapan Soft Launching Camp Uiasa pada 23 hingga 24 Oktober 2020, tampak orang-orang muda berperan aktif. Mereka bahkan mengurangi waktu istirahat demi peluncuran yang lebih baik. Sedari pagi hingga malam dan fajar kembali merekah di ujung barat Pulau Timor, kelompok orang muda yang mengelola Camp Uiasa tetap ceria.
Di saat banyak kesibukan, mereka masih sempat melayani para tamu yang ikut hadir dalam peluncuran itu. Mereka melayani para tamu dengan membuatkan kopi hingga menyiapkan jamuan-makan bersama. Siapa saja yang ke sini, selain keindahan, kenyamanan senantiasa diberi.
Roberto Arsika Baun, salah satu pemuda yang aktif di Camp Uiasa, bentukan OCD Beach and Café. Pemuda berusia 25 tahun ini bersama teman-temannya yang lain giat mengkampanyekan keindahan alam dan pantai Uiasa. Mereka bahkan telah mendaftar dan mengelola sebuah akun Instagram dengan nama @camp_uiasa. Di akun tersebut, mereka aktif mengeksplor sudut-sudut keindahan dan segala informasi tentang Pantai Uiasa.
Jauh sebelum adanya Camp Uiasa, pemuda yang akrab disapa Berto masih awam dengan istilah ekowisata. “Sebagai pemuda di sini, beta awalnya sonde mengerti apa itu ekowisata dan isu apa yang dibawa. Waktu OCD datang dan jelaskan, beta baru tahu kalau ekowisata itu baik untuk masyarakat, katong sonde di-anaktiri-kan. Katong punya tanah, katong punya wilayah, bermanfaat untuk katong pung hidup sendiri,” ungkap Berto yang juga berprofesi sebagai petani.
Berto dan orang muda di Uiasa telah berproses bersama OCD Beach and Café selama 10 bulan. Selama itu pun, mereka telah merasakan penting dan manfaatnya ekowisata, hingga pada Agustus 2020 bekas terminal diubah jadi Camp Uiasa. “Ini yang paling betul. Jangankan di Desa Uiasa, desa-desa di Semau harusnya seperti ini karena ekowisata basisnya masyarakat. Paling penting itu lahan lautnya. Kalau kasih ke investor, orang-orang Semau akan di-anaktiri-kan. Kasihan masyarakat asli di sini, kalau dibuat jadi wisata super mewah nanti tidak ada dampak buat masyarakat, paling hanya buat pengusaha-pengusaha besar.”
Kegelisahan Berto berangkat dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di NTT saat ini. Semisal Labuan Bajo yang dijadikan sebagai destinasi wisata super premium, dilabel 10 Bali Baru, termasuk kawasan Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca, Manggarai yang jadi target konsep wisata Jurassic Park. Ekowisata adalah jawaban yang sangat dibutuhkan masyarakat. “Nah, apa yang OCD juga PIKUL buat di sini, dampaknya sangat besar buat katong. Katong sendiri yang kelola, katong sendiri yang akan nikmati apa yang sudah katong kelola.”
Ia pun berkisah tentang persoalan yang seringkali dihadapi masyarakat di Desa Uiasa, baik masalah sampah maupun aktivitas penangkapan ikan secara liar. ”Soal terumbu karang, orang-orang yang bikin rusak itu bukan kami. Bom ikan sampai terumbu karang rusak itu dilakukan oleh orang-orang dari luar Uiasa. Mungkin karena aturan juga sonde ketat, jadi orang-orang bebas. Soal hutan juga, masyarakat di sini juga menanam. Mereka tanam jati, tanam lamtoro untuk pakan ternak. Sampah plastik di laut dan pantai, itu juga sampah kiriman. Kami di sini kan sonde minum air kemasan.”
Berto pun menjelaskan, ekowisata telah menyadarkan masyarakat termasuk anak muda untuk membaca peluang usaha. Di rumah-rumah, warga telah menyiapkan kamar layak huni bagi pengunjung. Hal ini yang belum diketahui banyak orang karena minimnya promosi. Oleh sebab itu, media sosial benar-benar dimanfaatkan untuk mengkampanyekan segala informasi tentang Uiasa. “Syukur kalau teman-teman media ikut membantu kami meliput, bikin berita atau tulisan tentang Uiasa, Camp Uiasa.”
Camp Uiasa, bekas terminal itu difungsikan untuk aktivitas anak-anak, pemuda, bahkan orang tua. Anak-anak bisa bermain dan belajar, orang muda dan orang tua saling berbagi cerita, bercengkrama sembari menikmati keindahan pantai dan laut di Uiasa. Pantai Uiasa, tempat bermain yang nyaman bagi anak-anak. Sebelum matahari terbit atau jelang terbenam, anak-anak berlarian di pinggir pantai, kejar-kejaran, sesekali mereka mencari cacing lalu memancing. Ikan-hasil pancingan dibakar, dan dinikmati bersama.
Berbeda dengan anak-anak yang lain, Meri Faot, gadis kecil hitam manis dengan rambut keriting kemerah-merahan, memilih menghabiskan waktu seusai sekolah dengan menjual es, bikinan mama Mery. 24 Oktober 2020 pukul 12.25 WITA di bawah terik matahari, Meri bersama adiknya yang berusia dua tahun duduk di bawah pohon mangga di dekat Camp sambil menawarkan es kepada setiap orang yang lewat.
Meri, gadis kecil berusia 12 tahun itu mulai menjual es sejak pandemi Covid-19. Sekolah diliburkan, kesempatan baginya untuk membantu kedua orang tuanya. Buah hati dari pasangan Agustinus Musfaot dan Lisa Manas Malesi itu setiap hari menjajakan es-titipan mama Mery dengan mengelilingi kampung. Sebatang seribu, sehari menghabiskan lebih dari 50 batang, Meri diapresiasi dengan uang saku senilai 15 ribu hingga 20 ribu, tergantung hasil jualan.
“Uang beta tabung, kasih ke bapak dan mama untuk beli kopi, gula, beras. Beta punya, beta pakai beli buku dan jajan di sekolah,” ungkap siswi kelas V SD GMIT Uiasa itu. Semenjak adanya Camp Uiasa, Meri lebih memilih fokus berjualan di sana. “Beta sonde capek lagi karena di sini banyak pengunjung yang suka beli es.”
Meri berjualan es tapi tidak lupa pada tugas utamanya sebagai anak sekolah yaitu belajar. “Beta jualan biasa sampai tiga jam saja. Setelah itu beta setor, dapat uang, pulang bantu orang tua, belajar dan kerja tugas-tugas sekolah.” Demikian Camp Uiasa, adanya telah bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari orang tua, orang muda hingga anak-anak.
Camp Uiasa: Rindu Yang Terbayar, Harapan Yang Menyata
Adanya rindu mengandaikan adanya kenangan. Uiasa punya rindu, ialah kenangan-kenangan yang tertinggal di balik puing-reruntuhan dan penginapan-penginapan tua yang masih kokoh berdiri, sarat antik. Bersamaan dengan itu rindu, harapan digantung akan adanya sosok-sosok yang peduli, ialah mereka yang mampu menghadirkan kembali kenangan itu dalam wujud yang lain. Camp Uiasa adalah jawaban: rindu terbayar, harapan menyata.
24 Oktober 2020, seusai pembenaman bioreeftek (terumbu karang buatan) yang dilakukan oleh kelompok pemuda Uiasa bersama pihak-pihak terkait seperti OCD Beach and Café dan Perkumpulan PIKUL, beberapa orang tua duduk di bawah beringin sembari berkisah. Mereka berkisah seputar penginapan-penginapan yang dulu ramai dihuni oleh wisatawan-wisatawan asing pada akhir 1990-an.
Beberapa wisatawan asing atau lebih dikenal dengan bule, telah menjadi bagian dari mereka. Itu cerita yang senantiasa dituturkan kepada anak-anak kecil ketika mereka bertanya tentang puing-puing dan penginapan-penginapan di sepanjang garis pantai.
Uiasa dengan garis pantai lebih dari satu kilometer sarat pasir putih, jadi tempat favorit bagi bule dan tentu masyarakat setempat. Untuk beberapa tahun lamanya, pengalaman semacam itu jadi hilang (telah disinggung di awal tulisan). Mayarakat Uiasa rindu, dan pada tahun 2019 GEF-SGP dan Perkumpulan PIKUL melalui OCD Beach and Café hadir sebagai jawaban.
Agustinus Yesua Ati Bale (67) salah satu tetuah di Uiasa menuturkan, pada akhir tahun 1980-an di Uiasa ada beberapa bangunan seperti Teddy’s Bar di bagian selatan, penginapan Flobamora yang berjejer di sepanjang Pantai Uiasa, terminal dan sebuah Bungalow. “Sebelum penerbangan Kupang-Darwin dilarang, banyak bule dari Australia datang ke sini. Mereka tinggal lama di sini tapi setelah dilarang, sonde pernah datang lagi,” kisahnya.
Sebagaimana mama-mama, Agustinus pun senang karena aktivitas di Uiasa kembali ramai sejak pulangnya para wisatawan asing. Situasi itu ditandai dengan masuknya proyek pengembangan ekowisata. “Katong punya usaha sempat macet, tapi setelah mereka (mitra kerja PIKUL) masuk, mereka bantu katong, melayani katong. Mereka ajar katong buat pupuk, tanam segala macam, dan katong sudah nikmati hasil. Mereka mulai perbaiki bangunan-bangunan di sini, kalau sonde sudah lapuk. Anak-cucu bisa rasakan hasilnya nanti ke depan.”
Hal senada diungkapkan Kepala Desa Uiasa, Daud Neno Keban. Sebagai salah satu karyawan yang ikut membangun penginapan Flobamora saat itu, Daud punya kerinduan untuk mengembalikan situasi masyarakat yang dulu. “Setelah OCD ke sini, saya bilang saya punya kerinduan untuk kembalikan pariwisata seperti yang dulu yang bisa dirasakan oleh masyarakat yang ada di sini. Masyarakat sudah pernah rasakan hasil dari pariwisata. Kita harus kembalikan situasi masyarakat yang dulu. Ini kami punya rindu yang terbayar,” kata Daud.
Selaku kepala desa, Daud berniat untuk terus mendorong masyarakatnya untuk mendukung setiap program yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya ekowisata “ini juga harus didukung pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemerintah Provinsi NTT. Apa yang sudah dimulai oleh teman-teman, harus didukung.”
Ia pun menandaskan melalui musyawarah di desa, pemerintah desa pun sudah membahas aktivitas liar seperti pengrusakan terumbu karang lewat pengeboman ikan. Hal itu akan ditindaklanjuti dengan adanya peraturan desa. “Sementara ini kita sudah ke biro hukum untuk asistensi supaya kalau bisa segera jadi aturan baku, jadi payung hukum. Itu juga sudah ditanggapi serius oleh pemerintah kecamatan.”
Intensi yang dibutuhkan saat ini ialah dukungan sumber daya kelola yang dengannya mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Pemerintah Desa Uiasa senantiasa membutuhkan dukungan dari instansi dan lembaga-lembaga terkait pengelolaan pariwisata. Seluruh lapisan masyarakat di Desa Uiasa sendiri sudah punya semangat dan makin produktif dalam menyambut dan melanjutkan ekowisata yang telah dibangun.
Kini dan nanti: camp, pantai dan pesisir Uiasa telah menghadirkan kembali primadona yang pernah ada. Situasi ini didukung dengan tawaran menarik seperti renang, diving, snorkeling, dan cannoe. Hasil dari bioreeftek pun menambah indahnya alam bawah laut.
Selain itu, pengunjung pun dapat menjelajahi situs sejarah seperti mercusuar. Situs peninggalan kolonial itu, satu-satunya mercusuar di Pulau Semau yang masih dimanfaatkan hingga saat ini. Dan, tentunya hasil dari pengembangan pertanian organik, konservasi daratan dan pesisir, serta produk pangan lokal dapat dinikmati. Sebab alam Uiasa dan orang-orangnya menjanjikan kenyamanan yang paling.
***
Oktober, 2020
Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan di website Perkumpulan PIKUL pada 3 November 2020.
Related Posts: