LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for 2021

Pertama di NTT, KFK Gelar Parade Film


Kupang, LekoNTT.com - Komunitas Film Kupang (KFK) mempersembahkan sebuah kegiatan apresiasi dan ekshibisi film se-Nusa Tenggara Timur yang akan dilangsungkan pada 18-19 Desember 2021 di UPTD Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini bertajuk Parade Film NTT.

Salah satu panitia James Natbais kepada Leko NTT menjelaskan, Parade Film NTT adalah kegiatan menonton film fiksi dan dokumenter pendek secara gratis hasil karya para pembuat film se-Nusa Tenggara Timur. Film yang terkumpul berjumlah 25 karya. Jumlah tersebut terbagi dalam 12 film fiksi pendek, 12 film dokumenter pendek, dan satu seri dengan dua episode.

"Seluruh karya film yang terkumpul berasal dari berbagai daerah di NTT yakni Alor, Atambua, 
Kefa, Sumba, Kupang, dan daerah lainnya," ungkap James.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Parade Film NTT akan membagi acara pemutaran film dalam empat kali sesi pemutaran. Dua sesi pada tanggal 18 Desember dan dua sesi pada tanggal 19 Desember. Acara akan berlangsung dari pukul 15.00 WITA sampai selesai. Parade Film NTT ini bisa ditonton secara luring (offline) di Kota Kupang yakni di UPTD Taman Budaya NTT.

Di lain pihak, Bendrich Otanu salah satu penggiat di KFK menjelaskan, sebagai yang pertama di NTT, Parade Film NTT mengangkat tema Sokong. "Tema ini mengandung arti tiang penyokong yang diharapkan dapat tetap kokoh untuk menyanggah ekosistem perfilman NTT agar tetap berdiri, kuat dan semakin bertumbuh," ungkap Bendrich.

Ia menambahkan, akan diputarkan program "Sinema Multikultur" dan "Kompilasi Film Keluarga" pada hari pertama Parade yang merangkum film-film dengan tema budaya NTT dan drama keluarga. Selain itu program "Remaja Masa Kini" dan "Hidup Tidak Berhenti di Titik" pada pemutaran hari kedua yang merangkum kumpulan film tentang potret remaja dan perjuangan hidup.

Selain pemutaran film, Parade Film NTT juga dimeriahkan oleh booth UMKM dan pertunjukan seni lainnya seperti menyanyi, stand up comedy, dan acara lainnya. Untuk akses informasi, masyarakat pengguna media sosial dapat memantau akun instagram resmi KFK @komunitasfilmkupang. (red).

Related Posts:

Kemahnuri Galang Dana untuk Bencana Alor

Kupang, LekoNTT.com - Kerukunan Mahasiswa Nusa Kenari (Kemahnuri) Kupang, sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa-mahasiswi yang berasal dari kabupaten Alor, melakukan kegiatan penggalangan dana untuk mambantu korban bencana banjir di Desa Malaipea, Kecamatan Alor Selatan pada Jumat, (5/11/2021).

Penggalangan dana ini dilakukan di traffic light Jalan Eltari depan kantor Gubernur NTT, sejak pukul 16.00 WIT hingga pukul 19.00 WITA. Para mahasiswa terlihat membawa kardus bertuliskan “Peduli Bencana Alam Banjir di Kabupaten Alor Desa Malaipea”.

Seperti yang diketahui, bencana banjir terjadi pada tanggal 3 November 2021 di Kabupaten Alor Kacamatan Alor Selatan Desa Malaipea, dan merusak tempat tinggal, ternak dan jalan umum, serta berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.

Sekretaris Kemahnuri, Jemi Kemenglau mengatakan, kegiatan penggalangan dana yang dilakukan Kemahnuri Kupang ini merupakan bentuk dukungan guna membantu saudara-saudari di Desa Malaipea Kecamatan Alor Selatan.

“Pengguna jalan tidak hanya memberi uang, namun ada juga yang memberi bantuan berupa pakaian. Kita sangat senang dan terharu,” katanya.

Kemenglau berharap, melalui penggalangan dana ini, masyarakat di Desa Malaipea yang terdampak bencana banjir bisa sedikit terbantu. (Alfa)

Related Posts:

Komunitas Film Kupang Gelar Parade Film NTT

 Official poster Parade Film NTT (KFK)

Kupang, LekoNTT.com - Komunitas Film Kupang (KFK) akan menyelenggarakan kegiatan apresiasi dan ekshibisi film se-Nusa Tenggara Timur. Kegiatan bertajuk Parade Film NTT ini akan berlangsung pada tanggal 18 hingga 19 Desember 2021 mendatang.

James Natbais, salah satu anggota panitia kepada Leko NTT mengatakan, Parade Film NTT adalah sebuah langkah awal agar para pelaku perfilman di NTT dapat menjalin kerja sama di antara mereka juga penikmat film. "Tujuan kita ini supaya saling mengenal satu sama lain, berbagi karya dan pengalaman, berjejaring, bertemu dan berdiskusi dengan penikmat dan audiens film," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Kamis (25/11).

Lebih lanjut ia menjelaskan, Parade Film NTT merupakan sebuah kegiatan apresiasi dan ekshibisi bagi para sineas yang ada di Nusa Tenggara Timur. "Kegiatan ini akan menayangkan film-film karya putra putri daerah NTT baik fiksi maupun dokumenter. Kita mau memfasilitasi dan mempertemukan karya mereka dengan para penontonnya."

Gelaran ini akan diselenggarakan di Kota Kupang. Akan ada empat kali sesi pemutaran film saat Parade Film NTT yang bisa ditonton secara luring (offline) di Kota Kupang.

Hingga saat ini, pihak KFK masih dalam proses pengumpulan karya sineas se-NTT atau Kumpul Film hingga 30 November 2021. "Kamu punya film? kumpul dan dapatkan kesempatan karyamu diputar secara luring dan bertemu dengan penontonnya!"

James mengimbau kepada seluruh masyarakat NTT secara khusus para penggiat film untuk mengumpulkan karya melalui form ini: bit.ly/3oCxSUP atau bisa kontak langsung ke narahubung: 0852 - 3993 - 9815 (James). Sedangkan akses informasi seputar Parade Film NTT dapat dipantau melalui akun Instagram resmi KFK: @komunitasfilmkupang ataupun surel: paradefilmntt@gmail.com. (red)

Related Posts:

Menyongsong HOMS 2021, OMK Paroki Kiupukan Fasilitasi Vaksinasi Covid-19

  

Kiupukan-TTU, LekoNTT.com – Dalam rangka merayakan Hari Orang Muda Sedunia (HOMS) yang jatuh pada Minggu (21/11), Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santa Maria Pengantara Segala Rahmat Kiupukan, Keuskupan Atambua melangsungkan bakti sosial. Selain pembersihan lingkungan di pusat paroki, panitia penyelenggara memfasilitasi vaksinasi Covid-19 di Aula Paroki Kiupukan pada Jumat (19/11). Vaksinasi ini dilakukan atas kerja sama panitia HOMS dan pihak Puskesmas Oelolok.

Ketua Panitia HOMS Paroki Kiupukan Agustinus Berek mengatakan, inisiatif untuk melangsungkan vaksinasi merupakan hasil pertemuan antara OMK, DPP dan para Pastor di Paroki Kiupukan pada Rabu (10/11) lalu. Vaksinasi menjadi salah satu wujud nyata dari bakti sosial.

“Lewat vaksinasi, kita beri kesempatan kepada orang muda dan umat Allah yang belum pernah terima vaksin. Awalnya kita targetkan kepada orang muda tetapi kuota masih kurang sehingga kita buka kesempatan kepada masyarakat umum,” tutur Agustinus.

Ia menjelaskan, para peserta sangat antusias dengan adanya vaksinasi di pusat Paroki Kiupukan. “Pendaftar bahkan melebihi target. Awalnya kita target 225 orang, yang daftar 300 lebih. Akhirnya kita kurangi jatah OMK partisipan seperti adik-adik SMP dan SMA karena mereka punya jadwal tersendiri di sekolah.”

Agustinus yang juga Ketua OMK Paroki Kiupukan saat ini menambahkan, total OMK dan masyarakat umum yang diterimakan vaksin dalam kesempatan itu berjumlah 210 orang. “Sebenarnya lebih, tetapi banyak juga yang karena alasan medis, tidak bisa menerima vaksin. Angka ini pun sudah sesuai target dari pihak Puskesmas Oelolok dan Dinas Kesehatan Kabupaten TTU.  

Antusiasme Peserta Vaksin

Sebagaimana dikatakan Agustinus, beberapa peserta yang dijumpai Leko NTT di lokasi mengungkapkan situasi yang sama. Para peserta dimaksud adalah OMK partisipan dari SMA Negeri 1 Insana dan juga kelompok masyarakat.

Medianty Bone (18), salah satu siswi kelas XII IPS 3 mengungkapkan, setelah mendengar informasi terkait adanya vaksin dari seorang guru, ia langsung mendaftarkan diri. Tidak sendiri, ia bersama teman-temannya yang lain.

“Kami tahu informasi ini dari ibu Elen Skera. Kami senang karena bisa ikut vaksin, kami tidak takut jarum suntik. Kalau sakit, ya sakit sebentar saja untuk sehat terus, imun kuat, lawan Covid,” kata Medianty penuh semangat.

Di pihak lain, Theresia Kefi (52) malah mendapat informasi dari tetangganya. Awalnya ia pesimis sebab sesuai informasi yang tersebar, vaksinasi hanya dikhususkan bagi orang muda. Namun demikian, ia tetap pergi ke pusat paroki sesuai jadwal yang telah ditentukan.

“Sebenarnya saya tidak mau ikut, tapi karena keinginan yang kuat, ya saya ikut saja. Siapa tahu bisa diterima saat daftar. Setelah sampai aula paroki, saya diterima. Bukan hanya saya, banyak juga masyarakat lain,” ungkap Theresia, warga Desa Fatoin.

Tidak sendiri, perempuan paruh baya ini menuju pusat paroki bersama anak sulungnya Frederikus Naiaki (29). Keinginan untuk mengikuti vaksinasi membuat “kami di dalam rumah, semua selesai vaksin dosis pertama.”

“Kami senang sekali akhirnya bisa terima vaksin karena selama ini kami mau ikut vaksin tapi sampai ke Puskesmas, Kantor Desa, katanya [kuota] sudah penuh. Jadi kami senang sekali dapat vaksin gratis ini. Dengan adanya vaksin, semoga ke depan penyakit [Covid-19] ini bisa teratasi,” ungkap Theresia.

HOMS dan Vaksinasi: Peran Gereja, Apresiasi Pemerintah

Hari Orang Muda Sedunia diusulkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1984 ketika menyerahkan Salib Suci kepada orang muda. Sejak saat itu, salib tersebut dikenal dengan Salib Orang Muda (Youth Cross) atau Salib Orang Muda Sedunia (Cross of World Youth Day); dan menjadi pusat dari seluruh perayaan Orang Muda Sedunia.

Intensi dari setiap pertemuan yaitu memperkuat OMK dengan menawarkan pendorongan untuk komitmen, obyektif yang mendorong keterlibatan yang lebih dan partisipatif. Selain itu, menaruh rasa percaya di antara pemuda, berkumpul bersama, dan pertemuan dalam dunia internasional di tingkatan manusia.

HOMS di tingkat internasional dirayakan tiga tahun sekali. Perwakilan orang muda dari setiap negara di dunia berkumpul, berjumpa bersama Paus. Pada Januari 2019 dalam misa penutupan World Youth Day di Panama City, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa Lisbon, Ibu Kota Portugal akan menjadi tuan rumah pertemuan OMK sedunia. Pertemuan tersebut akan dilangsungkan pada tanggal 1 hingga 6 Agustus 2023.

Pada tahun 2021, Paus Fransiskus menetapkan HOMS jatuh pada tanggal 21 November, bertepatan dengan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Perayaan ini dilangsungkan di tingkat keuskupan, termasuk keuskupan-keuskupan di Indonesia.

“Berdirilah…Aku Menetapkan Engkau Menjadi Saksi Tentang Sesuatu yang Engkau Lihat (Kis 26:16)” demikian tema perayaan HOMS dan Kristus Raja Semesta Alam di tingkat Keuskupan Atambua. Berbagai kegiatan dilaksanakan dalam rangka menyongsong HOMS 2021. Beberapa di antaranya, bakti sosial, sharing, animasi, rekoleksi, pertobatan, dan perayaan ekaristi.

Di tingkat Paroki Kiupukan, bakti sosial menjadi salah satu kegiatan yang dilaksanakan, termasuk vaksinasi. “Usaha ini menjadi bagian dari kepedulian Gereja Katolik dalam mendukung program vaksinasi yang dicanangkan pemerintah Indonesia,” ungkap moderator OMK Paroki Kiupukan Romo Yopitus Luan Nahak, Pr.

Ia menjelaskan, sasaran utama kepada OMK agar tetap sehat dan kuat sehingga aktivitas kemasyarakatan dan keagamaan tidak terhalangi oleh pandemi. “Kalau umat Kiupukan sehat, masyarakat Insana sehat, Indonesia menjadi kuat. Kita tahu bahwa pandemi Covid-19 membuat aktivitas keagamaan dan hampir semua kegiatan terkendala karena ada pembatasan berkegiatan. Gereja turut prihatin karena ekonomi masyarakat macet, pembelajaran di sekolah tidak berjalan lancar, dan banyak hal yang terhambat. Vaksinasi bisa mempermudah kita,” ungkap Romo Yopi.

Pemerintah Kabupaten TTU melalui Kabid P2P Dinas Kesehatan Theo Bifel mengapresiasi inisiatif OMK dan pihak Pastoran Paroki Kiupukan yang menjalin kerja sama dengan Puskesmas Oelolok. “Soal vaksinasi di Paroki Kiupukan, Dinas Kesehatan Kabupaten TTU sudah tahu itu. Terima kasih kepada OMK, para Pastor dan semua pihak yang terlibat dalam proses vaksinasi di Kiupukan. Namanya pelayan, kita selalu siap melayani kalau ada yang minta dan sesuai syarat yang berlaku. Minimal masukkan surat supaya kita tahu lokasi, target peserta dan jumlah dosis,” ungkapnya.

Ia juga berharap agar pihak gereja membantu pemerintah dalam melayani vaksinasi bagi masyarakat di TTU. “Kita tetap jalin kerja sama yang baik sehingga masyarakat kita mendapat pelayanan vaksin.”

Reporter: HET - Foto: Panitia HOMS Kiupukan/ YU

Related Posts:

TAG Gelar Colour Of Timor, Upaya Pengarsipan dan Inovasi Pewarna Alami Khas NTT

 

Kupang, LekoNTT.com - Timore Art Graffiti (TAG) menggelar kegiatan  bertajuk Colour of Timor di Kupang, NTT. Kegiatan ini digelar sejak tanggal 1 hingga 31 Oktober 2021 dengan dua bagian yaitu pra acara dan acara inti. Adapun pra acara adalah pembuatan film dokumenter yang mengulas tentang proses pewarnaan tradisional dari bahan alami.

Adriana Ajeng Ngailu, salah satu panitia penyelenggara mengatakan, saat ini pembuatan film sedang berlangsung di Kabupaten TTU bersama para penenun sejak tanggal 1 Oktober 2021. Selain itu, ada workshop menjadikan pewarna alami menjadi cat akrilik untuk lukisan di atas kanvas, sharring session oleh narasumber dan kurator, serta proses pengkaryaan bersama oleh 21 orang seniman.


"Untuk kegiatan acara inti adalah pemutaran film, pameran karya baru dan diskusi bersama para seniman yang turut memeriahkan Colour of Timor. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tetap mematuhi  protokol kesehatan," jelas Ajeng.


Asis Nadjib, salah satu anggota TAG menjelaskan, Colour of Timor merupakan rangkaian kegiatan pengarsipan proses pewarnaan tradisional dan pameran karya baru dari pewarna alami khas  Nusa Tenggara Timur. "Kegiatan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh keresahan akan tenun yang sudah mulai dilupakan terutama oleh generasi muda, bahkan untuk proses pembuatan kreatif pewarnaan tradisional dari bahan-bahan alami sudah hampir punah," kata Asis.

Ia pun menjelaskan, alasan tersebut menjadikan TAG berinisiasi membuat kegiatan Colour of Timor sebagai bentuk nyata dari generasi muda yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab untuk mempertahankan sekaligus melakukan inovasi agar tradisi dari tanah kelahiran tidak hilang begitu saja dan mampu menyesuaikan zaman.


Wandry Dami, anggota TAG yang lain mengatakan, berlangsungnya kegiatan ini didukung dan difasilitasi melalui Program Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Wandry pun mengimbau kepada masyarakat yang ingin mengakses kegiatan dimaksud dapat diketahui melalui akun media sosial TAG.

"Segala informasi yang berkaitan dengan kegiatan ini bisa diakses melalui akun instagram @timoreartgraffiti," kata Wandry.

Tentang Timore Art Graffiti

Timore Art Graffiti  atau yang disingkat TAG adalah komunitas yang berfokus pada seni rupa. TAG berdomisili di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Awalnya TAG lahir atas ketertarikan dan minat yang sama beberapa pemuda terhadap sebuah bentuk seni bernama graffiti, namun seiring berjalannya waktu TAG memperluas cakupan ke berbagai jenis seni visual kontemporer lainnya. Berdiri sejak tahun  2015, kini Timore Art Graffiti telah membuat program mulai dari pameran, kegiatan rutin melukis bersama, partisipasi kegiatan seni kolaborasi, hingga kelas terbuka untuk mengenalkan seni kepada generasi penerus.
(het)

Related Posts:

Quo Vadis Pandemi? Webinar Alumni Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang


Kupang, LekoNTT.com - Ikatan Alumni Faklutas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang mengadakan webinar bertajuk Quo Vadis Pandemi. Webinar ini menghadirkan pembicara antara lain RD. Sipri Senda, Lic. Theo.Bib, RD. Lucius Tae Mau, BsC, MA dan dr. Herly Soedarmadji. Webinar ini dimoderatori oleh RD. Anton Kapitan, S.Fil pada 27 September 2021. Webinar ini berlangsung menggunakan dua platform daring: Zoom dan YouTube dari pukul 16.00 hingga 18.00 WITA.

Webinar yang dipimpin oleh Master of Ceremony (MC) RD. Christo Ngasi melibatkan peserta dari para Alumni Fakultas Filsafat-UNWIRA-Kupang, mahasiswa-mahasiswi Politeknik, Universitas Timor, Universitas San Pedro dan OMK dari Sumba. Jumlah peserta yang hadir mencapai 700-an orang.

“Pandemi Covid-19 sudah merubah segalanya. Hidup yang kemarin pada zona nyaman berubah. Kita tidak bisa hidup dengan kehidupan yang bebas, sekarang kita kembali pada diri yang terbatas. Kita bergerak ke sana-kemari perlu memenuhi ketentuan, setelah memenuhi barulah kita bisa melewati. Pandemi Covid-19 membuat manusia berpikir keras untuk keluar dari penjara pandemi. Kesempatan hari ini, untuk kita bisa mencari solusi, bagaimana menunjukan pada dunia bahwa kita masih eksis, hingga sekarang ini,” demikian kata pengantar dari Paulus Bataona sebagai ketua Ikatan Alumni Fakultas Filsafat.

Selanjutnya RD. Jhon Subani, Iur. Can, dalam pengantar pembuka seminar menjelaskan bahwa manusia mungkin mempertanyakan dimana Tuhan dalam situasi seperti ini. Mungkin bagi sebagian orang akan menanyakan keberadaan Tuhan, tetapi sebaiknya kita tetap bersyukur untuk menaikan imun tubuh dalam situasi seperti ini.

"Kita bersyukur pada Tuhan karena para Alumni memiliki kesempatan untuk, menjadi wajah Tuhan bagi mereka yang menanggung penderitaan terbesar akibat Covid-19. Santo Agustinus mengatakan, Anda melihat Tritunggal jika anda mencintai, karena cinta adalah kebutuhan terbesar manusia untuk dicintai. Hal ini, memberi kesempatan dan motivasi untuk membiarkan manusia hidup dalam cinta, pada manusia yang hidup dalam ketidakpastian sehingga hidup dalam krisis iman, moral dan jasmani di tengah hidup saat ini."

Di tengah kebingungan ini, manusia tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Pandemi ini mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah.

Pemaparan pertama dari Dr. Herly menjelaskan bahwa pada April 2020, WHO merilis hasil penelitiannya mengenai asal muasal virus corona bermula dari kelelawar berpindah ke manusia. Ada yang mengatakan itu dari trenggiling baru ke manusia, ada yang mengatakan itu  hasil bocornya laboratorium di Cina. Dari sisi medis, awal muasal Covid-19 sampai sekarang masih menjadi perdebatan.

"Ada yang mengatakan itu muncul pertama di Wuhan, tapi oleh Amerika mengatakan itu muncul di Cina. Tapi sampai sekarang meskipun semua ahli WHO dikirim ke Cina pun tapi tidak bisa mendeteksi secara pasti, kenapa? Karena untuk mendeteksi asal muasal virus itu berkembang, butuh waktu cukup lama, situasi di Wuhan sudah mengalami mutasi berkali-kali sehingga agak sulit untuk mendeteksi rantai virus dari mana."

Dr. Herly mengatakan bahwa pertama kali Covid-19 ditemukan pada 31 Desember 2019 di Cina dan disebut Peneumonia. Pneumonia ditemukan di China tanpa diketahui penyebabnya. Lalu, pada 7 Januari 2020 ditemukan sebagai sejenis virus bukan bakteri, diberi nama Novelvirus. Lalu, pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan bahwa Coronavirus ini sebagai kedaruratan medis masyarakat yang cukup meresahkan dunia.

Kemudian pada tanggal 12 Februari 2020, WHO menyatakan bahwa penyakit Coronavirus itu sebagai covid-19. Lalu pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia ditemukan penyebaran virus corona. Semua negara hampir mengalami bagaimana begitu berkembangnya covid-19. Ini dikategorikan sebagai pandemi. Sementara di Kupang, corona virus masuk pada tanggal 9 April 2020, yang jelas penyakit ini disebabkan oleh jenis virus.

Sementara itu, Romo Lucius menjelaskan dari segi Antropologi, tuduh-menuduh seperti ini, oleh ilmu Antropologi disebut sebagai stigmatisasi, otomatis manusia ikut terseret dalam ras dan etnis. "Etnis ras mengidentifikasi dirinya dalam lingkungan atau sekelompok ras tertentu. Coronavirus ini menyebabkan social distancing dalam kelompok masyarakat."

Social distancing, berangkat dari virus Covid-19 atau penyakit yang merebak hampir di seluruh dunia. Misalnya hanya di Indonesia, per 9 September 2021, itu tercatat 4.900.000 kasus terkonfirmasi. Itu menyebabkan manusia terstigmatisasi. Dengan adanya virus, manusia diarahkan pada labelisasi dan stigmatisasi, social distancing dan social structure pada manusia.

Romo Sipri dari perspektif Kitab Suci menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu, cerita relasi tentang hidup manusia dan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Lalu, dari perspektif biblis mencatat bagaimana cara beriman orang Israel. Dalam beberapa teks tentang pandemi ada yang berbicara tentang wabah, sampar atau tulah.

"Orang Israel misalnya, dalam Kel 5:3 melihat tulah atau sampar sebagai hukuman dari Tuhan terhadap Mesir. Lalu, pengalaman Raja Daud dalam 2 Sam. 24:13, karena berdosa jadi pilih dikuasai oleh musuhnya atau sampar, akhirnya sampar melanda dan beberapa orang Israel meninggal.  Itu beberapa contoh yang menunjukan beberapa contoh hukuman, manusia dibuang ke Babel."

Lebih lanjut ia mengatakan, Israel melihat bahwa pengalaman faktual yang mereka alami itu, dilihat dari perspektif iman, mereka melihat relasi mereka dengan  Tuhan ada kaitan terhadap dosa atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Penderitaan atau penyakit wabah adalah konsekuensi akibat langsung dari perbuatan manusia yang serakah dan ceroboh terhadap alam mau pun sesama dalam Gal, 6:7-9. Dari perspektif ini, kita bisa melihat bahwa sudut pandang ilmu Israel untuk melihat bahwa satu konsekuensi dari perbuatan melawan Tuhan, untuk penyadaran dan pemulihan terhadap kehidupan Israel itu sendiri.

Setelah pemaparan pemateri, Romo Anton sebagai moderator meruncing diskusi dengan pertanyaan, “kenapa pandemi terus meluas dan belum ada vaksin sampai sekarang?”
Pandemi datang dengan situasi tiba-tiba, dan memporak-porandakan semua sisi kehidupan.

"Selama ini kita tidak menduga, dapat merubah berbagai aspek kehidupan, seperti sekarang, kita harus pakai masker, keluar harus jaga jarak dari keramaian dan sebagainya. Ini hal-hal yang membuat semua harus ikut dia, artinya kalau masih sayang diri, sayang keluarga berarti harus taat pada dia. Ini hanya bisa dilakukan oleh si Covid-19 ini. Vaksin harus didukung pula oleh protokol kesehatan, kalau tidak resiko penularan akan terus terjadi," demikian jawaban dari Dr. Herly.

Selanjutnya Moderator memancing diskusi lebih jauh dengan bertanya “apakah berarti manusia tidak berkuasa atas Corona ini?”
Kemudian jawaban dari Romo Lucius, mengemukakan bahwa manusia memang masih tetap berkuasa atas penyakit. Dia harus bertanggungjawab terhadap tubuhnya. Tetapi faktor sosial budaya, sangat mempengaruhi dalam pencegahan Covid-19. "Kalau saya meminjam satu teori tentang model keyakinan untuk sehat, pilihan masyarakat untuk patuh atau tidak patuh, dipengaruhi oleh kepercayaan individu tentang penyakit. Komponen dari teori ini, yakni kerentanan terhadap penyakit, artinya, orang sudah tahu tentang penyakit antara satu manusia yang satu dengan yang lain, maka kemungkinan tentang penyakit masih terus ada."

Sementara itu Romo Sipri menjawab bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa orang Amerika yang sering membaca kitab suci itu, harapan hidupnya lebih tinggi. Ini menunjukan bahwa ada iman, pengharapan dan cinta kasih, dan orang Amerika yang membaca kitab suci imun tubuhnya kuat dan bisa bertahan dalam hidup ini. Ketika berada dalam situasi yang putus asa, orang tidak lari dari kenyataan atau menganggap remeh tapi tetap berharap pada Allah.

"Kita belajar dari Israel bahwa, ketika mereka berada dalam situasi kemelut tertentu, mereka kembali pada Tuhan, dan pengalaman iman ini memberi inspirasi kepada kita bahwa Covid-19 ini kuasanya sementara, Allah tetap berkuasa dalam situasi apa pun. Orang yang percaya dan mengandalkan Tuhan, selalu punya kekuatan lebih untuk mengatasi ‘kekuasaan’ dari virus corona ini."

Di tengah pemaparan materi, ada pembacaan puisi dari Roby Fahik, dengan puisi berjudul ‘Air Mata Puisi.’ Selanjutnya, menanggapi pemaparan dari pemateri salah satu peserta Fr. Tian dari Komunitas San Juan, OCD menanyakan bahwa “zaman sekarang realitas maya menjadi suatu yang riil, sementara realitas yang sesungguhnya mati, mengutip Filsuf Jean Baudrilard, apakah realitas itu mati, dan hiperrealitas itu yang menjadi riil?”
Menjawab pertanyaan ini, Romo Lucius menjelaskan bahwa berhadapan dengan Covid-19 ini, salah satu alternatif untuk menghadapi covid-19 secara virtual seperti melalui Facebook, Instagram, Twitter, Wechat, atau WhatsApp. "Jadi interaksi masyarakat itu mutlak perlu. Realitas itu tidak mati, dia tetap hidup, karena institusi masyarakat tetap hidup. misalnya, kita dapat menggunakan televisi dan wifi, sehingga realitas manusia tidak mati tetap hidup."

Sementara itu penanya kedua Frans Mali  menanyakan “bagaimana menghadapi narasi sesat tentang Covid-19 yang dibangun dengan sedemikian rapi?”

Menjawab pertanyaan ini Dr. Herly menjelaskan bahwa, sebagai orang medis, menghadapi isu medis ini "kami orang medis, terus mengedukasi agar masyarakat yang sudah paham tentang suatu penyakit, ketika menerima ajaran sesat, dia tidak akan terpengaruh, kalau pemahamannya rendah, dia akan mudah terpengaruh. Jadi, kami memberikan edukasi agar bisa berkembang."

Tambahan dari Romo Lucius, dalam situasi seperti ini, menurut Emile Durkheim ini adalah suatu sentimental religious. Karena manusia punya perasaan terhadap suatu objek jadi manusia ramai-ramai ke sana. Dalam teori Health Believe Model, biasanya persepsi terhadap resiko lebih dipengaruhi oleh emosi daripada informasi factual. "Jadi, orang ini terjebak dalam narasi yang menyesatkan, sebenarnya ini adalah apersepsi yang menjadi titik keyakinan terhadap sesuatu."

Webinar yang dibuka dengan doa ini diakhiri pula dengan doa yang dipimpin oleh RD. Bob Ndun. Acara ini pula diakhiri dengan foto bersama.

Penulis: Ardy Milik


Related Posts:

FOTO | Rumah Budaya Tua Kolo dan Komunitas Leko Gelar Pelajaran Menganyam Daun Lontar

 

Pada hari Jumat, 17 September 2021 Komunitas Leko bersama Sane Tua Kolo, Up-Ana Bitauni menyelenggarakan "Pelajaran Menganyam Daun Lontar" di Rumah Budaya Tua Kolo. Pelajaran yang dimentori oleh Mama Sabina Sa'u ini berlangsung lancar, para peserta tampak sangat antusias. Turut hadir sebagai peserta, ibu-ibu dari Pokja T PKK Kabupaten Timor Tengah Utara, Dekranasda Kabupaten TTU, beberapa mahasiswa Universitas Timor, dan kawan-kawan GMKI cabang Kefamenanu.

Tidak sedikit peserta yang berkomentar bahwa menganyam daun lontar adalah pekerjaan yang lumayan sulit. Butuh waktu lebih dari dua jam bahkan berhari-hari bagi seorang pemula untuk menghasilkan produk anyaman yang bagus dan indah.

Menyadari kesulitan itu, ada peserta yang berkomentar begini: "Kalau ke pasar, kita selalu tawar-tawar harga saat mau beli produk anyaman. Misalkan harga 20 ribu rupiah, kita tawar jadi 10 ribu rupiah. Padahal ini bukan pekerjaan yang mudah." Komentar salah satu peserta ini terkait bagaimana seharusnya kita menghargai karya dari para pengrajin tradisional.

Namun sesungguhnya intensi dari pelajaran ini adalah bagian dari usaha melestarikan dan merawat produk-produk tradisional/ kebudayaan/ kearifan lokal. Demi terwujudnya pelestarian dan perawatan, maka kita harus memproduksi. Agar mampu memproduksi, maka kita harus belajar dan terus belajar dari para pengrajin tradisional. Semoga makin banyak orang muda yang menaruh perhatian kepada kebudayaan dan kesenian tradisional.

Sampai jumpa pada kesempatan berikut di tempat yang berbeda. Ikuti dan pantau terus akun-akun berikut:
Instagram:
@komunitasleko
@tua_kolo

Facebook:
Leko Kupang
Tua Kolo

Berikut beberapa dokumentasi selama "Pelajaran Menganyam Daun Lontar" berlangsung:










Related Posts:

Komentar Para Laboran Atas Surat Salah Prosedur Terkait Penutupan Lab Biokesmas NTT


Kadang untuk menemukan kebijaksanaan kita perlu belajar dari mereka yang muda. Kerja anak-anak muda ini tak bisa dipandang sebelah mata. Tak jarang mereka bekerja dari pagi hingga pagi lagi. Mulai dari jam 10 pagi dan selesai jam 3 pagi keesokan harinya.

Semangat untuk memberi yang terbaik di masa pandemi mereka tunjukkan dalam kerja rutin lebih dari satu tahun terakhir, terhitung sejak persiapan di pertengahan Bulan Juni 2020. Tidak kurang 80% laboran yang bekerja di laboratorium ini adalah lulusan dari Universitas Nusa Cendana, dan mereka sudah memeriksa 15 ribu sample dengan kombinasi metode pool test yang melayani buruh migran, warga difabel, pekerja kemanusiaan, anak sekolah, pasien darurat medis, para dokter dan perawat, dan para pegawai di berbagai instansi.

Berikut ini adalah komentar para laboran Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT (Lab Biokesmas Provinsi NTT):

Jack Alfren Frans, Fakultas Sains dan Tehnik Kimia Undana (2012)

Waktu beta baca, beta kesal dan emosi. Undana itu institusi yang penuh dengan orang-orang pintar, tapi kepintarannya itu tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan. Orangnya sampai S2 dan S3, harusnya kepintarannya itu dipakai sama-sama untuk bangun Undana, dan bantu masyarakat.

Hilda P. Mantut, Fakultas Sains dan Tehnik Biologi Undana (2020)

Kebanyakan yang dipaparkan Rektor Undana ke media tidak sesuai fakta, tidak ada kerja sama. Sejak awal kita minta Undana untuk kirim SDM untuk pelatihan di laboratorium tapi hanya datang satu orang dan kemudian hilang. Terkait permintaan Rektor Undana agar dokter patologi klinis untuk menandatangani surat hasil PCR Pool Test, apa mungkin itu dilakukan oleh seorang dokter patologi klinis yang tidak mengakui pool test.

Saya rasa ini sangat konyol sekaligus kasihan. Tidak mungkin kita sudah periksa 15 ribuan sample, dan sekarang baru minta izin. Kenapa baru tanya sekarang? Seharusnya Rektor itu tahu bahwa ini situasi pandemi. Dalam situasi pandemi tidak ada yang memperebutkan aset. Kenapa tidak duduk baik-baik dan kerjasama? Tindakannya tidak wajar. Sebagian besar kami dari sarjana sains, ijazah itu hanya kertas, tapi soal skill kita bisa uji.

Kami yakin tidak banyak orang yang mau kerja dari pagi hingga pagi di luar sana. Kami tidak pikir diri sendiri, kami pikir masyarakat. Kami perlakukan setiap sample seperti keluarga kami sendiri yang mungkin sakit. Kami datang dengan latar belakang yang berbeda, dengan hati yang sama, untuk melayani masyarakat NTT. Raga kami ada untuk masyarakat NTT.

Angela R. Maria Poe, Fakultas Sains dan Tehnik Biologi Undana (2019)

Saya merasa terganggu sebab kita sudah melayani banyak masyarakat NTT, tetapi kenapa baru sekarang menjelang pemilihan rektor baru muncul isu ini, ada apa? Puncaknya hari ini ada surat penutupan laboratorium. Ada beberapa hal yang dipermasalahkan. Laboratorium ini diresmikan oleh Menteri Kesehatan, kenapa soal izin malah ditutup pemerintah kota Kupang. Ini ambisius. Katanya tidak ada yang punya STR? Analis. Padahal nyatanya kita punya.

Samrit Edison Kause, Fakultas Sains dan Tehnik Kimia Undana (2017)

Sejak awal laboratorium ini kolaborasi tiga pihak: Forum Academia NTT, Pemerintah Provinsi dan Undana. Sejak awal saya tidak melihat ada dukungan yang baik dari Undana. Sejak November 2020 saya tidak melihat kerja sama yang baik dari Undana. Saya kaget ini sedikit lucu. Kalau Pak Rektor mau tutup, harusnya Gubernur yang tutup, bukan rektor. Dukungan Undana juga kecil sekali cuma 0,1 %, itu menunjukkan tidak ada dukungan yang baik dari Undana.

Theodor Caesar, Fakultas Sains dan Tehnik Kimia Undana (2010)

Menurut beta mempertontonkan bahwa seorang akademisi tidak bersikap akademisi, seharusnya jika saya sebagai Rektor saya akan melibatkan mahasiswa untuk terlibat dalam laboratorium. Terkait surat Dinas Kesehatan Kota Kupang, Dinas Kesehatan Kota Kupang sedang mempermalukan diri mereka sendiri, sebab pada surat tanggal 23 Oktober 2020 itu ada surat dari Litbangkes Kementrian Kesehatan kepada Dinas Kesehatan Kota.

Jadi kalau tidak tahu itu aneh. Bahkan 19 Oktober 2020 itu ada surat dari Gubernur NTT. Selain itu ada Permenkes bahwa ahli biomolekuler bisa mengepalai laboratorium. Ini hanya arogansi professor. Jika ingin menguasai setidaknya ada akademisi yang menguasai pemikiran ini. Selain itu terkait poin pengolahan limbah, jika tidak dikelola limbahnya, lalu mengapa Undana membayar biaya pengolahan limbah. Undana sedang mencari-cari cara tanpa berusaha. Ini sangat memalukan.

Sisilia Blegur, Fakultas Sains dan Tehnik Biologi  Undana (2021)

Saya baru masuk, saya tidak tahu kronologi. Mereka datang tanpa permisi, mereka cek-cek sampai ke sini. Undana itu universitas besar, seharusnya tidak perlu merasa terganggu dengan Lab Biokesmas NTT sebagai laboratorium baru. Dan orang ini orang besar, dengan pendidikan yang bagus. Mereka kekanakan, mereka tidak ikut kerja, tapi mau punya. Itu lucu. Semua hal di sini tidak ada atas nama Undana, kecuali gedung dan kursi. Lab Biokesmas itu ada karena inovasi Bu Fima. Lalu kenapa mau tutup? Kalau tidak tahu apa yang dikerjakan, kenapa mau tutup?

Heri Arianto Ipi, Fakultas Sains dan Tehnik Kimia Undana (2018)

Soal penanganan limbah itu kita dibilang tidak sanggup, padahal kita sudah bersurat ke Dinas Lingkungan Hidup dan Undana yang bayar. Kalau memang kita tidak bisa Kelola dan urus limbah seberat 450 Kg, mengapa Undana yang bayar? Itu menjilat ludah sendiri.

Yohani A. Selan, Fakultas Bioteknologi Universitaa Kristen Duta Wacana (2019)

Beta sendiri sangat kecewa dan marah. Bagaimana nasib masyarakat yang butuh PCR gratis? Nasib mereka akan bagaimana? Begitu banyak orang susah yang datang dan memohon diperiksa. Seluruh dokumen pendirian laboratorium itu ada dasarnya. Poin-poin itu sudah jelas sejak awal. Surat rektor dan dinas kesehatan kota yang datang itu amat tidak tepat. Harusnya akademisi itu bisa berpikir dan ambil kebijakan yang tepat.

Lintang A. Dima, FKIP Biologi Universitas Kristen Artha Wacana (2020)

Saya jengkel sekali tapi sekaligus rasa lucu. Beta seperti nonton sinetron Azab-nya Indosiar. Yang menunggu kapan azab tiba. Selama bekerja di sini, orang tua beta juga mendoakan pelayanan ini. Beta tahu ini laboratorium adalah wadah yang disediakan Tuhan untuk melayani. Tapi beta juga tahu untuk bekerja di jalan Tuhan tidak ada yang mulus. Beta percaya ini lah jalan Tuhan untuk melakukan pelayanan. Di sini kita benar-benar dilatih. Kami lihat kakak-kakak meski sudah ditunjuk-tunjuk tapi masih bisa bersabar. Saya cuma menunggu apa pesan Tuhan untuk mereka.

Ermi Sustika Remijawa, FKIP Biologi Univ.Kristen Artha Wacana (2019)

Kalau dari beta, ini sangat lucu. Poin yang mereka sampaikan tidak masuk akal, karena semua yang sudah disampaikan sudah ada dasarnya. Soal nama, apa lah arti sebuah nama, ketika laboratorium itu tidak bermanfaat untuk orang lain? Sebab kalau mau jujur laboratorium ini tidak menguntungkan kami sama sekali secara pribadi. Semua ini demi semua masyarakat untuk mendapatkan hak yang sama. Agak miris setelah periksa 15 ribu sample dengan validasi dari Kemenkes, baru ada yang mau klaim. Saya ingat, waktu saya mau pinjam remote AC di Undana, mereka malah minta suruh pinjam remote AC ke Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Wajarkah kini Undana kini mau ambil alih laboratorium?

Remi Oeleu, Akper Maranatha (2012)

Kalau mau tutup kemana masyarakat mau pergi? Lab Biokesmas sangat didukung masyarakat, kalau mau ditutup kemana mereka ini? Ini hanya soal keegoisan demi kepentingan pribadi. Demi pergantian rektor semata. Selama di sini saya lihat masyarakat puas. Terkait tanda tangan dokter, kita di sini Cuma memeriksa sample. Aset negara itu mau diambil alih, memangnya itu untuk kepentingan siapa? Menurut pengakuan Gubernur di sini anaknya bagus-bagus. Bahkan kita di sini juga mampu Kelola database pendonor plasma darah. Mereka yang positif kita minta untuk mendonorkan darah jika sudah sembuh. Kita ini layani bukan Cuma di Timor saja, bahkan kita layani permintaan plasma darah dari Sumba.

Fima Inabuy, Fakultas Biologi ITB (2006)

Beta ingat kata-kata Bapak soal ‘to have’ dan ‘to be’. Semua orang bisa mendapatkan aset negara ini, ini bukan soal kepemilikan tapi itu untuk apa? Ini poin penting soal aset. Seharusnya aset negara itu dipakai seluas-luasnya dan sehemat-hematnya demi kepentingan orang banyak.

Related Posts:

Binasa Bersama di Tangan Intelektual dan Petinggi yang Tak Berpikir

Ilustrasi: Progralicious

Oleh: Lodi Kini*


Bukan pertama kali ruang dialog akademik tertutup oleh arogansi brutal dan vulgar para petinggi yang berpihak bukan kepada rakyat. “Saya hanya berurusan dengan Pemerintah Provinsi. Saya tidak bersedia bekerja sama dengan FAN. Saya minta FAN keluar dari aset Undana, sekarang!” kata Rektor Undana Fred Benu dalam pertemuan di laundry room Rumah Sakit Undana pada Selasa (24/08/2021).

Kritik dan keluh kesah FAN sebagai bagian dari masyarakat atas kebuntuan mencari jalan keluar dari krisis pandemi yang meremukkan ekonomi ditanggapi sebagai serangan personal. Keengganan upaya mencari jalan keluar bersama justru terlihat dari pimpinan lembaga pendidikan yang sewajarnya mengabdi kepada pencarian akan kebenaran agar setidaknya manusia-manusia yang berpikir itu bisa berguna bagi raga lain. Sepertinya tujuan mulia pendidikan itu tak tersisa sedikitpun dari ruang kebijaksanaan orang penting yang bersih keras menghentikan aktivitas Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT itu.

Di tengah krisis, gantinya sibuk berpikir dan bekerja untuk keselamatan orang banyak, kepala lembaga justru sibuk menyelamatkan egonya. Begitu kuat argumentasi diarahkan kepada tim lab yang jelas-jelas kerja gila tanpa ada sedikitpun bukti bahwa mereka sedang memperkaya diri. Tidak ada keinginan baik untuk melihat kesulitan di depan mata.

Apakah karena ia digaji negara dan bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan? Mereka lupa bahwa ada masyarakat yang jika harus mengeluarkan uang 100-200 ribu rupiah bahkan jutaan untuk memeriksakan kesehatan mereka dan keluarga, lebih memilih menerima risiko penyakit dengan lapang dada sambil berharap Tuhan dan umat-umatnya yang mengaku beriman akan memberikan jalan keluar dari himpitan ini.

Lab Biokesmas NTT mengambil posisi berdiri untuk kita semua yang lemah, dalam mengusahakan akses layanan kesehatan bagi semua orang. Tapi di manakah posisi Unviersitas Nusa Cendana sebagai institusi pendidikan? Sudah lebih dari satu tahun inisiatif baik ditunggu oleh rekan-rekan di Lab Biokesmas. Tetapi sedari awal hingga saat ini, inisiatif baik yang harapannya bermuara pada kerja sama memberi diri untuk bersama-sama keluar dari krisis, tidak pernah lebih dari sekedar upaya untuk menunjukkan kuasa. Tidak ada ruang diskusi, hanya ada kemarahan yang premanis.

Ruang diskusi diperlakukan seakan ruang arena perkelahian antar kampung. Lebih parahnya dijadikan personal antara Elcid Li vs Fred Benu. Dalam konferensi pers, seorang wartawan bertanya, “Apakah benar ada pemukulan dilakukan?”. Tentu saja jawabnya tidak ada. Mereka yang bekerja siang dan malam untuk mengurus sample-sample saudara-saudari di NTT yang terindikasi sakit COVID, tidak berkelahi pada level itu.

Ini bukan tentang Fima Inabuy atau Hilda Mantut yang tidak sanggup menahan air mata ketika menceritakan realitas di Lab termasuk bagaimana sedari awal pihak Undana tidak menunjukkan kemauan baik untuk bekerja sama. Bahkan Dokter yang hendak ditugaskan ‘mengurus’ lab pung tidak mempercayai keabsahan metode pooled-test. Anche juga menambahkan, laboran yang juga lulusan Undana ini memberika penekanan bahwa yang mereka lakukan sama sekali tidak ada urusannya dengan memperkaya diri. Ia bekerja dari jam 10 pagi hingga jam 3 pagi, “memberi raga untuk raga lain,” katanya.

Metode pooled-test bukan metode yang lahir dari hasil membual. Metode ini sudah diakui. FAN dalam upaya pergerakkannya sedari awal telah melalui proses yang panjang dalam mewujudkan ide ini dan memastikan metode ini absah serta dapat dioperasikan tanpa melanggar acuan yang berlaku. Namun, alasan yang digunakan untuk penutupan Lab adalah karena tidak ada Dokter Ahli Patologi Klinis. Namun dijelaskan bahwa posisi ini dapat digantikan dengan dengan Dokter Umum yang terlatih atau Ahli Mikrobiologi Klinik.

Selanjutnya juga mengenai analis kesehatan, FAN telah memastikan laboran sesuai dengan peraturan yang beraku yaitu dengan latar belakang pendidikan analis/biologi/kedokteran hewan/biomedis dan ilmu lain yang berkaitan. Padahal, para lulusan Undana lah yang dilatih oleh Fima Inabuy hingga sekarang menjadi laboran yang handal. Hanya di lab Biokesmas saja PCR ratusan sample dapat diuji dalam waktu tunggu satu hari, secara gratis.

Pada akhirnya kita akan binasa bersama-sama karena arogansi. Mereka yang mengambil keputusan penting hanya melihat dari posisi mereka yang mujur. Tidak melihat sekeliling, bahwa ekonomi remuk hancur lebur bagi mereka yang tidak makan uang negara. Sampai kapan kita membiarkan krisis ini berlarut-larut. Tanpa kerja yang sungguh, kita akan semakin lama berada pada krisis ini. Tidak terasa dua tahun hampir terlewati. Upaya keluar dari krisis yang bermuara pada pembangunan Lab Biokesmas bukan tentang unjuk diri. Ini tentang celah tipis antara hidup mati orang banyak, yang seharusnya diisi dengan upaya intelektual, bukan sekedar permainan kekuasaan.

* Lodi Kini adalah warga Kupang yang bekerja sebagai peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC).

Related Posts:

Sembilan dari 37 Pekerja Migran yang Dipulangkan Positif COVID-19

Dokumentasi tim laboran Lab Biokesmas NTT

Kupang, LekoNTT.com -  Sebanyak sembilan dari 37 Pekerja Migran Indonesia yang dipulangkan dan difasilitasi oleh BP3MI dinyatakan positif oleh Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT. Kesembilan PMI yang ditemukakan positif masing-masing berasal dari Kabupaten TTS (4 orang), Alor (2 orang), Malaka ( 1 orang), Lembata (1 orang) dan Kupang (1 orang). Kesembilan PMI saat ini ada dalam penanganan BP3MI dan akan diarahkan menjalani karantina terpusat di Kota Kupang. Pernyataan ini dikeluarkan Laboratorium Biomokuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT pada 23 Agustus 2021 malam, setelah hasil pemeriksaan muncul.

“Meskipun sudah dikarantina di pintu embarkasi antar negara, besar kemungkinan mereka tertular dalam perjalanan ke Kupang dengan menggunakan kapal laut,” ujar Fima Inabuy, Kepala Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT ini.

“Testing untuk memastikan agar pekerja migran tidak membawa virus COVID-19 kepada keluarga mereka perlu dilakukan, kita tidak ingin mereka menulari, dan ini sudah terbukti penting, sebab di Bulan Juni lalu, salah satu sample positif yang dikirimkan ke Eijkman dari Lab Biokemas NTT terbukti merupakan varian delta yang sangat cepat menyebar,” kata Fima Inabuy menekankan pentingnya melakukan pengawasan. Ia juga menyebutkan seharusnya ada 37 pekerja migran yang diperiksa, tapia da 5 orang yang langsung dibawa pulang secara paksa oleh keluarga.

Hingga saat ini Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT merupakan satu-satunya laboratorium yang melakukan pengawasan terpadu yang memantau pemulangan para pekerja migran. Kerjasama ini dilakukan dengan BP3MI, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Dinas Koperasi Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Program pengawasan pemulangan pekerja migran merupakan program insiatif Lab Biokemas Provinsi NTT.  

Selain pemulangan yang diketahui olen BP3MI, para pekerja migran yang pulang lewat jalur yang tidak difasilitasi pemerintah atau jalur mandiri juga dihimbau untuk melakukan test sebelum pulang ke rumah. Menurut Fima Inabuy dengan angka positivity rate yang sedang menurun ini, sebaiknya NTT tetap menjaga pintu-pintu perbatasan, agar angka infeksi tidak meledak dan tidak tertangani. Antisipasi pintu masuk juga penting untuk memetakan mereka yang baru tiba agar tidak membawa varian baru virus.

Selain itu menurut pemantauan Elcid Li, salah seorang moderator Forum Academia NTT yang juga menjadi Wakil Ketua Tim Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT, kendala pengambilan swab dari pekerja migran belum dilakukan oleh pemerintah daerah selain dilakukan oleh Lab Biokemas Provinsi NTT di Kota Kupang.

“Minimnya ketersediaan laboratorium PCR di daerah seharusnya dijembatani oleh Dinas Kesehatan di daerah untuk mengirimkan sample ke Laboratorium Biokemas NTT di Kota Kupang, tapi itu pun tidak mereka lakukan,” kata Elcid memaparkan kondisi di daerah. Menurutnya kehadiran laboratorium biomolekuler kesehatan masyarakat di daerah NTT seharusnya menjadi fokus dari berbagai kabupaten.

“Kalau anggaran yang dikeluhkan, seharusnya tiga atau empat kabupaten bisa berkolaborasi mendirikan satu laboratorium, tetapi anehnya antisipasi ini pun tidak dilakukan oleh para kepala daerah, jangankan di kabupaten, di Kota Kupang saja walikota tidak memprioritaskan pendirian laboratorium dan hingga hari ini pemerintah Kota Kupang tidak punya laboratorium biomolekuler, sulitnya lagi jajarannya malah ingin menutup laboratorium yang diresmikan oleh Menteri Kesehatan,” kata Elcid menambahkan. Menurutnya jika pemerintah Kota Kupang tidak mampu membuat laboratorium, jangan lah menutup upaya masyarakat yang mendapatkan pengakuan nasional.

Menurutnya kemampuan birokrat untuk mengantisipasi krisis memang jauh dari kata cukup. “Para birokrat sekarang beda dengan era El Tari, dulu para birokrat bisa merasakan penderitaan rakyat, saat ini mereka lebih banyak sibuk berdagang, akibatnya salah hitung melulu dan tidak tahu aturan, mana ada Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang wewenangnya di atas Menteri Kesehatan,” tutur Elcid.

Laboratorium yang menekankan konteks kesehatan masyarakat, mengutamakan pencegahan hanya ada di Kota Kupang dan merupakan inisiasi dari Forum Academia NTT, salah simpul masyarakat sipil NTT yang aktif bergerak menangani pandemi. Saat ini kebanyakan laboratorium fungsinya hanya menunggu orang sakit atau bergejala dan membuat ongkos penanganan pandemi membengkak dan tidak ada kepastian kapan akan berakhir.

Hingga saat ini sebanyak 15 ribuan sample warga telah diperiksa secara gratis di Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT. “Kemampuan untuk memeriksa gratis karena dengan metode pool test, ada inovasi yang dilakukan di dalamnya, dan terbukti beban biaya bisa dihemat tujuh kali lipat,” kata Fima Inabuy.

Banyak daerah yang kini mengeluhkan ketiadaan anggaran untuk menangani pandemi COVID-19 jangka panjang tetapi enggan melakukan inovasi, dan mendukung riset pengambangan yang dilakukan oleh para ilmuwan.  “Agak aneh logika prioritas anggaran pemerintah daerah, kadang mereka lupa kita sedang berhadapan dengan pandemi, dan butuh kemampuan menangani emergency yang berkepanjangan ini secara memadai, yang muncul kebanyakan agenda reaktif yang kurang terpadu, dalam satu rapat lintas lembaga misalnya, ada kepala dinas yang bertanya ‘kenapa kita harus khawatir’, ” kata Elcid Li.

Menurutnya tidak semua birokrat paham tanggungjawab mereka untuk melindungi warga, tanpa terkecuali. Melindungi artinya bukan berarti kita bisa mencegah kematian 100 persen, tetapi kita mengurangi tingkat kematian atau tragedi yakni kondisi kematian tanpa pengharapan untuk warga. (red)

Related Posts:

Media Sosial dan Kabar Duka Pandemi

Oleh: Dominggus Elcid Li



Kematian yang datang bertubi-tubi bukan lagi kematian biasa, tetapi telah berubah menjadi tragedi. Berhadapan dengan tragedi yang sudah dilihat sejak awal tidak mudah. Kematian bisa saja diletakkan sebagai sekedar informasi dari jauh, yang tidak mempunyai efek kedekatan. Namun, era jaringan sosial membuat kita saling terhubung satu dengan yang lain. 

Karena begitu banyak berita kematian, facebook (FB) cuma saya buka seminggu sekali. Sebagai generasi FB, media sosial yang satu ini membuat saya merasa punya teman banyak, dan terhubung harian. Namun belakangan ini teman-teman berguguran, tanpa ada penjelasan yang memadai. Setiap keluarga di Indonesia mengalami kondisi kehilangan ini. Tanpa bisa dikontrol badan bereaksi lain terhadap kabar duka yang bertubi-tubi. Seolah marah, karena sekian saran kepada pemerintah (pusat) maupun elit legislatif (pusat) terutama, tidak didengar. Butuh waktu mengurai kabar duka agar badan pun bisa menerima dengan damai. 

Para birokrat di daerah kebanyakan tidak ada inovasi. Pikiran buntu. Untung masih ada Gubernur NTT yang mendukung laboratorium untuk testing massal sejak awal. Untung masih ada pemimpin daerah yang ada nalarnya. Jika tidak di kampung pun, kita akan sangat merasa terancam. Meskipun harus diakui NTT butuh empat buah laboratorium kesehatan masyarakat sejenis yang mampu melakukan testing secara massal. Desain dalam konteks NTT sudah dipaparkan detil alasannya sejak Juni 2020. Namun para bupati/walikota bergerak terlalu lambat. Bahkan tidak bisa melihat bahwa dengan kondisi semacam ini, sampai dengan tahun 2024 kita akan ada dalam situasi yang tidak menentu, dan selalu dihantui virus COVID-19. Cukup aneh, setelah satu tahun banyak pimpinan daerah tidak bisa membedakan antara testing dan contact tracing. Pun tidak mampu membedakan kualitas antigen dan PCR. 

Laboratorium test massal yang digagas Forum Academia NTT dinamai Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT. Dinamakan ‘Kesehatan Masyarakat’ karena target pengawasannya adalah masyarakat, untuk test massal, sebagai bagian dari komponen pengawasan (surveilance) sebagai langkah pencegahan. Dengan cara ini mereka yang rentan, punya penyakit bawaan dan lain-lain bisa kita lindungi. Jika diketahui lebih awal, perawatan bisa dilakukan lebih dini, dan angka kematian bisa dicegah, dan angka yang terpapar bisa diperkecil. Keluarga pun bisa membawa berapa pun sanak saudara mereka untuk dites, untuk memastikan tidak terpapar, tanpa harus ketakutan harus bayar berapa untuk mendapatkan hasil tes PCR. 

Saat ini ada dua jenis laboratorium, laboratorium klinis dan laboratorium komersil. Laboratorium klinis dikelola pemerintah dan menyelenggarakan tes untuk mereka yang bergejala. Mereka yang sakit. Untuk pencegahan kita perlu menyasar mereka yang tidak bergejala. Yang bagian ini masih kosong. Laboratorium komersil tidak ada nalarnya, mereka membantu menyediakan alat tes untuk orang yang mampu membayar, tetapi tidak dalam skema ‘war against non human actor’. Itu cuma pedagang biasa, menyediakan jasa, jika dibayar. Ya, membantu warga, tetapi tidak ada strategi. 

Ruang dagang ini harus diperkecil—jika dirasa terlalu berat. Tetapi jika mampu berpikir hingga detil, ruang ini bisa dibikin gratis. Penguasaan atas detil value chain, alat testing ini harus dipunyai. Di level menteri kesehatan pun, hal ini harus diperjelas. Harus dibuka road map hingga tahun 2024. Buka strateginya sehingga bisa dikritisi, tanpa embel-embel buzzer atau apa lah. Kita ini mau selamat sama-sama, tidak peduli siapa yang memutuskan. Ini bukan saatnya berpose bagus, pada saat keputusan terbaik belum muncul.

Malapetaka yang dihadapi sekarang, seharusnya bisa dicegah tingkat kematiannya. Sayangnya waktu yang diperlukan untuk bergerak disia-siakan. Waktu adalah kunci ketika berhadapan dengan pandemi. Keputusan yang tepat dan strategis adalah kunci. Dengan strategi yang salah perang melawan non human actor jauh dari kemungkinan bertahan ataupun menang. 

Susah sekali memberitahu yang berwenang bahwa testing itu harus gratis. Jika tidak gratis, orang-orang yang pembawa virus, namun tidak bergejala tidak merasa perlu untuk dites. Siapa yang mau tes, jika 900 ribu hingga 1,5 juta, bahkan 2,5 juta harga tes PCR? Penghasilan warga yang menurun drastis seharusnya membuat pemerintah berpikir, bagaimana mengendalikan para super spreader yang tidak bergejala. 

Saat ini contact tracing hanya menyasar mereka yang bergejala. Mereka yang tidak bergejala tidak menjadi fokus dari tes. Jika pun ada tes dibikin formalitas semata, tidak ada desain yang komprehensif untuk tes massal dalam skala kota. Semakin lambat bereaksi, semakin banyak yang harus dites. Duit yang dibutuhkan pun membengkak. Kritik dan sekali lagi kritik tidak lah tabu sejauh untuk kepentingan bersama. Sebab Anda yang memimpin bertanggungjawab untuk melindungi yang di depan mata, hingga yang ada di pelosok.

Bahwa COVID-19 belum ada obatnya, memang benar, vaksin pun terbatas karena mutasi terus berlangsung. Namun, tugas seorang pemimpin adalah menghindari tragedi. Menghindari kematian beruntun tanpa ada kemampuan mencegah. 

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT adalah model laboratorium yang bisa dikerjakan di seantero Indonesia, jika mau. Laboratorium ini didukung oleh pemerintah daerah provinsi, pemerintah pusat lewat Kementrian Kesehatan, yayasan kemanusiaan, universitas, jaringan academia, dan masyarakat. Dengan model ini dari HET test PCR yang ada, bisa ada penghematan tujuh kali. Jika kita didukung dengan berbagai aspek bisa lebih rendah lagi, sehingga testing gratis seharusnya tidak membebani pemerintah, jika kita mau berusaha. Hingga hari ini (15/8/2021) setidaknya 15 ribu orang sudah dites secara gratis. 

Ketika menerima layanan gratis, para warga pun berusaha agar layanan tetap bisa jalan. Jika ada bahan, alat, logistik yang kurang warga pun saling bantu meringankan. Bahkan dengan skema yang ada, list golongan darah diadakan, dan mereka yang sembuh diwajibkan untuk donor darah kepada yang membutuhkan di kemudian hari. Kesatuan batin segala elemen untuk bertahan hidup di masa pandemic sangat diperlukan. 

Tes PCR gratis harus bisa diterima oleh seantero warga. Jika inovasi dilakukan di berbagai lini, harga tes PCR bisa ditekan sekecil mungkin. Jika research and development dikerjakan dengan sungguh-sungguh inovasi bisa muncul. Untuk pengalokasian anggaran terhadap kerja para ilmuwan, butuh keputusan politik. Ini yang tidak dimiliki seluruh elit pemimpin Indonesia saat ini. Tidak mungkin akan ada Pemilu serentak 2024, jika situasi pandemi tidak bisa dikontrol. Risiko akan menjadi terlalu tinggi untuk keselamatan warga. Australia yang ketat saja, menargetkan tahun 2023 baru bisa dibuka, bagaimana dengan kita yang gerak strategisnya melambat? 

Buruknya lagi di era pandemi, pemimpin cenderung anti kritik. Situasi emergency dengan mudah menjadi tidak terkendali dan berlarut-larut jika pemerintah enggan duduk bersama dan membahas jalan keluar secara saksama. Tegas itu penting, tetap memastikan bahwa itu adalah keputusan terbaik ruang diskusi intensif berkualitas terbaik harus mampu diadakan oleh para pembuat keputusan di level negara. Seperti kata-kata bijak orang tua kita Teuku Jacob di tahun 2004: “Pemimpin harus dapat memilih pembantu-pembantu dan kawan-kawannya yang tepat dalam melaksanakan mimpi-mimpi yang seolah-olah mustahil menjadi kenyataan.” 

*Penulis adalah anggota Forum Academia NTT (FAN)

Related Posts:

Kebersamaan Tidak Dimulai dari Anggaran

 Oleh: Dominggus Elcid Li

Hujan turun Bulan Juni dan air meresap masuk ke pori-pori tubuh. Dan kawan menyatu dalam semesta, sambil meninggalkan koma terdalam untuk pertemuan terakhir. Sejak malam kawan-kawan menyebarkan kabar pencarian golongan donor darah O, dan kemudian gambar duka cita memenuhi lini massa kaum muda penggerak. Menjadi muda, idealis, suka membantu, tidak minta apa-apa, bersahabat dengan penuh, dan pelantun puisi dengan nada hidup yang tidak dibuat-buat. Menjadi manusia pencari hingga ujung akhir. Eman.

Pandemi yang merangkak dan berulang tahun membuat sekian banyak pertemuan tertunda. Mereka yang pulang kadang tanpa pertemuan dalam tenda duka. Duka tiba dan orang dibawa pergi. Tanpa ada kesempatan melihat wajah terakhir. Covid-19 akan menjadi tanda sejarah dalam satuan abad. Membekukan waktu, menidurkan rencana-rencana masa depan yang seolah-olah pasti. Ketidakpastian datang menegur, dan rencana manusia tak lagi lurus, seumpama siklon seroja yang berlangsung pelan dan lama. Mencabut hingga akar. Mengangkat hingga hilang tak berbekas. Menidurkan hingga tinggal puing fondasi. Kita yang berdiri termangu melihat hempasan angin, air, virus mengangkat semua yang menjadi titik ingatan. Rumah, pohon beringin tanda jalan, dan kawan. Ada rasa ngilu jika mengingat tawa khas jalanan seusai memaki-maki dengan hormat para pejabat yang suka lupa ingatan untuk apa berkuasa.

Nama tak penting untuk perkawanan yang tidak butuh harga. Bahkan terima kasih juga tidak penting. Karena semua tahu kita sedang bergerak dan berdialog dengan sisa-sisa kemanusiaan terakhir yang makin hilang digerus pandemi. Jaga jarak bukan berarti meninggalkan perkawanan. Tapi, kadang sepi yang tiba-tiba datang meradang. Mempertanyakan mengapa tubuh yang biasa disebut diciptakan sesuai dengan Citra Allah dalam pelajaran agama di sekolah, tiba-tiba disentakkan dalam ruang kosong sendiri. Seolah tiada kawan seperjalanan meski mobil, motor, dan gemuruh media sosial bertalu tiada henti.

Kota ini semakin ramai. Kota-kota besar mati. Jika tak mati, orang-orang yang silih bergantian purna. Kota-kota sedang telah jadi tumpuan bertumpu masyarakat pulau.  Jalanan makin ramai dan macet. Truk berbadan besar mengangkut barang seolah tiada aturan dalam kota. Kematian di jalanan begitu sering. Orang tak peduli. Padahal jika diatur, hidup bisa lebih longgar. Apa mau dikata, yang konon diatur hanyalah anggaran. Bukan hidup bersama. Orang masih tega mengambil, di saat yang lain kelaparan. Orang masih bisa membuang makanan pada saat yang lain makan makanan sisa. Orang masih merasa perlu membuat drama komedi palsu untuk kekuasaan yang tidak ada artinya. Orang lupa, hidup aslinya bukan untuk diri sendiri. Yang akan sekedar menumpuk materi dan bingung.

Kekuasaan yang hanya mengurusi anggaran pada akhirnya akan lapuk sendiri. Demikian pula pertemanan. Jaga jarak tidak berarti membuat kita punya banyak alasan untuk saling melupakan. Menyapa untuk saling mengingatkan menjadi penting. Kesulitan akan menjadi beban jika dipikul sendiri. Ada saatnya kesulitan-kesulitan pribadi dilupakan agar persoalan bersama bisa dibaca. Sebab kecukupan materi diri, tidak membuat orang bisa melihat pengertian atas masalah bersama. Sebaliknya selubung itu sering menutupi mata yang tidak minus atau plus, untuk melihat kenyataan bersama.

Teriknya kota sering membuat kerongkongan kering, dan kebahagiaan sekedar ingatan lampau. Sahabat-sahabat berbagi adalah malaikat Tuhan yang dititipkan di Bumi. Mereka mengingatkan bahwa jarak dari tali pusar pemberian Ibu, ke liang lahat bisa beraneka warna. Dan mereka adalah pelangi. Lingkaran kecil untuk sekedar menyapa bertanya kabar, ada apa gerangan menjadi teramat penting. Kita juga tidak selalu bisa bertanya, ada berapa sen yang tertinggal di kantongmu dan kantongku agar cukup membuat malam ini bisa kita tiduri hingga pagi tanpa ada perih di lambung yang mengkilik-kilik. Atau kegundahan itu bisa terusir setelah air kata-kata pergi melewati kerongkongan.

Kadang pencarian itu belum lagi usai, dan kita sudah terbangun. Mimpi diterjang badai tidak lagi menyeramkan. Sebab gemuruh siklon yang menderu sudah pernah terlewati. Kematian massal tak lagi jadi dongeng orang tua dan cerita tragedi sekolahan, kematian beruntun yang banyak sedang kita alami.

Hari-hari ini kematian beruntun datang berganti. Ada yang langsung, ada pula yang berliku. Segala siasat untuk bertahan hidup kita kerahkan. Memberi diri pada semesta hidup dilakukan dengan biasa, tanpa perlu tahu siapa.

Pertanyaan dalam perjalanan semalam. El, lu masih ingat Eman? Itu dari Torry. SMS belum dijawab, foto duka sudah dipasang di lini massa yang lain. 90 menit sebelumnya di kantor Ardi masih menyebut, kronologi kecelakaan belum ia dapat. Eman butuh darah O. Beberapa menit kemudian Ardi menjawab, masih ada dua orang lagi di pemulsaran jenasah. Habis ini baru Eman.

Eman dikenal sebagai aktivis yang gemar keliling, membantu komunitas satu ke komunitas lain. Ucapan duka dan kehilangan mengalir dari para sahabat. Tidak terasa mereka yang kuat pulang duluan. Eman ada dalam barisan itu. Ia memberi tanpa berharap kembali. Seperti Ibu. Tapi, juga tak seperti Ibu, Eman kerap tak ingin dikenal, karena kebaikan mengalir, tanpa perlu memberitahu siapa yang memberi. Tangan-tangannya menyentuh.  Di atas aspal kota yang panas ini kaki kita pernah berjalan bersama. Tanpa harus tahu nama. Memperjuangkan kita, sudah kau lakukan hingga titik akhir.

Heronimus Emanuel Seto. (Foto: akun facebook Emanuel Seto-Rangga)

Hujan yang sama yang kita rasakan beberapa hari lalu, rupanya hujan terakhir buatmu semasa hidup. Mungkin karena itu puisi ini kau titipkan pada kami.  Kupang, 22 Juni 2021, jam 6 lewat 4 menit sore.

pikir Sapardi di kupang; 
padahal hujan pertama
setelah seroja.
Oh, Referendum ju
di bulan juni,
dar Sapardi; hujan su jadi puisi
Kas ringkas waktu,
Kas ikat ingatan
catat sagala bentuk 
Yang sonde sempat terbahaskan.
Ahh, Kasi resap ame hujan di badan dolo.

Seperti hujan yang datang tak dikira, seperti kematian pula kata-kata meresap jauh. Eman mengingatkanku pada jalan itu, sekian dekade silam. Puisi adalah teman, dan gerimis adalah tanda kehidupan. Kawan adalah malaikat yang tidak bersayap. Sembari mengingat fatwa dasar: kebersamaan tak butuh anggaran. Selama ada rasa kita, pandemi meski sulit tidak lah sedemikian menakutkan. Sebab kematian itu pasti. Selama ada sahabat di situ ada kehidupan. Selama ada tawa, meski hanya dari ingatan, sahabat memberi sapaan dari keabadian. Pada akhirnya ingatan itu yang membawa kita tidur nyenyak meski tidak lagi bersama.

Tulisan ini dibuat untuk mengenang sahabat yang tak ingin dikenal. Untuk kawan yang memberi dalam kegelapan. Epang gawang Nong Eman!
***
Kupang, 25 Juni 2021 (tadi malam Heronimus Emmanuel Seto – Rangga berpulang)

Related Posts:

Musrin dan Kerja Sampingan di Kampung Nelayan

 

Kampung Nelayan

Lapangan sepak bola itu tampak lenggang. Sebagian isi lapangan hampir tertutup dengan air, sisa hujan beberapa waktu lalu. Seekor kambing betina dengan anaknya mengembik di sudut lapangan, mengais sisa makanan dari penghuni rumah. Hampir tidak ada rumput di perkampungan itu. Entah dari mana, kambing dapat hidup.

Perkampungan Nelayan di Desa Nangadhero, Nagekeo siang itu tampak sepi. Beberapa orang muda duduk di serambi depan rumah, bercengkrama, membagi cerita. Dua tiga kendaraan bermotor lalu lalang di jalanan yang menghubungkan kampung lain ke kampung itu.

Hampir sebagian besar penduduk di kampung itu adalah nelayan. Sembari melaut, beberapa di antaranya menjalankan usaha seperti membuka kios kelontong, warung makan dan penjualan ayam potong.

Pasar harian di kampung itu menjual berbagai macam-macam kebutuhan pokok, ada sayur-mayur kebutuhan pangan, bumbu dapur, dan holtikultura. Saat musim gelombang laut sedang tinggi, nelayan di Nangadhero kesulitan untuk mendapatkan ikan. Mereka akan menukar ikan hasil tangkapannya dengan sayur mayur yang dijual di pasar Nangadhero.

Kehidupan di pesisir tidak mudah, hanya pribadi dengan jiwa petualang yang mampu bertahan hidup di sana. Kampung Nelayan itu pun terdiri dari berbagai suku. Ada suku Buton, Bugis, Bajo, Mbay, Alor, Meto dan Jawa. Mereka telah berbaur sebagai keluarga. Saling menopang dikala duka. Giat berbagi saat suka maupun duka sebagai satu keluarga besar yang mendiami perkampungan; yang rakyatnya masih jauh dari sejahtera.

Kisah Hidup Musrin

Di tengah perkampungan nelayan ini, hidup seorang anak muda tangguh. Namanya Musrin. Kini usianya telah mencapai dua puluh dua tahun. Musrin berkulit sawo matang, dengan tinggi 150-an cm. Sehari-hari ia bekerja di Puskesmas pembantu desa Nangadhero.

Aktivitas di Pustu ia jalani dari pagi hari pukul 08.00 hingga 13.00 WITA. Sepanjang bekerja di Pustu ada banyak pengalamannya melayani masyarakat kecil yang membutuhkan uluran tangannya. Pengalaman melayani masyarakat kecil membuatnya selalu murah senyum dan ringan tangan melayani siapa saja.

Rumah lulusan keperawatan ini terletak di ujung kampung, ukurannya mungil berdinding bebak. Di depan rumahnya tergantung sebuah baliho ‘Tempat Praktek Pengobatan.’ Ya, Musrin membuka praktik pengobatan di rumahnya, sembari menjual kebutuhan medis.

Ada berbagai jenis obat-obatan yang dijual Musrin di rumahnya. Berbekal ilmu kesehatan yang diperoleh di bangku kuliah, ia membuka tempat praktek di rumahnya. Warga di kampung merasa terbantu dengan kehadiran toko obat mini, mereka tak perlu lagi ke Kota Mbay untuk membeli obat-obatan bila diperlukan.

Biaya pengobatan disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien. Kalau pasien kurang mampu, Musrin menyesuaikan dengan kondisi dompetnya. Sementara untuk orang tua atau lansia, Musrin akan memberikan pengobatan secara gratis karena menurutnya pasien lansia tersebut adalah pengganti orang tuanya yang telah lama meninggal.

Pengalaman MATA KAIL

Musrin menuturkan bahwa program MATA KAIL sesuai dengan kebutuhan warganya yang ada di pesisir karena memiliki potensi perikanan  dan pariwisata. “Di dekat sini ada air panas, kurang lebih 1 Km dari rumahnya, kami anak-anak muda di desa ini jualan di sana setiap hari Minggu.”

Hasil dari pelatihan yang diperolehnya, ia dapat memulai mengatur bisnis dan  mengatur penghasilan dari tempat prakteknya. Kalau sebelumnya penghasilannya hanya empat juta rupiah per bulan, kini ia dapat memperoleh penghasilan hingga enam juta rupiah per bulan. Pengetahuannya jadi meningkat berkat pelatihan dari MATA KAIL.

Musrin menuturkan bahwa ternyata anak muda bisa untuk memulai sesuatu tanpa bergantung pada orang tua. Pelatihan ini membuatnya sadar untuk meningkatkan citra diri sebagai anak muda yang mampu memberikan contoh dan teladan bagi anak muda di kampungnya.

Ketika mengikuti pelatihan MATA KAIL, Musrin bertekad untuk menggiati usaha secara disiplin dan konsisten serta punya tujuan dalam berwirausaha. Dengan tekad yang kuat ia yakin usahanya akan tercapai.

Sebagai anak muda yang punya pengetahuan dan mampu bersekolah, ia berharap bisa memberikan contoh bagi sesama anak muda di kampungnya. Kampung mereka terdiri dari anak muda yang tak mampu bersekolah tinggi. Kebanyakan di antaranya tidak menamatkan pendidikan atau bahkan tidak bersekolah samasekali. Karena tidak mampu bersekolah, mereka memilih untuk menjadi nelayan atau pekerja kasar.

Kondisi ini yang membuat Musrin tergerak untuk memberikan contoh yang nyata bagi anak-anak muda, agar mampu bangkit dan berdiri sendiri. Tidak lagi tergantung pada orang lain, atau orang tuanya. Dengan kehadiran program MATA KAIL, Musrin mampu untuk memulai usahanya sendiri sehingga ia tidak lagi bergantung atau membebani siapapun.

***

Penulis: Ardy Milik

Related Posts:

Persiapkan Murid Belajar Luring, SLB Pembina Kupang Ikut Surveilens Sekolah Bebas Covid-19

 

Kupang, LekoNTT.com - Sebagai salah satu satuan pendidikan yang terpilih untuk mengikuti program Surveilens Sekolah Bebas COVID oleh Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat (Lab Biokesmas) NTT, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina Kupang hari ini (19/05/2021) menjalani tes swab secara pooled-test terhadap 93 warga sekolahnya. Jumlah ini yang terdiri atas 60 orang guru dan 33 orang murid, mengikuti tes tersebut, bertempat di gedung aula sekolah.

Antusiasme, penasaran dan juga rasa khawatir tampak menyelimuti ruangan aula yang dipenuhi oleh staf, guru, beserta murid yang didampingi oleh orang tuanya. Banyak yang belum pernah mengikuti pemeriksaan swab dan tampak was-was terhadap reaksi penolakan dari anaknya.

“Awalnya saya merasa takut anak saya akan di-swab, tetapi saya memberanikan diri untuk mendaftarkan, karena saya tahu kegiatan ini sangat penting demi proses belajar anak saya,” ujar salah satu orang tua murid, Monika Henukh. “Saya berharap dengan pengambilan swab seperti ini, kami pihak orang tua tidak akan khawatir lagi untuk membiarkan anak kami belajar di sekolah secara offline.

Kegiatan ini dimulai sejak pukul 9:00 WITA di bawah koordinasi panitia sekolah. Salah seorang guru, Supriati mengaku deg-degan mengikuti tes swab. ”Deg-degan mengikuti swab tapi deg-degan juga mengetahui hasilnya”. Lebih lanjut ia mengatakan "meskipun demikian, dengan menjalani tes, kami staf pengajar dapat memastikan kondisi kesehatan kami sebelum akan memulai pembelajaran secara luring di sekolah.”


Kepala Sekolah SLB Negeri Pembina Kupang, Elisabeth Paledan yang mengawasi langsung berjalannya kegiatan swab menyampaikan bahwa selama pandemi, telah setahun lebih pembelajaran di SLB Negeri Pembina Kupang dilakukan secara jarak jauh sehingga cenderung kurang efektif dan cukup banyak pengeluhan dari orang tua. “Inilah alasan utama mengapa sekolah kami memutuskan untuk ikut dalam program ini.”

“Kebanyakan orang tua sangat setuju dengan pembelajaran secara offline yang terbatas dan terkontrol ini, sedangkan bagi orang tua murid yang belum setuju, anaknya tetap akan kami layani secara jarak jauh,” lanjutnya.

Ia juga menambahkan bahwa saat ini sekolah telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut pembelajaran secara offline, di antaranya menyediakan tempat untuk mencuci tangan dan pengawasan ketat terhadap pematuhan protokol kesehatan. “Terima kasih kepada pihak Lab Biokesmas NTT dan Dinas Pendidikan Provinsi NTT yang telah mengikutsertakan sekolah kami dalam program ini, sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap pendidikan khususnya pendidikan untuk sekolah luar biasa.”

Stormy Vertygo, salah seorang staf laboran Biokesmas NTT yang hadir di lapangan, mengatakan bahwa pengambilan sampel swab hanyalah merupakan salah satu tahap atau bagian dari Surveilens Sekolah Bebas COVID-19, sebuah program pendampingan yang digagas Fima Inabuy, Ketua Tim Lab Biokesmas. Program ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi NTT, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi NTT.

Tindak lanjut dari tahap ini adalah diadakannya edukasi dan pendampingan terhadap pelaksanaan Protokol Kesehatan (prokes) di area sekolah. “Prokes diharapkan bukan hanya dilihat sebagai sebuah aturan, melainkan kesadaran,” ungkap Stormy.


Warga sekolah mematuhi prokes bukan karena takut tidak akan diperbolehkan memasuki kawasan sekolah, tetapi juga karena telah menyadari betapa pentingnya menjaga keselamatan individu dan juga orang di sekitar mereka dari ancaman virus ini, "inilah salah satu tujuan utama dari program kami yang sebenarnya,” ujarnya.

Selanjutnya ia juga mengucapkan terima kasih kepada pihak sekolah atas kerja sama yang sangat baik selama proses pengambilan swab berlangsung dan berharap agar pembelajaran luring di sekolah dapat berlangsung secara efektif dan maksimal nantinya.

Fima Inabuy selaku Ketua Tim Lab Biokesmas, mengungkapkan bahwa tujuan program ini bukanlah menjamin bahwa setiap warga sekolah tidak akan terkena Covid-19, tetapi menjamin bahwa sekolah tidak akan menjadi cluster penularan Covid-19. “Pada akhirnya kedisplinan prokes masing-masinglah yang dapat menjamin setiap warga sekolah akan aman dari Covid-19”, ujarnya.

Lab Biokesmas NTT masih membuka pendaftaran bagi sekolah-sekolah, dan juga kampus, di Kota Kupang untuk mengikuti program Surveilens Bebas COVID-19. (red)

Related Posts:

Pulang ke Dada Ibu Sebab Rindu Tak Dibayar Negara | Pilihan Puisi Silviona W. Pada

Tanpa Titik Temu

Kita melalui hari
Tanpa permisi
Tanpa bukti
Tanpa isi
Sedangkan temu seperti waktu
Segera berlalu, 
Seperti udara
Menjadi debu
Seperti api
Menjadi abu.

Kupang, 22 Februari 2020


Pulang

Aku ingin pulang
Pada seseorang yang rindunya selalu dipendam
Di hadapan malam yang gelap
Doanya terus membentang.

Aku ingin pulang
Di saat sabana mengering; malam yang dingin
Waktu yang tepat aku memeluk punggungnya.

Aku ingin pulang
Ke dada ibu yang berbau tanah ladang
Tempat aku berpegang.
Di sana rindu yang bersemayam, menjelma doa yang tak henti berdendang.

Kupang, 23 maret 2020


Mencintaimu #1

Mencintaimu adalah kesiapan
Menjadi tangguh dalam mengagumi
Menjadi rapuh di lain waktu.

Kupang, 15 Maret 2020

Mencintaimu #2

Mencinta, kata kerja
Bila tak serasa
Setidaknya pernah membuatmu terjaga.

Waingapu, 2021


Rindu #1

Beberapa pencandu rindu lupa, bahkan ketika sudah diadu, rindu yang terlalu menggebu berakhir jadi debu.

Waingapu, 2021


Rindu #2

Jika setiap merindu dibayar negara
Maka aku adalah orang yang paling kaya.

Waingapu, 3 Maret 2021


Gagal

Kau berharap menjadi puisi,
Tapi tidak pernah sudi

Mati, dan jadi abadi.

Waingapu, 4 Maret 2021


Seteru Baru

Kerap kali berseteru perihal temu,
Bukankah cinta memang begitu?
Kau diharuskan keliru dan dipenuhi cemburu 
Sebelum merindu dan diizinkan bertamu.

Waingapu, 26 Maret 2021

***

Silviona W. Pada, penggiat Komunitas Leko Kupang, apoteker yang terlanjur jatuh cinta kepada puisi.

Related Posts: