Kalau burung dara sudah berkabar
Cepat pulang Unu
Itu tanda mau turun hujan
Siapa yang harus balik kita punya tanah?
Cepat pulang Unu
-Ishack Sonlay-
Sebelum kita 'dihempaskan' ke dalam dunia digital, dimana kiriman pesan hanya membutuhkan satu 'klik' untuk sampai ke tujuan, surat-menyurat adalah bentuk komunikasi jarak jauh yang lazim. Saya sedapat-dapatnya masih ingin terus menulis surat, untuk beberapa tujuan yang khusus, misalnya untuk mengucapkan selamat.
Untuk pertama kalinya saya menulis surat pada tahun 1996, ketika duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Merujuk pada format penulisan surat yang benar, yang saya tulis pada saat itu sebetulnya bukan surat, tetapi nota belanja (haha, ini serius!). Kepada paman saya yang saat itu merantau sebagai pengemudi di Denpasar, saya susunkan daftar barang-barang yang harus ia belikan kalau nanti pulang kampung. Begitulah surat seorang anak SD.
Memasuki abad 21, saya naik tingkat: menulis surat pena, surat ijin sakit kepada wali kelas, surat lamaran masuk Seminari, surat pernyataan tidak bolos sekolah, dan tentu saja surat cinta (padahal, itu dilarang di Seminari). Saya ingat pada tahun 2005, suatu malam, selepas
Vesper (ibadat senja) kami tidak diijinkan masuk asrama. Ternyata para Romo sedang melakukan razia surat cinta. Dan sialnya, surat-surat saya yang tersimpan di dalam lemari pun tidak luput.
|
Ilustrasi surat cinta: Cobbyspet |
Esok harinya, kami yang kedapatan menyimpan surat cinta dihukum oleh Romo Perfek. Setiap orang wajib menanam sebatang pisang di kebun, dan merawatnya sampai berbuah.
Atas persetujuan Romo Perfek, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk merawat kebun itu. Pada bagian depan kebun itu terpancang sebuah papan bertulis "Kebun Cinta".
Kembali ke topik pembicaraan, tentang surat. Dengan menulis surat, kita mencurahkan perasaan yang tak terlihat, ke dalam bentuk grafis yang terlihat. Dengan demikian, kita menunjukkan kedekatan kita dengan si penerima. Paulus misalnya, dalam beberapa suratnya menuliskan salam pada akhir suratnya begini, "Salam dari Paulus, demikianlah aku menulis dengan tanganku sendiri yang merupakan tanda pada setiap surat" (Cf. 2Tes 3: 17) Tentu saja, ia hendak menunjukkan totalitas dirinya, kedekatannya, dengan para pembaca.
Begitulah surat bekerja. Ia melibatkan bentuk-bentuk grafis yang khas dari si penulis. Saat kita menulis, kita berinteraksi dengan kertas, memberikan pola dengan tinta, seolah-olah kita sedang meleburkan diri ke dalamnya. Huruf-huruf itu mewakili diri kita. Karena itu, saya tak pernah mencoba untuk menghapus kata yang salah. Saya lebih memilih untuk memberikan garis datar, lalu memperbaiki tulisan saya pada spasi setelahnya.
Surat yang tertulis dengan coretan dan kesalahan adalah surat yang alamiah, apa adanya, dan-menurut saya-di situlah indahnya bersurat.
Demikian halnya yang dilakukan oleh Bonaparte kepada Josephine kekasihnya. Setelah mereka berkelahi semalam suntuk, esok paginya Bonaparte menulis kepada Josephine, "Saya mengirimkan kepadamu tiga ciuman. Satu pada hatimu, satu pada bibirmu dan satunya lagi untuk matamu." Surat itu penuh coretan. Coretan yang sama sekali tidak mengurangi hati dan cinta Bonaparte kepada Josephine.
Sepenggal surat dari Bonaparte kepada Josephine yang ditulis di Paris pada Desember 1795 berbunyi: “[…] Kamu berangkat siang ini; aku akan melihatmu tiga jam ke depan […] Sampai nanti mio dolce amor [...]”. Begitulah surat menyebabkan debar di dalam dada, entah karena rencana pertemuan, tugas keluar yang mendadak dan kamu harus meninggalkan kekasihmu segera atau karena hubungan jarak jauh yang tak bisa dipungkiri. Atas beberapa alasan, Bonaparte dan Josephine akhirnya bercerai pada tanggal 10 Januari 1810. Mereka, pada hari-hari setelah itu, tak lagi berkirim surat satu sama lain.
Selanjutnya marilah kita berbicara tentang pihak dan hal-hal yang memungkinkan sebuah surat berkenan sampai ke tangan penerima. Sejak zaman Persia Kuno, orang-orang biasanya menggunakan jasa burung merpati (Columba livia domestica) untuk mengirimkan surat. Pada masa perang, jasa merpati sangat penting untuk mengirimkan perintah dari panglima di markas besar kepada pemimpin pasukan di pangkalan-pangkalan militer.
|
Burung merpati/ merpati pos semasa peperangan. (Foto: Malindine EG) |
Pada tahun 1980-an, merpati bahkan digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan portofolio saham dari dan antar pusat-pusat bursa, maupun kepada nasabah. Tugas berat itu dimungkinkan oleh kualitas yang dimiliki merpati: pintar, mempunyai kemampuan navigasi yang baik, dan selalu ingat pulang ke kandang setelah jauh ia terbang berkelana. Kualitas ‘pulang ke kendang’ itulah yang menobatkan merpati sebagai saran pengantar surat yang sustain, dan sekaligus menginspirasi banyak orang untuk belajar tentang bagaimana harus setia kepada ‘kandang’.
Misalnya, dalam katalog pembukaan pameran Salamat Poo karya Iwan Effendy dan Ria Papermoon yang digelar di Yogyakarta (2013), seorang kurator mengucapkan “Selamat pulang ke rumah, burung-burung” kepada kedua seniman tersebut setelah mereka berkelana melakukan residensi di pinggiran Manila. Saya yakin, penyematan atribut ‘burung-burung’ kepada kedua seniman itu berangkat dari kualitas merpati ‘yang selalu pulang’. Kalau kamu? Sudah pulang belum? Masih berkelana di hati yang lain? Pulanglah, nak!
Setelah periode merpati pos, kita tiba ke masa pak pos, sosok separuh baya, dengan sepeda onthel berwarna oranye, dua tas bergantung pada tumpangan, dan tentu saja yang paling khas, bunyi “kring, kring, kring.” Ingat? Kalau tidak ingat, kamu pasti tergolong Kids Zaman Now.
Selain pak pos, ada pula beberapa elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah surat terkirim. Elemen-elemen itu kelihatannya sepele, tetapi pengaruhnya signifikan, membuat surat benar-benar menjadi surat. Sebut saja envelope, perangko, dan hammer cap pos yang berfungsi merekam riwayat pengiriman surat, yang acap kali dipandang sebagai bukti legitimasi sebuah surat.
Ada metode pengiriman surat yang lebih unik.
Dalam bukunya Dewa Ruci Melanglang Buana (1932), Cornelis Kowaas, seorang pensiunan Angkatan Laut, menceritakan kebiasaan tak lazim yang dilakukan oleh para pelaut ketika kapal mereka tiba di selat Gibraltar. Para pelaut akan berlomba-lomba menuliskan surat, membungkusnya dalam sebuah botol kaca kedap air, lalu melarungkannya ke samudera luas. Mereka yang melakukan ritual itu percaya, bahwa suatu hari nanti laut dan arusnya akan menghantarkan surat mereka kepada orang tertentu. Itu benar-benar terjadi.
Alkisah, Ake Viking, seorang pelaut Swedia melakukan hal yang sama pada tahun 1956. Di dalam surat botolnya ia menulis, “Berikanlah surat ini, dan alamatku ini, dan terlebih cintaku, kepada gadis pertama yang anda temui.” Surat itu terjaring pukat seorang nelayan asal Sisilia, Italia. Ketika tiba di pantai, orang pertama yang ia temui adalah puterinya sendiri yang sedang memasak di dapur.
Begitulah akhirnya, nelayan asal Sisilia itu menyerahkan surat dalam botol tersebut kepada putrinya. Sang puteri menyurati Ake Viking, mereka saling berkorespondensi, janjian bertemu, hingga akhirnya menikah.
|
Surat dalam botol. (Foto: Pixabay) |
Bentuk unik mengirimkan surat dalam botol yang dilarungkan ke Selat Gibraltar itu belakangan dimodifikasi ke dalam bentuk digital, misalnya fitur 'driffted bottle' pada aplikasi 'Wechat' atau dalam aplikasi-apalikasi 'message in bottle' lainnya. Tata cara penggunaannya dirancang sederhana: kamu cukup menuliskan pesanmu, melemparkannya kepada dunia maya yang luas hingga akhirnya ada orang lain yang secara acak menemukan pesanmu. Jika kamu beruntung, kamu bisa saja menemukan pesan dari Luna Maya (itu diandaikan bahwa Luna Maya juga melakukan hal yang sama pada aplikasi tersebut.
Tentu saja, aplikasi seperti itu mempermudah kita mengirimkan pesan dengan bentuk yang 'seolah-olah' natural. Ia memotong waktu dan jarak, menjadikannya lebih singkat dan dekat, sehingga tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk bertemu dengan seseorang dari sisi bumi yang lain. Namun sayang, aplikasi itu rasanya tidak benar-benar menjawab kerinduan manusia akan hidup yang penuh tualang. Bertemu dengan seorang wanita karena pesan botol yang natural tentu berbeda dengan pertemuan melalui media daring. Barangkali karena melalui aplikasi, kita bisa 'swap to the next person' dengan mudah, sehingga tidak sanggup membangun ruang yang bersahabat, dengan mengecilkan ego, dan membuka hati selebar-lebarnya bagi pribadi yang sementara ada.
Menulis surat melalui kertas maupun dalam cara unik seperti pesan botol nyatanya tidak dianjurkan oleh para aktivis peduli lingkungan, karena dianggap menyumbang sampah, meningkatkan penebangan hutan untuk produksi kertas, dan mengganggu ekosistem laut. Mengenai kritik tersebut, saya tidak ingin berkomentar lebih banyak, karena saya sendiri sepakat bahwa lingkungan harus dilestarikan.
Jalan terbaik adalah, gunakanlah kertas secara bertanggungjawab dan jangan membuang sampah sembarangan. Buanglah surat cinta mantanmu pada kotak sampah. Jangan biarkan sampah diarak-arak angin dan menyumbati selokan.
Cara yang mulia memperlakukan surat dan undangan bekas ditunjukkan oleh Nasirun dalam pamerannya yang bertajuk 'Uwuh Seni' (Sampah Seni) di Galeri Salihara pada tahun 2013. Nasirun dalam pemeran itu menampilkan respon artistiknya terhadap surat undangan bekas yang ia peroleh pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu, ia telah membuat sampah surat undangan menjadi berfaedah. Kalau kamu seorang kolektor surat-surat dari mantan, dan tak memiliki bakat melukis, saya punya ide lain. Datanglah ke festival menghapus mantan dan serahkanlah surat-suratmu itu sebagai donasi (Haha).
Akhirnya, saya harus selesaikan tulisan ini karena kehabisan bahan. Saya ingin menutupnya dengan penggalan 'Sepotong Senja untuk Pacarku' demikian: "Sebuah surat adalah pesan, kandungan rohani yang mengembara sebelum sampai tujuannya. Sebuah surat adalah sebuah dunia, di mana manusia dan manusia bersua" (Seno Gumira Ajidarma, 2002).
Melbourne, 7 - 11 November 2018
Penulis: Ishack Sonlay