LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Februari 2020

Maria Johana Berdoa | Puisi-Puisi Ricky Ulu




Ketika Malam dan Saya Memutar Amazing Grace

Sesuatu mendekat dan kita tahu
itu adalah perpisahan; mengetuk
pintu dengan kenangan-kenangan kecil
tentang kacamata, catur, Sampoerna, dan mimpi
yang menolak padam

Kita duduk berhadapan
membiarkan sepi dan rindu mengoyak
dada; siapa yang harus membuka pintu?

Maka pergilah sebab basah ciummu
di kaki kami tetap mekar
ketika hidup membentangkan sebuah jalan
untuk disusuri.

Kau menatap papan catur itu
Kacamatamu jatuh setengah
Retih api di ujung Sampoerna
Dan kau tertawa kecil ketika
hidup menyediakan
kekalahan-kekalahan yang tak pernah kita duga.

Maka bergeraklah. Angkatlah kacamata itu dan berkatilah kami dengan kenangan-kenangan ini. (Amazing Grace-pintu belum ditutup)


Maria Johana Berdoa

Sebuah selat di akhir juli terberi
di telapak tangannya, menghubungkan
harapan dan gentar yang riuh
sebab doa adalah perkara
menunggu, bukan sekedar melempar
dadu ke layar kuru-kuru
ketika kapal belum bergerak
dari pelabuhan yang penuh
janji dan masa depan
dalam tatap nanar syahbandar:
       ia selalu paham kepergian adalah nama lain kepulangan.

Puisi mencintai maria johana
sebagai perempuan, ia berani
menyeberang badai padahal bekal
mata angin dan mantra dari kitab
tua tak pernah ia hafal


Tafsir Puisi

Sepi, batas, biru
kau menyebutnya rindu,
mereka percaya itu kegilaan.

Tak ada yang mendengar
pecah ombak di baris pertama
dan kau selalu tertawa,
sebab puisi selalu menulis
laut tapi membayangkan rambutmu.

tarik napas, dalam-dalam
kata-kata ini
adalah doa yang mencapai
amin di bibirmu.

Ini bukan kitab suci
atau gulungan undang-undang
untuk menghukum begundal tapi
pesan yang dikirim

dari peziarah yang dikutuk
kepulangan dan kepergian
sekaligus.

Di depan matamu, puisi
hanyalah api yang kehilangan
merahnya
di kejauhan hatiku.

*Ricky Ulu, lahir di Dili, 27 Juli 1993. Sekarang bergiat di Komunitas Pohon Asam, Ponu.
Ilustrasi: Diolah dari Pixabay

Baca juga puisi-puisi lain dari Ricky Ulu DI SINI

Related Posts:

Petromak

Sampai terbuai engkau dalam negeri
seribu satu malam
Biar kuusap kepalamu
Dengan setangkai lilin sahaja


(Senja di Makam, Ishack Sonlay)
_________

Setiap jam 6 petang, dua puluh tahun yang lalu, saya setia bertengger di ketiak bapak yang sibuk menyalakan lampu petromak. Sambil menyuruh saya berpindah ke tempat yang lebih jauh, beliau akan mengarahkan bibirnya ke arah sumbu api, meniupnya perlahan-lahan, lalu mulai memompa memberi tekanan kepada minyak kerosin.



Ayah saya adalah seorang guru SD di pedalaman Oemasi.  Kami menempati sebuah mess sederhana, empat kamar, berdinding bebak, beratap alang dan berpenerang lampu petromak. Setelah kami terlelap (kira-kira jam sepuluh malam) ayah akan menghampiri lampu itu, melonggarkan penutup udara, lalu lampu akan segera padam, dan kami pun tidur dalam gulita.

***

Lampu petromak tidaklah asing bagi sebagian besar penduduk dunia yang hidup tanpa akses listrik. Lampu tersebut ditemukan oleh Max Graetz dan karena itu banyak sumber menyebut  bahwa Petromak berasal dari Petrol dan Max.

Prinsip kerja petromak adalah: dibutuhkan permukaan seluas-luasnya untuk memberikan penerangan sebesar-besarnya, namun diperlukan berat sekecil-kecilnya agar hemat bahan bakar. Setelah melakukan serangkaian percobaan, maka dihasilkanlah sebuah kaus yang berupa jaring-jaring keramik, campuran dari oksida-oksida logam. Itulah kaus lampu petromak yang akhirnya memenuhi prinsip tadi.

***

Boomingnya Petromak di pasaran, persis berbarengan dengan saat Max mematenkan produknya itu pada tahun 1990-an. Petromak menjadi penerang utama di lapak-lapak makan, rumah penduduk pedesaan, pasar malam, pesta dansa, pos ronda, dan sebagainya.

Secara tidak terstruktur dan tidak masif, petromak telah menjadi bagian dari geliat sosial masyarakat menengah ke bawah, terutama mereka yang hidup tanpa akses listrik di desa-desa terpencil. Petromak harus diakui telah menjadi terang bagi diskusi-diskusi akar rumput, kisah romantik para kekasih yang putus-sambung sambil merencanakan revolusi, pergerakan-pergerakan orang-orang tua, dan anak-anak yang bermain odong-odong. Semuanya tetap tertulis dalam ingatan.

Sekitar 1970-an, muncullah sebuah group musik bernama 'Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks' (OM PSP) yang beranggotakan Indrakesumah, Dindin, Aditya, Andra Ramadan Muluk, James R Lapian serta bintang tamu Edwin Hudioro.
Kemunculan group ini mendapat tempat di hati orang tua dan muda waktu itu, terutama karena mereka sering tampil bersama Warkop DKI di Prambors dan TVRI dengan gaya musik dangdut yang penuh humor. Dalam gaya humornya, mereka justru menyampaikan kritik terhadap ketimpangan sosial pada waktu itu.

Dalam lagu 'Duta Merlin' misalnya, OM PSP menyampaikan kritiknya terhadap kesenjangan sosial kemanusiaan dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta. Berikut kutipan liriknya:

Tapi sampe sono ane jadi kuciwe
Harge barang nyang dipajang aduh mahalnye
Duit nyang ade di kantong kagak sebrape
Masak blanje musti korban anak bini ane
Terpaksalah ane pulang tangan hampe
Pengen baju cume sanggup beli kancingnye
Dasar penyakitnye toko di kote gede
Jual barang kagak bisa kalo kagak mahal

Kalau hari sudah malam, cepat nyalakan petromak!

Denpasar, 24 November 2017
Penulis: Ishack Sonlay

Ilustrasi: Ist.

Related Posts:

Mendengarkan di Zaman (Dis-/Mis-/Mal) Informasi


Oleh: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd*

Kita mafhum, dunia sekarang berlari lintang pukang.  Sedang dilanda banjir bandang informasi, bahkan tsunami informasi. Kuantitas informasi luar biasa banyaknya. Laksana gunung gelombang membuat kita tercekam dan tercengang. Begitu juga kualitas informasi luar biasa macamnya. Dari yang tidak benar ibarat sampah kotor sampai yang benar ibarat air sangat bening. Itu semua bercampur aduk menjadi satu. Kita pun tertegun seraya mengernyitkan dahi. Medium informasi pun demikian beraneka ragamnya. Tak jarang membuat kita repot dan kalang kabut.
Ilustrasi: Ist.

Di situlah kita dihadapkan pada mahadata (big data) atau maha-informasi (big information). Bahkan kemudian kita tercemplung ke dalam maha-data atau maha-informasi. Ibaratnya, dengan kesadaran dan keterampilan masing-masing yang bervariasi, kita terapung dan terombang-ambing di tengah samudra informasi yang penuh hempas-gelora badai.

Dihela oleh “angin puyuh” revolusi teknologi informasi dan komunikasi atau revolusi digital, samudra informasi yang penuh hempas-gelora badai jadi sangat(-sangat) melimpah ruah. Menerjang apapun, menggelontor kemana pun, lalu meluber ke mana-mana dan mengenang di mana-mana. Terlepas kita inginkan atau tidak. Batas-batas dan sekat-sekat informasi jebol Bukan hanya batas dan sekat tempat, tetapi juga ruang dan waktu.

Setiap waktu segala macam bentuk, jenis, rupa, dan sifat informasi bercampur aduk. Menyerbu, menggulung, bahkan “menyeret-hempaskan” kita semua. Ke dalam “ruang dan lanskap informasi serba tak terduga, tak pasti, njelimet, dan mendua. Selain itu, setiap saat informasi dengan segala kuantitas, kualitas, dan mediumnya berseliweran. Berlalu lalang, dan berkelebat cepat di dalam dunia-kehidupan kita.

Hidup kita pun “berada di dalam” dan “tak pernah terlepas sekejap pun” dengan informasi. Di sini kita – meminjam kata para ahli – kita mungkin menjadi masyarakat informasi – bahkan masyarakat informasi baru (digital). Tiba-tiba masyarakat dan informasi pun berkoeksistensi, saling mengada bersama. Sebab itu, beranalogi dengan proposisi masyhur cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dari Rene Decartes, tak berlebihan dikatakan: informationem ergo sum (aku berinformasi maka aku ada).

Kini eksistensi orang atau sekelompok orang sekarang ditentukan oleh seberapa besar, banyak, dan bermutu pemilikan dan penguasaan mereka atas informasi. Lebih-lebih pada era sekarang dan akan datang yang juga dinamai era mahadata (big data). Ini menjadikan informasi atau data sangat sentral dalam kehidupan manusia. Informasi atau data menjadi aset atau modal baru.

Di situlah lantas kita menyaksikan gejala kesentralan informasi dalam peri kehidupan bersama dan pribadi manusia. Pada satu sisi, informasi jadi salah satu kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari manusia. Tanpa informasi  mereka merasa kelimpungan. Pada sisi lain, informasi yang begitu melimpah ruah dan meluap-luap seperti samudra luas dan bergelora diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Kepentingan sosial, kultural, politik, ekonomi, religius, dan lain-lain bersilang sengketa. Ringkas kata, pelbagai kepentingan baik positif maupun negatif masuk dalam dunia informasi.

Tak ayal, bermacam-macam kadar dan mutu informasi bertebaran, berhamburan, dan bercampur menjadi satu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bukan hanya informasi yang benar dan akurat. Tetapi, juga informasi yang salah, dibuat salah, dan atau disampaikan salah demi kepentingan tertentu berhamburan dan bercampuran. Maka kita bukan hanya berhadapan dengan informasi (dalam arti informasi yang benar dan akurat). Tetapi, juga misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Mis-informasi merupakan informasi yang salah yang dipercaya benar oleh penyebarnya tanpa maksud dan niat negatif. Dis-informasi merupakan informasi yang salah yang diketahui dan disebarkan oleh penyebarnya demi kepentingan negatif tertentu bagi pihak lain. Lalu mal-informasi merupakan informasi yang sebenarnya benar dan akurat yang sengaja digunakan oleh pengguna digunakan untuk kepentingan negatif tertentu. Tak terelakkan, sekarang dan lebih-lebih ke depan kita bukan hanya dibekap era informasi. Tetapi, juga kecemplung era mis-informasi, dis-informasi, dan atau mal-informasi secara serentak dan bertumpang tindih.

Hidup di tengah era (mis-/dis-/mal-) informasi tersebut menuntut kita memelototi dan melek informasi. Juga wajib selalu berhati-hati dan tidak gegabah ketika berhadapan dengan informasi – informasi apapun. Untuk itu, kata para ahli dan pekerja informasi, kita memerlukan literasi informasi. Tentu saja kontennya bisa bermacam-macam meliputi pelbagai lapangan kebudayaan atau kehidupan manusia.
Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd


Literasi informasi membikin kita sadar atau melek mana yang informasi ‘benaran”, mana yang mis-informasi, mana yang dis-informasi, dan mana yang mal-informasi. Mengingat sekarang, lebih-lebih ke depan, kita tak hanya berada di dunia lisan, naskah, cetak, dan digital secara serentak, maka literasi informasi yang harus kita kuasai tak hanya bertumpuan kelisanan dan kenaskahan. Namun, juga bertumpuan keberaksaraan dan kedigitalan (atau disebut juga kelisanan sekunder).
 
Di sinilah kita jadi mafhum, literasi informasi tak hanya soal membaca atau daya baca, tetapi juga mendengarkan atau daya dengar. Tak cuma perlu kemahiran membaca. Namun, juga kemahiran mendengarkan. Tak cuma perlu aktivitas membaca, tetapi juga aktivitas mendengarkan secara bersamaan atau serentak. Kapasitas membaca diperlukan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber tertulis.

Kapasitas mendengarkan amat dibutuhkan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber lisan dan digital. Bahkan secara serempak kapasitas membaca dan mendengarkan diperlukan saat kita berhadapan dengan informasi dari dunia digital.

Itu sebabnya, mendengarkan dan membaca sama-sama penting untuk menguasai dan memperkuat literasi informasi. Lebih-lebih di tengah dunia yang diharu-biru oleh revolusi digital, revolusi komunikasi dan informasi, dan revolusi ilmu pengetahuan khususnya bioteknologi. Ringkas kata, kemahiran mendengarkan diperlukan setiap orang untuk menemukan informasi yang benar, akurat, dan tepat pada masa sekarang dan akan datang.

Seiring gonjang-ganjing perubahan revolusioner disruptif sekarang, yang membawa tsunami informasi pada satu sisi dan pada sisi lain menimbulkan mis-informasi, dis-informasi, dan mal-informas, maka yang kita perlukan bukan sembarang(an) mendengarkan.  Tak cuma mendengarkan literal dan mendengarkan komprehensif. Kini kita lebih memerlukan mendengarkan kritis, mendengarkan kreatif, bahkan menyimak reflektif.

Dengan mendengarkan literal dan komprehensif kita akan mampu menangkap dan memahami informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu dengan medium tertentu. Tetapi, hal itu saja tak cukup. Kita juga harus mampu menilai dan menerka dampak sebuah informasi yang kita peroleh dari aktivitas mendengarkan. Malahan kita juga harus mampu menggunakan informasi hasil mendengarkan demi kebaikan.

Di situlah kita juga memerlukan mendengarkan kritis, kreatif, dan reflektif. Jadi, selain beragam membaca, kita juga memerlukan beragam mendengarkan. Ini supaya kita memiliki literasi informasi yang baik, konstruktif, dan berfaedah bagi kehidupan bersama. Untuk itulah mendengarkan penting dijadikan perhatian, bahkan dijadikan bagian proyek reklamasi percakapan di tengah sorak-sorai literasi. Sekarang dan ke depan kita tak hanya memerlukan literasi, tetapi juga penguatan mendengarkan! Kita memerlukan proyek reklamasi percakapan termasuk di dalamnya reklamasi mendengarkan, bukan cuma proyek literasi!

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Artikel ini pernah dipublikasikan di akun facebook penulis: Djoko Saryono


Related Posts:

Pemerintah Minta Masyarakat Keluar dari Hutan Adat Pubabu. Eh, Itu Hutan Aset Pemda-kah?


Polemik antara Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat adat di hutan adat Pubabu, makin hari makin bertele-tele. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menguasai hutan adat dengan menurunkan aparat untuk mengamankan lokasi sekaligus berupaya untuk mengeluarkan masyarakat yang tinggal di sana.
Seorang ibu kelelahan saat berusaha mempertahankan tanah adat di Pubabu. (Foto: Niko Manao)


Hal ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan; siapa yang sebenarnya mempunyai hak atas hutan adat Pubabu? Apa yang menjadi dasar utama dari pemerintah untuk mengeluarkan masyarakat dari hutan ada Pubabu? Apakah sertifikat Hak Pakai yang dipegang oleh pemerintah? Apakah implikasi hukum dari sertifikat Hak Pakai yang dikeluarkan di atas tanah masyarakat? Apakah kemudian menghapuskan hak kepemilikan masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari fakta-fakta di lapangan yang tidak secara transparan dilakukan oleh pemerintah. Secara khusus, sosialisasi terkait dikeluarkannya sertifikat Hak Pakai di atas tanah milik masyarakat. Belum lagi permasalahan sertifikat hak pakai periode kedua ini juga kemudian menimbulkan pertanyaan baru; bagaimanakah prosedur perpanjangan sertifikat Hak Pakai yang sebelumnya telah selesai masa kontraknya di tahun 2012?

Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab oleh pemerintah sebelum kemudian mempunyai inisiatif mengeluarkan masyarakat dari tanah adatnya sendiri.

Merujuk pada Undang-Undang nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah,  yang mana didasarkan pada landasan filosofis bahwa tanah memiliki peran yang sangat penting. Artinya, dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan, sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Masyarakat adat yang mendiami wilayah hutan adat Pubabu juga merupakan masyarakat yang wajib diperhatikan hak-haknya karena merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Sejauh mana pemerintah memperhatikan hak masyarakat adat Pubabu dalam pembangunan, yang rencananya akan dikembangkan di lokasi Pubabu. Sementara itu, permintaan masyarakat Pubabu untuk menyelesaikan konflik terkait tanah adat, hingga saat ini tidak ditangani secara transparan.
Aparat TNI, Polri, Pol PP dan dinas terkait ketika mengeluarkan masyarakat dari hutan adat Pubabu.
(Foto: Vera Selan) 


Pemerintah tentunya mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan dan menjawab permintaan masyarakat terkait pengakuan hak masyarakat atas tanah adatnya. Karena memang sejarah kegiatan pemerintah, dalam hal ini Dinas Peternakan Provinsi NTT dalam pengembangan peternakan dilandasi pada kesepakatan masyarakat melalui sertifikat Hak Pakai selama 25 tahun, sejak 1987 dan telah berakhir pada 2012.

Dalam pasal 41 Undang-Undang ini dijelaskan, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah: Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan;  Tanah Hak Milik. Dalam konteks masalah di hutan adat Pubabu, tanah tersebut adalah tanah masyarakat Pubabu karena awal pemberian sertifikat Hak Pakai, didasari pada kesepakatan bersama masyarakat sebagai pemegang Hak Milik.

Selanjutnya dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) menegaskan: (1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang; (2) Atas kesepakatan antar pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Artinya bahwa perlu ada kesepakatan dengan masyarakat sebagai pemegang Hak Milik, apabila sertifikat Hak Pakai akan diperpanjang lagi.

Terkait dengan hal ini, tentunya masyarakat yang mendiami hutan Pubabu mempertanyakan apa yang menjadi dasar pemerintah untuk mengeluarkan masyarakat dari tanah adatnya sendiri? Apakah setelah selesai masa perjanjian - sertifikat Hak Pakai selama 25 tahun itu, tanah dikembalikan kepada masyarakat?
Masyarakat kehilangan naungan. Barang-barang, seisi rumah turut dikeluarkan. (Foto: Vera Selan)


Pasal 50 Undang-Undang ini secara tegas mengatur kewajiban pemegang Hak Pakai yang tertuang dalam poin (d): menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus. Jelas sudah bahwa tanah adat di Pubabu, secara hukum wajib dikembalikan kepada masyarakat adat.


Berangkat dari hal ini WALHI meminta pemerintah untuk menghentikan upaya paksa pemerintah mengeluarkan masyarakat yang mendiami hutan Pubabu. Hutan tersebut sampai saat ini, berdasarkan bukti-bukti sejarah adalah milik masyarakat adat Pubabu. Selain itu, Pemerintah Provinsi NTT, dalam hal ini Gubernur Viktor Laiskodat agar mendengarkan secara langsung aspirasi masyarakat di hutan adat Pubabu.

*Penulis: Yuvensius Stefanus Nonga, S.H., M.H. Deputi WALHI Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur



Related Posts:

Musim Tanam; Tidak Banjir, Tidak Makan


Oleh: Rizki Adiputra Taopan*

Seharusnya memasuki pertengahan Desember hingga akhir Januari, kompleks persawahan yang sepi, mulai ramai dengan aktivitas petani - menyiapkan lahan, menyambut musim tanam. Namun jauh panggang dari api, para petani tampaknya harus menggantung pacul dan duduk menunggu. Apa yang ditunggu? Banjir!
Sawah kering sebagai akibat kemarau berkepanjangan. (ANTARA FOTO/ Jojon)


Saat dimana daerah lain dilanda masalah banjir,
sebagian petani di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, justru harap harap cemas menunggu datangnya banjir. Banjir setiap tahunnya merupakan alarm, pertanda musim tanam akan dimulai.

Sawah tadah hujan memang mendominasi Kabupaten Kupang. Dari 23.187 Ha lahan sawah, sebesar 74,44% di antaranya merupakan sawah tadah hujan. Sebagaimana namanya, tipe sawah ini sangat bergantung pada ketersediaan air hujan. Itulah mengapa ada istilah “tidak banjir, tidak makan”.

Musim hujan biasanya dimulai bulan November, meningkat di Desember, kemudian mencapai puncak di Januari, dan semakin menurun di Februari sampai Maret. Banjir akan 'datang' ketika intensitas hujan meningkat (bulan Januari). Banjir akan mengisi sungai dan embung, yang kemudian dialirkan ke saluran-saluran irigasi di areal persawahan.

Berdasarkan pengamatan penulis, setidaknya dalam satu musim tanam terjadi satu sampai dua kali banjir. Lalu mengapa di musim tanam 2020 ini banjir tak kunjung datang? Apakah petani terancam gagal tanam?

Curah hujan menjadi penyebab pertama. Jika kita berkaca pada musim tanam 2018, rata-rata curah hujan pada bulan November 2017 sampai Maret 2018 adalah 63,83 mm (Data BPS Kab. Kupang). Musim tanam 2018 bisa dikatakan berjalan normal. Curah hujan pada November 2017 cukup tinggi yaitu 126 mm dan semakin meningkat pada Desember sebesar 415 mm, dan menurun pada Januari 2018 sebesar 151 mm.

Sebagai catatan bahwa musim tanam 2018 menghasilkan produksi padi tertinggi selama tiga tahun terakhir (2016-2018) yaitu sebesar 119.397 Ton, atau meningkat sebesar 9.088 Ton (Data BPS Kab. Kupang). Hal ini makin menegaskan pengaruh curah hujan terhadap keberhasilan musim tanam. Meskipun data curah hujan akhir 2019 dan awal 2020 ini belum dirilis lembaga terkait, kita dapat mengamati bahwa curah hujan terpantau rendah, dan berdampak pada terlambatnya musim tanam 2020.

Penyebab berikutnya adalah fenomena El Nino. El Nino merupakan fenomena meningkatnya suhu muka laut di kawasan pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox, 2000; Nicholls dan Beard, 2000). Jika terjadi El Nino maka curah hujan akan menurun dibawah curah hujan normal. El Nino memang merupakan momok bagi petani, khususnya petani tanaman pangan seperti padi.

Kita tentunya masih ingat bagaimana dampak El Nino pada tahun 2015, yang berpengaruh hingga pertengahan 2016. Sedangkan pada tahun 2017 tidak terjadi El Nino, namun menurut BMKG, itu merupakan tahun terpanas tanpa El Nino. Pada akhir 2018 kembali terjadi El Nino yang terus menguat sampai 2019.

Pada musim tanam 2019, banyak petani di Kecamatan Kupang Timur yang mengeluhkan menurunnya hasil panen padi. Pertanyaannya, apakah tahun 2020 terjadi El Nino? World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan kondisi ENSO (El Nino Southern Oscillation) netral sebesar 65% berlaku selama periode Desember 2019 sampai Februari 2020.

Perlu diketahui bahwa jika terjadi El Nino maka nilai ENSO negatif. Prediksi WMO ini dikuatkan oleh BMKG yang mengklaim bahwa tidak ada indikasi kuat terjadi El Nino di tahun 2020. Meskipun tidak ada indikasi kejadian El Nino, Met Office Amerika memprediksi 2020 akan menjadi tahun terpanas, bahkan akan memecahkan rekor. Penyebabnya adalah efek rumah kaca.

Apapun fenomena yang tejadi, petani di Kabupaten Kupang masih menunggu banjir. Bahkan ada petani yang terpaksa menanam, sambil berharap banjir akan datang, meskipun
resiko puso akibat kekeringan sangat tinggi. Angka tetap (Atap) ST 2013 menyebutkan terdapat 4.810 rumah tangga jasa pertanian di kabupaten Kupang, dimana 79,23 % mengusahakan tanaman pangan. Kelompok inilah yang paling rentan jika terjadi gagal tanam tahun ini.

Upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah memaksimalkan lahan-lahan sawah yang
memiliki cadangan air irigasi. Beberapa kecamatan memiliki sumber air yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan para petani disekitarnya. Salah satunya di Kecamatan Kupang Tengah yang memiliki bendungan Tilong.

Selain itu, petani juga harus mulai bertindak untuk 'mengganti' komoditas tanaman pangan, khususnya yang lebih tahan kekeringan, misalnya jagung. Tentunya kita berharap tidak terjadi gagal tanam, gagal panen, atau bahkan rawan pangan tahun ini. Semoga tidak.

Penulis: *Rizki Adiputra Taopan, Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Kabupaten Kupang.




Related Posts:

WALHI Membaca Tantangan Demokrasi, Politik dan Krisis Lingkungan Hidup di NTT


Kupang, LekoNTT.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menggelar diskusi bertemakan "Masa Depan Demokrasi dan Politik Lingkungan Hidup di Indonesia". Diskusi yang berlangsung selama empat jam lebih bertempat di Kantor WALHI NTT, Jalan Bung Tomo III Nomor 8 - Kelapa Lima, Kota Kupang pada Minggu (16/2/2020).


Hadir sebagai pembicara, Risma Umar (Ketua Dewan Nasional WALHI), Chairil Syah (Badan Startegis Nasional - Partai Hijau Indonesia) dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (Direktur Eksekutif WALHI NTT). Diskusi yang dihadiri oleh beberapa lembaga, organisasi, komunitas, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, dilatarbelakangi oleh isu lingkungan yang nyaris 'tenggelam' oleh menguatnya politik identitas di Indonesia saat ini.

WALHI, secara khusus Eksekutif Daerah NTT menilai, isu lingkungan hidup belum menjadi isu utama dan bukan isu penting bagi partai politik. Para elit politik dan partainya malah lebih menjadikan ekonomi sebagai isu utama untuk meningkatkan elektabilitas ataupun perolehan suara - sebuah incaran. WALHI sendiri telah menelaah partai-partai politik yang memuat isu lingkungan hidup, tetapi dalam kenyataan, tidak tegas menjadikan isu tersebut sebagai persoalan struktural. Visi - misi, program dan manifesto dari partai-partai politik yang ada, sebatas catatan usang di atas kertas.



Terkait isu lingkungan di NTT pada umumnya, Umbu Wulang menilai pemerintah NTT alpa memperhatikan lokalitas ataupun kurang merespon kearifan lokal. Produk hukum yang ada pun lebih berpihak kepada para investor. "Di NTT, belum ada produk hukum yang benar-benar melindungi masyarakat dan wilayah kelolanya. Di Sumba misalnya, 80% wilayah pesisir sudah dimiliki para investor, dan rakyat semakin kesulitan akses terhadap wilayah-wilayah sekitar, bahkan seringkali diusir".

"Sumba, sebagai salah satu pulau terindah, keindahannya palsu, hanya dimiliki oleh para penguasa dan investor"

Umbu Wulang pun memberi contoh terkait kasus pada tahun 2018 di Desa Patiala Bawa, Sumba Barat. Adalah Poro Duka, rakyat kecil, dadanya bolong setelah ditembak oknum aparat. Ia meninggal demi mempertahankan tanah adatnya dari investor. Selain itu, kasus hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan yang kembali mencuat sepekan lalu. Masyarakat adat setempat dipaksa Pemprov NTT, keluar dari kawasan tersebut yang adalah tanah adat mereka.



Umbu Wulang pun meminta kepada masyarakat NTT, agar jangan terlalu berharap dengan adanya pembangunan beberapa bendungan besar. Sebab adanya lebih menguntungkan pihak penguasa. "Sebagian besar tanah, lahan perkebunan, persawahan di sekitar bendungan atau yang dapat pengaruh dari bendungan, itu dimiliki oleh para pejabat, penguasa, dan masyarakat akan tetap menjadi buruh. Tidak ada pengaruh langsung ke rakyat kecil".

Risma Umar dalam penyampaiannya mengatakan, pemerintah dalam mengurus ini Negara, khususnya pengelolaan lingkungan lebih bias -  dominan ekonomi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ekonomi ditentukan oleh siapa yang berkuasa (secara politik) menentukan keputusan, yang ditata secara rapi, mulai dari daerah hingga tingkat nasional.

"Mereka tidak berpihak kepada rakyat kecil. Adalah orang-orang yang menurut kita, tidak punya etik lingkungan, tidak punya etik kemanusiaan".

Disampaikannya, 70% proyek pemerintah Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim, justru lebih menyasar ke program yang merusak lingkungan. Hanya terdapat - sekitar 20% yang menyasar ke pemulihan, mendorong kapasitas warga beradaptasi dan memunculkan berbagai inisiatif, selebihnya mendatangkan utang dan rakyat semakin jauh.

Oleh karena itu, menurutnya gerakan lingkungan hidup harus berdimensi politik dan ekonomi, kalau tidak, kita hanya sampai pada urusan sampah. "Kerusakan lingkungan hidup itu, disebabkan oleh dominan perspektif keserakahan terhadap monopoli ekonomi. Yang dibangun adalah keputusan politik yang memang mindsetnya adalah berkuasa secara ekonomi. Karena itu, gerakan lingkungan harus inheren dengan gerakan politik".

Risma pun menjelaskan, munculnya gerakan yang demikian sebagai akibat dari kesadaran kolektif WALHI. Bahwa gerakan lingkungan, tidak semata berurusan dengan lingkungan itu sendiri, tetapi perlu dibarengi secara masif dan berpuncak pada gerakan politik. Gerakan lingkungan sebagai gerakan politik harus mampu memberi jawaban soal keadilan ekonomi, lingkungan, ekologi, hingga pada keadilan politik itu sendiri. Ia pun menilai, sistem demokrasi saat ini adalah wujud sistem demokrasi transaksional. Rakyat ataupun para aktivis lingkungan sulit untuk masuk ke dalam sistem.



Hal yang sama ditegaskan Chairil Syah. Dalam tanggapannya, Chairil menandaskan bahwa akar persoalan negeri ini, karena memang sistem demokrasi Indonesia adalah sistem yang korup. Konsep demokrasi bertolakbelakang dengan fakta yang ada.

"Manifesto pun sudah sampai pada tahap mengajak Tuhan bersekongkol untuk menjalankan praktek kriminal. Ini adalah wujud demokrasi kriminal"

Chairil pun mengkritisi syarat adanya sebuah partai yang sangat ribet pascareformasi. Menurutnya, syarat dimaksud 'sengaja' dibikin ribet oleh pembuat undang-undang - partai politik yang berkuasa demi kepentingan kelompok. "Saya katakan, bahwa di Indonesia belum ada partai. Jika di Indonesia sudah ada partai yang benar, maka tidak akan ada pula gagasan untuk membuat partai alternatif. Sebut saja Partai Hijau".

Ia menilai, masalah tersebut sebagai kegagalan dari pendidikan politik, baik tanggungjawab pemerintah, partai politik dan masyarakat, tidak sempat melaksanakan pendidikan politik yang tepat dan benar. Penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, tampak menerapkan politik kepentingan. Kasus Wahyu Setiawan adalah salah satu bukti bahwa ada konspirasi antara penyelenggara dan partai politik. Maka keputusan-keputusan politik yang lahir dari DPR, tidak pro rakyat dan lebih kepada investasi. (het)

Baca juga artikel lainnya terkait ISU LINGKUNGAN

Related Posts:

Surat


Kalau burung dara sudah berkabar
Cepat pulang Unu
Itu tanda mau turun hujan
Siapa yang harus balik kita punya tanah?
Cepat pulang Unu

-Ishack Sonlay-

Sebelum kita 'dihempaskan' ke dalam dunia digital,  dimana kiriman pesan hanya membutuhkan satu 'klik' untuk sampai ke tujuan,  surat-menyurat adalah bentuk komunikasi jarak jauh yang lazim. Saya sedapat-dapatnya masih ingin terus menulis surat, untuk beberapa tujuan yang khusus,  misalnya untuk mengucapkan selamat.

Untuk pertama kalinya saya menulis surat pada tahun 1996, ketika duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Merujuk pada format penulisan surat yang benar,  yang saya tulis pada saat itu sebetulnya bukan surat,  tetapi nota belanja (haha, ini serius!). Kepada paman saya yang saat itu merantau sebagai pengemudi di Denpasar, saya susunkan daftar barang-barang yang harus ia belikan kalau nanti pulang kampung. Begitulah surat seorang anak SD.

Memasuki abad 21, saya naik tingkat: menulis surat pena, surat ijin sakit kepada wali kelas,  surat lamaran masuk Seminari, surat pernyataan tidak bolos sekolah, dan tentu saja surat cinta (padahal,  itu dilarang di Seminari). Saya ingat pada tahun 2005,  suatu malam,  selepas Vesper (ibadat senja) kami tidak diijinkan masuk asrama. Ternyata para Romo sedang melakukan razia surat cinta. Dan sialnya,  surat-surat saya yang tersimpan di dalam lemari pun tidak luput.
Ilustrasi surat cinta: Cobbyspet


Esok harinya, kami yang kedapatan menyimpan surat cinta dihukum oleh Romo Perfek. Setiap orang wajib menanam sebatang pisang di kebun, dan merawatnya sampai berbuah.

Atas persetujuan Romo Perfek,  beberapa kawan mengambil inisiatif untuk merawat kebun itu. Pada bagian depan kebun itu terpancang sebuah papan bertulis "Kebun Cinta".

Kembali ke topik pembicaraan,  tentang surat.  Dengan menulis surat,  kita mencurahkan perasaan yang tak terlihat, ke dalam bentuk grafis yang terlihat. Dengan demikian, kita menunjukkan kedekatan kita dengan si penerima. Paulus misalnya,  dalam beberapa suratnya menuliskan salam pada akhir suratnya begini, "Salam dari Paulus, demikianlah aku menulis dengan tanganku sendiri yang merupakan tanda pada setiap surat" (Cf. 2Tes 3: 17) Tentu saja, ia hendak menunjukkan totalitas dirinya, kedekatannya, dengan para pembaca.

Begitulah surat bekerja. Ia melibatkan bentuk-bentuk grafis yang khas dari si penulis. Saat kita menulis, kita berinteraksi dengan kertas, memberikan pola dengan tinta,  seolah-olah kita sedang meleburkan diri ke dalamnya. Huruf-huruf itu mewakili diri kita. Karena itu,  saya tak pernah mencoba untuk menghapus kata yang salah. Saya lebih memilih untuk memberikan garis datar, lalu memperbaiki tulisan saya pada spasi setelahnya.

Surat yang tertulis dengan coretan dan kesalahan adalah surat yang alamiah, apa adanya, dan-menurut saya-di situlah indahnya bersurat.

Demikian halnya yang dilakukan oleh Bonaparte kepada Josephine kekasihnya. Setelah mereka berkelahi semalam suntuk, esok paginya Bonaparte menulis kepada Josephine,  "Saya mengirimkan kepadamu tiga ciuman. Satu pada hatimu, satu pada bibirmu dan satunya lagi untuk matamu." Surat itu penuh coretan.  Coretan yang sama sekali tidak mengurangi hati dan cinta Bonaparte kepada Josephine.

Sepenggal surat dari Bonaparte kepada Josephine yang ditulis di Paris pada Desember 1795 berbunyi: “[…] Kamu berangkat siang ini; aku akan melihatmu tiga jam ke depan […] Sampai nanti mio dolce amor [...]”. Begitulah surat menyebabkan debar di dalam dada, entah karena rencana pertemuan, tugas keluar yang mendadak dan kamu harus meninggalkan kekasihmu segera atau karena hubungan jarak jauh yang tak bisa dipungkiri. Atas beberapa alasan, Bonaparte dan Josephine akhirnya bercerai pada tanggal 10 Januari 1810. Mereka, pada hari-hari setelah itu, tak lagi berkirim surat satu sama lain.

Selanjutnya marilah kita berbicara tentang pihak dan hal-hal yang memungkinkan sebuah surat berkenan sampai ke tangan penerima. Sejak zaman Persia Kuno, orang-orang biasanya menggunakan jasa burung merpati (Columba livia domestica) untuk mengirimkan surat. Pada masa perang, jasa merpati sangat penting untuk mengirimkan perintah dari panglima di markas besar kepada pemimpin pasukan di pangkalan-pangkalan militer.
Burung merpati/ merpati pos semasa peperangan. (Foto: Malindine EG)


Pada tahun 1980-an, merpati bahkan digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan portofolio saham dari dan antar pusat-pusat bursa, maupun kepada nasabah. Tugas berat itu dimungkinkan oleh kualitas yang dimiliki merpati: pintar, mempunyai kemampuan navigasi yang baik, dan selalu ingat pulang ke kandang setelah jauh ia terbang berkelana. Kualitas ‘pulang ke kendang’ itulah yang menobatkan merpati sebagai saran pengantar surat yang sustain, dan sekaligus menginspirasi banyak orang untuk belajar tentang bagaimana harus setia kepada ‘kandang’.

Misalnya, dalam katalog pembukaan pameran Salamat Poo karya Iwan Effendy dan Ria Papermoon yang digelar di Yogyakarta (2013), seorang kurator mengucapkan “Selamat pulang ke rumah, burung-burung” kepada kedua seniman tersebut setelah mereka berkelana melakukan residensi di pinggiran Manila. Saya yakin, penyematan atribut ‘burung-burung’ kepada kedua seniman itu berangkat dari kualitas merpati ‘yang selalu pulang’. Kalau kamu? Sudah pulang belum? Masih berkelana di hati yang lain? Pulanglah, nak!

Setelah periode merpati pos, kita tiba ke masa pak pos, sosok separuh baya, dengan sepeda onthel berwarna oranye, dua tas bergantung pada tumpangan, dan tentu saja yang paling khas, bunyi “kring, kring, kring.” Ingat? Kalau tidak ingat, kamu pasti tergolong Kids Zaman Now.

Selain pak pos, ada pula beberapa elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah surat terkirim. Elemen-elemen itu kelihatannya sepele, tetapi pengaruhnya signifikan, membuat surat benar-benar menjadi surat. Sebut saja envelope, perangko, dan hammer cap pos yang berfungsi merekam riwayat pengiriman surat, yang acap kali dipandang sebagai bukti legitimasi sebuah surat.
Ada metode pengiriman surat yang lebih unik.

Dalam bukunya Dewa Ruci Melanglang Buana (1932), Cornelis Kowaas, seorang pensiunan Angkatan Laut, menceritakan kebiasaan tak lazim yang dilakukan oleh para pelaut ketika kapal mereka tiba di selat Gibraltar. Para pelaut akan berlomba-lomba menuliskan surat, membungkusnya dalam sebuah botol kaca kedap air, lalu melarungkannya ke samudera luas. Mereka yang melakukan ritual itu percaya, bahwa suatu hari nanti laut dan arusnya akan menghantarkan surat mereka kepada orang tertentu. Itu benar-benar terjadi.

Alkisah, Ake Viking, seorang pelaut Swedia melakukan hal yang sama pada tahun 1956. Di dalam surat botolnya ia menulis, “Berikanlah surat ini, dan alamatku ini, dan terlebih cintaku, kepada gadis pertama yang anda temui.” Surat itu terjaring pukat seorang nelayan asal Sisilia, Italia. Ketika tiba di pantai, orang pertama yang ia temui adalah puterinya sendiri yang sedang memasak di dapur.

Begitulah akhirnya, nelayan asal Sisilia itu menyerahkan surat dalam botol tersebut kepada putrinya. Sang puteri menyurati Ake Viking,  mereka saling berkorespondensi, janjian bertemu, hingga akhirnya menikah.
Surat dalam botol. (Foto: Pixabay)


Bentuk unik mengirimkan surat dalam botol yang dilarungkan ke Selat Gibraltar itu belakangan dimodifikasi ke dalam bentuk digital,  misalnya fitur 'driffted bottle' pada aplikasi 'Wechat' atau dalam aplikasi-apalikasi 'message in bottle' lainnya.  Tata cara penggunaannya dirancang sederhana: kamu cukup menuliskan pesanmu,  melemparkannya kepada dunia maya yang luas hingga akhirnya ada orang lain yang secara acak menemukan pesanmu.  Jika kamu beruntung, kamu bisa saja menemukan pesan dari Luna Maya (itu diandaikan bahwa Luna Maya juga melakukan hal yang sama pada aplikasi tersebut.

Tentu saja, aplikasi seperti itu mempermudah kita mengirimkan pesan dengan bentuk yang 'seolah-olah' natural. Ia memotong waktu dan jarak, menjadikannya lebih singkat dan dekat, sehingga tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk bertemu dengan seseorang dari sisi bumi yang lain. Namun sayang,  aplikasi itu rasanya tidak benar-benar menjawab kerinduan manusia akan hidup yang penuh tualang. Bertemu dengan seorang wanita karena pesan botol yang natural tentu berbeda dengan pertemuan melalui media daring. Barangkali karena melalui aplikasi, kita bisa 'swap to the next person' dengan mudah,  sehingga tidak sanggup membangun ruang yang bersahabat,  dengan mengecilkan ego, dan membuka hati selebar-lebarnya bagi pribadi yang sementara ada.

Menulis surat melalui kertas maupun dalam cara unik seperti pesan botol nyatanya tidak dianjurkan oleh para aktivis peduli lingkungan,  karena dianggap menyumbang sampah, meningkatkan penebangan hutan untuk produksi kertas, dan mengganggu ekosistem laut. Mengenai kritik tersebut,  saya tidak ingin berkomentar lebih banyak,  karena saya sendiri sepakat bahwa lingkungan harus dilestarikan.

Jalan terbaik adalah, gunakanlah kertas secara bertanggungjawab dan jangan membuang sampah sembarangan. Buanglah surat cinta mantanmu pada kotak sampah. Jangan biarkan sampah diarak-arak angin dan menyumbati selokan.

Cara yang mulia memperlakukan surat dan undangan bekas ditunjukkan oleh Nasirun dalam pamerannya yang bertajuk 'Uwuh Seni' (Sampah Seni) di Galeri Salihara pada tahun 2013. Nasirun dalam pemeran itu menampilkan respon artistiknya terhadap surat undangan bekas yang ia peroleh pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu,  ia telah membuat sampah surat undangan menjadi berfaedah.  Kalau kamu seorang kolektor surat-surat dari mantan,  dan tak memiliki bakat melukis,  saya punya ide lain. Datanglah ke festival menghapus mantan dan serahkanlah surat-suratmu itu sebagai donasi (Haha).

Akhirnya, saya harus selesaikan tulisan ini karena kehabisan bahan. Saya ingin menutupnya dengan penggalan 'Sepotong Senja untuk Pacarku' demikian: "Sebuah surat adalah pesan, kandungan rohani yang mengembara sebelum sampai tujuannya. Sebuah surat adalah sebuah dunia, di mana manusia dan manusia bersua" (Seno Gumira Ajidarma, 2002).

Melbourne,  7 - 11 November 2018
Penulis: Ishack Sonlay

Related Posts:

Merancang Pesta Ramah Anak

Perlu untuk mulai kita pikirkan, apa yang bisa kita buat supaya anak-anak tidak selalu jadi golongan yang terpinggirkan di tenda-tenda pesta.
Ilustrasi: Rawpixel

Apa yang biasa kamu lihat di pesta nikah, pesta imam baru, atau pesta lain? Daging. Pastor. Orang berdansa. Orang mabuk. Kadang berkelahi. Tetapi apa yang akan sering kamu lihat, kamu temui, bahkan sesekali kamu tabrak saat mereka berlarian? Anak-anak.

Anak-anak ini biasanya datang ikut dong punya mama. Mereka sudah cukup besar untuk mondar-mandir sendiri, tetapi belum cukup besar untuk pergi jauh, apalagi ditinggal sendiri di rumah pas ada acara atau pesta keluarga.

Nah, sementara mereka punya mama bamasak di belakang, atau layan orang, dan bapa urus hal-hal lain, mereka biasanya mondar-mandir di tempat pesta. Sesekali mereka merengek minta sate. Sesekali mereka balari kiri kanan sampai kadang ada orang dewasa yang tegur pake berteriak: “Heh, Gio! Pi main di belakang sana!” “Tinus, kai mutuin nan! (Tinus, jangan lewat situ!”)

Meskipun anak-anak ini selalu ada, mereka adalah kelompok usia yang paling sering diabaikan oleh para perancang pesta. Di seluruh rangkaian acara perayaan, acara mana yang ramah untuk anak? Mulai dari sambutan bupati, potong kue, bacium, kembang api, musik romantis, sampai makan-makan… mana yang ramah dan melibatkan anak? Saat acara bebas dimulai, ketika orang dewasa mulai minum-minum, bergembira dan badansa, apa yang mereka bikin?

Mereka bakumpul di sudut tenda. Duduk kering-kering, perhatikan orang dansa. Atau mulai saling bully. Menunggu musik disko untuk masuk dan bikin abu naik. Sial kalau pas musik disko, orang dewasa su duluan lompat masuk dan bikin penuh arena. Mereka putar-putar saja lewat pinggir.

Kadang-kadang, orang-orang dewasa akan suruh pulang tidur. Anak-anak bubar! Tapi bagaimana dia mau pulang kalau dia pu mama masih ada di situ? Bagaimana dia mau tidur kalau musik pungpang sampai pagi?

Mungkin ini tidak akan terlalu jadi ironi bila itu adalah pesta nikah. Pesta orang dewasa. Tapi saya pernah menghadiri perayaan sambut baru, dimana orang dewasa badansa ramai, sementara anak-anak hanya taputar di pinggir, tunggu kapan musik disko supaya bisa lompat masuk. Bukankah itu pesta untuk anak yang sambut baru? Bukankah yang harus lebih diberi ruang adalah anak-anak, teman-teman dari ia yang berbahagia?

Saya kira, karena banyaknya acara perayaan di sekitar sini (kalau sudah musimnya, hampir tiap malam ada pesta), perlu untuk mulai kita pikirkan, apa yang bisa kita buat supaya anak-anak tidak selalu jadi golongan yang terpinggirkan di tenda-tenda pesta. Bebas dari pengabaian. Bebas dari lelucon-lelucon mesum MC di perayaan nikah.

Jika itu memang hari bahagiamu, buat anak-anak ikut berbahagia. Saya berani bilang, sudah terlalu banyak pesta untuk orang dewasa!

Orang dewasa akan dansa sampai capek, lalu pulang dan menghadiri pesta berikut, sambil menilai perayaan mana yang lebih ramai. Mana yang musiknya bagus. Mana yang MC-nya lucu. Mana yang makannya cukup, dan lain-lain. Tetapi jika kau merancang sesuatu untuk anak-anak juga, mereka akan sangat berbahagia. Dan mengingatnya. Dan tidak lagi terabaikan di tenda-tenda pesta.

Penulis: Felix K. Nesi

Related Posts:

Penjebakan ala Andre Rosiade, Merendahkan Martabat dan Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan


Jakarta, LekoNTT.com - Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan ( Asosiasi LBH APIK) pada Kamis lalu (13/2/2020) mengadukan Andre Rosiade, anggota Komisi VI DPR RI, kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan dugaan pelanggaran etik anggota DPR ps. 236 tentang pelanggaran etik. Asosiasi LBH APIK merujuk pada Pasal 81 UU MD3 atas penjebakan yang dilakukan Andre terhadap NN  pada tanggal 26 Januari 2020 yang lalu di sebuah hotel di Padang, Sumatera Barat.
Ilustrasi: Komik Kita


Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia bidang Advokasi kepada LekoNTT.com mengatakan, Asosiasi LBH APIK Indonesia mengadukan Andre Rosiade dari sisi pandang kepentingan dan hak perempuan serta merasa prihatin dengan aksi yang tidak prosedural tersebut. "Asosiasi LBH APIK merasa penting untuk bersuara bahwa skenario penjebakan yang dilakukan oleh Andre Rosiade tidak mengindahkan harkat dan martabat manusia, khususnya hak asasi perempuan," ungkap Khotimun melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (14/2).

Lebih lanjut ia menjelaskan, Asosiasi LBH APIK Indonesia mendasarkan pada pandangan bahwa, pada ketentuan KUHAP dan Peraturan Perundangan lainnnya di Indonesia, anggota DPR bukan unsur negara yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, apalagi penjebakan terhadap suatu peristiwa yang diduga tindak pidana. Maka dari itu, penjebakan yang dilakukan oleh Andre Rosiade terhadap NN bukan merupakan wewenang dirinya sebagai anggota DPR RI dan menyalahi prosedur hukum.

Atas peristiwa tersebut, NN telah mengalami penghinaan atas harkat dan martabatnya serta bentuk kekerasan seksual melalui tipu daya pemesan yang ada dalam skenario Andre Rosiade dengan dalih turut serta dalam penegakan hukum. Dalam hal ini Andre Rosiade dapat dikenakan pasal 55 ayat (2) KUHP, khususnya ayat  2 e (turut melakukan suatu tindak pidana dengan menyalah gunakan kekuasaan) dan pasal 56 KUHP (membantu melakukan suatu tindak pidana), yaitu diduga memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu, dalam hal ini terjadinya pelacuran.
Andre Rosiade, Politikus Parta Gerindra. (Foto: Azka/mr)


Perbuatan terduga Andre Rosiade adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan  terhadap perempuan yang termuat dalam Pasal 2 huruf d Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi UU Nomor 7 tahun 1984 yaitu “untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut”.

"Seharusnya sebagai anggota DPR Andre Rosiade mendalami bahwa NN adalah korban dari struktur sosial yang timpang, dan prostitusi yang terjadi dapat saja merupakan bagian dari perdagangan manusia (trafficking, red), dimana dalam dunia prostitusi perempuan selalu dirugikan dan menjadi korbannya".

Dari situ, yang bersangkutan juga dapat diduga memudahkan terjadinya kejahatan trafficking yang termuat dalam Pasal 12 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, yakni tindak pidana pemanfaatan korban trafficking dengan persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap korban trafficking.
Perwakilan Asosiasi LBH APIK ketika mengadukan Andre Rosiade di MKD, Jakarta pada 13 Februari (Foto: LBH APIK)


Ratna Batara Munti, salah satu pengurus Asosiasi LBH APIK bidang Advokasi ketika dihubungi LekoNTT.com pada Jumat (14/2) mengatakan, kasus-kasus kriminalisasi perempuan dalam prostitusi sudah kerap terjadi. Kali ini lebih dapat sorotan publik karena melibatkan anggota DPR.
"Kami mengutuk keras kriminalisasi terhadap perempuan prostitut. Apa  yang dilakukan Andre adalah bentuk diskriminasi dan kekerasaan terhadap perempuan. Dengan sorotan publik terhadap kasus ini, kita berharap ke depan tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti ini," ungkap Ratna.

Menurutnya dalam kasus yang dialami NN, pihak yang seharusnya menjadi sasaran adalah mucikari. "Harusnya itu ditujukan ke mucikari dan pengguna prostitusi, para laki-laki hidung belang, karena mereka yang punya kekuasaan, punya uang. Tidak ada supplay jika tidak ada demand. Demand ini yang harus dihentikan, karena bagaimana pun perempuan yang paling banyak dirugikan, dieksploitasi," ungkapnya tegas.

Ratna pun menjelaskan, penangkapan terhadap NN tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bias gender, tidak tepat menggunakan Pasal 296 KUHP karena NN bukan pihak yang bermata pencaharian mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul terhadap orang lain seperti yang termuat dalam pasal tersebut. Dan juga tidak tepat menggunakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE karena NN tidak melakukan transaksi elektronik melainkan pihak lain.

"Justru tindakan Andre Rosiade yang mendorong orang lain secara sewenang-wenang menggerebek NN, memvideokan dan menyebarkan konten yang bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik melalui jaringan internet. Andre patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap UU ITE Pasal 27 ayat (3)".

Maka dari itu, Asosiasi LBH APIK menuntut kepada MKD agar segera melakukan pemeriksaan terhadap Andre Rosiade dan memberikan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Juga kepada Kepolisian RI agar segera membebaskan NN karena tidak terdapat unsur yang menyangkut dirinya dalam ketentuan tindak pidana.

Selain itu, Kepolisian RI juga harus melakukan pemeriksaan terhadap Andre Rosiade atas dugaan pelanggaran berbagai peraturan perundangan yang telah dijelaskan pada pandangan di atas. Dan DPR maupun pemerintah harus memastikan penegakan hukum yang independen dan adil serta mengedepankan persamaan di muka hukum (equality before the law). (het)

Related Posts:

Jembatan Liliba | Puisi-Puisi Herman Ef Tanouf

Sepilihan Puisi Herman Ef Tanouf
Ilustrasi: Pixabay.com/ Free Photos


Kolong Jembatan Liliba
:Untuk Nadia

Kepada saya, orang-orang bercurah
tapi saya bingung, kepada siapa harus bercurah. Puisi tak cukup menampung gelisah. Saya butuh seseorang. Kamu, mungkin.

?

Dan kamu tak pernah hadir. Akhirnya saya memilih kolong jembatan Liliba tempat curah paling nyaman.

Ketika saya coba menulis perihal curah, para kekasih tak pernah yakin. Kata mereka, itu puisi yang dipenggal, dan Liliba itu lelucon. Itu sebab, bingung. Kepada siapa saya harus bercurah? Puisi dan lelucon lelucon sialan, telah merasuk isi kepala mereka.

Nadia sayang, saya jadi paham. Banyak kekasihmu, tapi tak seorang pun beri kasih. Gambar gambar imut karya tanganmu itu, menyimpan curah. Lagi lagi di isi kepala mereka, itu hanyalah gambar, tak lebih.

Begini saja, kau dan aku boleh sepakat, kolong jembatan Liliba ialah jelmaan lantai empat sekolahmu.

Garis dan aksara
telah hilang makna, sayang!

Kupang, Januari 2020
Herman Ef Tanouf


Selamat Hari Kasih Sayang, Tuan Gubernur


Emmy berkabar kalau sebentar, Bernadus akan tiba di El Tari, tempat dimana nama tuan gubernur diabadikan. Bernadus minta dijemput gubernur yang telah mati itu, sebab bersamanya, ia akan kembali menjadi tanah. Beberapa tahun, ia sudah cukup lelah mencumbui tanah rantau, dan ingin pulang ke tanah Timor.

Tadi, Emmy berkabar lagi kalau Bernadus telah tiba. Tanpa napas, tanpa suara, tanpa tawa, tanpa kartu valentine, sebab tubuhnya telah kaku. Dan dari dalam peti - lewat sirene Ambulans, Bernadus menyapa patung El Tari: "Selamat Hari Kasih Sayang, Tuan Gubernur!"

Tak hanya itu, Bernadus pun menulis catatan kecil di kartu valentine. Kepada Emmy, ia menitipkan kartu itu. Seusai doa, sebelum Bernadus pulang ke Maulafa hingga nanti menyatu bersama tanah, Emmy membaca isi kartu:

"Sayangi anak-anakmu, Tuan Gubernur! Jangan ada lagi aku - Bernadus yang lain. Masih banyak anak-anakmu di Malaysia, panggil pulang, beri peluang, jangan liang!"

Bernadus benar-benar pulang, dan Emmy terus hanyut dalam doa dan harap - menjemput mereka yang kembali - dengan napas, suara, tawa tanpa air mata duka. Sedang patung si tuan gubernur itu, selamanya akan tetap bisu.

Kupang, 14 Februari 2020
Herman Ef Tanouf

Related Posts:

Valentine's Day: Ritual Cinta Masa Kini, Ada Apa?


Oleh : Virginia Rosa da Silva*

Valentine’s Day, perayaan memperingati hari kasih sayang, tepat tanggal 14 Februari, momen itu  diperingati. Penetapan tanggal tersebut sebagai Valentine’s Day dilatarbelakangi oleh  historisitas yang beraroma mistis.
Ilustrasi Valentine's Day: Pixabay.com/ Adonyig

Historisitas Valentine’s Day bisa ditelusuri sejak era Romawi Kuno, terkait kepercayaan paganisme. Tiap tanggal 13 - 15 Februari, warga Romawi kuno merayakan Lupercalia, yaitu perayaan Lupercus, dewa kesuburan yang sering dilambangkan dengan laki-laki setengah telanjang dan berpakaian dari kulit kambing.

Lepercalia dimulai dengan pengorbanan dua kambing jantan dan seekor anjing. Kemudian, pria setengah telanjang berlarian di jalanan, mencambuk para gadis muda dengan tali berlumuran darah yang terbuat dari kulit kambing yang baru dikorbankan. Walaupun terdengar seperti ritual sesat sadomasokis, ritual itu tetap dilakukan orang-orang Romawi sampai tahun 496 Masehi sebagai ritus pemurnian dan kesuburan. "Upacara tersebut diyakini bisa membuat perempuan lebih subur," kata  Noel Lenski, sejarawan dari University of Colorado, Boulder, seperti dimuat USA Today, 13 Februari 2014. Puncak Lupercalia pada 15 Februari berlangsung di kaki Bukit Palatine, di samping gua yang diyakini menjadi tempat serigala betina menyusui Romulus and Remus, pendiri kota Roma dalam mitologi Romawi.
Ilustrasi perayaan Lupercalia Romawi Kuno (wikimedia commons)

Pada tahun 496, Paus Gelasius I melarang Lupercalia dan menyatakan 14 Februari sebagai Hari Santo Valentinus. Tapi siapa  Santo Valentinus? Misteri menyelubungi identitas dari sosok yang konon adalah santo pelindung para kekasih itu. Misteri sosok Valentinus seperti dikutip dari situs Sains Live Science, menyebutkan ada tiga sosok  pria yang bernama Valentinus di tahun 200-an Masehi. Konon, riwayat hidup ketiga orang ini berakhir secara mengenaskan.

Pertama, adalah seorang imam di Kekaisaran Romawi yang membantu orang-orang Kristen yang dianiaya pada masa pemerintahan Claudius II. Valentinus yang pertama ini dipenggal pada 14 Februari.

Kedua, Valentinus yang adalah uskup saleh dari Terni, yang juga disiksa dan dieksekusi selama pemerintahan Claudius II,  pada  tanggal 14 Februari dengan tahun yang berbeda dengan yang dari Terni.

Sementara yang ketiga adalah Valentine dari Genoa yang diam-diam menikahkan pasangan suami istri yang menentang aturan pernikahan yang dikeluarkan Claudius II. Saat ia dipenjara, legenda menyebut bahwa ia jatuh cinta dengan putri orang yang memenjarakannya. Sebelum dieksekusi sadis, ia membuat surat cinta pada sang kekasih. Yang ditutup dengan kata, 'Dari Valentine-mu'.
Ilustrasi Santo Valentinus (History.com)

Terlepas dari mitos, keterkaitan Santo Valentinus dan cinta baru muncul kemudian. Catatan pertama sehubungan dengan perihal  ini baru muncul pada abad ke-14 di negara Inggris dan Perancis dalam puisi Geoffrey Chaucer, penyair Inggris dan penulis buku terkenal, The Canterbury Tales.  Demikian menurut Andy Kelly, seorang ahli Bahasa Inggris  dari University of California, Los Angeles, yang menulis buku Chaucer and Cult of St Valentine.

Chaucer  menulis sebuah puisi berjudul Parliament of Fowls pada tahun 1382, untuk merayakan pertunangan Raja Richard II. Penggalan puisi yang menghubungkan cinta atau romantisme dengan hari peringatan Santo Valentinus,  berbunyi: For this was sent on seynt Valentyne’s day, When every foul cometh there to choose his mate (Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus, saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya).

Seturut puisi itu, Valentine’s Day dirayakan pada tanggal 3 Mei bukan 14 Februari . "Itu adalah hari di mana semua burung memilih pasangannya dalam setahun," kata Kelly dalam bukunya. Tak lama setelah itu, pada generasi berikutnya orang-orang mengambil ide untuk merayakan Valentine sebagai hari kasih sayang.Valentine yang menjadi referensi Chaucer mungkin adalah Santo Valentine dari Genoa yang meninggal pada 3 Mei. Tetapi orang-orang pada saat itu tidak begitu akrab dengan sosok itu. Mereka lebih akrab dengan kisah Valentine dari Roma dan Teri yang dieksekusi pada 14 Februari  yang lantas dikaitkan dengan cinta. Dan selanjutnya penetapan tanggal 14 bulan Februari sebagai peringatan hari kasih sayang berlanjut hingga saat ini.

Setiap tanggal 14 Februari, ritual berbagi kasih  diperingati. Ritual ini berwujud dalam ke-saling-an, berbagi hadiah atau kado, baik dengan kekasih, sahabat  ataupun kerabat. Kado yang menjadi ciri khas perayaan ini antara lain Kartu Valentine, Cokelat Valentine, Cupid (gambar bayi lucu) dan Mawar Merah. Kado dapat diberikan kepada siapa saja tergantung keinginan si pemberi.

Dewasa ini, perayaan Valentine’s Day identik perayaan istimewa yang hanya 'dimiliki' kaum muda. Valentine’s Day  menjadi momen paling berarti bagi kaum muda yang sedang memadu kasih.

Sebagian besar muda-mudi merayakannya secara sungguh-sungguh. Ironisnya, kesungguhan mereka menghayati perayaan hari kasih sayang yang dilangsungkan sebagai sebuah ritual  luhur pada zaman dulu. Saat ini ritual tersebut menjelma ritual kotor dengan berbagai aksi yang menghilangkan hakikat dan makna Valentine’s Day.

Makna cinta sejati pun itu tergerus oleh perspektif cinta yang dangkal. Muda-mudi cenderung merayakannya dengan berpesta pora, alkohol, nikotin dan narkoba, glorifikasi tubuh berlebihan yang berimbas pada seks bebas, bahkan urak-urakan dengan pawai bersama geng motor yang berakibat fatal pada kematian. Sungguh mengerikan realitas perayaan Valentine’s Day ala generasi zaman now.

Cinta sejati seyogyanya tak harus diritualkan dengan tindakan saling berbagi kado atau hadiah. Tindakan ini sama halnya dengan mereduksi makna cinta ke dalam komersialisasi. Sebab kado diperoleh dengan uang. Semisal Kartu Valentine atau Cokelat Valentine akan dipajang di toko dengan harga yang mahal di momen Valentine. Ekspresi cinta versi ini merupakan ekspresi cinta yang dangkal.

Makna cinta sejati hanya diekspresikan melalui perbuatan kasih antar sesama menjadi cinta yang dikomersialkan demi kepentingan individu tertentu.

Kartu Valentine diproduksi pertama kali secara massal oleh Esther A. Howland (1828-1904) dari Worcester, Massachusetts. Berikutnya adalah cokelat. Richard Cadbury pedagang Inggris pada tahun 1824 demi meraup keuntungan, ia menggagas relasi ritual Valentine’s Day dengan cokelat. Lalu ia mulai memproduksi cokelat dengan memanfaatkan sifat afrodisiak pada Cokelat ,dan menginovasikannya dengan kemasan  unik, berbentuk hati dengan hiasan cupid dan mawar.
Salah satu wujud Kartu Valentine yang diproduksi Esther A. Howland. (Portablepress)

Perlu diketahui, pada tahun 1847, fakta miris komersialisasi cinta pada momen Valentine’s Day sudah terjadi, semisal  di Amerika Utara  pada saat itu, praktek dagang Kartu Valentine mulai beredar. Sampai pada 1907, Hershey membuat cokelat manis dalam bentuk tetesan air mata dan diberi nama “kisses”. Gagasan ini kemudian mewabah dalam perayaan Valentine’s Day hingga dewasa ini. Pada tahun 2001, The Greeting Card Association setiap tahunnya mengeluarkan penghargaan “Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary”. Dan praktek demi keuntungan pebisnis ini kian marak dilakukan di kekinian.
Hershey dan salah satu produk cokelat Valentine. (Diolah dari hipwee.com)

Seiring melajunya perkembangan teknologi, perayaan Valentine’s Day mendapat porsi besar di halaman sosial media. Di era milenial ini, ketika Valentine’s Day warganet, khususnya kalangan muda berlomba-lomba memamerkan unggahan status dan foto-foto bertemakan kasih sayang supaya mendapat komentar atau ucapan selamat serta emoticon like sebanyak mungkin. Di sini secara implisit, terungkap pengakuan diri bahwa itu pencinta sejati ala dunia maya. Hal ini sungguh memilukan.

Valentine’s Day akhirnya menduduki rating selevel dengan hari-hari besar seperti perayaan Tahun Baru atau perayaan besar lain, yang sayangnya hanyalah sebuah ritus monoton untuk memprivatisasi makna cinta secara semu. Dengan meninjau realitas miris ritual Valentine’s Day dewasa ini, patut dipertanyakan “Ada apa dengan cinta?” Apakah makna cinta sejati telah diubah menjadi makna cinta sesali? Apakah pengungkapan cinta hanya terbatas pada tindak komersil, glorifikasi tubuh berlebih atau tindak keji lainnya yang hanya berlangsung pada momen Valentine’s Day?

Apabila pertanyaan yang bertubi-tubi ini mampu menghentakkan nurani setiap insan yang mengafirmasi diri sebagai pencinta sejati untuk sadar, maka setiap insan itu perlu memahami makna cinta sejati yang sesungguhnya.

Cinta merupakan sebuah kata yang lumrah dan mengatasnamakan ungkapan rasa terpikat paling hakiki dalam jiwa setiap insan untuk menghayati kehidupan. Cinta memainkan peran yang begitu penting dalam kehidupan, menjadi inspirasi bagi setiap orang untuk berkarya, bahkan terluka jika tidak dimaknai secara baik dan benar.

Cinta juga ibarat benang yang mengeratkan setiap manusia dalam kebersamaan. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial. Sang filsuf  Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon, padanan dari kata zoon yang berarti hewan dan politicon yang berarti bermasyarakat.

Dalam pandangan tersebut, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dan hewan. Ini artinya, manusia membutuhkan orang lain untuk saling berbagi dalam kehidupan bersama di mana perbuatan saling berbagi itu senantiasa dilandasi oleh cinta kasih.

Valentine’s Day kini telah menjadi sebuah ritual 'paten' setiap tahun. Namun apabila ritual ini hanya dimaknai dengan pengungkapan cinta yang dangkal dan semu tanpa ada kesejatian cinta, untuk apa Valentine’s Day mesti dicantumkan dalam kalender untuk dirayakan setiap tanggal 14 Februari? Apakah pengungkapan cinta hanyalah sebuah ritual momental? Tentu tidak.

Merayakan hari kasih sayang dan mengungkapkan cinta dilakukan setiap hari, bahkan setiap detik berdetak dalam hidup. Setiap insan manusia dapat saling berbagi cinta dan kasih sayang.

Di zaman now, Valentine’s Day sudah seperti ritual milik setiap insan manusia yang sedang terbenam dalam persepsi dan konsep cinta yang sempit dan buta. Ungkapan kasih sayang ini bukan hanya ditujukan kepada orang-orang istimewa, melainkan harus senantiasa diungkapkan kepada semua orang di sekitar. Khususnya untuk orang yang berkekurangan seperti anak-anak di panti asuhan, pemulung, pengemis, pengamen, kaum papa dan lainnya.
Foto: Hayder Alsahaf

Cinta yang dimaksud adalah cinta universal, bukan cinta yang 'diprivatisasi' menjadi ruang sempit, terbatas - relasi-relasi yang lebih khusus dalam kehidupan bersama. Ungkapan cinta itu dapat terjadi kapan dan di mana saja. Demikian kiranya makna Valentine yang sesungguhnya. Jika diterjemahkan ke dalam ranah kehidupan bersama insan manusia secara holistik, maka  akan  berimbas pada terciptanya kekeliruan memaknai cinta sejati secara holistik pula.

Ritual Valentine’s Day zaman now hanya sebuah praktek disrupsi eksistensi cinta yang universal, cinta tercabut dari akarnya dan berjalan jauh dari harapan serta tujuannya. Manusia sebagai subjek dari objek cinta itu sendiri terpenjara dalam sebuah mekanisme cinta yang semu dengan esensinya yang nyaris hilang.

Menanggapi realitas kemerosotan pemaknaan cinta yang sedang terjadi, maka sebaiknya dilakukan perubahan konsep berpikir. Revolusi mental penghayatan cinta dapat menjadi solusi bagi manusia untuk keluar dari disintegrasi konsep pemahaman dan paradigma berpikir yang sempit, tentang Valentine yang dianggap realisasi dari cinta tersebut.

Revolusi mental dalam hal ini adalah mengubah pola pikir yang sempit tersebut, berkaca pada esensi cinta yang sebenarnya untuk kembali menjadikan cinta sejati sebagai cinta yang universal, cinta yang agape. Bukan cinta semu atau ambigu yang dimanipulasi dengan praktek pesta pora, komersialisasi dan cinta erotik glorifikasi tubuh yang berlebihan. Cinta sejati selalu dilandasi kerendahan hati, ketulusan dan tanggung jawab untuk kebaikan bersama (common good).

Untuk itu, senada dengan seorang psikoanalis mazhab Frankfurt generasi pertama berkebangsaan Jerman, Erich Fromm  yang mengungkapkan konsep cinta dalam bukunya The Art of Loving. Manusia di zaman ini perlu menyadari bahwa cinta bukanlah komoditas barang yang dapat dibarter apalagi diperjualbelikan, karena cinta tidak bisa terwujud dengan materi.

Cinta adalah pilihan bebas yang diberi secara sukarela atas kemauan sendiri dan rasional. Bagi pribadi-pribadi yang perkembangan karakternya berhenti pada tahap orientasi reseptif, eksploitatif atau menimbun adalah orang berkarakter pasar, yang hanya akan memberi jika dia mendapat untung.

“Yang terpenting dari hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain, melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya: dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya-semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut seseorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidup orang lain lewat peningkatan perasaan hidupnya sendiri.” (Erich Fromm, The Art of Loving, hal 41).

Fromm mengkritik manusia zaman now, yang memandang cinta dalam visi keindahan dan kenikmatannya saja tanpa melihat cinta sebagai bagian esensial dari seni hidup. Jadi arti memberi dalam arti cinta yang dimaksud bukanlah memberi materi, tetapi eksistensi dan kenyataan diri manusia itu sendiri.

Penulis: *Virginia Rosa da Silva, Pustakawati Komunitas Leko

Related Posts: