Oleh: Yuvensius Stefanus Nonga
Sejarah Ketidakadilan Ekologis Sebagai Buah Dari Minimnya Pendidikan Lingkungan
Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan satu harapan bahwa pendidikan di Indonesia semakin berkembang dan memberikan dampak positif di setiap aspek kehidupan. Sejarah panjang berdirinya Indonesia tentu menyisakan butiran-butiran sejarah perjuangan bangsa dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Sejak zaman penjajahan hingga reformasi, upaya mengembangkan pendidikan di Indonesia menyimpan cerita sejarah yang berbeda-beda. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah.
Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa kebangkitan di dunia pendidikan mulai dibenahi. Badan pekerja KNIP pada saat itu mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) supaya segera menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan.
Kemudian, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti. Namun,
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik.
Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun
1968-1969. Disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk menyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37).
Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan culturstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan.
Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, Muller (1979:73) menemukan yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Masyarakat disiapkan untuk menjadi mesin-mesin dalam pemenuhan kebutuhan penguasa.
Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.
Lagi-lagi mindset pengembangan pendidikan hanya berfokus pada kebutuhan penguasa yang mana rakyat didoktrin dengan pendidikan yang kemudian memuluskan kepentingan sekelompok orang. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin berjaya.
Temuan WALHI NTT Tentang Ketidakadilan Ekologi Akibat Minimnya Pendidikan Lingkungan
Kebijakan pendidikan berdampak hampir ke seluruh sektor pembangunan dalam masyarakat, termasuk sektor pengelolaan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis dapat terwujud apabila didukung oleh pola pelaksanaan pendidikan yang berwawasan lingkungan.
WALHI mengamati, bahwa sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendorong perkembangan kehidupan manusia. Selain ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi sejak zaman penjajahan, orientasi perilaku hidup manusia pun menjadi begitu antroposentris.
Manusia diposisikan begitu sentral sehingga sikap dan perilakunya menjadi semena-mena (merusak) terhadap alam dan potensi sumber dayanya. Oleh Karena itu perlu ada formula yang cocok dalam pengembangan pendidikan terutama dalam upaya peningkatan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan.
Adapun temuan WALHI NTT terkait ketidakadilan ekologi dan lemahnya aspek keberlanjutan lingkungan yang terjadi pada masyarakat sebagai buah dari minimnya pendidikan ekologi. Ketimpangan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa awal kemerdekaan menjadi satu warisan bagi pemerintah sekarang dengan dampaknya menimbulkan ketimpangan bagi orang kecil dan menguntungkan pengusaha dan penguasa.
Temuan-temuan itu sebagai berikut:
Pertama, maraknya kebijakan pemerintah bernuansa eksploitatif yang berujung pada privatisasi Sumber Daya Alam. Laju deforestasi hutan, pengrusakan wilayah kelola rakyat (wilayah pertanian, pesisir, laut) marak terjadi di Indonesia.
Data KLHK mencatat, tren luas hutan Indonesia sejak 1990 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Hal ini diakibatkan oleh kebakaran serta kebijakan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan dan pertanian monokultur skala besar.
Praktek-praktek privatisasi pesisir oleh sektor swasta marak terjadi hampiri di seluruh wilayah kabupaten/ kota di Indonesia. Hutan Manggrove tidak lagi dipandang sebagai salah satu kawasan konservasi yang perlu dijaga sebagai sabuk hijau dan tempat hidup biota laut. Malah dirusak untuk kepentingan pariwisata dan industri garam dalam skala besar.
Kedua, minimnya perlindungan lingkungan hidup. Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku kejahatan lingkungan justru memberikan angin segar bagi oknum-oknum yang memandang lingkungan sebagai satu aspek yang harus dieksploitasi tanpa memandang pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi setelahnya.
Ketiga, pembangunan yang berbasis pada kebutuhan pasar tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Hal ini marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar petani diubah mindsetnya bahwa menanam disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal ini sangat berdampak terutama pada masa-masa pandemi COVID-19. Saat ini petani cengkeh, vanili, kelapa, kemiri justru sulit mengakses pangan lokalnya sendiri.
Keempat, ketidakadilan antar generasi. Akses masyarakat ke pantai mulai dibatasi. Selain itu akses masyarakat ke sumber-sumber penghidupan misalnya air, juga mulai terbatas dan bahkan di beberapa wilayah dibatasi akibat kelangkaan Sumber Daya Air.
Kelima, minimnya pendidikan formal terkait perlindungan lingkungan hidup. Pendidikan formal saat ini masih sangat minim dalam upaya pengajaran materi-materi keadilan ekologi dan keberlanjutan lingkungan.
WALHI NTT melihat bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni: lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di tingkat nasional; lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di daerah (propinsi atau kabupaten/kota); lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di kampus dan sekolah untuk mengadopsi dan menjalankan perubahan sistem pendidikan yang dijalankan menuju pendidikan lingkungan hidup.
Selain itu, peran Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengerti dan ikut mendorong terwujudnya pendidikan lingkungan hidup juga lemah; demikian pun proses-proses komunikasi dan diskusi intensif yang memungkinkan terjadinya transfer nilai dan pengetahuan guna pembaruan kebijakan pendidikan yang ada.
Keenam, hilangnya kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Misalnya budaya Hutan Kio di TTS, Spirit adat Mori Wae, Wasi Wae di Bajawa, dan beberapa kearifan lokal yang perlahan mulai hilang dari ingatan masyarakat akibat perkembangan IPTEK dan tata kelola kebijakan di daerah yang buruk.
Segala bentuk ketimpangan di atas hanya mungkin terjadi akibat minimnya pengetahuan para pengambil kebijakan terkait keadilan ekologi dan keberlanjutan lingkungan untuk memelihara lingkungan dan warisan kearifan lokal yang telah lama menghidupi manusia.
Rekomendasi WALHI NTT
Berangkat dari fakta di Atas maka, WALHI NTT merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, demi kepentingan perkembangan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia pada masa yang akan datang, maka pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan nasional tentang pendidikan lingkungan hidup di Indonesia. Kebijakan itu bisa dijadikan acuan bagi semua pihak terkait bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Hal ini tentunya untuk meminimalisir kebijakan pemerintah yang bernuansa eksploitatif yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan Ketidakadilan antar generasi.
Kedua, memberikan pendidikan terkait perlindungan lingkungan bagi penegak hukum, sehingga penegak hukum memiliki mindset ekologi yang mumpuni dalam menegakan keadilan ekologi terutama menghukum pelaku kejahatan lingkungan hidup.
Ketiga, mmperdalam pendidikan tentang kedaulatan pangan, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan bermuara pada spirit kedaulatan pangan. Kebijakan yang berbasis pada kebutuhan pasar tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan serta kedaulatan pangan dapat diminimalisir.
Keempat, mendorong kampus dan sekolah mewujudkan perilaku yang “melek ekologis” (ecoliteracy), membekali mahasiswa dan anak sekolah, khususnya memberikan pemahaman serta berbagai keterampilan praktis tentang dasar-dasar ecoliteracy. Semisal pengalaman dengan dunia sekitar tentang bagaimana alam menopang kehidupan.
Kelima, mendorong seluruh stakeholder untuk kembali mengajarkan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.
Hendaknya pendidikan diarahkan tidak semata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun pendidikan perlu diarahkan untuk mencetak kader-kader bangsa yang berwawasan ekologi, melahirkan kebijakan yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian alam tetap terjaga, tetap lestari, dan berkelanjutan bagi anak cucu kita. Salam Adil dan Lestari.*