LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Mei 2020

Masyarakat Desa Oenbit Protes Atas Dugaan Adanya Pendobelan Bantuan Covid-19 Bagi KPM



Oenbit, LekoNTT.com - Bantuan dari pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat akibat pandemi Covid-19 menuai banyak persoalan, baik secara administratif maupun bentuk kecurangan lainnya. Masyarakat dari beberapa daerah di Indonesia melakukan aksi protes sebagai akibat tidak adanya transparansi dan atau ketidakadilan dalam pendataan Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Beberapa kasus yang menuai aksi protes itu seperti terjadinya pendobelan bantuan (Covid-19) pada beberapa KPM, bantuan yang tidak tepat sasar, bahkan manipulasi data berupa tanda tangan fiktif yang dilakukan oleh pejabat pemerintah di tingkat paling bawah. Alasan-alasan tersebut yang kemudian memancing amarah dan protes dari masyarakat.

Di Merangin, Provinsi Jambi, ada temuan dimana bantuan tidak tepat sasar. Masyarakat akhirnya membakar Kantor Desa Air Batu sebagai aksi protes. Di Nusa Tenggara Timur, kasus terbaru terjadi di Desa Kotafoun, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat melaporkan Kepala Desa kepada pihak kepolisian sebab diduga memalsukan tanda tangan KPM Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa.

Selain itu, warga juga melaporkan kepala desa karena diduga memasukkan nama-nama aparat desa sebagai penerima BLT. Padahal dalam aturan yang diberlakukan, sangat jelas bahwa aparat desa dilarang untuk menerima BLT Dana Desa.

Di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, TTU, masyarakat pun melakukan aksi protes lantaran menduga dan menilai, telah terjadi pendobelan bantuan bagi beberapa KPM. Protes disampaikan di hadapan para aparat desa dan seluruh KPM di Kantor Desa Oenbit bertepatan dengan pencairan BLT dana desa pada Jumat (29/5/2020).

Maria Sila Tahoni, salah satu penerima BLT dana desa yang manyampaikan protes tersebut. Ia mengatakan ada KPM yang telah menerima Bantuan Sosial Tunai (BST) ataupun Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial tetapi juga menerima BLT dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI.

"Kami lihat, baru-baru mereka yang terima beras dan telur (BST, red), hari ini mereka terima lagi BLT dana desa. Ini pendobelan, keadilan ada di mana?" ungkap warga Dusun 2 Desa Oenbit tersebut.

Maria pun mengungkapkan, sekalipun telah menerima BLT dana desa, ia tidak tega kalau ada ketidakadilan bagi masyarakat lain di Desa Oenbit yang seharusnya lebih pantas mendapat perhatian dari pemerintah setempat. "Saya sudah dapat 600 ribu dari BLT dana desa. Tapi saya omong ini karena ada masyarakat, ada janda yang punya KK tersendiri tapi tidak terdaftar sebagai penerima bantuan. Sedangkan ada orang yang masih kuat-kuat, bisa kerja, bisa cari makan sendiri, tapi dapat bantuan."

Ketidakpuasan pun disampaikan oleh Anselmus Kaesnube, masyarakat Dusun 2 Desa Oenbit yang tidak mendapatkan bantuan samasekali, baik BST maupun BLT dana desa. Ansel yang sehari-hari berprofesi sebagai petani dan penjual hasil kebun, merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Namun demikian, ia tidak mendapat perhatian dari pemerintah desa setempat.

"Saya juga termasuk masyarakat Indonesia. Saya juga punya hak untuk mendapat bantuan karena selama ini kami dilarang untuk bepergian sesuai imbauan pemerintah. Tingkat ekonomi kami lemah. Kami mau cari nafkah setengah mati karena dilarang. Giliran tiba bantuan Covid-19, kami tidak dapat," ungkap Ansel, ayah dari enam orang anak ini.

Ansel yang juga merupakan salah satu tokoh pemuda Desa Oenbit ini, meminta keadilan dari pemerintah. Ia pun mengeluhkan adanya pendobelan bantuan bagi KPM tertentu. "Semoga pemerintah segera ambil jalan tengah, adil, dan memberi bantuan tidak hanya melihat orang-orang tertentu saja. Kami kecewa, kami merasa dianak-tirikan."

Di lain pihak, Emanuel Moensaku, masyarakat Dusun 7 Desa Oenbit mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah berupaya memberikan bantuan bagi masyarakat. Menurutnya, adanya BST dan BLT sangat membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Namun ia menyayangkan, masih ada masyarakat yang luput dari pendataan.

"Kalau bisa, pemerintah bisa lihat hal ini. Saya sebagai masyarakat, sangat kecewa karena pemerintah desa sepertinya tidak kenal sebagian masyarakatnya," ungkapnya.

Emanuel pun berharap agar KPM bantuan Covid-19 didata sesuai kriteria-kriteria yang telah termaktub dalam peraturan pemerintah sehingga tepat sasar dan tidak terjadi pendobelan. "Penerima bantuan kan harus sesuai kriteria. Kalau sudah ada yang dapat sembako atau PKH, ya jangan dapat lagi BLT dana desa. Para jompo, janda, duda, dan masyarakat yang memang kesulitan, itu yang harus jadi prioritas".

Menyikapi berbagai keluhan dari masyarakat di atas, hingga saat ini kami belum berhasil mengkonfirmasi pemerintah Desa Oenbit. Setelah ada tanggapan ataupun klarifikasi dari pemerintah setempat, akan kami update melalui media ini. (het)

Baca juga: TANGGAPAN Pemerintah Desa Oenbit Terkait Dugaan Pendobelan Bantuan Covid-19 Bagi Beberapa KPM

Related Posts:

Tambang Bukan Pilihan Strategis dan Prioritas Pembangunan di NTT


Oleh: Deddy Febrianto Holo*



Aspek Sosial

Adalah bijak melihat persoalan pertambangan dari berbagai sisi, hal ini tentu tidak mudah. Tetapi demi pencarian suatu kebenaran maka selalu tidak bijak, kalau hanya mengutamakan satu aspek tanpa mengindahkan aspek-aspek lainnya. Melawan lupa!

Menjadikan tambang sebagai primadona pembangunan dengan janji-janji kesejahteraan sebenarnya merupakan suatu pengalihan peran pelaku pembangunan dari masyarakat (petani dan peternak) kepada investor. Ada suatu kesesatan berpikir yang mesti diluruskan, jika negara ini masih memberikan tempat terhormat pada rakyatnya sebagai pemilik kedaulatan dan pelaku kemajuan bangsa.

Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau antara lain Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo, Palue dan pulau Timo, dan Kupang sebagai ibu kota provinsi.

Dewasa ini NTT dihadapkan pada sebuah paradigma pembangunan yang bisa dikatakan sangat “pragmatis” dalam tata kelola Sumber Daya Alam. Banyak kebijakan pembangunan yang mengarah pada salah satu yang menjadi catatan kritis penulis dalam melihat arus dan gerak pembangunan NTT saat ini adalah masuk izin tambang di beberapa pulau yang ada di NTT.

Dalam konteks pembangunan tentu saja tujuan pembangunan hakikatnya, mewujudkan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera seperti tercantum dalam Pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Menurut Soembodo (dalam Astuti, 20:20.2017) bahwa kesejahteraan diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks inilah penulis coba melihat seberapa jauh tambang dan dampak sosialnya di NTT.

Tambang, dimana saja, tidak pernah bergerak atau berada di ruang hampa, tetapi mengena pada manusia dan lingkungan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Sumba sebagai misal yang mata pencahariannya adalah bertani dan berternak maka kehadiran pertambangan berarti tanda-tanda menuju kehancuran hidup serta hak-hak masyarakat serta alam lingkungan. Pertambangan merampok dan memberangus hak-hak hidup, ekonomi dan budaya masyarakat.

Dampak sosial dari berbagai industri pertambangan di NTT tidak bisa dilihat sebagai hal sepele saja oleh pemerintah sebagaimana kasus tambang di NTT yang telah meruntuhkan hubungan sosial masyarakat dengan alamnya. Karakteristik wilayah dan masyarakat NTT erat hubungannya dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

Ada siklus yang berjalan tidak normal ketika hubungan sosial masyarakat itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tentu saja dampak sosial dari adanya pertambangan seringkali memicu konflik yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat.

Perubahan sosial yang sangat tampak dan sering dijumpai ketika masuknya perusahaan tambang di sebuah wilayah adalah munculnya “aktor lokal baru” dalam sebuah kampung yang kemudian menjadi perantara antara perusahaan dan masyarakat untuk melobi lahan milik warga dengan iming-iming uang dan posisi dalam perusahaan tersebut.

Selain itu pula perubahan sosial lainnya adalah saling curiga di lingkungan masyarakat itu sendiri yang awalnya ada selain percaya karena ikatan kultur, berubah menjadi kecurigaan sebagai akibat dari berbagai kepentingan yang masuk. Akhirnya memecah belah tatanan sosial itu sendiri.

Aspek Budaya

Kehadiran industri pertambangan yang ditopang penguasa lokal memperlihatkan bahwa sesungguhnya di pulau Sumba dan wilayah lain di NTT, otoritas adat dan budaya diabaikan dan tidak dipedulikan. Hak-hak masyarakat atas tanah sebagai sumber hidup dan ruang hidupnya begitu saja 'diinjak-injak'. Hak-hak mereka untuk hidup dari tanah yang diwariskan dari leluhur dijarah penguasa tambang yang didukung oleh pemerintah.

Kepentingan pertambangan jauh lebih utama dari kehidupan dan masa depan masyarakat, padahal pertambangan dengan segala kekuatannya hanya 'datang' mengeruk keuntungan dan akan 'pergi' tanpa kewajiban untuk peduli dengan kelanjutan kehidupan masyarakat dalam segala kekayaan budaya dan sistem kehidupannya.

Maraknya izin pertambangan di NTT juga berpengaruh pada aspek kebudayaan. Budaya masyarakat NTT yang dekat dengan lingkungan atau alam akan sangat terganggu jika adanya industri dan pertambangan. Tentu tidak bisa dilihat secara sepihak.

Budaya masyarakat NTT yang senantiasa berada dalam satu ikatan kultur sosial perlahan-lahan mulai digeser dengan kemajuan teknologi, masuknya berbagai industri pertambangan dan perkebunan monokultur yang kian mengancam tatanan budaya masyarakat NTT, khususnya Sumba.

Hampir di seluruh wilayah NTT, masyarakatnya masih kental dengan budaya atau adat istiadat yang tentu saja ada kaitannya dengan alam. Sebagaimana masyarakat Sumba, masih kental dengan kepercayaan Marapu dimana seluruh rangkaian kegiatan adat atau ritualnya selalu berhubungan dengan lingkungan atau alam. Ketika akses wilayahnya dicaplok korporasi maka akan sangat sulit bagi masyarakat melakukan segala aktivitas budaya (ritual adat).

Dewasa ini banyak kearifan lokal yang dihidupi masyarakat kian terancam akibat aktivitas industri yang bersentuhan dengan sumber daya alam. Sebut saja perusahaan tebu PT. Muria Sumba Manis yang mencaplok tempat ritual masyarakat Sumba sebagai tempat aktivitas perkebunan. Hal ini tentu saja membatasi ruang dan akses masyarakat dalam melakukan ritual.

NTT hari ini dikelilingi oleh aktivitas industri pertambangan. Keseluruhan aktivitas ini tentu saja ada ketimpangan sosial yang membuka ruang-ruang konflik. Seperti yang terjadi di Pulau Sumba pada tahun 2010 ketika PT. Fathi Ressorces, perusahaan tambang emas melakukan eksplorasi di gunung Wanggameti sontak membuat tatanan sosial budaya masyarakat Sumba tergangu.

Ada pergeseran yang terjadi antara hubungan manusia dengan alamnya ketika tambang masuk. Serasa ada yang putus akibat aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem-kehidupan sosial masyarakat.

Oleh sebab itu, NTT tidak cocok dengan tambang karena dapat merusak lingkungan dan tatanan budaya. Apalagi masyarakat NTT rata-rata menjalani hidup sebagai petani dan peternak. Jika lahannya diambil perusahaan untuk kepentingan pertambangan maka sumber kehidupan dan budayanya akan terancam bahkan punah.

Segala bentuk aktivitas pertambangan jenis apapun yang berdampak buruk bagi aspek sosial dan budaya sudah selayaknya ditolak dari Bumi Nusa Lontar. Masa depan kita bukan dunia pertambangan, tetapi pertanian, peternakan dan segala bidang kehidupan yang menjadi potensi dasar masyarakat. Masa depan itu sudah ditanamkan sejak dahulu sebagai warisan budaya yang patut didongkrak dan diberdayakan secara maksimal oleh pemerintah. Tambang bukan masa depan kita!

Salam Adil dan Lestari

*Penulis, Aktivis WALHI NTT

Related Posts:

Simalakama, Langkah Moratorium Izin Tambang Gubernur NTT


Oleh: Umbu Tamu Ridi*

Usaha pertambangan di Indonesia telah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat. Ongkos sosial yang harus dibayar masyarakat lingkar tambang pun sangat mahal. Masyarakat kehilangan udara bersih, sumber air, wilayah kelola, bahkan kehilangan kedaulatan sebagai pemilik sah tanah/ lahan.

Produk undang-undang dinilai berupaya melanggengkan bisnis korporasi tambang, apalagi pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Salah satu pasal yang direvisi yang dianggap sebagai punichment apabila ada pelanggaran dalam penerbitan izin adalah pasal 165 yang menyatakan, “setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000”.

Revisi Undang-Undang Minerba secara khusus pasal 165 di atas  adalah sebuah pintu masuk bagi pebisnis tambang untuk melanjutkan bisnis kotor tersebut, yang mana penerbitan izin pertambangan merupakan salah satu fase yang sarat akan korupsi dan bahkan penyalahgunaan kewenangan.

Sulitnya pebisnis tambang dijerat hukum atas perilaku bisnis yang melanggar ketentuan hukum semakin menjadi-jadi, apalagi jika pemerintah daerah yang saat ini masih memiliki kewenangan memberikan izin usaha pertambangan tidak ketat dalam mengaudit ataupun mengevaluasi.

Langkah moratorium izin tambang oleh pemerintah daerah provinsi adalah sebuah kemajuan, dimana kebijakan tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari prosedur evaluasi dan audit. Namun jika pemerintah daerah provinsi tidak melaksanakan sesuai ketentuan hukum yang benar maka hanya akan menunda pemberian izin, bukan mengevaluasi pelanggaran yang dilakukan oleh pebisnis pertambangan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang omor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, menetapkan kewenangan pemberian izin pertambangan ada pada pemerintah provinsi. Dengan demikian kewenangan moratorium ada pada gubernur sehingga kewenangan lain seperti pencabutan izin pertambangan yang dinilai melanggar, sangat tepat dilakukan oleh gubernur.

Langkah moratorium didasarkan pada berbagai hal. Misalkan terdapat pelanggaran administrasi, kerusakan lingkungan yang masif,  pelanggaran hukum, tidak dilakukan reklamasi pasca tambang, terjadi gejolak atau konflik bersama masyarakat, dan lain sebagainya.

Urgensi moratorium izin tambang tidak mengikat dan final, sehingga keputusan moratorium dibarengi dengan jangka waktu. Tetapi dalam jangka waktu berlakunya moratorium tersebut dilakukan sebuah evaluasi dan audit menyeluruh berkaitan dengan dasar dilakukannya sebuah keputusan moratorium oleh pemerintah.

Evaluasi dan audit dilakukan pada perusahan-perusahan yang diduga telah melakukan pelanggaran, baik secara administrasi maupun non administrasi. Pada titik ini apabila pemerintah menemukan bahwa ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahan pertambangan maka akan diberikan sanksi berupa peringatan hingga pencabutan izin dan denda.

Kebijakan moratorium izin pertambangan tidak sepenuhnya dapat memberikan jera terhadap perilaku  korporasi pertambangan. Daerah-daerah di Indonesia seperti Aceh dan Kalimantan Timur, pernah diberlakukannya Peraturan Daerah moratorium izin tambang, namun tidak melakukan audit secara menyeluruh, bahkan tetap terjadi pelanggaran.

Di Nusa Tenggara Timur, sejak diberlakukan Surat Keputusan  Gubernur Nomor: 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, membawa harapan besar dalam perjuangan masyarakat menolak tambang. Langkah gubernur NTT untuk melakukan moratorium izin tambang dinilai sangat tepat, sebab banyak kasus pertambangan yang tidak dapat diselesaikan dari tahun ke tahun.

Terdapat 309 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh kabupaten di NTT, 96 IUP berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi, 5.620,26 HA yang berada di kawasan hutan produksi dan 65.862,87 berada di kawasan hutan lindung. Hal ini menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat.

Namun demikian, kebijakan Moratorium Izin Usaha Pertambangan (MIUP) yang sejak diberlakukan pada November 2018, tidak sepenuhnya menjadi langkah baik dalam pemulihan lingkungan dan meminimalisir konflik sosial yang terjadi di NTT. Perusahan-perusahan pertambangan terus beroperasi, dan pengaduan masyarakat tidak menjadi pertimbangan pemerintah.

Di kampung Luwuk dan Lingko Lolok, Manggarai Timur misalnya, sedang dan akan terjadi konflik masyarakat berkaitan dengan rencana Pemerintah Daerah Manggarai Timur dan Gubernur NTT yang memberikan izin baru untuk pabrik semen PT. Semen Singa Merah. Begitupun di Dusun Nunang, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat sedang dilanjutkan pembebasan lahan untuk proyek geotermal oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Selain itu, ada juga izin-izin usaha pertambangan lain yang masih aktif dan terus beroperasi. Misalnya tambang emas di Bukit Mas oleh PT. Kejora Patra Utama (KPU) di Pantar Timur, Kabupaten Alor. Hingga saat ini, masyarakat masih terus melakukan penolakan.

Kebijakan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat menjadi "simalakama" di tengah masyarakat. Ia belum melakukan evaluasi izin tambang, pencabutan ataupun perpanjangan Surat Keputusan Moratorium, namun di sisi yang lain ia sudah merencanakan pemberian izin baru.

Diketahui, bahwa sejak surat keputusan ditandatangani oleh Viktor Laiskodat pada November 2018, evaluasi izin tidak pernah dilakukan, bahkan audit menyeluruh pada setiap perusahan pertambangan di NTT. Padahal poin-poin moratorium izin tambang berangkat dari kegelisahan gubernur terkait kerusakan lingkungan dan gejolak sosial di masyarakat lingkar tambang.

Bahkan saat itu Viktor Laiskodat ingin mencabut izin tambang secara permanen sebab telah merusak lingkungan dan tidak memberikan pendapatan daerah secara maksimal. Tenaga kerja lokal pun hanya 0,5 % yang direkrut.

Moratorium izin tambang di NTT mesti kuat dan bersanksi hukum. Gubernur NTT harus memperpanjang surat keputusan moratorium dan mencantumkan poin audit lingkungan dan sanksi hukum berupa pencabutan izin usaha  pada setiap perusahan pertambangan yang terbukti melakukan pelanggaran.

Salam Adil dan Lestari

*Penulis, Divisi Advokasi WALHI NTT



Related Posts:

WALHI NTT, ITA-PKK dan FPR Kecam Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Pubabu




Kupang, LekoNTT.com - Kasus yang dialami masyarakat adat Pubabu, Amanuban Selatan, TTS kembali mencuat pada Selasa (12/5/2020) ketika Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati TTS Egusem Pieter Tahun bersama rombongan secara tiba-tiba mendatangi lokasi Besipae. Sempat terjadi insiden antara rombongan pejabat dan masyarakat adat Pubabu, namun situasi tersebut kemudian diakhiri dengan dialog bersama.

Insiden yang turut menarik perhatian publik di tengah fokus pandemi Covid-19, sekaligus menjadi peristiwa pengingat akan berbagai proses penyelesaian kasus tanah dan hutan adat Pubabu. WALHI NTT, Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA-PKK), Front Pembela Rakyat (FPR) menyebutnya sebagai usaha melawan lupa.

Bahwa pada tahun 2011, KOMNAS HAM melalui surat dengan Nomor: 873/K/PMPT/IP/2011, meminta Pemerintah Provinsi NTT untuk menghentikan segala aktivitas proyek peternakan sampai konflik lahan terselesaikan. Surat itu kemudian didukung lagi dengan surat surat lainnya dari KOMNAS HAM, Kementerian Hukum dan HAM hingga Ombudsman NTT yang meminta penyelesaian konflik.

"Kami melihat hingga hari ini, rekomendasi tersebut tidak dijalankan oleh Pemprov sejak 2011 hingga kini. Yang terjadi justru tindakan pemaksaan yang berulang ulang," ungkap Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.

Selanjutnya pada 2017, Badan Pertanahan Nasional dalam kesempatan hearing dengan DPRD Provinsi NTT, mengakui telah kehilangan sertifikat hak pakai yang dimiliki sejak 1987. Sertifikat dimaksud telah berakhir pada 2012.

"Kami menilai keluarnya sertifikat hak pakai yang baru dikeluarkan pada 2013 dengan alasan sertifikat hak pakai yang lama telah hilang sungguh tidak berdasar. Belum ada lagi kesepakatan baru dengan warga terkait perpanjangan kontrak. Tiba tiba sertifikat baru dibuat". Umbu Wulang pun mengatakan bahwa belum ada proses perbincangan dengan warga dalam menyikapi sertifikat hak pakai yang telah selesai di 2012.

WALHI NTT, ITA-PKK dan FPR sangat menyayangkan kehilangan tersebut dan mengecam proses pengeluaran sertifikat baru tanpa sepengetahuan masyarakat adat Pubabu. Apalagi kemudian sertifikat tersebut ternyata banyak mengambil ruang hidup rakyat, mulai dari tanah pekarangan, belukar hingga rumah warga.

Sebelumnya, pada 12 Maret 2020 saat hearing bersama warga Pubabu, pimpinan DPRD Provinsi NTT dan Komisi 1 berjanji akan membentuk tim pencari fakta. Selain itu DPRD Provinsi NTT berjanji akan segera menyurati Pemprov NTT untuk menghentikan segala aktivitas sebelum konflik warga adat Pubabu dan Pemprov terselesaikan. Namun hingga kini, sampai peristiwa 12 Mei terjadi belum ada petunjuk apapun bahwa DPRD telah menepati janji.

Insiden yang terjadi di Besipae pada 12 Mei 2020 berakhir dengan terbangunnya dialog kondusif antara warga dan Gubernur NTT. Dalam dialog tersebut, Gubernur NTT menjanjikan akan ada pertemuan lanjutan untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan dan hutan adat antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu pada Juni 2020 mendatang.

Janji tersebut diapresiasi oleh WALHI NTT, ITA-PKK, FPR sebagai upaya persuasif yang baik dari Gubernur NTT guna menyelesaikan konflik yang sudah terjadi sejak 2008 ini. "Kami memandang momentum bulan Juni adalah akhir dari konflik berkepanjangan selama 12 tahun ini," ungkap Matias Kayun, perwakilan FPR sebagaimana dalam keterangan tertulis.

Terlepas dari insiden yang terjadi, Matias menilai kalau substansi dari janji Gubernur NTT akan terbangun suatu musyawarah bersama antara pemerintah dan masyarakat hingga mencapai kesepakatan. "Tidak ada lagi upaya intimidasi atau kriminalisasi yang sudah dirasakan masyarakat adat Pubabu sejak belasan tahun lalu. Rakyat akan lega dan bisa lebih fokus untuk membangun kehidupannya tanpa konflik yang menguras banyak energi lagi".

Namun pemberitaan media pada 13 Mei 2020 sebagaimana dimuat oleh NTT Terkini, justru bertolak belakang dengan janji persuasif Gubernur. Diberitakan bahwa Kepala Biro Hukum Setda NTT, Alex Lumba dan Ketua Komisi II DPRD Provinsi NTT, Kasimirus Kollo sepakat melaporkan warga secara hukum kepada pihak berwajib.

Tidak tanggung tanggung, tiga hal sekaligus akan dilaporkan. Pertama soal pornografi. Kedua, soal penyerobotan lahan. Ketiga, penghinaan terhadap pejabat negara. "Berita ini justru kontraproduktif dengan janji Gubernur NTT".

Atas perkembangan ini, WALHI NTT, ITA-PKK, dan FPR menyatakan:

Pertama, mengharapkan Gubernur NTT untuk memenuhi janjinya dalam bermusyawarah dengan masyarakat adat Pubabu pada bulan Juni 2020. Sebab pertemuan ini sangat penting untuk mengakhiri konflik selama 12 tahun antara masyarakat adat dan Pemprov NTT.

Kedua, mengecam dan meminta Pemprov NTT bersama DPRD Provinsi NTT agar tidak melanjutkan rencana proses hukum terhadap warganya. Karena secara hukum bahwa tidak ada tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Pubabu. Secara etis, adalah berlebihan dan tidak etis  pimpinan rakyat mengkriminalisasi rakyatnya sendiri.

Ketiga, meminta DPRD Provinsi untuk mengingat dan menjalankan janjinya saat rapat dengan masyarakat adat Pubabu pada 12 Maret 2020 di gedung DPRD Provinsi NTT. DPRD NTT menjanjikan akan membentuk tim pencari fakta dan bersurat ke Pemprov NTT untuk menghentikan segala aktivitas sebelum masalah konflik antara masyarakat adat dan Pemprov NTT terselesaikan.

Keempat, meminta Pemprov NTT dan DPRD Provinsi NTT untuk serius menjalankan proses persuasif karena psikologi masyarakat adat Pubabu sudah mengalami berbagai pengalaman traumatis akibat upaya upaya intimidasi, kriminalisasi, pengrusakan alam selama ini.

Kelima, meminta Pemprov NTT untuk melihat kembali data-data lama, terutama rekomendasi dari lembaga lembaga negara yang terkait dengan permasalahan di Pubabu sebagai rujukan untuk menjalankan proses persuasif.

Keenam, meminta Pemprov NTT untuk membatalkan sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 2013.

WALHI NTT menilai bahwa masyarakat adat Pubabu tidak menolak upaya pembangunan yang ramah lingkungan dan ramah adat di wilayahnya. Masyarakat adat menginginkan pengakuan dan pengembalian hak hak mereka sebagaimana juga dimandatkan oleh konstitusi.

Nikodemus Manao, tokoh adat dari ITA-PKK pun berharap agar konflik berkepanjangan yang selama ini terjadi di Pubabu segera berkahir. "Selama 12 tahun ini warga sudah mengalami berbagai pengalaman buruk, kami berharap Pemprov dapat memahami psikologi masyarakat yang telah berjuang 12 tahun dan dapat mengakui keberadaan masyarakat adat Pubabu beserta dengan kepemilikannya". (het)

Related Posts:

Covid-19, Negara dan Warga Negara


Oleh: Fransiskus Solanus Afeanpah*

Berbagai strategi dan upaya pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi maraknya penyebaran Covid-19 secara massif dilakukan. Perlunya jarak sosial dan jarak fisik (social distancing & physical distancing), mencuci tangan dengan sabun, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah secara online, menghindari kebiasaan berjabat tangan pada awal perjumpaan serta selalu menggunakan masker saat bepergian hingga larangan untuk tidak mudik merupakan wujud tanggung jawab dan kepedulian pemerintah kepada warga negaranya.

Tidak saja itu, Negara bahkan masih melakukan upaya lain dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Status Kedaruratan Masyarakat Covid-19 yang dilandaskan pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Guna menunjang keberlangsungan hidup warga Negara dalam menghadapi krisis ini, pemerintah juga mengalokasikan tambahan dana senilai 405,1 Triliun Rupiah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang terbit pada 31 Maret lalu.

Namun apa boleh buat. Strategi dan upaya pemerintah ini belum membuahkan hasil yang memadai. Pada tataran realitas, trend perkembangan Covid-19 di Indonesia masih cenderung meningkat, baik yang berstatus positif maupun yang meninggal dunia. Meskipun pasien yang sembuh juga cukup meningkat sebagaimana diungkap Juru Bicara Pemerintah Ahmad Yurianto per 12 Mei 2020, misalnya, bahwa jumlah pasien positif bertambah 484 orang menjadi 14.749 orang, pasien sembuh bertambah 182 menjadi 3.063 orang. Pasien meninggal dunia bertambah 16 orang sehingga menjadi 1.007 orang.

Selain meningkatnya kasus Covid-19 secara signifikan karena warga Negara yang belum disiplin mengikuti aturan pemerintah, juga tak bisa disangkal bahwa sebagian warga masyarakat lapisan bawah yang terdampak di daerah pelosok belum ‘tersentuh’ oleh bantuan pemerintah. Sebut saja di daerah pelosok Nusa Tenggara Timur. Para pekerja harian seperti buruh, petani, nelayan, tukang ojek pada akhirnya harus menolong diri sendiri dengan bergantung pada alam demi keberlangsungan hidup mereka.

Padahal dana yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 terbilang besar nilainya. Namum prosedur pengalokasian dan pendistribusian terkesan sangat berbelit-belit sebagai akibat mekanisme administrasi birokrasi yang panjang dan rumit.

Pada akhirnya percakapan antara warga desa terdampak hari-hari ini bukan lagi tentang ‘’apakah kamu sudah mendapat bantuan dari pemerintah?’’ tetapi ‘’berapa karung umbi beracun yang kamu ambil di hutan untuk dimakan hari ini: sekarung, dua karung atau tiga karung?’’ Sungguh, fakta ini mengantar kita untuk berkesimpulan bahwa upaya dan strategi pemerintah ibarat api yang masih jauh dari panggangan.

Warga Negara yang Belum Disiplin

Salah satu penyebab meningkatnya kasus Covid-19 secara signifikan adalah adanya warga Negara yang belum disiplin menjalani berbagai imbauan dan peraturan pemerintah. Tentu jawabannya tidak bagi mereka yang ditugaskan secara krusial oleh Negara seperti para medis, aparat TNI-POLRI dan para pekerja harian (yang tidak mendapat bantuan) serta profesi lain yang mengemban tugas Negara.

Namun, pokok soal ialah: mengapa masih ada warga Negara yang terus ‘membangkang’ terhadap aturan pemerintah dan terus berkeliaran tanpa mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan? Padahal tidak punya alasan sah secara obyektif.

Menurut perspektif sosiologis dari aspek paradigma perilaku sosial dengan obyek studi pada perilaku manusia dan hubungannya dengan lingkungan, dikatakan bahwa setiap norma, nilai dan struktur sosial merupakan sesuatu yang berada di luar diri manusia sehingga dianggap sebagai sesuatu yang asing. Itu berarti norma dan nilai itu belum menyatu dan belum membudaya di dalam diri pribadi manusia sehingga membutuhkan waktu untuk melakukan proses adaptasi.

Pandangan ini kemudian ditelaah lebih lanjut oleh George Simmel sebagai peletak dasar Teori Pertukaran dengan didasari pada asumsi do ut des (saya memberi supaya engkau memberi). Menurut Simmel, semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. ‘’All contacts among men rest on the scheme of giving and returning the equivalent’’.¹

Telaahan menarik lain yang mirip dengan pandangan teori pertukaran adalah kajian Lwarence Kholberg tentang ‘Kesadaran Moral’. Menurut Kholberg, manusia pada jenjang tertentu meskipun kelihatan sudah lebih rasional tetapi tindakan moralnya masih kekanak-kanakan.
Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Prinsipnya adalah saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. You scratch my back I scratch yours. Anda menggaruk punggungku dan aku menggaruk punggungmu.²

Kedua telaah kritis terurai di atas, setidaknya membantu kita dalam memberikan jawaban tentang alasan mengapa masih banyak warga Negara kita yang belum menaati berbagai aturan pemerintah.

Negara yang Tak Hadir

Hingga kini masih terdapat sebagian masyarakat lapisan bawah yang terdampak namun belum mendapat ‘belaian’ dari pemerintah. Di berbagai tempat, warga yang sangat terdampak terpaksa menolong diri sendiri, dengan bantuan para dermawan dan donatur, atau dengan sumbangan dari posko beberapa partai politik.

Memang terdengar kritik bahwa parpol-parpol ini mencoba mengail di air keruh. Tetapi, apa salahnya, kalau parpol-parpol ini hadir di tengah krisis dan memberi bantuan nyata kepada penduduk untuk mendapat simpati mereka? Yang dibutuhkan saat ini adalah adanya bantuan nyata, sedangkan motif dari bantuan merupakan hal sekunder, sepanjang bantuan  itu diberikan tanpa mengikat.

Dalam teori Negara manapun, liberal atau sosialis, Negara diharuskan hadir saat masyarakat dilanda krisis. Ada perbedaan antara kedua sistem itu sejauh menyangkut keadaan normal.

Dalam sistem sosialis, Negara selalu (memaksa) hadir, entah dibutuhkan atau tidak. Sedangkan dalam sistem liberal, masyarakat diberi kebebasan sejauh mungkin mengatur diri sendiri, sementara Negara harus hadir apabila dibutuhkan masyarakat atau diminta oleh anggota masyarakat.

Dalam Welfare State yang merupakan kompromi kedua sistem itu, hampir secara harafiah dikatakan, bila seorang warga datang kepada Negara dan mengatakan bahwa dia lapar, maka dia tidak diperbolehkan pulang ke rumahnya dengan perut kosong dan tangan hampa. Seorang kepala keluarga bebas mengatur keluarganya tanpa campur-tangan polisi, tetapi kalau keluarga itu terserang oleh segerombolan perampok, maka kepala keluarga dapat meminta bantuan polisi. Dan polisi sebagai aparat Negara berkewajiban membantu, sekalipun tidak dibayar dengan uang terimakasih oleh keluarga itu. Dengan rumusan yang lain, dalam teori demokrasi, Negara harus hadir bilamana masyarakat membutuhkannya.³

Menimbang Jalan Keluar

Dua pokok persoalan besar yang disodorkan ini bukan saja kepada pemerintah, tetapi juga masyarakat. Yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana masyarakat perlu disiplin dan pemerintah perlu hadir bagi masyarakat yang belum ‘tersentuh’ dalam situasi krisis kebencanaan ini.

Ilustrasi: Jawa Pos

Perlu kita sadari bahwa ketidakdisiplinan terhadap berbagai imbauan dan aturan pemerintah di saat krisis seperti ini, akan berdampak secara krusial baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitar. Menjadi benar adanya anggapan bahwa menaklukan musuh lebih gampang dari pada menaklukan diri sendiri dari rasa egois dan kepentingan pribadi yang dominan karena motivasi do ut des dan keinginan mencapai kenikmatan secara langsung. Untuk alasan itu, maka alangkah baiknya kita perlu meningkatkan sikap disiplin diri dan kepedulian yang tinggi sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di tanah air.

Yang tak kalah penting adalah pemerintah perlu hadir secara nyata bagi masyarakat yang belum ‘tersentuh’. Bahwa Negara kita belum dapat mengatasi praktik KKN, sudah dimaklumi masyarakat. Bahwa demikian banyak korban yang mati sia-sia dalam konflik di berbagai daerah, karena Negara tak sanggup mengatasinya, sudah pula diterima dengan penuh pengertian. Tetapi, bahwa masih banyak warga masyarakat lapisan bawah yang tidak mendapat bantuan demi keberlangsungan hidup di tengah pandemi Covid-19 padahal dananya begitu besar; betapa sulit memahaminya.

Maka sangat penting untuk dilakukan evaluasi secara bertahap dan terus-menerus dalam rangka memutus mata rantai administrasi birokrasi yang berbelit dalam pembagian bantuan sosial oleh pemerintah. Dengan demikian bantuan tersebut akan benar-benar sampai ke tangan masyarakat lapisan paling bawah serta terhindar dari niat jahat praktik politisasi bansos oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Keterangan:
¹. George Simmel, The sociology of sociology ( Glecoe, The Free Press, 1950) dikutip oleh Wallace & Wolf. Hal. 163.
². Bernard L. Tanya  dkk,  Teori Hukum–Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, Cetakan ke Tiga, 2013, Hal. 34.
³. Kompas.com (2011, 9 Oktober). Banjir dan Negara yang Tak Hadir. Diakses pada 11 Mei 2020 pukul 20:00 Wita.

Related Posts:

Konflik Pubabu, Tokoh Adat: Hentikan Intimidasi, Kami Lelah Wahai Gubernur

Aparat TNI, Polri, Pol PP dan dinas terkait ketika mengeluarkan masyarakat dari hutan adat Pubabu pada Februari 2020 lalu. (Foto: Vera Selan)

Kupang, LekoNTT.com - Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT ditemani Bupati Timor Tengah Selatan, Eugusem Pieter Tahun beserta rombongan tiba-tiba datang ke Besipae, Pubabu, TTS pada Selasa (12/05/2020) sekitar pukul 15.00 Wita . Kedatangan mereka mengejutkan warga karena tidak ada pemberitahuan terkait kunjungan pejabat di kampung.

Setelah keluar dari mobil yang ditumpangi, Gubernur NTT meminta untuk masuk tapi warga tidak mengijinkan. Alasannya, belum ada penyelesaian masalah terkait konflik yang terjadi selama belasan tahun ini antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu.

Sempat terjadi keributan karena Viktor Laiskodat memaksa masyarakat untuk membongkar pagar. Keributan kecil itu juga diwarnai dengan aksi buka baju dari beberapa ibu di Besipae.

Akhirnya setelah mereda, terjadi dialog antara warga dan gubernur bersama pejabat lainnya. Dalam dialog tersebut, gubernur menjanjikan untuk bertemu lagi di bulan Juni 2020.

"Peristiwa tersebut telah menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan bagi masyarakat adat Pubabu. Dengan mudahnya Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur melakukan pemaksaan terhadap masyarakat adat," ungkap Imanuel Tampani, perwakilan Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA-PKK) dalam keterangan tertulis.

Atas peristiwa tersebut, ITA-PKK memiliki penilaian sebagai berikut:

Pertama,  tindakan pemaksaan tersebut telah melanggar hak-hak warga negara dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Kedua, kunjungan Gubernur NTT bersama Bupati TTS seharusnya didahului dengan pemberitahuan agar masyarakat bisa mempersiapkan diri untuk membangun dialog.

"Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, kami justru berharap pemerintah memberi contoh kepada kami sebagai rakyat untuk menjalankan standar pencegahan Covid-19".

Ketiga, tindakan  Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur sangat bertentangan dengan Sila IV Pancasila yaitu musyawarah dan mufakat atau tidak menghargai mediasi yang dilakukan masyarakat  adat Pubabu terkait pengakuan atas kepemilikan tanah adat.

Keempat, pemerintah serius untuk segera mengerjakan proyek kelor dan peternakan tapi tidak serius dalam menyelesaikan konflik kepemilikan dan hak atas tanah ulayat atau hutan adat Pubabu. Pemerintah tidak memperhatikan pengalaman traumatis masyarakat adat Pubabu akibat intimidasi, kriminalisasi, ketidakadilan hingga pembabatan hutan yang membabi buta oleh Pemprov NTT di masa lalu.

Kelima, sikap pembiaran juga dilakukan oleh DPRD Propinsi NTT yang berakibat terjadinya peristiwa 12 Mei 2020. Pembiaran yang dimaksud adalah kesepakatan dalam audiensi antara masyarakat adat Pubabu dan DPRD Provinsi yakni Komisi 1 dan Ketua DPRD NTT.

Ketua DPRD, Emi Nomleni menjanjikan akan segera membentuk tim pencari fakta dan segera menyurati Pemprov NTT untuk menghentikan segala aktivitas di lokasi sebelum konflik lahan terselesaikan terlebih dahulu.
Audiensi antara masyarakat adat Pubabu dan Komisi 1 serta pimpinan DPRD NTT pada 12 Maret 2020. Foto: ITA-PKK

Niko Manao, salah satu tokoh ITA-PKK menandaskan kalau masyarakat adat Pubabu sudah lelah menghadapi pemerintah. Ia pun berharap agar Pemprov NTT segera menghentikan segala bentuk diskriminasi.

"Hentikan praktek intimidasi dan prioritaskan musyawarah untuk penyelesaian kasus tanah dan hutan adat Pubabu, dan jangan rusak alam kami. Sesungguhnya, kami lelah wahai Gubernur NTT dan DPRD Provinsi," ungkap Niko.

ITA-PKK pun menyatakan beberapa tuntutan sebagai berikut:

Pertama, hentikan segala diskriminasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu. Kedua, cabut Sertifikat Hak Pakai Nomor: 00001/2013-BP,794953. Ketiga, berikan pengakuan dan pengembalian hak terhadap masyarakat dat dan hutan adat Pubabu tanpa syarat. Keempat, meminta Pemprov NTT mengedepankan pendekatan musyawarah dalam penyelesaian konflik. (red)

Baca juga artikel lainya tentang KONFLIK PUBABU

Sumber: Rilis ITA-PKK, 13 Mei 2020

Related Posts:

Sepasang Telinga | Cerpen Hans Hayon



Sejak lahir, aku dianugerahi kemampuan mendengar banyak hal. Berbeda dengan orang kebanyakan, aku dapat mendengar celotehan para semut.

Aku mendengar percakapan pepohonan tentang musim kemarau yang terlalu panjang. Bahkan aku sanggup mendengar pembicaraan dua janin kembar dalam kandungan seorang perempuan. Aku juga mendengar keluhan dedaunan sebelum pepohonan meranggas. Aku mendengar rasa khawatir air danau yang tercemar limbah. Aku mendengar semuanya. Tanpa kecuali.

Pernah, kuceritakan hal ini kepada beberapa orang kawan. Tentu saja mereka tertawa sementara yang lainnya menganggap aku sinting. Aku melihat dua ekor ulat bulu, mendengar ocehannya sepanjang hari tentang siapa diantara mereka yang kelak terlahir menjadi kupu-kupu paling cantik. Sejak saat itu, aku putuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun.

Hingga pada suatu ketika, datanglah segerombolan orang menemuiku. Setelah berbincang-bincang dengan berbagai cara yang cukup sulit dimengerti oleh kebanyakan manusia, barulah aku tahu maksud kedatangan mereka. Aku ditawarkan untuk masuk ke panti asuhan. Kata mereka, di sana aku akan diajarkan banyak hal. Salah satunya yakni bagaimana cara yang paling tepat untuk mendengar.

Menyadari hal ini, bukan main girang hatiku. Tanpa membuat pertimbangan lagi, kuputuskan untuk mengikuti mereka ke sana. Betapa kagetnya aku karena di panti asuhan itu terdapat begitu banyak orang sepertiku. Maksudnya, mereka yang dikategorikan cacat fisik.

Ada pria dewasa yang tidak memiliki kaki namun mampu melakukan banyak hal. Ada juga remaja puteri yang buta matanya tetapi sanggup berjalan ke mana saja tanpa menggunakan alat bantu seperti tongkat. Juga ada pula lelaki tua yang tidak bisa berbicara sejak lahir namun cakap dalam membahas segala sesuatu.

Singkatnya, entah bagaimana caranya, mereka sangat kreatif dan melakukan apa pun dengan begitu bersemangat. Selain itu, mereka suka bekerja sambil tertawa atau tersenyum tanpa alasan. Selama beberapa minggu di panti asuhan, inilah alasan yang membuat aku kerasan.

Meskipun demikian, aku membenci sesuatu. Semua kami dikelompokkan berdasarkan kebutuhan masing-masing. Tentu saja aku tulis kata kebutuhan dalam arti yang mereka maksudkan. Bersama dua belas orang lainnya, aku dimasukkan ke dalam kelompok tunarungu. Kelompok ini terkenal paling gemar berbicara tanpa tahu siapa yang sanggup mendengar.

Mungkin karena alasan itulah, kami diajarkan berkomunikasi dengan cara yang ganjil dan paling aku benci. Mereka menyebut hal itu sebagai bahasa isyarat. Maksudnya, mereka mengajarkan kami berkomunikasi dengan menggunakan jari-jari tangan. Pernah, aku berusaha semaksimal mungkin bahkan nyaris hampir gila untuk mengerti apa yang mereka sampaikan.

Celakanya, aku tidak mengerti apa-apa dan menertawai ketololanku itu. Sederhana saja alasanku. Seumur hidup, aku belum pernah menyaksikan jari-jari tangan manusia berbicara.

Dilanda kesengsaraan yang begitu hebat karena tinggal di sana, aku putuskan untuk melarikan diri. Setelah berpamitan dengan beberapa kawan yang sudah aku anggap sebagai sahabat, aku lalu meninggalkan tempat tersebut.

Di jalanan, aku berhenti sejenak di traffic light. Berjejer kendaraan bertumpuk-tumpuk seperti ular tangga. Kusaksikan ratusan pengendara menunjukkan raut wajah yang begitu letih seperti baru saja dihajar habis-habisan oleh pekerjaan dan rasa gelisah. Tampak mulut beberapa orang komat-kamit, tenggelam di dalam bunyi pacuan hasrat minta didahulukan.

Sementara itu, isi kepala mereka bukan main ributnya. Keributan itu membuat kepalaku mendadak pening. Jika tidak kutinggalkan tempat itu dengan segera, mungkin aku bisa pingsan di sana. Sambil memijat kepalaku, dengan susah payah kutinggalkan tempat paling macet di dunia itu.

Dalam perjalanan, secara tak sengaja aku melihat sebuah rumah ibadah. Didorong oleh rasa penasaran, aku melangkah masuk. Sesaat sebelum kakiku mencapai pintu, kepalaku kembali pusing. Aku paksakan saja melangkah masuk dan memilih tempat duduk paling depan.

Kulemparkan pandanganku ke seisi ruangan. Semua kepala tertunduk. Mulut mereka bungkam. Tetapi aku begitu heran: mengapa aku mendengar begitu banyak suara? Dilanda kebingungan yang luar biasa, aku tinggalkan tempat itu. Rupanya beberapa manusia sekarang semakin aneh. Ketika berdoa, mereka sanggup berbicara tanpa membuka mulutnya.

Setelah meninggalkan rumah ibadah, aku berjalan menuju pusat kota. Di tengah keramaian aku melihat seorang pemuda. Dari cerita-cerita yang kudengar dan beberapa selebaran yang kubaca, ia seorang tabib. Bersamanya ada segerombolan orang ikut serta. Pemuda dan gerombolan itu berhenti sebentar di sebuah bangunan tua.

Beberapa menit kemudian, pemuda itu lalu berbicara sementara puluhan orang lainnya duduk di tanah membentuk sebuah lingkaran. Melihat itu, tanpa berpikir panjang, kuberanikan diri menerobos kerumunan itu dan tersungkur di kakinya.

“Aku ingin mendengar,” kataku padanya. Ia menghentikan pengajarannya sejenak dan menatap mataku.

“Apa yang ingin kamu dengar?”

“Bahasa manusia,” jawabku singkat, sesaat sebelum aku merasa bingung dengan permintaanku sendiri. Mendengar itu, beberapa orang tampak tertawa.

“Apakah kamu yakin?”

“Tidak ada keragu-raguan yang cukup tangguh di dalam permintaan ini.”

Sampai di situ, aku hilang akal. Bagaimana aku bisa mendengar dan bercakap-cakap dengan orang ini padahal tidak pernah sekalipun ia membuka mulutnya?

“Aku mendengarmu,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kaget bukan main.

Pemuda itu lalu menyentuh kedua telingaku dengan tangannya. Tepat ketika ia menarik kembali tangannya, aku mendengar bunyi ribut-ribut.

“Imanmu telah menyelamatkan engkau,” katanya sambil berjalan pergi.

Untuk beberapa saat, aku bergeming sambil menyaksikan kepergiannya dengan hati yang kalut. Lamat-lamat, aku mendengar keributan yang luar biasa hebat. Setelah meneliti secara saksama keadaan sekitar, barulah aku sadar ternyata aku berada di tengah-tengah pasar.

Dua bulan kemudian, tersiar kabar menggemparkan. Pemuda itu mati dibunuh dengan cara digantung di atas salib. Dahulu, ketika bertemu, ingin rasanya kuperingatkan dia. Aku pernah mendengar rencana pembunuhan itu sebelumnya. Sayangnya, setelah telingaku sembuh, aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi, termasuk bagaimana kelanjutan rencana pembunuhan itu. Telingaku terlalu kecil untuk menampung begitu banyak hal yang dibicarakan orang.

Diam-diam aku merasa sedih karena telah terlanjur dapat mendengar. Rasanya telingaku mulai memanas. Aku tidak sanggup mendengar terlalu banyak keluhan.

Di mana-mana orang mengumbar bualan dan omong kosong. Bahkan terkadang telingaku diserang gatal-gatal ketika berhadapan dengan caci maki dan ujaran kebencian. Hingga pada suatu hari, aku ambil sebuah belati. Kulepaskan belati itu dari sarungnya dan kutatap kilaunya. Sebuah sinar kebebasan memancari mataku sesaat sebelum kupenggal sepasang telingaku sendiri. Darah semerah kunyahan pinang menetes di sekujur tubuhku.

Meskipun demikian, aku sama sekali tidak merasa sakit. Luka bekas sayatan belati rupanya tidak seberapa dibandingkan dengan hatiku yang mulai merasa damai.

Bukan main girangnya hatiku saat itu. Aku tidak lagi mendengar apa-apa selain sebuah keheningan yang teramat agung. Hingga beberapa saat menjelang, terdengar sebuah suara datang dari kejauhan entah dari mana. Suara itu semakin jelas terdengar dan menjelma keributan yang luar biasa. Kulemparkan pandangan ke sekitar berharap menemukan orang yang sedang bercakap-cakap. Tidak ada siapa-siapa selain diriku sendiri.

Setelah hampir dibuat nanar dengan fenomena ganjil ini, barulah aku tahu. Suara ribut itu justru berasal dari dalam kepalaku sendiri. Aku mengerling sebentar pada belati yang masih bersimbah darah. Sekali lagi kutatap kilaunya secara saksama. Aku tahu apa yang harus kuperbuat selanjutnya.

Yogyakarta, 10 Juni 2019
*Hans Hayonsalah satu penulis muda dari Flores Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya berjudul Tuhan Mati di Biara (Ende: Nusa Indah, 2016) dan buku kumpulan esai Mencari yang Pintang, Menegakkan yang Terguncang (Yogyakarta: Rua Aksara, 2019).

Ilustrasi: clstauss


Related Posts:

"Fae Pese", Makanan Alternatif Atoen Metô (Orang Dawan-Timor) di Tengah Bencana


Sabtu, 2 Mei 2020. Saat saya bersama ayah, ibu, dan saudari-saudara yang lain tengah membangun "Sane" (pondok) di kebun untuk menampung hasil panen jagung. Kesempatan beristirahat saya manfaatkan untuk menyusuri kali kering yang membentang di pinggir kebun. Itu kesempatan mempertemukan saya dengan ini buah dan atau biji.



Dalam Uab Metô (Bahasa Dawan-Timor) sebagaimana nama pohonnya, buah dan atau biji ini disebut "fae/ faela". Bingkek, demikian nama dalam Bahasa Indonesia dengan nama ilmiah Entada phaseoloides. Seperti tali hutan, pohonnya biasa menjalar/ melingkari pohon lainnya. Umumnya tumbuh di hutan, pinggir kali/ sungai.

Semasa kecil, di Insana, Timor Barat, kami menjadikan pohon "fae" ini untuk bermain taika-filî (ayunan/ Tarzan-Tarzanan) sambil berseru: Aueee...Auooo. Kalau pohon "fae" ini tumbuh di dekat kali yang ada genangan airnya; yang lumayan dalam, setelah dua tiga empat kali berayun, kami lepas pegangan lalu menceburkan diri ke dalam air.

Masa kecil angkatan 80-an dan 90-an yang sungguh indah. Alam turut menyediakan permainan, secara alami. Tidak di kekinian, besi besi tua dipajang-digantung di sekolah sekolah semisal PAUD atau TK; lalu anak-anak asyik bersama itu barang.



Pada tahun 1965 ketika seluruh daerah di pelosok negeri ini dilanda 'musim' kelaparan yang turut menyebabkan kematian banyak orang termasuk di Insana, Timor Barat, "fae" dijadikan sebagai bahan makanan alternatif. Stok jagung, padi, segala jenis ubi dan kacang-kacangan di kebun, tidak cukup selama tahun tersebut. Bahkan beberapa tahun setelah 1965 hingga 1979, "fae" masih dijadikan bahan makanan alternatif ketika orang-orang di kampung mulai kekurangan stok jagung, padi, dan ubi.



Selain "fae" ada juga kacang hutan (Arbila), dalam Bahasa Dawan disebut koto/ kot pese. Proses pengolahannya sama, yakni dimasak dan dibuang airnya selama sembilan atau 10 kali untuk menghilangkan zat beracun yang terkandung di dalamnya. Kalau dimasak hanya sekali atau dua tiga kali, maka seseorang bisa saja keracunan/ mabuk.

Oleh sebab itu, butuh kesabaran untuk menanti hingga tahapan akhir, termasuk sabar menahan lapar. Sakit lambung atau mati, bisa saja terjadi. "Fae" yang sudah diolah dan layak konsumsi disebut fae pese.

Namun sebelum tahun 1965 bahkan hingga saat ini, sebagian orang di Insana, Timor Tengah Utara dan mungkin daerah lainnya masih menjadikan fae pese dan kot pese sebagai makanan alternatif. Selain dikonsumsi di rumah, di pasar-pasar rakyat, kita masih bisa menjumpai mama-mama dari kampung menjual fae pese dan kot pese (dicampur); biasanya disertai unus/ unû panû/ Luât (olahan lombok disertai jeruk, kemangi, bawang, dll).

Saat ini, di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mulai mengeluarkan 'semacam' kebijakan untuk menangkal rawan pangan dengan menjadikan sagu sebagai salah satu pilihan stok makanan. Kalau padi dan atau beras, jagung, ubi dan makanan lokal lain habis, ya semua kita perlu memikirkan langkah antisipatif lain.

Memang lumayan konyol kebijakan tersebut. Ribuan hektar sagu sudah dibabat habis untuk dijadikan perkebunan sawit. Kini, malah 'tepuk dada' untuk menjadikan sagu sebagai pilihan antisipatif. Ini seperti mau 'jilat ludah', syukur kalau itu ludah masih ada dan belum kering. Kalau tidak, ya kembali 'jilat tanah'; isyarat ampun atas dosa-dosa kapitalis. Lupakan!

Oleh sebab itu, saya yakin di Timor Barat, secara khusus di daerah-daerah yang alamnya, hutannya, ada "fae" dan "koto", maka fae pese dan kot pese bisa dijadikan makanan alternatif kalau saja stok jagung, padi, ubi, dll mulai habis. Sebab kita belum tahu secara pasti, kapan pandemi Covid-19 akan usai. Semoga bencana kelaparan tidak menimpa semua kita, terutama rakyat kecil di mana saja berada.

Insaka, 2020
Herman Ef Tanouf

Related Posts:

Wilayah Kelola Rakyat Dikapling, WALHI NTT Laporkan ATR/ BPN Sumba Timur ke Ombudsman NTT


Kupang, LekoNTT.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT pada Selasa (5/5/2020) telah menyampaikan laporan kasus berupa surat resmi ke Ombudsman NTT. Surat tersebut berkaitan dengan adanya laporan pengukuran sepihak yang dilakukan oleh pihak Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Kabupaten Sumba Timur di kawasan wilayah kelola rakyat Desa Lumbu Manggit, Kecamatan Wula Waijelu, Sumba Timur.

Laporan tersebut diterima langsung oleh Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton. “Kami akan pelajari dan akan kami konfirmasi kembali,” ujar Darius usai menerima pengaduan tersebut.

Kasus yang dialami masyarakat Desa Lumbu  Manggit menambah deretan panjang persoalan warga khususnya di wilayah kelola masyarakat di pesisir. Dalam catatan WALHI NTT, persoalan pesisir bukan hal yang  baru terjadi di NTT tetapi sudah lazim diadukan masyarakat, namun sejauh  ini belum juga diatasi secara baik.

Pada tahun 2019 Desa Matawai Atu, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur masyarakat pesisir yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan juga merasakan hal yang serupa. Akses sumber daya alam di wilayah pesisir dipersulit.

Di tahun 2020 kembali terjadi persoalan di wilayah kelola warga pesisir tepatnya di Desa Lumbu Manggit, dimana diduga ATR/ BPN melanggar kesepakatan bersama pada tanggal 3 Maret 2020. Termaktub dalam kesepakatan itu agar ATR/ BPN tidak melakukan pengukuran di wilayah pesisir karena wilayah tersebut merupakan akses dan ruang hidup bagi nelayan.

Berdasarkan laporan tersebut Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT mengadukan persoalan masyarakat pesisir kepada Ombudsman RI perwakilan NTT. Umbu Wulang menegaskan bahwa WALHI NTT telah melayangkan surat pengaduan juga kepada ATR/ BPN Provinsi NTT untuk menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengukuran yang diduga secara sepihak.

"Pemerintah atau negara harus memastikan keselamatan warga dan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir. Bagaimana bisa menjamin kesejahteraan jika akses masyarakat terhadap sumber daya alam ditutup atau diklaim secara sepihak oleh negara?" tandas Umbu Wulang.



Lebih lanjut ia mengatakan, semua pihak harus melihat kembali Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. “Ini belum lagi soal penegakan atas mandat Perpres Nomor 51 tahun 2016 tentang Sempadan Pantai".

Dalam surat tersebut, WALHI NTT juga melampirkan data dan kronologis kasus kepada Ombudsman NTT dan ATR/ BPN Provinsi NTT. Beberapa data diantaranya berupa peta lokasi yang tertera dalam laman website petanahan, kronologi kasus, surat penolakan warga yang ditandatangani nelayan dan masyarakat pesisir serta dokumen pendukung lainnya.

Umbu Wulang menilai bahwa persoalan warga di wilayah pesisir tidak secara serius dilihat oleh pemangku kebijakan. Ada begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, yang kemudian bermuara pada masyarakat. Jika melihat persoalan pesisir yang terus terjadi akhir-akhir ini seharusnya pemerintah bersikap tegas untuk menakan konflik di wilayah pesisir, bukan sebaliknya membiarkan konflik terus berkembang.

"Kita tentu saja masih ingat soal kasus pelanggaran HAM di Sumba Barat juga bersentuhan dengan persoalan pesisir. Seharusnya ini menjadi bahan evaluasi betapa buruknya pemerintah melindungi keselamatan warga dan wilayah kelola rakyat".

Selain itu WALHI NTT juga meminta Bupati Sumba Timur untuk menegur pihak ATR/ BPN Sumba Timur agar tidak melakukan aktivitas pengukuran di luar kesepakatan bersama. “Saya kira Bupati sebagai pemimpin tertinggi di Sumba Timur juga tidak boleh membiarkan ruang kelola rakyatnya diutak-atik oleh ATR atau BPN Sumba Timur,” tegas Umbu Wulang. (red)

Related Posts:

Mendorong Percepatan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Keadilan Ekologis

Oleh: Yuvensius Stefanus Nonga

Sejarah Ketidakadilan Ekologis Sebagai Buah Dari Minimnya Pendidikan Lingkungan

Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan satu harapan bahwa pendidikan di Indonesia semakin berkembang dan memberikan dampak positif di setiap aspek kehidupan. Sejarah panjang berdirinya Indonesia tentu menyisakan butiran-butiran sejarah perjuangan bangsa dalam memajukan pendidikan di Indonesia.

Sejak zaman penjajahan hingga reformasi, upaya mengembangkan pendidikan di Indonesia menyimpan cerita sejarah yang berbeda-beda. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah.

Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa kebangkitan di dunia pendidikan mulai dibenahi. Badan pekerja KNIP pada saat itu  mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) supaya segera menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan.

Kemudian, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti. Namun,

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik.

Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969. Disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk menyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37).

Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan culturstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan.

Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, Muller (1979:73) menemukan yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Masyarakat disiapkan untuk menjadi mesin-mesin dalam pemenuhan kebutuhan penguasa.

Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

Lagi-lagi mindset pengembangan pendidikan hanya berfokus pada kebutuhan penguasa yang mana rakyat didoktrin dengan pendidikan yang kemudian memuluskan kepentingan sekelompok orang. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin berjaya.

Temuan WALHI NTT Tentang Ketidakadilan Ekologi Akibat Minimnya Pendidikan Lingkungan

Kebijakan pendidikan berdampak hampir ke seluruh sektor pembangunan dalam masyarakat, termasuk sektor pengelolaan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis dapat terwujud apabila didukung oleh pola pelaksanaan pendidikan yang berwawasan lingkungan.



WALHI mengamati, bahwa sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendorong perkembangan kehidupan manusia. Selain ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi sejak zaman penjajahan, orientasi perilaku hidup manusia pun menjadi begitu antroposentris.

Manusia diposisikan begitu sentral sehingga sikap dan perilakunya menjadi semena-mena (merusak) terhadap alam dan potensi sumber dayanya. Oleh Karena itu perlu ada formula yang cocok dalam pengembangan pendidikan terutama dalam upaya peningkatan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan.

Adapun temuan WALHI NTT terkait ketidakadilan ekologi dan lemahnya aspek keberlanjutan lingkungan yang terjadi pada masyarakat sebagai buah dari minimnya pendidikan ekologi. Ketimpangan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa awal kemerdekaan menjadi satu warisan bagi pemerintah sekarang dengan dampaknya menimbulkan ketimpangan bagi orang kecil dan menguntungkan pengusaha dan penguasa.

Temuan-temuan itu sebagai berikut:

Pertama, maraknya kebijakan pemerintah bernuansa eksploitatif yang berujung pada privatisasi Sumber Daya Alam. Laju deforestasi hutan, pengrusakan wilayah kelola rakyat (wilayah pertanian, pesisir, laut) marak terjadi di Indonesia.

Data KLHK mencatat, tren luas hutan Indonesia sejak 1990 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Hal ini diakibatkan oleh kebakaran serta kebijakan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan dan pertanian monokultur skala besar.

Praktek-praktek privatisasi pesisir oleh sektor swasta marak terjadi hampiri di seluruh wilayah kabupaten/ kota di Indonesia. Hutan Manggrove tidak lagi dipandang sebagai salah satu kawasan konservasi yang perlu dijaga sebagai sabuk hijau dan tempat hidup biota laut. Malah dirusak untuk kepentingan pariwisata dan industri garam dalam skala besar.

Kedua, minimnya perlindungan lingkungan hidup. Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku kejahatan lingkungan justru memberikan angin segar bagi oknum-oknum yang memandang lingkungan sebagai satu aspek yang harus dieksploitasi tanpa memandang pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi setelahnya.

Ketiga, pembangunan yang berbasis pada kebutuhan pasar tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Hal ini marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar petani diubah mindsetnya bahwa menanam disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal ini sangat berdampak terutama pada masa-masa pandemi COVID-19. Saat ini petani cengkeh, vanili, kelapa, kemiri justru sulit mengakses pangan lokalnya sendiri.

Keempat, ketidakadilan antar generasi. Akses masyarakat ke pantai mulai dibatasi. Selain itu akses masyarakat ke sumber-sumber penghidupan misalnya air, juga mulai terbatas dan bahkan di beberapa wilayah dibatasi akibat kelangkaan Sumber Daya Air.

Kelima, minimnya pendidikan formal terkait perlindungan lingkungan hidup. Pendidikan formal saat ini masih sangat minim dalam upaya pengajaran materi-materi keadilan ekologi dan keberlanjutan lingkungan.

WALHI NTT melihat bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni: lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di tingkat nasional; lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di daerah (propinsi atau kabupaten/kota); lemahnya kebijakan pendidikan lingkungan di kampus dan sekolah untuk mengadopsi dan menjalankan perubahan sistem pendidikan yang dijalankan menuju pendidikan lingkungan hidup.

Selain itu, peran Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengerti dan ikut mendorong terwujudnya pendidikan lingkungan hidup juga lemah; demikian pun proses-proses komunikasi dan diskusi intensif yang memungkinkan terjadinya transfer nilai dan pengetahuan guna pembaruan kebijakan pendidikan yang ada.

Keenam, hilangnya kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Misalnya budaya Hutan Kio di TTS, Spirit adat Mori Wae, Wasi Wae di Bajawa, dan beberapa kearifan lokal yang perlahan mulai hilang dari ingatan masyarakat akibat perkembangan IPTEK dan tata kelola kebijakan di daerah yang buruk.

Segala bentuk ketimpangan di atas hanya mungkin terjadi akibat minimnya pengetahuan para pengambil kebijakan terkait keadilan ekologi dan keberlanjutan lingkungan untuk memelihara lingkungan dan warisan kearifan lokal yang telah lama menghidupi manusia.

Rekomendasi WALHI NTT

Berangkat dari fakta di Atas maka, WALHI NTT merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, demi kepentingan perkembangan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia pada masa yang akan datang, maka pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan nasional tentang pendidikan lingkungan hidup di Indonesia. Kebijakan itu bisa dijadikan acuan bagi semua pihak terkait bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Hal ini tentunya untuk meminimalisir kebijakan pemerintah yang bernuansa eksploitatif yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan Ketidakadilan antar generasi.

Kedua, memberikan pendidikan terkait perlindungan lingkungan bagi penegak hukum, sehingga penegak hukum memiliki mindset ekologi yang mumpuni dalam menegakan keadilan ekologi terutama menghukum pelaku kejahatan lingkungan hidup.

Ketiga, mmperdalam pendidikan tentang kedaulatan pangan, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan bermuara pada spirit kedaulatan pangan. Kebijakan yang berbasis pada kebutuhan pasar tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan serta kedaulatan pangan dapat diminimalisir.

Keempat, mendorong kampus dan sekolah mewujudkan perilaku yang “melek ekologis” (ecoliteracy), membekali mahasiswa dan anak sekolah, khususnya memberikan pemahaman serta berbagai keterampilan praktis tentang dasar-dasar ecoliteracy. Semisal pengalaman dengan dunia sekitar tentang bagaimana alam menopang kehidupan.

Kelima, mendorong seluruh stakeholder untuk kembali mengajarkan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.

Hendaknya pendidikan diarahkan tidak semata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun pendidikan perlu diarahkan untuk mencetak kader-kader bangsa yang berwawasan ekologi, melahirkan kebijakan yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian alam tetap terjaga, tetap lestari, dan berkelanjutan bagi anak cucu kita. Salam Adil dan Lestari.*

Related Posts:

Tanggapi Keluhan Para Dokter, Forum Academia NTT Produksi Bilik Steril Masker N-95

Kupang, LekoNTT.com - Forum Academia Nusa Tenggara Timur (FAN) membuat terobosan baru dengan memproduksi Bilik Steril Masker N-95. Bilik Steril tersebut diluncurkan pada Selasa (28/4) di kantor Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Jalan Monginsidi II Nomor 2, Kelapa Lima, Kota Kupang.

FAN NTT melalui keterangan tertulis menyampaikan bahwa produksi Bilik Steril Masker N-95 merupakan wujud keprihatinan para peneliti di tengah pandemi Covid-19, bahwa seorang peneliti harus berkontribusi untuk masyarakat. Adanya Bilik Steril Masker N-95 untuk memenuhi keluhan para direktur rumah sakit yang kesulitan mengadakan masker N-95.

Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD), khususnya masker N-95 merupakan salah satu persoalan utama yang dihadapi para direktur rumah sakit. Karena langka, masker N-95 di Kupang, NTT sering dipakai ulang hanya dengan menjemur di bawah sinar matahari.



Dengan alat Bilik Steril Masker N-95 yang ada, kualitas masker terjaga, dan dalam perhitungan yang mengikuti riset yang dibuat para peneliti di Stanford University, masker N-95 masih bisa dipakai sebanyak 15 kali  siklus pengeringan.

"Dengan adanya bilik ini, setiap 30 menit sebanyak 50 masker N-95 dapat disterilkan dalam suhu 70-75 derajat celcius dengan menggunakan udara panas," ungkap Ben Tarigan, anggota FAN yang melakukan terobosan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan, udara panas yang demikian dipilih karena paling menawarkan siklus pemakaian terbanyak, jika dibandingkan dengan penggunaan sinar ultra violet maupun hydrogen peroxide.

Ben Tarigan, dosen Program Studi Teknik Mesin Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini dalam penelitian hingga produksi tersebut, bekerja sama dengan dua mahasiswa Prodi Teknik Mesin Undana, Novra Hendra Manafe dan William Benjamin Okto Siagian.

(Foto: FAN)
Ben Tarigan (tengah) bersama Novra Manafe dan William Siagian seusai peluncuran Bilik Steril Masker N-95 di kantor IRGSC (Foto: FAN)

Terobosan yang dilakukan sebagai respon terhadap berbagai keluhan dari para direktur rumah sakit di Forum Academia NTT maupun dalam diskusi-diskusi pribadi dengan beberapa anggota FAN.

"Saya berharap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat mau mengadakan alat sederhana ini, dan bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan masker.  Untuk itu kami tidak akan mematenkan karya ini, sebab ini kontribusi kami di era pandemi,” kata Ben Tarigan.

Ketika ditanya terkait hak paten, Ben Tarigan mengatakan bahwa mematenkan Bilik Steril Masker N-95 bukan prioritas. "Kalau harus dipatenkan, maka orang harus minta ijin dulu ke pemilik paten, tambah panjang prosesnya. Nyawa manusia tidak bisa ditunggu, dan proses pembuatan masker pun tidak secepat itu. Silahkan duplikasi dan produksi sebanyak-banyaknya supaya semua tenaga kesehatan kita terjaga".

Menyikapi terobosan baru tersebut, Jonatan A. Lassa, salah satu penggagas Forum Academia NTT mengapresiasi kerja tim produksi. "Beta apresiasi kerja Pak Ben yang luar biasa responsif, teknologinya bisa dikembangkan jadi industri".

Jonatan Lassa pun berharap agar usaha tersebut diketahui dan didukung presiden. "Pak Jokowi perlu dukung agar industrialisasi, klinisnya pun bisa diproses, divalidasi oleh lembaga teknis dan standarisasi," ungkap pengajar Humanitarian, Emergency and Disaster Management Universitas Charles Darwin Australia ini.

Sedangkan beberapa dokter dan direktur rumah sakit di NTT yang sudah dikonfirmasi sejak 28 April terkait Bilik Steril Masker N-95, hingga saat ini, memasuki Mei 2020, belum memberi tanggapan. (het)

Related Posts: