Oleh: Dominggus Elcid Li*
Ilustrasi Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sumber foto: tangkapan layar Youtube. AM. 2023. |
Mimpi menjadi orang merdeka memang tidak mudah. Di tahun 2023, sebagian orang sibuk berpikir soal bagaimana menjadi presiden 2024. Sebagian lagi untuk bertahan hidup saja saja sudah teramat sulit. Sebagian sudah terlanjur jadi tim sukses, jadi pejabat, mulutnya terkunci. Sebagian lagi, untuk makan saja harus merantau mencari kerja ke negeri orang.
Dalam 5 tahun terakhir, Sr.Laurentina mencatat ia telah menerima 650 peti mati di bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mereka semua pekerja migran. Berusaha hidup, tapi mati. Mereka tetap jadi orang yang kalah.
“Mungkin kami dianggap cuma pergi dan menjemput peti, tetapi
di situ kami menemukan simpul jaringan kriminal,” kata Pdt.Emiritus Emmy Sahertian, salah
seorang perempuan yang rutin menjeput jenazah di bandara. Di terminal cargo
kemanusiaan diingatkan sekali lagi, bahwa mereka bukan lah sekedar barang yang
pulang. Mereka manusia. Sebab pernah terjadi ada peti dibiarkan begitu saja
lebih dari Tiga hari tanpa ada yang peduli.
Hingga hari ini peran kepolisan untuk mengusut terbatas. Peran Kepala Negara untuk melindungi warga negara juga lebih terbatas lagi. Jarang orang sekarang meletakan penderitaan rakyat sebagai titik pintu masuk. Orang sibuk dengan imajinasinya tentang masa depan. Entah investasi, entah jabatan.
Sementara penderitaan tidak menjadi bahan refleksi. Apalagi menjadi
titik masuk untuk mencari jalan keluar. Sudah lama rakyat kita yatim piatu.
Sudah lama pemimpin-pemimpin Indonesia tenggelam dalam egonya sendiri dan
tidak mampu menemukan prioritas.
“Orang di Indonesia harus tahu lah, ya pasti tahu lah, apa yang kalian buat di Indonesia, dampaknya untuk kita di sini itu luar biasa,” kata Hermono Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia ketika menjawab pertanyaan wartawan BBC, Endang Nurdin, tentang ‘apakah para aparat itu tahu atau tidak’ adanya sekian modus perdagangan orang ke negeri jiran, Malaysia.
Tidak kurang 4500 kasus
masih belum terselesaikan. Sudah lama para diplomat mengeluh. Tetapi mengeluh
saja tidak cukup. Kita butuh revolusi!
Revolusi bukan lah hal jelek. Dengan revolusi kita bisa bebas dari penjajahan Belanda. Revolusi jilid kedua dibutuhkan agar kita bisa bebas dari penjajahan bangsa sendiri. Karena struktur yang ada sudah begitu membelenggu. Rakyat yang disiksa dan mati tidak dianggap. Para pejabat hidup hedonis dengan imajinasinya sendiri tentang hidup yang teramat absurd.
Para
politikus sibuk bikin intrik. Para aparat keamanan sekarang kayanya minta
ampun, sampai bingung bagaimana menghitung secara terbalik, untuk membuktikan
masih ada relasi antara gaji, harta, dan logika. Konyol sekali melihat tontonan
sistem peradilan saat ini. Keadilan tidak ada, cuma tontonan. Cuma polesan.
Lebih sedih lagi, Orang Kaya Baru di Indonesia sibuk mempercantik diri dalam identitas masing-masing. Mereka ada skema perwakilannya. Makanya, orang merasa benar menjadi tim sukses sekarang untuk membuka akses penguasaan kelompok terhadap sumber daya yang dikelola negara.
Banyak hal menjadi prioritas. Investasi. Pengerukan sumber daya alam. Impor
barang bekas. Orang mati dan disiksa karena berusaha mencari hidup yang lebih
baik, tidak menjadi prioritas. Sepertinya sudah menjadi barang biasa,
penderitaan rakyat itu hanya sekedar ‘renungan kemerdekaan’. Sesuatu yang
lampau.
Di batas negara. Warga negara kita dijual. Transaksi mereka terbuka. Terekam. Tapi juga dibiarkan menjadi barang dagangan aparat. Bagaimana mungkin aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat, malah berkhianat? Ikut dalam mafia perdagangan orang.
Entah kenapa, hingga
hari ini tidak ada jalan keluar dari pemerintah dalam mengontrol perbatasan,
mengontrol mafia perdagangan orang. Kita sibuk dengan sepakbola. Kita sibuk
dengan upacara. Kita sibuk dengan capres 2024. Orang sibuk mempercantik diri
dengan tim humas atau tim media. Orang sibuk mengamankan jabatan kita
masing-masing. Kita lupa banyak orang untuk hidup saja sulit. Mereka harus
pergi baru bisa hidup.
Intelijen dan
perdagangan orang
Sayangnya kesulitan kaum susah penuh derita, yang berusaha berkorban untuk anak, istri, suami dan keluarga mereka dengan pergi dari tanah air pun tidak dimengerti kesulitannya oleh sebagian aparat negara. Mereka pergi merantau untuk bertahan hidup. Mereka korban penipuan.
Terkadang ketika kita dalam kondisi yang paling sulit, berkorban adalah hal biasa. Anak dari Mariance (Meriance) Kabu mengatakan ‘Mama tidak pernah tampak sedih’. Kalau anda melihat wajah Mama Mariance bibir dan telinganya bekas pukulan. Lidah dan giginya dirusak dengan tang.
Berhadapan dengan
kesakitan kaum yang menderita. Kebanyakan aparat negara sekarang
sepertinya berujar ‘karena dia tidak beruntung’, ‘karena dia bodoh’, ‘karena
dia tidak rajin’. Semua yang salah adalah korban. Mereka lupa adalah tugas
negara melindungi warga negara. Ini-lah alasan utama kita sepakat membentuk
republik. Kita sepakat untuk bebas dari penjajahan.
Romo Paschal: Tokoh
Agama versus Tentara Intelijen
Sejak beberapa bulan ini seorang rekan Romo Paschal, seorang
Imam Gereja Katholik yang membantu para korban perdagangan orang hidup dalam
tekanan. Kerja sosialnya berhadapan langsung dengan jejaring perdagangan orang
di Batam. Kebetulan kali ini yang dikritik adalah Wakabinda (wakil kepala Badan Intelijen Daerah daerah). Seorang tentara.
Pokok surat Romo Paschal kepada Jendral Budi Gunawan sebagai kepala BIN (Badan Intelijen Negara) adalah ‘mengapa anak buahnya’
mengintervensi proses peradilan.
Kira-kira ia menulis begini:
Pelanggaran kode etik ini karena diduga Si A melakukan pelanggaran kode etik (Pasal 4 huruf h, Peraturan Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia No.7 Tahun 2017) karena Si A melakukan intervensi terhadap kepolisian setempat dalam hal meminta pembebasan pelaku tindak pidana pengiriman pekerja migran secara non prosedural kepada Kapolsek Pelabuhan Barelang, yang membawahi Pelabuhan Batam Center, pada tanggal 7 Oktober 2022 (Surat itu ada pada Badan Intelijen Negara). Saat itu Lima orang pelaku diamankan oleh polisi, beserta Enam orang korban. Tiga orang korban kemudian diserahkan kepada Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) dalam hal ini saya sebagai ketuanya untuk tinggal di rumah sambil menunggu proses hukum.
Hingga hari ini Badan Intelijen Negara tidak melakukan apa pun di ruang publik
terkait masalah ini. Yang terjadi Wakabinda melaporkan hal ini sebagai
pencemaran nama baik di Polda Kepulauan Riau. Pertanyaan saya, kenapa waktu
mengintervensi proses peradilan anda tidak berpikir soal nama baik, tetapi
setelah itu baru berpikir? Bukankah seharusnya anda sebagai aparat negara
(intel), Romo sebagai Imam dan saya sebagai penulis ini semuanya sama saja
sebagai warga negara. Mengapa perlu keistimewaan? Mengapa kejahatan harus
dilindungi?
Namun, Batam adalah ‘Pulau kota ajaib’. Kota dengan labirin
aparat keamanan yang berliku. Setiap sudut pemilik lahan keamanannya berbeda.
Jika anda adalah ‘pegawai baru’ yang pegangannya cuma undang-undang, sudah
pasti anda akan tenggelam.
Peran intelijen negara pun lebih terbatas
lagi. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar ada program dari Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, dan
organisasi sejenis lainnya tentang gebrakan progresif memberantas perdagangan orang.
Ini cukup aneh, karena angka perdagangan (human trafficking) tidak pernah dibahas serius di Indonesia.
Modusnya tidak dikaji. Database-nya sudah pasti tidak ada.
Ini membuat saya akrab dengan persoalan buruh migran,
terutama terkait dengan pekerjaan membantu saudara-saudara kita yang
membutuhkan bantuan kemanusiaan entah karena ditipu sebelum atau sesudah
berangkat ke negeri jiran, terutama Malaysia sebagai ‘pencari kerja’. Tidak ada
penampungan Pekerja Migran Indonesia di tempat saya, kami hanya membantu agar mereka tidak
terlantar. Jika negara sudah menyediakan, tentu peran kami juga tidak
diperlukan. Sayangnya, mereka lebih sering terlantar dan menjadi korban
penipuan.
Batam adalah pulau perlintasan vital. Seharusnya dikawal
agar tidak dimanfaatkan untuk tujuan kriminal. Seharusnya warga negara kita
dikawal, agar tidak dijual. Prosedural atau non prosedural itu sebutan. Yang
lebih penting mereka ini adalah manusia. Mereka adalah warga negara kita.
Setelah 1998
Di tahun 1998 ketika kita masih ada dalam badai krisis
finansial, sebagai mahasiswa waktu itu, kita berharap ada perubahan yang
mungkin dilakukan. Orang menyebutnya sebagai reformasi. Tenyata setelah 25
tahun, 2023, kita seperti orang yang keseleo lidahnya. Mau bicara benar dan
jujur saja butuh embel-embel. Reformasi memang tidak cukup. Dan upaya untuk
menegakan keadilan juga tidak mungkin dilakukan hanya lewat Pemilu yang sarat
dengan tranksaksi dagang.
Bagaimana mungkin seorang Pastor yang membela kaum papa
dikriminalkan? Dan itu dilakukan oleh pejabat Badan Intelijen Negara.
Hari ini seorang anggota intelijen meminta kepolisian untuk memeriksa seorang Imam?
Apakah masih ada harga Republik ini untuk kita semua? Selama keadilan tidak
menjadi panglima penegakan hukum, dan kekuasaan lah yang menjadi panglima. Selama
itu pula republik selalu ada dalam tawanan hukum rimba.(AM/Lekontt.com)
*Penulis adalah warga negara Indonesia