LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Juli 2020

Mahasiswa Kota Kupang Tolak Omnibus Law



Kupang, LekoNTT.com - Aliansi Perjuangan Mahasiswa Kota Kupang (APMK) yang terdiri dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Dewan Nasional (LMND-DN) Eksekutif Kota  Kupang dan Himpunan Mahasiswa Timor Politani (HIMATPOL) melakukan aksi mimbar bebas di ruas Jalan El Tari. Aksi tersebut dilangsungkan tepat di depan gedung DPRD Provinsi NTT pada Rabu (22/7).

Aksi ini dilakukan dalam menanggapi rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law. Aksi yang dimulai pukul 10.08 WITA ini berlangsung kondusif dengan pengawalan aparat kepolisian dari Polresta Kota Kupang.

Merci Radja, salah satu massa aksi alam orasinya menyampaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law mendiskriminasi kebutuhan kaum buruh perempuan, selain kebutuhan-kebutuhan normatif lainnya.

Omnibus Law merupakan paket kebijakan yang dibuat Rezim Jokowi-Ma'aruf untuk memuluskan investasi semakin eksis di Indonesia, diperparah lagi di beberapa poin RUU Cipta Lapangan Kerja tidak ada cuti haid dan cuti bersalin bagi buruh perempuan," kata Merci.

Menurutnya hal seperti ini merupakan bentuk nyata eksploitasi dari sistem yang dibuat oleh kapitalisme. "Hak-hak normatif berupa pemenuhan kebutuhan pokok dan kesejahteraan samasekali tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah hari ini."

Koordinator lapangan, Yuven Ernesto Bria dalam orasinya menjelaskan alasan pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Omnibus Law dan dampak dari kebijakan ini. “Omnibus Law merupakan kepentingan pengusaha dan penguasa sehingga kebijakan tersebut bukan hanya akan meningkatkan iklim investasi, namun juga akan melemahkan posisi kaum buruh dan rakyat tertindas secara keseluruhan".

Yuven pun menegaskan kalau investasi yang digenjot untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sejatinya hanya untuk menyelamatkan krisis kapitalisme dan menguntungkan para pemodal. "Kelesuan ekonomi global memaksa pemerintah Jokowi untuk mengeluarkan RUU Cipta Lapangan Kerja, UMKM, dan Perpajakan yang dibungkus dengan Omnibus Law".

Menurut Yuven, kebijakan tersebut akan mengorbankan hak-hak rakyat dan mempersempit ruang demokrasi. "Rakyatlah yang akan menjadi tumbal atas kepentingan investasi”.

Ketua HIMATPOL Jhones Uluk dalam keterangannya mengatakan bahwa Omnibus Law adalah salah satu cara bagaimana pemerintah Jokowi-Ma’ruf di tengah pandemi Covid-19 mengambil kesempatan untuk meloloskan kepentingan investor dalam mengeruk sumber daya alam di Indonesia dengan dalih penciptaan lapangan kerja. Lebih lanjut ia menguraikan tentang dampak dari RUU Omnibus Law ini.

“Dampak yang akan dirasakan jika RUU Omnibus Law ini disahkan adalah perampasan tanah, alih fungsi lahan pertanian dan pengangguran. Tanah yang selama ini digunakan masyarakat untuk bertani akan hilang, petani akan kehilangan tanah garapan dan dengan sendirinya terusir dari tempat hidupnya.”

 Uluk juga menyesalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah di bidang pendidikan terutama biaya registrasi. “Di tengah kondisi seperti ini (pandemi, red), pendapatan ekonomi masyarakat menurun, tetapi belum ada kebijakan alternatif yang diambil pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kota Kupang untuk mengatasi masalah ini. Padahal, dalam SK Kemendikbud Nomor 25 tahun 2020 sudah diputuskan bahwa kebijakan registrasi dikembalikan pada setiap lembaga pendidikan".

Salah satu anggota LMND-DN Eksekutif Kota Kupang, Iven Mukin dalam keterangannya mengatakan, Omnibus Law sendiri merupakan penyederhanaan dari semua aspek hukum yang ada. Omnibus Law merupakan sebuah rancangan undang-undang cipta lapangan kerja itu hanyalah dalih yang dilakukan oleh negara.

"Di dalam Omnibus Law sendiri,  pembicaraan soal RUU ini untuk klaster ketenagakerjaan makin fleksibel, memperkuat sistem kerja outsourcing. Untuk mahasiswa yang menjadi calon buruh masa depan, RUU ini tidak memberikan jaminan kerja yang baik, justru makin memperparah exploitasi".

Iven menandaskan, di tengah pandemi Covid-19 seharusnya negara lebih konsisten dalam menangani pandemi. "Bukan berarti kita semua dirumahkan dan itu menjadi kesempatan emas oleh negara dalam mempercepat pengesahaan Omnibus Law yang samasekali tidak mengakomodir kepentingan rakyat pada umumnya. Kami melihat negara hari ini menjadi karpet merah untuk para investor. Tidak ada masa depan yang baik, dalam RUU Cilaka”.

Aksi tersebut ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap dan tuntutan. Pertama, menghentikan segala bentuk eksploitasi terhadap buruh dan berikan upah yang layak. Kedua, menolak Omnibus Law dan fokus tangani Covid-19. Ketiga, menolak kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa. Keempat, mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis. Kelima, meringankan pembayaran registrasi di tengah pandemi Covid-19. Keenam, menolak biaya rapid tes. Ketujuh, selesaikan persoalan agraria di NTT. Kedelapan, menghentikan segala bentuk intimidasi dan represivitas terhadap gerakan rakyat. (red)

Related Posts:

Seandainya Para Bupati/Walikota di NTT Mau Berpikir!


Oleh: Dominggus Elcid Li*



Jumlah Penduduk di NTT tidak banyak. Belum sampai enam juta orang. Dengan tersebarnya manusia NTT di berbagai pulau itu seharusnya NTT bisa pulih lebih cepat dibandingkan pulau yang padat penduduk. Mulai dari aktivitas ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya bisa dilakukan dengan lebih leluasa cepat jika strategi pencegahan Covid-19 yang diambil benar.  Namun itu tidak mungkin dilakukan jika ‘orang daerah’ hanya menempatkan diri sebagai ‘penerima duit’, ‘penerima ide’, ‘pelaksana ide’ tanpa ada kemampuan untuk berpikir dan menentukan jalan keluar atas persoalan yang diterima berdasarkan kontur setempat.

Dalam urusan kasus penderita COVID-19, NTT jika dibandingkan dengan beberapa tetangga tidak sepenuhnya yang terbaik. Dibandingkan dengan Sulawesi Selatan atau NTB, NTT sedikit lebih baik. Tetapi dibandingkan dengan Northern Territory atau Australia Utara yang beribukota Darwin atau bahkan Timor Leste dengan ibukota Dili yang masih satu daratan, NTT jauh lebih buruk pengelolaanya. Kunci perbedaannya ada pada kemampuan mengontrol ‘arus masuk’ warga.

Pasca pemberlakuan ‘New Normal’ yang gegabah dibuat ‘orang pusat’, pikiran khalayak di pinggiran Indonesia pun di-reset ke titik nol. Upaya pencegahan di area masuk dilakukan seadanya. Area masuk antara lain  bandara, hingga pelabuhan laut yang berbagai jenis itu. Pelabuhan laut dimulai dari kapal berbobot besar, kapal ferry, hingga pelabuhan rakyat yang jarang diawasi. 

Kita tidak pernah tahu sejauh mana antisipasi pemerintah terhadap penyebaran COVID-19 di kapal-kapal yang dikelola PELNI. Cerita tentang ‘kepala batu’ para tenaga kesehatan di Kabupaten Sikka yang pernah meminta agar 75 orang ABK dari ratusan orang yang berlayar untuk  dilakukan rapid test seharusnya menjadi bahan pelajaran. Karena keputusan itu maka PELNI mengkarantina KM Lambelu di Makassar. Kecurigaan para tenaga kesehatan di Kabupaten Sikka terbukti, para ABK KM Lambelu positif setelah dites swab di Makasar.

Kisah di atas sudah tidak terdengar lagi. Kewaspadaan menghilang. Peluang untuk menghindari krisis lama seolah dibiarkan lenyap di depan mata. Katanya hendak bertindak ekonomis. Namun dengan sekian tindakan yang melawan hukum ekonomi, apakah mungkin kesempatan itu diambil? Kesempatan untuk pemulihan PAD secara cepat dibuang begitu saja. Kebanyakan kasus di daerah, tim sukses’ yang diangkat menjadi bagian dari ‘kabinet’ pemerintah daerah terlalu pas-pasan untuk mengeksekusi atau mampu berpikir sendiri. Entah apa imajinasi para elit di daerah ini?

Berpikir Sendiri?

Ya, apa yang disebut dengan berpikir sendiri? Kegiatan berpikir sendiri itu cenderung tidak dikenal atau tidak ada. 

Amat berbeda kelakuan ‘orang daerah’ ketika ada peraturan baru muncul dari pusat, semua serius mendengar lewat webinar penjelasannya. Seribu kali yang menjelaskan itu ngalor-ngidul. Seribu kali bahasa yang dipakai ‘tidak ada rasanya’. Seribu kali kebijakan yang dikeluarkan tidak partisipatif atau melibatkan punggawa mereka dari titik terjauh sehingga pasti keliru untuk mereka yang berkekurangan dibandingkan Batavia. 

Ya, orang lebih takut salah dari atasan. Tetapi orang tidak punya kemampuan atau insiatif untuk mengoreksi atasan, atau kebijakan pusat. Akibatnya negeri sebesar Indonesia, kemampuan inovasi berbanding terbalik.

Pusat yang dianggap maha tahu ini juga cuma bebek WHO. Kebijakan yang berbasis riset yang ditelurkan minim. Misalnya negeri kecil, lebih kecil dari Kabupaten Kupang (NTT), seperti Singapura mampu menghasilkan riset bahwa penderita COVID-19 setelah 11 hari sudah tidak menularkan, di sini entah berapa banyak dokter bermental peneliti. Apakah ada alternatif lain pengambilan swab yang lebih ramah selain lewat belakang hidung. Kapan dan berapa lama penderita COVID-19 paling menularkan virus ke sekitarnya. Mengapa hasil test swab bisa tetap positif padahal seseorang sudah sembuh berbulan-bulan. Apakah ada mutasi pada virus yang masuk ke NTT dibandingkan ‘versi’ awalnya di Jakarta atau di Surabaya.

Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya menggugah para dokter dan para akademisi kita untuk berpikir sendiri, lalu bergerak dan meneliti. Sebab sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab di sini, bukan di Surabaya, Jakarta, apalagi di Amerika.

Mengapa dari organisasi setingkat IDI (Ikatan Dokter Indonesia) di pusat, suara yang keluar nyaring diantaranya hanya soal standar harga ‘rapid test’. Sedihnya, bahkan dibandingkan dengan negara Rwanda sekali pun kita tertinggal. Harga tes yang ditawarkan di sana masih lebih murah. Itu kalau bicara soal harga, dan tidak dimulai dengan ungkapan ‘katanya’. Sedangkan riset tidak dikerjakan.

Kalau cuma soal harga rapid test, itu tidak perlu sekolah kedokteran, nongkrong saja dengan para bandar politik lintas partai, mereka pasti tahu harga untungnya. Kemampuan mencuri dana publik adalah dasar untuk berkuasa. Bukan Pancasila, apalagi Kitab Suci. Anda-anda yang khatam keduanya pasti tidak mungkin berkuasa. Pasti tidak tahan. Hanya mereka yang terbiasa menerapkan ilmu siluman ikan lele yang bisa bertahan. Dilepas dalam septic tank, tetap montok. Hidup di masa pandemi, masih juga tega mencuri. Kok bisa?

Dari Surabaya Dahlan Iskan Menulis

Salah seorang penulis dan juga eks bos Jawa Pos yang amat rajin mengkampanyekan soal pooled test adalah Dahlan Iskan penulis DI’s Way. Ia bikin serial tulisan soal kemungkinan tes massal. Ia mulai dari Hafiz (Bandung), dr.Andani (Padang), dan juga Dr.Fima (Kupang). Ide tes massal itu mulai berkembang, dan beranak pinak di kota tempat markas penulis.

Empat bulan yang ia butuhkan baru ide itu bisa diterima oleh Walikota Surabaya Risma. Ya, inovasi itu mahal, dan tidak mudah menembus tempurung kepala penguasa. Sebelumnya ‘ribut’ antara Khofifah dan Risma yang lebih terasa. Kita bingung mengapa semangat 10 November kok hilang?

Zaman perang tidak perlu kibar bendera. Ini bukti partai politik cuma merusak, seharusnya diminta cuti dulu seluruh partai politik hingga COVID-19 selesai. Sehingga conflict of interest para pejabat publik vs partai politik bisa dilakukan pada saat rekreasi, bukan pada saat perang. DPR pusat juga sama sebaiknya cuti saja, daripada bikin Undang-Undang yang tidak pro rakyat saat pandemi. Buat apa jadi anggota DPR jika tidak bisa membedakan mana arus pasar, dan mana kepentingan rakyat?

Kisah di Kota Kupang lain lagi. Setelah dihantam makelar rapid test kelas teri plus beberapa wartawan lapar, urusan tes massal akhirnya jalan, itu pun setelah Gubernur NTT bisa diyakinkan. Tetapi kecepatannya sesuai dengan kecepatan ‘mekanisme anggaran’ yang kita sama-sama hanya bisa menahan nafas. Artinya antara ‘hakekat’ dan ‘prosedur’ ada jarak yang luar biasa lebar. Benar di level hakekat, belum tentu ada benar di level prosedur. Itu nasehat seorang kisanak yang biasa mengurus pengadaan logistik.

Setelah dipresentasikan di depan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT (yang akan pensiun awal bulan Agustus), laboratorium ini mungkin akan jadi pertengahan Agustus. Kita masih harus memastikan pemesanan alat berjalan lancar dan dilakukan disiplin. Jika terlambat pesan, jadwal pasti mundur.

Sedangkan pelaksanaan perdana di tes massal di Kota Kupang, masih butuh dukungan ‘kemauan Walikota Kupang’. Sebelumnya Walikota Kupang menyanggupi akan membuat sebuah laboratorium biomolekuler. Tetapi rumor yang berkembang, Walikota tidak hendak mendahului Gubernur. Ia pun berencana memasukan rencana ini dalam APBD Perubahan. Konon DPRD Kota Kupang masih ragu. Dinas Kesehatan Kota Kupang pun belum bergerak menyiapkan perangkat Puskesmas untuk pelaksanaan tes massal. Ya, semua kesulitan ditimpakan pada UUD (Ujung-Ujungnya Duit).

Sudah lama semangat sukarelawan itu hilang di Kota Kasih. Dia hanya berwatak kasih kalau ada duit. Entah bagaimana cara melenyapkan penyakit UUD ini. Seolah program bisa jalan, hanya kalau ada duit. Semua harus tunai.

Padahal bahaya sedang mengintai. Peringatan pertama sudah muncul. Tiga orang tenaga kesehatan sebuah puskesmas di Kota Kupang yang melayani ribuan orang warga postif Covid-19. Hal sederhana yang bisa dilakukan oleh wakil Walikota Kupang hanya menghimbau agar warga disiplin. Langkah pencegahan minim. Bahkan skenario simulasi pooled test juga enggan dimulai.

Peringatan serius juga muncul di Flores, warga yang menumpang KMP Sangke Pallangga, sebanyak 7 orang telah diketahui positif. Uniknya penyebaran mereka ada tiga kabupaten. Lima orang di Kabupaten Manggarai Barat. Satu orang di Kabupaten Flores Timur. Satu orang di Kabupaten Lembata. Penyebaran para penumpang kapal dari Barat hingga ke Timur Pulau Flores belum dianggap sebuah peringatan untuk kembali waspada. Bahkan di Manggarai Barat, pun satu orang tenaga medis di mulut pintu masuk juga positif. Langkah terobosan apa yang bisa dilakukan oleh para Bupati di Flores selain menunggu pasrah, alias membiarkan?

Secara umum Prosedur pemerintah di NKRI ini memang membingungkan. Dipikir virus bisa disuruh tidur. Di Jakarta, Presiden setelah rapat penuh marah, yang berubah hanya istilah dari Menteri Kesehatan. Inovasi cuma sebatas istilah. Sedangkan anggaran yang sekian Triliun yang konon ada itu tidak punya skala prioritas. Masih kita temukan para tenaga kesehatan yang gaji belum dibayar, bahkan laboratorium surveilens berbasis tes massif juga tidak menjadi bahan pemikiran. Masih hanya menjadi bahan advokasi seorang penulis, dan bukan menjadi kebijakan di level kementerian kesehatan, atau menjadi instruksi BNPB. Kerinduan para epidemiolog klinis juga tidak ada jalan, basis analisa baru sebatas informasi.

Belum Ada Contoh

Tetapi mungkin semuanya akan berubah. Kecepatan adopsi kebijakan Indonesia itu setara dengan kebebalan Trump AS yang anti science. Perlahan tes massal diadopsi. Per tanggal 18 Juli 2020, misalnya FDA (Food and Drug Administration) atau BPOM-nya AS memperbolehkan penggunaan pooled test sebagai tes diagnostik untuk satuan 4 orang. Mudah-mudahan Menteri Kesehatan sudah bisa mencontoh.

Selang sehari dari gerak FDA di Surabaya, Bu Risma menerima dr.Andani, 19 Juli 2020 yang sudah mengoperasikan model pooled test di Padang. Selang berapa hari kemudian, kita harapkan Sulawesi Selatan juga bergerak. Sekian kota yang menjadi sentra ekonomi Indonesia seolah dibiarkan berjalan tanpa peta selama ini. Kebijakan yang diambil tidak ada arah, tanpa ada kemampuan pencegahan yang memadai.

Kisah pooled test di Indonesia memperlihatkan beberapa hal.

Pertama, terlihat betapa berjaraknya para pengambil kebijakan atau para pemimpin formal dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak tahu darimana datangnya obat-obatan. Seolah vaksin itu turun dari surga.

Kedua, ketika pandemi COVID-19 dikatakan sebagai masalah global, maka di Indonesia kita adalah bebek penurut. Kita hanya menjadi end user dari industri farmasi global. Kita tidak mempunyai laboratorium yang berkutat dengan riset inovasi kebijakan, yang seharusnya wajib dibuat di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan model pengetahuan tidak terpusat, kecepatan inovasi bisa lebih diperkaya dan memotong kelambanan gerak birokrasi prosedural sentralistik yang amat lamban ini.

Ketiga, posisi daerah memang sudah seharusnya meniru apa yang dilakukan oleh Provinsi Sumatra Barat. Berani berbeda dengan pusat, sejauh bisa mempertahankan argumentasi dengan basis science yang mumpuni. Dokter tak hanya pusing soal harga barang farmasi, tetapi juga menjadi peneliti dan berinovasi ketika tabir pengetahuan belum terbuka. Di posisi ini pusat sejajar dengan daerah. Kemajuan information technology yang menjadi unsur penting dalam proses penguraian biomolekuler. Untuk itu ‘logika anti-gerak memusat’ internet, seperti yang dirancang oleh para tukang perang di tahun 1960-an, agar pusat tidak langsung lumpuh ketika perang dijalankan dan pusat bisa berfungsi dan bisa diakses darimana saja seharusnya bisa dikembangkan dalam proses riset aksi inovasi di era Pandemi Covid-19. Dari sisi ini daerah tidak hanya menjadi bebek, dan Indonesia tidak hanya menjadi epigon global dan hanya menjadi target dagang industri farmasi dunia.

Keempat, sikap taat prosedur buta tanpa pemahaman atas hakekat atau substansi persoalan membuat pemerintahan di berbagai level di Indonesia hanya sedang menunda kekalahan. Kemarahan Jokowi dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu harusnya mampu ‘dibunyikan’ di level aksi, sayangnya kemampuan eksekusi itu tidak ada dari tim pakar di pusat hingga di daerah. Akibatnya anggaran triliunan dijalankan tanpa prioritas. Bahkan prioritas anggaran yang sudah salah itu masih dijalankan di bawah ancaman bendera koruptor.

Kelima, kesulitan mendasar yang sedang mendera di Indonesia adalah ketidakmampuan melihat persoalan di berbagai  level maupun bidang, dan ketiadaaan kemampuan untuk mengambil langkah membuka. Ketidakmampuan itu terbaca jelas dari ‘kata serapan’ yang buruk sekali yang diambil Menkes, sebagai bukti ketiadaan inovasi Indonesia di saat pandemi. Kita tidak percaya diri dalam mengambil keputusan, karena kita tidak punya  basis pengetahuan. Jika hal yang sifatnya klinis saja sulit untuk dikunci, bagaimana mungkin kompleksitas makro itu bisa ditata?

Keenam, sudah lama kaderisasi elit negara itu tidak jalan. Para punggawa di level puncak tidak terbiasa memegang jabatan yang bervariasi. Umumnya hanya dibesarkan di satu bidang, dan dianggap menguasai seluruh bidang. Akibatnya ketika menjadi komandan, kemampuannya selalu kurang.  Lebih buruk lagi kalau basis pengangkatan hanya mengenal hukum kedekatan, dan bukan kemampuan. Jadi mau Presiden kasi judul apa nama tim, tetapi jika tidak pernah kenal apa saja yang menjadi persoalan dasar, maka gerak perubahan tidak pernah dapat dimulai dari struktur negara. Hanya sebatas ganti kemasan, rasa yang sama.

Penutup

Sulit diterima bahwa negara yang pernah amat disegani karena kekuatan kolektif maupun pemimpinnya kini hanya menjadi pengikut dalam tata dunia global. Sekian ribu indeks scopus maupun apa lah sebutannya untuk para professor di perguruan tinggi tidak membawa motivasi tersendiri untuk membuka langit pengetahuan di saat kegelapan pandemi COVID-19 mendera negara.

Di kampung saya, di Kupang,  teladan Bu Risma yang rajin menata kota dan membuat taman diikuti dengan baik. Hampir sepanjang tahun kota sudah bersih. Banyak taman dibangun dimana-mana. Namun prioritas terhadap laboratorium biomolekuler maupun pooled test dalam jajarannya tidak terlihat. Dalam salah satu dialog, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, misalnya, menjawab pertanyaan terkait laboratorium biomolekuler hanya dengan ‘persiapannya sedang dipersiapkan perencanaannya’. Bahasanya berkabut. Tidak ada arah. Ketidakpastian itu dinikmati dengan sukacita. Seolah tidak ada beban. Padahal tenaga kesehatan yang melayani ribuan orang sudah positif COVID-19.

Sejak tanggal 19 Juli 2020 Bu Risma sudah menyetujui pooled test di Surabaya, dan akan dieksekusi minggu depan. Mungkin Pak Jeffry juga sudah bisa mencontoh apa yang sudah dibuat Bu Risma. DIa tidak butuh APBD Perubahan. Dia akhirnya sadar, tanpa tes yang lain-lain mubazir, karena zona merah hanya berubah menjadi zona hitam. Kota Kupang jika ketat mengontrol arus masuk seharusnya Kabupaten deret lain seperti Kupang, TTS, TTU, Belu, Malaka, Sabu dan Rote bisa lebih leluasa bergerak. Sudah lama tata kelola negara tidak ada perspektif keamanan (security).

Jadi ketika berhadapan dengan isu bio-security, aparat negara kita malah sibuk berteriak investasi dan ekonomi. 
Kita di alam pemikiran penjajah ada di abad ke-17, di era kaum merkantilis Hobbesian, dimana para pedagang ikut menentukan hukum teritinggi. Di era ini hukum ekonomi adalah panglima dan mekanisme pasar dianggap penentu arah negara. Bukan rakyat. Jika hari-hari ini para pelaku bisnis menjadi ‘panglima tertinggi’, maka kita tidak usah heran. Sebab salah pikir itu jauh merasuk tata pikiran para elit, dan mereka juga tidak mampu membedakan mana haluan negara, dari tekanan pasar. Posisi dan nama organisasi mungkin sama, tetapi apa yang dikerjakan berbeda. Bahkan VOC pun pernah dalam suatu waktu diposisikan sebagai ‘negara’, dan bukan hanya sebuah perusahaan dagang? Jadi kita perlu waspada.

Jika kini, urusan harga barang jauh lebih penting dibandingkan langkah terobosan, dan investasi dianggap obar paling mujarab, maka tidak usah heran para elit yang terlepas dari kenyataan adalah bagian dari republik yang hendak dibiarkan pupus. Kita sebagai rakyat harus menolak kecenderungan salah arah ini. Mudah-mudahan arus para pedagangan ini bisa ditempatkan pada ruang tertentu, dan tidak menguasai ruang hidup warga negara secara mutlak seperti yang dibiarkan lari tunggang-langgang dalam formasi anarki.

Kecenderungan anarki ini semakin menjadi-jadi saat ini. Darwinisme sosial dipraktek secara membabi buta di dua aras.

Pertama, di level ekspansi ekonomi tidak berbudi di segala sendi di seantero wilayah negeri yang mengubah seluruh relasi menjadi relasi ekonomi untung dan rugi, dan menggantikan falsafah negara bahwa negara adalah perisai atau pelindung rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pancasila. Setidaknya sila kedua dan kelima: ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, maupun ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ terasa tidak berbekas.

Kedua, Darwinisme sosial juga ditunjukan lewat bagaimana pandemi COVID-19 ditangani. Dengan mengambil jalan pembiaran terhadap kemungkinan mati bagi yang rentan. Sepintas ini mungkin disebut sebagai bagian dari pelaksanaan menunggu imunitas kawanan (herd immunity). Namun dalam nalar sosio-biologi juga bisa dimengerti sebagai sikap masa bodoh. Yang kuat hidup. Yang lemah dibiarkan mati. Nalar investasi atau korupsi, maupun penanganan COVID-19 berjalan dalam pola yang sama. Mematikan yang lemah atau rentan. Seperti kombinasi usaha dagang rapid test.

Republik atau VOC memang tipis bedanya. Seperti jarak antara ‘terduga’ atau ‘suspek’. Hanya soal istilah.

Kupang, 22 Juli 2020

*Penulis, Anggota Forum Academia NTT.


Related Posts:

Ekologi Kekerasan dalam Novel O3 Felix Nesi



Oleh: Tarsy Asmat, MSF*

Dalam buku kumpulan Cerpennya Usaha Membunuh Sepi, Felix menuangkan mimpinya untuk menjadi penulis yang besar. Kini mimpi itu terwujud dalam Novel Orang-Orang Oetimu (03).

Dalam Novel ini, ia membongkar lapisan psikis lingkaran kekerasan, kemiskinan dan dominasi dalam sistem sosial di NTT. Latar belakang Felix yang mempelajari ilmu psikologi cukup membantu dalam melahirkan novelnya yang unik ini.

Felix Nesi mengirim Novelnya beberapa bulan yang lalu, tetapi saya lupa membacanya, haha. Tetapi beberapa hari ini saya meluangkan waktu membaca O3nya, karena mendengar berita konflik Felix di media sosial.

Bergulat dengan setting cerita, konteks dan diksi-diksi serta tokoh dalam novel 03 ini, saya menangkap ide yang lebih kuat digemakan dalam novel ini adalah ekologi kekerasan. Bagaimana ekologi kekerasan itu diterima begitu saja?

Ekologi atau gampangnya lingkungan kekerasan menunjukan kekerasan menyatu dalam lingkungan kehidupan sampai orang tak merasa jijik lagi. Ekologi kekerasan ini bahkan menjadi budaya (kebiasaan) dalam keseharian. Kekerasan terus terjadi jika tak ada yang berani menggugat dan mengkritik fakta sosial yang tidak adil.

Settingan Novel 03

Sebelum membicarakan topik utama, saya tertarik melihat setting novel ini yang sangat unik dan keren. Kisah dalam novel ini dibuka dengan konflik Tim-Tim vs Indonesia dan ditutup oleh konflik yang sama serta menunjukan identitas nasionalisme Sersan Ipi dan Martin Kabiti yang ikut berperang di Tim-Tim. Tetapi kisah-kisah di tengah bingkai nasionalisme ini adalah peristiwa keseharian, penggambaran sistem sosial budaya, agama, ekonomi di tengah masyarakat Kampung Oetimu. Oetimu dalam novel ini adalah daerah yang sangat mencintai NKRI tetapi justru mengalami nasib yang terabaikan oleh Negara.

Orang Oetimu sebenarnya masih memiliki kebanggaan yaitu agama mereka, tetapi kenyataan berbicara lain. Memang fiksi adalah seni dan tidak semua yang ada dalam kisah fiksi adalah fakta, tetapi novel O3 memberikan kritik dan membuka kenyataan sosial ke tengah publik. Kemiskinan membuat ajaran moral tak terserap.

Absennya kehadiran Negara, absennya juga moralitas sehingga membiarkan kekerasan terjadi. Kekerasan itu muncul dari trauma perang atau juga kemiskinan, tetapi tak ada yang menyembuhkannya. Perjuangan berdarah-darah dan terlibat konflik membela Indonesia seharusnya membutuhkan proses penyembuhan baik fisik maupun psikis,  namun baik penyembuhan ekonomi, penyembuhan moral dan sebagainya belum terjadi.

Reproduksi Kekerasan

Kekerasan erat kaitannya dengan kekuasaan. Kekerasan baik oleh kekuasaan politik, agama, ekonomi maupun superioritas maskulinitas atas feminis berlaku normal atau dianggap biasa sehingga tak perlu digugat.

Bapak Perdamaian India, M. Gandhi memiliki pandangan bahwa kekerasan terjadi karena struktur yang salah, bukan pada aktor. Saya menyebutnya kekerasan relasi secara vertikal. Struktur sosial dalam masyarakat dari tingkat yang kompleks sampai ke tingkat sederhana bisa memproduksi kekerasan kepada anak-anak. KDRT, Pertikaian komunis dan Pancasila, Perang dengan Tim-Tim, memproduksi kekerasan di tengah masyarakat dari satu generasi ke genarasi yang lain.

Gandhi tentu saja mengiyakan teori bahwa manusia pada dasarnya baik. Dalam paham kristianisme dan agama lain juga mengamini hal demikian. Ia menolak Hobes yang cendrung melihat manusia dalam kodratnya yang ambigu, kodrat jahat dan baik yang bersatu. Secara implisit Gandhi menyatakan Kekerasan adalah difusi dari luar aktor. Faktor lingkungan, faktor budaya, dan sebagainya sangat mengganggu dan mempengaruhi terbentuknya rantai kekerasan. Ia menampik faktor reaksi kimiawi dalam sistem tubuh manusia yang bisa menyebabkan seseorang bertindak kekerasan.

Sedangkan Galtung lebih bernada psikoanalisis menyatakan kekerasan terjadi karena ketidaksesuaian diri aktual dan diri ideal sehingga mempengaruhi mental dan tindakan seseorang. Seorang ingin kaya tetapi dengan cara korupsi. Seorang ingin menjadi pebisnis, politikus, artis tetapi menjadi pemuka agama. Haha.

Bahkan ada teori lain bahwa kekerasan juga disebabkan oleh faktor kemiskinan. Kemiskinan bahkan dianggap ibu dari kejahatan. Dimana ada kemiskinan di sana ada lingkaran kejahatan. Kemiskinan yang dimaksud ialah kemiskinan akibat struktur sosial yang salah dan tidak adil di tengah masyarakat. Berkaitan juga dengan teori Gandhi.

Produksi kekerasan yang saya sebut sebagai ekologi kekerasan di atas adalah bagaimana kekerasan terjadi seperti mata rantai yang tidak mudah diputuskan, karena sistem sosial memang menjadi tanah yang subur untuk berkembangnya lingkaran kekerasan.

Sebenarnya bila pada posisi yang tepat, kekerasan juga menjadi jalan tengah. Perang menjadi pilihan terakhir setelah berbagai upaya diplomasi perdamaian. Banyak Negara merdeka, karena memilih jalan perang ini. Tentu saja kekerasan tersebut seperti yang dikatakan Max Weber, ia merupakan monopoli Negara. Negara satu-satunya instrumen yang memiliki wewenang untuk menggunakan kekerasan demi tercapainya rasionalitas Negara (hukum).

Tetapi persoalannya ialah kerapkali dalam sistem negara yang rasionalitas publiknya masih rendah, kekerasan tidak sesuai legitimasinya, tetapi dipakai oknum yang memiliki akses untuk memonopoli kekuasaan. Hukum tidak berlaku lagi, tetapi main hakim sendiri. Terjadi inpunitas terhadap hukum pada mereka yang memegang kekuasaan, dan sebagainya.

Nah, Novel 03 menyuarakan produksi kekerasan seperti itu di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Narasi malam kematian Martin Kabiti mengungkapkan Perang Indonesia vs Timor Timur menyisakan rantai kekerasan di masyarakat yang mengalami trauma peperangan dan konflik. Peperangan membuat masyarakat miskin. Celakanya, Negara yang mereka bela yaitu Indonesia seperti “tidak hadir” untuk mensejahterakan mereka.

Sitem politik Orde Baru dan ketegangan ideologi komunisme dan demokrasi serta agama juga menjadi narasi dalam novel ini. Orde Baru mengusung Demokrasi Pancasila tetapi dalam praksisnya memasung nilai Pancasila dan memproduksi kekerasan di tengah masyarakat. Kemanusian direndahkan derajatnya oleh pertikaian ideologi yang merupakan cetusan akal manusia. Demokrasi hanyalah tempelan pada Negara tetapi militeristik dan anti kritik menguat. 

Budaya Kekerasan

Tidak hanya penggambaran melalui tokoh tetapi pengarang novel 03 juga menggunakan diksi-diksi  kotor dan kekerasan yang acapkali dipakai dalam keseharian di tengah masyarakat. Misalnya kalimat Tolo! Puka mai, dll.

Permainan narasi dalam novel ini menggambarkan reaksi kelompok besar masyarakat yang terpasung secara ekonomi dan politik. Reaksi itu nampak dalam harapan-harapan dan cita-cita menjadi figur yang memiliki kekuasaan, otoritas, dihormati dan disegani. Apa cita-citamu, nak? Mau menjadi tentara. Karena tentara terlihat maco dan gagah, itu contohnya. Lupa bahwa menjadi petani yang serius dan modern justru menghidupkan banyak orang.

Dengan keadaan seperti itu apa yang dikatakan oleh Etzioni, kekuasaan ialah kemampuan untuk mendominasi orang lain, melalui priveledge, ekonomi, ketahanan fisik, untuk menguasai terserap dalam diri anak-anak. Kisah-kisah pertikaian, kemabukan, pembunuhan menjadi narasi heroik dan inspiratif sementara perjuangan kemanusiaan dan inovasi  melalui penemuan dan ilmu, jauh dari mimpi, karena secara ekonomi barangkali tak bisa menjangkaunya. Narasi kekerasan membentuk persepsi dan diterima tanpa tanya. Kekerasan dalam kehidupan keseharian dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Misalnya serdadu Ipi memiliki priveledge sebagai seorang tentara dengan seenaknya menjadikan Silvi yang berparas cantik sebagai calon istrinya. Begitu juga kisah tentang Romo Josef, Maria dan Silvi berada dalam pusaran kekerasan seperti ini.
Mungkin juga Felix yang membanting kursi dan merusak kaca jendela sekolah bagian dari radiasi kekerasan ini dan juga Romo A yang diprotesnya. Bisa saja Felix dan Romo A bagian dari diri lain Romo Yosef dalan novel 03 yang menghalangi mimpi si Silvy. Haha (Guyonan saja)

Apalagi ditopang oleh budaya Maco Patrialistik, kekerasan terkait seks dan gender diterima sebagai kebiasaan. O3 mengungkapkan kenyataan tersebut bahwa perempuan seperti layaknya moke dan sopi ditenggerokan Yosef dan Ipi. Maria, Marta, Silvy dan lain-lain mengalami nasib seperti itu.

Malangnya, Gereja yang semestinya menjadi solusi terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan digambarkan sebagai institusi yang kumpul kebo dengan dominasi terhadap kelompok lemah. Walaupun ini tidak sepenuhnya benar, karena kehadiran Gereja di NTT nyata dalam membantu masyarakat, tetapi karena moralitas kristiani yang absen di tengah masyarakat, baik dikalangan pejabat pemerintahan dan masyarakat membuat Gereja menjadi sasaran Kritik. Banyak pejabat lulusan dari sekolah Katolik, tetapi bagaimana moralitas kristiani dihayati dan dipertanggungjawabkan di ruang publik?

Pada bagian narasi Romo Yosef yang tampan, bijak, cerdas, inovator, Novel 03 justru kemudian membawa pada kenyataan lain, pada permasalahan amoral. Romo Yosef menjadi tokoh idola sekaligus kontroversial.

Namun sisi lain, keberpihakan pengarang adalah kelompok yang secara sosial termarginal dan mengalami kekerasan baik dalam rumah tangga, tradisi maupun dalam struktur sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yaitu kaum perempuan. Maria sebagai tokoh aktivitis yang berani meludah wajah Kepala Tentara ketika suaminya meninggal ditabrak oleh truk Militer menunjukan perjuangan gender dan kritik kepada budaya Maco Patrialistik. Silvy yang jenius, sangat cerdas menurut profesor dari Ledalero seharusnya memiliki masa depan yang cemerlang. Tetapi ternyata Maria dan Silvy mengalami nasib yang naas. Mereka hidup dalam ekologi kekerasan yang selalu menemukan jalan buntu untuk maju.

Meskipun demikian, Felix Nesi dalam novelnya O3 membawa pembacanya ke dalam suasana retret dan rekoleksi tentang ekologi kekerasan ini. Selain itu ia mengajak pembaca untuk kritis terhadap persoalan-persoalan sosial, diskriminasi dan kesenjangan sosial lainnya. Oetimu adalah salah satu tempat untuk mewakili kebanyakan daerah tertinggal di NTT.

*Penulis adalah Biarawan Katolik dari Kongregasi Missionariorum a Sacra Familia (Misionaris Keluarga Kudus). Kini menjalankan misinya di Kalimantan Timur. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di akun facebook penulis dan kembali dipublikasikan di media ini atas izin penulis.

Ilustrasi: Diolah dari karya Angga Wijaya

Related Posts:

GEMAS Unimor: Keringanan UKT, Birokrasi Kampus Sangat Berbelit




Kefamenanu, LekoNTT.com - Gerakan Mahasiswa Universitas Timor (GEMAS Unimor) melakukan aksi pada Selasa (14/7) di Rektorat Kampus Unimor. Kelompok mahasiswa yang tergabung dalam GEMAS Unimor ini menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di kampus tersebut.

Aksi dimaksud dikoordinasi oleh Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unimor. Melalui keterangan yang diterima Leko NTT, GEMAS Unimor menuntut beberapa poin penting termasuk menghapus liberalisasi dan mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis di Unimor.

GEMAS Unimor menilai, pendidikan seharusnya mudah diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi pendidikan telah berubah menjadi semacam 'perusahaan' yang mencari keuntungan. Saat ini dunia tengah dilanda pandemi Covid-19, krisis ekonomi pun tidak dapat dihindari termasuk di Indonesia. Situasi tersebut pun mempengaruhi sektor pendidikan.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan; penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran dilakukan di-/dari rumah. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyakit Coronavirus (Covid-19) yang diperkuat dengan Surat Edaran Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Pernyataan Sikap GEMAS Unimor

Terkait dengan biaya pendidikan Perguruan Tinggi di tengah pandemi Covid-19, Kemendikbud menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Satuan Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Permendikbud menekankan penyesuaian pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahasiswa di tengah pandemi Covid-19; yang artinya peraturan itu diterbitkan untuk memberi keringanan UKT kepada mahasiswa yang kehidupan ekonominya terdampak Covid-19.

Namun demikian, GEMAS Unimor menilai peraturan tersebut belum direalisasikan di Unimor. Padahal, pihak Unimor sendiri sudah menjanjikan keringanan UKT bagi mahasiswa. Selain itu, GEMAS Unimor pun menolak Surat Edaran Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Tinggi yang terkesan kontradiktif dengan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020.

Menyikap masalah itu, Gemas Unimor melakukan aksi dengan beberapa pernyataan sikap yang ditujukan kepada pimpinan Unimor, sebagai berikut:

Pertama, turunkan UKT sebesar 50% tanpa syarat kepada seluruh mahasiswa Universitas Negeri Timor.

Kedua, menuntut kampus untuk memberikan jaminan bagi mahasiswa selama masa kuliah daring.

Ketiga, mendesak Pimpinan Universitas Negeri Timor segera mencairkan BLT bagi mahasiswa.
Keempat, hapus liberalisasi dalam sektor pendidikan.

Kelima, mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis.

Keenam, mendesak pihak kampus Unimor agar mengembalikan uang mahasiswa yang telah melakukan registrasi di semester ini sebesar 50%.



Alasan Normatif Rektorat hingga Surat Keputusan

Sebelumnya pada Juni 2020 lalu kelompok mahasiswa itu juga melakukan demonstrasi, dan aksi Selasa (14/7) kemarin, pihak Unimor hanya memberikan alasan normatif. Yasintus Bria, Ketua BEM Unimor ketika dikonfirmasi Leko NTT mengatakan, hingga saat ini tuntutan Ormawa kepada pimpinan Unimor tidak diproses dengan baik.

"Lembaga (Unimor, red) tetap pada alasan normatifnya bahwa semua itu bisa dilakukan tapi harus tunggu Rektor definitif. Sistem birokrasi kampus sangat berbelit-belit di tengah pandemi," kata Yasintus pada Rabu (15/7).

Yasintus pun menandaskan, saat ini Unimor membutuhkan seorang pemimpin (Rektor definitif) agar segala urusan administratif bisa diproses dengan baik dan lancar. Termasuk di dalamnya memperlancar keringanan UKT bagi mahasiswa Unimor. "Kita hasilkan satu surat keputusan yang akan diserahkan kepada Rektor terpilih setelah dilantik. Ormawa akan fasilitasi dengan jaminan UKT pasti diturunkan".

Tonton aksi mahasiswi Unimor saat berorasi dalam video berikut:



Hal senada disampaikan Kristina O. Tilis, mahasiswi Prodi Kimia FAPERTA Unimor, salah satu orator perempuan yang mewakili mahasiswi lainnya. "Kami kira PLT Rektor Unimor juga bisa mengambil kebijakan soal tuntutan kami itu, tapi katanya (pihak Unimor, red) harus ada Rektor definitif dulu baru bisa ditindaklanjuti," ungkap Kristina kepada Leko NTT pada Rabu (15/7).

Kristina pun menyayangkan proses BLT yang dijanjikan pihak Unimor bagi mahasiswa, sebab hingga saat ini belum terealisasi. "Kampus sudah janjikan BLT bagi mahasiswa, tapi belum ada realisasi, kasihan teman-teman yang sudah urus rekening".

Anggota PMKRI cabang Kefamenanu itu pun menjelaskan hasil dialog bersama pihak Rektorat Unimor yang turut dihadiri oleh PLT Rektor Unimor, Wakil Rektor I, Wakil Rektor III dan Kabag Perencanaan. "Kami hasilkan satu surat keputusan yang nantinya jadi rujukan ke Rektor definitif agar tuntutan kami dapat direalisasikan."

Surat keputusan dimaksud berisikan dua poin utama. Pertama, setelah Rektor terpilih dilantik maka PLT Rektor Universitas Timor wajib menyerahkan tuntutan mahasiswa sesuai pernyataan sikap Gemas Unimor. Kedua, setelah Rektor difinitif menerima pernyataan sikap tersebut, wajib diinformasikan kepada mahasiswa melalui BEM dan BLM Universitas Timor.

Surat tersebut ditandatangani oleh GEMAS Unimor dan pihak rektorat pada Selasa (14/7). Yasintus Bria selaku Ketua BEM,  Rofinus Berkanis selaku Ketua BLM, dan Krisantus Tri selaku PLT Rektor Unimor. Hingga saat ini, kami belum berhasil mengkonfirmasi pihak Rektorat Unimor. (red)

Foto-foto: gu

Related Posts:

All Star Lembata: Ciptakan Damai di Bumi




Lewoleba, LekoNTT.com - All Star Lembata meluncurkan single dengan judul "Ciptakan Damai di Bumi" pada Minggu (12/7) di Komak, Lewoleba, Lembata. All Star Lembata merupakan gabungan dari musisi Lembata lintas generasi.

Single perdana dari All Star Lembata awalnya diinisiasi oleh Nona Atawolo yang membangun  spirit kebersamaan dalam memajukan musik di Lembata. Nona  mencoba untuk menyatukan semua penyanyi Lembata yang selama ini menempuh jalan karya masing-masing.

Dari sekian banyak penyanyi yang ada, sebanyak lima belas penyanyi  yang ikut dalam project ini. "Kalau dari saya pribadi, saya senang menggerakkan teman-teman dengan karya positif. Banyak teman-teman musisi yang mau bergabung, tapi karena kami sudah jalan sehingga ke depan mereka akan bergabung," tutur Nona.

Dalam proses, All Star Lembata bersepakat untuk menyanyikan lagu "Ciptakan Damai di Bumi". Lagu yang diciptakan solois sekaligus song writer, Jhon Bala Wawin  memberikan pesan perdamaian kepada masyarakat Lembata secara khusus dan dunia secara umumnya.

Jhon mengungkapkan bahwa lagu dengan genre slow rock ini terinspirasi dari keadaan dunia yang sarat konflik, tragedi dan musibah. "Dengan lagu ini saya ingin mengajak masyarakat Lembata untuk saling menghargai, saling damai dan saling memiliki diantara kita," ungkap Jhon.

Suasana haru-biru dan seruan kegembiraan mengiring pemutaran video single " Ciptakan Damai di Bumi". Turut memberikan pesan perdamaian membuat Lolik Luon, penyanyi berdarah Atadei ini sampai menitikkan air mata sebagai wujud dari kebahagian yang tak bisa dibendung.

Lolik mengatakan, ketika diajak untuk terlibat dalam project ini, ia dan dua rekan lainnya yang tergabung dalam Trio Vokal Amlegal langsung menerimanya. "Alasan yang paling mendasar adalah rasa hormat pada karya seni. Apa lagi karya ini sebagai medium untuk mengajak masyarakat agar berdamai dengan sesama serta berdamai dengan Ibu bumi," katanya.

Untuk diketahui, selain melibatkan 15 penyanyi, project ini juga melibatkan seorang gitaris yakni Pace Vila. Ada juga Hans Soge sebagai keyboardist. (dk)

Related Posts:

Masyarakat dari Tiga Desa 'Tumbang' Akibat Tambang di Kali Noemuti-TTU




Situasi yang kian mengancam keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitar Kali Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara menjadikan mereka tidak tinggal diam.

Pada Kamis, 9 Juli 2020 masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok melakukan aksi di dua lokasi. Lokasi tambang batu/ pasir di Kali Noemuti dan Gedung DPRD TTU, itu tempat aksi kedua kelompok masyarkat tersebut. Selanjutnya pada 10 Juli 2020, perwakilan masyarakat Noemuti mendatangi Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten TTU.

Masyarakat Noemuti bersuara-menuntut kepada pihak-pihak terkait agar permintaan dan harapan mereka didengar-ditindaklanjuti. Sejak enam tahun terakhir, masyarakat di Noemuti merasakan dampak dari pertambangan pasir yang dilakukan perusahaan-perusahaan secara 'liar'.

Musim tanam dan panen tidak terjadi lagi sebagaimana biasanya. Masyarakat di sana dalam setahun bisa tanam dan panen hingga dua atau tiga kali. Tetapi setelah masuknya perusahaan yang menambang-mengambil pasir di Kali Noemuti, masyarakat hanya bisa menikmati hasil tanam dan panen sekali saja. Itu pun dengan hasil yang tidak maksimal sebab gagal panen selalu mengancam.

Adalah situasi yang sangat memprihatinkan. Akibat dari pertambangan itu, persawahan di beberapa areal rusak berat, tidak bisa diolah secara baik. Selain itu, masyarakat di sana pun sulit akses air bersih. Mau minum, masak, mandi, dan lainnya, masyarakat 'setengah mati'. Tak hanya itu, kesehatan masyarakat pun ikut terancam; udara kotor (polusi udara) akibat mondar-mandirnya truk-truk pengangkut pasir, apalagi lokasi pertambangan sangat dekat dengan perkampungan.

Dalam tulisan sebelumnya (baca di sini), bentaran Kali Noemuti dikelola oleh beberapa perusahaan. Terdapat lima perusahaan yang menjadikan kali Noemuti sebagai lahan tambang batu/ pasir antara lain: CV. Kristin, CV. Bintang Harapan (Karitas), PT. SKM, PT. Ramayana dan PT. Surya Raya Timor.



Kerusakan Lahan Sawah hingga Korban Nyawa

Tambang batu/ pasir oleh kelima perusahaan tersebut telah membawa dampak paling buruk bagi masyarakat dari tiga desa di Noemuti seperti Naiola,  Oenak dan Fatumuti. Berikut, data kerusakan lahan sesuai laporan perwakilan masyarakat.

Persawahan Klae di Desa Naiola. Terdapat lebih dari 2,45 Hektare (Ha) atau 10 orang-pemilik yang lahan sawahnya sudah terkikis banjir. Lahan yang tidak dapat diolah lebih dari 5,11 Ha atau 32 orang-pemilik lahan sawah tidak lagi mengolah lahannya. Dan lahan dengan potensi gagal panen di tahun ini dirasakan oleh 110 orang-pemilik lahan sawah; lebih dari 75 Ha. Selain itu, lebih dari 500 meter bronjong yang sudah terkikis.

Persawahan Tainunus di Desa Naiola. Dalam enam tahun terkahir yakni sejak 2014 hingga 2020, lahan sawah seluas 20 Ha tidak dapat diolah. Di Tainunus, sebanyak 32 orang-pemilik lahan yang tidak lagi mengelola sawah mereka.

Persawahan Ninib di Desa Nailoa. Lebih dari 5 Ha yang dimiliki oleh 16 orang-pemilik lahan sawah berpotensi longsor.

Persawahan Riber di Desa Oenak. Sejak tahun 2016 hingga 2020 atau dalam empat tahun terakhir, sebanyak 32 orang-pemilik lahan yang tidak dapat mengolah lahannya. Lebih dari 15 Ha lahan sawah rusak berat.

Persawahan Seonkoa di Desa Fatumuti. Sejak tahun 2017 hingga 2020, lahan sawah seluas 1 Ha yang dimiliki oleh 10 orang sudah terkikis banjir. Selain itu, terdapat lebih dari 1 Ha lahan sawah tidak dapat diolah, 10 orang-pemilik lahan sawah merasakan dampaknya. Di tahun 2020, sebanyak 35 orang-pemilik lahan sudah diancam gagal panen dengan luas lahan lebih dari 10 Ha.

Demikian akibat buruk yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan penambang batu/ pasir di Kali Noemuti. Masyarakat tidak lagi menikmati hasil panen secara baik dari lahan sawah (rusak dan gagal panen) yang luasnya lebih dari 134,56 Ha.

Masyarakat di sana pun telah merasakan dampak yang lain seperti krisis air bersih, polusi udara, bahkan terdapat empat orang yang kehilangan nyawa. Lubang-lubang yang tidak ditimbun sehabis tambang, seketika jadi lubang-lubang kematian. Nyawa manusia jadi penimbun untuk lubang tambang-galian perusahaan tersebut.

Itu sebabnya pada tanggal 9 dan 10 Juli 2020, masyarakat melakukan aksi-beraudiens bersama pihak-pihak yang punya kewenangan. Ialah DPRD dan BLH Kabupaten TTU.



Pernyataan Sikap

Sebagaimana di DPRD, masyarakat dari tiga desa tersebut pun menyatakan sikap saat melakukan audiens bersama BLH Kabupaten TTU. Berikut beberapa pernyataan sikap yang disampaikan:

Pertama, meminta BLH Kabupaten TTU turut bertanggungjawab atas potensi gagal panen yang dialami oleh masyarakat pengelola sawah di lokasi persawahan Klae, Desa Naiola.

Kedua, menghentikan penambangan batu/ pasir yang dilakukan oleh CV. Kristin di sekitar areal persawahan Klae; dan kembali menimbun atau memadatkan bekas galian dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Ketiga, izin operasional kepada kepada lima perusahaan di Kali Noemuti harus ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan prosedur perizinan pertambangan yang berlaku.

Keempat, meminta BLH Kabupaten TTU untuk meninjau langsung lokasi pertambangan dan persawahan yang saat ini berpotensi gagal panen, juga titik dampak lain seperti bronjong dan bibir saluran yang terkikis.

Kelima, meminta kepada Pemerintah Kabupaten TTU untuk membangun tanggul beton di Kali Noemuti agar melindungi bibir selokan persawahan Klae sehingga meminimalisir kerusakan akibat proses penambangan yang dilakukan dengan Excavator.

Keenam, meminta BLH Kabupaten TTU agar mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang sementara beroperasi di sekitar Kali Noemuti terkait dengan Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan kewajiban mereka. Sebab selama ini masyarakat tidak mendapat perhatian dari perusahaan berupa CSR yang adalah hak mereka sebagai masyarakat terdampak.

Ketujuh, meminta BLH Kabupaten TTU menjelaskan dokumen perizinan termasuk Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) dari kelima perusahaan yang sementara beroperasi di Kali Noemuti.

Kedelapan, meminta BLH Kabupaten TTU agar masyarakat dilibatkan dalam proses penerbitan dokumen AMDAL, secara khusus dalam penunjukan lokasi tambang dan pembahasan AMDAL.

Kesembilan, meminta BLH Kabupaten TTU untuk menjelaskan jenis-jenis izin yang dimiliki kelima perusahaan tersebut.

Kesepuluh, jika pernyataan sikap dan/atau tuntutan tidak ditindaklanjuti maka masyarakat akan kembali melakukan aksi dan melakukan tuntutan secara hukum.

Baca juga: Tambang Pasir di Noemuti-TTU: Air Kering, Sawah Rusak, Rakyat Lapar

"Hasil audiens kami dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten TTU, ternyata dari lima perusahaan yang selama ini menambang pasir di seputaran persawahan Klae, Riber, Seonkoa, Tainunus, Ninib, dan Nit'oeb, hanya satu perusahaan yang memiliki izin," kata salah satu masyarakat di sana.

Dari kelima perusahaan: CV. Kristin, CV. Bintang Harapan (Karitas), PT. SKM, PT. Ramayana dan PT. Surya Raya Timor, "perusahaan yang memiliki izin tambang adalah CV. Bintang Harapan."

Penulis: HET
Foto-foto: KrET

Related Posts:

Tambang Pasir di Noemuti-TTU: Air Kering, Sawah Rusak, Rakyat Lapar



Pertambangan pasir di Kali Noemuti, Timor Tengah Utara oleh beberapa perusahaan berdampak pada areal persawahan Tainunus, Desa Naiola, Kecamatan Noemuti Timur dan persawahan Riber di Desa Oenak, Kecamatan Noemuti Selatan. CV. Christin, CV. Karitas, PT. SKM dan PT. Surya Raya Timor, itu perusahaan-perusahaan yang menambang-mengambil pasir di Kali Noemuti.

Sudah lebih dari enam tahun, kebanyakan lahan sawah di Tainunus dan Oenak tidak bisa diolah. Penambangan pasir telah menjadikan permukaan kali Noemuti terkikis habis. Akibatnya, air dari Kali Noemuti tidak bisa mengalir ke saluran. Lebih dari dua meter, jarak antara kali dan bibir saluran. Masyarakat mengeluh sebab saluran kering. Lahan-lahan sawah pun turut mengering, bahkan tanah di dalam pematang sawah, sudah retak.

Selain Tainunus dan Oenak, areal persawahan Klae di Desa Naiola pun mendapat dampak dari aktivitas pertambangan. Di Klae, sebelum masuknya perusahaan-perusahaan tersebut, sawah-sawah dapat diolah masyarakat setempat lebih dari satu kali dalam setahun.

"Dua tahun sebelumnya-2018, kami olah sawah itu dua sampai tiga kali dalam setahun. Tapi setelah perusahaan masuk, gali dan ambil pasir, kami hanya bisa olah satu kali saja. Itu pun potensi gagal panen sangat tinggi," ungkap Emanuel Tnome, masyarakat-petani sawah Noemuti yang punya lahan sawah di Klae.



Tnome berkisah, tidak hanya permukaan kali yang terkikis, tapi sebagian lahan sawah di Klae pun sudah dikikis banjir. "Hal ini disebabkan karena eksploitasi material seperti batu, pasir, oleh excavator dekat sekali dengan areal persawahan Klae."

Infrastruktur pendukung seperti bronjong dan block beton yang sudah dibangun oleh Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kabupaten TTU, dan Pemerintah Desa di sekitar persawahan Klae, Naiola, pun terancam rusak. Itu sebab eksploitasi dari perusahaan yang sangat dekat dengan infrastruktur.

Tak hanya lahan sawah, infrastruktur pemerintah, tapi masyarakat di sana pun mendapat akibat lain-paling buruk, yaitu akses air bersih. "Masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Kali Noemuti, sulit akses air bersih. Air minum, cuci, dan air untuk mandi pun sangat sulit, apalagi di musim panas."



Oleh sebab akibat-akibat tersebut, di hari ini, Kamis, 9 Juli 2020, mudi-muda, para tetua, hingga mama-mama--masyarakat setempat yang merasakan dampak, terbagi dalam dua kelompok untuk menuntut keadilan. Sebagian masyarakat turun ke lokasi tambang yang dilakukan oleh CV. Cristin di sekitar persawahan Klae, sebagian lagi mendatangi para wakil rakyat di gedung DPRD TTU.

Di Kali Noemuti dan di Gedung DPRD TTU, masyarakat membawa properti aksi. Ragam kalimat ditulis sebagai bentuk protes, mereka minta dan tuntut adanya keadilan:

"DILARANG TAMBANG DI SINI"
"BABA KENYANG, RAKYAT TAMBAH SUSAH"
"BOS, JANGAN TERTAWA DI ATAS PENDERITAAN KAMI"
"AIRNYA KERING, SAWAHNYA RUSAK, RAKYATNYA LAPAR"



Eman Tnome yang juga turut dalam dialog bersama anggota DPRD TTU menandaskan beberapa kesepakatan. Bahwa DPRD TTU akan memanggil dinas terkait (Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup) untuk meminta keterangan terkait keluhan masyarakat.

DPRD TTU saat berdialog bersama masyarakat pun menyatakan untuk turun ke lokasi tambang di sekitar persawahan. Walapun tidak menyatakan secara pasti kapan mereka (DPRD) akan turun, tetapi bahwa kerusakan-kerusakan tersebut akan ditinjau.

"DPRD berjanji akan memediasi kami-masyarakat bersama dinas terkait dan perusahaan-perusahaan. Tujuannya hanya satu: cari solusi terbaik agar masyarakat tidak dirugikan," tutup Eman.

Penulis: HET
Foto-foto: ET

Related Posts:

Pengamat Hukum Pertanyakan Pembebasan Oknum Anggota DRPD TTU yang Positif Narkoba




Kefamenanu, LekoNTT.com - Kasus penyalahgunaan narkoba oleh anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara atas nama IFT (37) masih jadi bahan perbincangan publik. Seperti diketahui, IFT-oknum anggota DPRD TTU bersama teman perempuannya AHP (26) digrebek dan ditahan tim Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Kupang pada Selasa (16/6) di salah satu hotel di Kota Kupang saat akan melakukan pesta narkoba.

Setelah lima hari ditahan, IFT dan AHP yang positif menggunakan narkoba sesuai hasil tes urine, dibebaskan Tim Penyidik BNN Kota Kupang pada Minggu (21/6). Alasan IFT dan AHP dibebaskan karena pihak BNN tidak cukup punya bukti untuk penahanan dan proses lebih lanjut. Selain IFT dan AHP, ada juga dua oknum lainnya. Masing-masing adalah IEL (29) sopir pribadi dan DL (18) remaja perempuan. IEL dan DL dinyatakan negatif narkoba.

Pembebasan terhadap IFT dan AHP itu yang kemudian menimbulkan tanya bagi publik, terutama para pengamat dan praktisi hukum. Pengamat hukum, Mikhael Feka turut mempertanyakan kasus tersebut.

"Prinsip hukum bahwa seseorang dituduh melakukan suatu tindak pidana harus didukung minimal dua alat bukti. Jadi apakah seseorang yang positif narkoba bisa dihukum? Jawabannya bisa, selagi memenuhi dua alat bukti tersebut" ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang tersebut ketika dikonfirmasi Leko NTT pada Kamis (9/7).

Mikhael menegaskan kalau hasil pemeriksaan urine harus dituangkan dalam Berita Acara Pengujian sehingga menjadi bukti surat, dan Penyidik BNN harus mencari lagi bukti lain. "Misalnya Saksi dan Ahli untuk memenuhi dua alat bukti tersebut."

Mikhael pun mengkritisi kebijakan BNN Kota Kupang terkait IFT-oknum anggota DPRD TTU yang ditangkap pada Juni lalu. "Seharusnya BNN Kota Kupang lebih cermat dalam melakukan penangkapan karena yang namanya penangkapan, berarti BNN sudah punya target operasi dengan informasi dan data yang akurat." Ia pun menyayangkan alasan bahwa karena oknum tersebut adalah pengguna makanya dibebaskan, itu alasan yang kurang tepat.

Direktur Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (LAK MAS) Cendana Wangi NTT-Victor Manbait pun menyayangkan sikap DPRD TTU yang terkesan diam terhadap kasus IFT. "Badan Kehormatan DPRD tugasnya adalah memastikan semua anggota DPRD dalam sikap perilakunya berjalan sesuai dengan kode etik. Bukan berarti tidak ada laporan, lantas duduk manis," ujar Victor.

Ia pun menegaskan bahwa kasus IFT, anggota DPRD TTU sudah diumumkan oleh institusi Negara yang punya kewenangan bahwa yang bersangkutan positif menggunakan narkoba dan sudah diketahui publik. Menurutnya, sudah jadi kewajiban bagi DPRD untuk memanggil dan mengkonfirmasi status IFT yang positif narkoba.

"DPRD harus konfirmasi, apa benar IFT pakai narkoba, dan apa benar setelah jadi anggota DPRD boleh pakai narkoba? Apakah sikap seperti itu adalah sikap yang jujur?" ujar Victor.

Ia pun kembali mengingatkan kalau sebelum seseorang menjadi anggota DPRD, ia sudah harus membuat pernyataan bebas narkoba sebelum dan selama menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. "Kita berharap saja, larangan kode etik bagi setiap anggota DPRD untuk bersikap jujur dan punya kredibilitas, bisa ditegakkan DPRD TTU." Dan hingga saat ini, pihak BNN Kota Kupang belum berhasil dikonfirmasi redaksi. (het)

Related Posts:

Orang-Orang Oetimu karya Felix Nesi Jadi Novel Pilihan Sandiwara Sastra Kemendikbud RI




Jakarta, LekoNTT.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia  (Kemendikbid RI) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan meluncurkan siniar atau podcast @budayakita dengan program perdana Sandiwara Sastra pada Senin (6/7) di Jakarta. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud dalam menjalankan program tersebut berkolaborasi bersama Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media.

Sandiwara Sastra, sebuah sandiwara audio alih wahana yang diadaptasi dari karya sastra Indonesia. Karya-karya sastra yang dialihwahanakan itu antara lain:

Mencari Herman karya Dee Lestari, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Lalita karya Ayu Utami, Helen dan Sukanta karya Pidi Baiq, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Berita Dari Kebayoran karya Pramoedya Ananta Toer, Kemerdekaan karya Putu Wijaya, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam dan  Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi.

Sandiwara Sastra sebagai inovasi dan bagian dari Program Belajar dari Rumah pada masa pandemi COVID-19 ini sudah bisa didengar pada Rabu (8/7) pukul 18:00 WITA lewat siniar/ podcast @budayakita. Selain itu, Sandiwara Sastra ini dapat disimak melalui stasiun Radio Republik Indonesia (RRI).

Sandiwara Sastra diproduseri oleh Happy Salma dari Titimangsa dan Yulia Evina Bhara dari Kawankawan Media. Karya-karya pilihan itu disutradarai oleh Gunawan Maryanto dari Teater Garasi. Sedangkan adaptasi naskah dikerjakan oleh Yosep Anggi Noen, Ahda Imran, Iswadi Pratama, Putu Wijaya, dan Gunawan Maryanto. Berikut adalah daftar nama para aktor dan aktris Indonesia yang akan mengisi suara.

Aktris: Happy Salma, Christine Hakim, Maudy Koesnadi, Widi Mulia, Tara Basro, Eva Celia, Marsha Timothy, Adinia Wirasti, Najwa Shihab, Atiqah Hasiholan, Lulu Tobing, Asmara Abigail, Chelsea Islan, dan Pevita Pearce.

Aktor: Reza Rahadian, Lukman Sardi, Nicholas Saputra, Chicco Jerikho, Vino G. Bastian, Mathias Muchus, Ario Bayu, Arswendy Swara, Rio Dewanto, Oka Antara, Kevin Ardilova, Nino Kayam, Jefri Nichol, dan Iqbaal Ramadhan.



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam siaran pers yang dilakukan secara daring, mengajak seluruh pelajar dan mahasiswa untuk kembali menghidupkan dan mengenal karya sastra terbaik Indonesia. Nadiem pun menandaskan, karya-karya sastra pilihan merupakan kumpulan karya sastrawan terbaik Indonesia.

"Sastra menempati posisi penting dalam pemajuan budaya dan pembentukan karakter bangsa. Karya sastra hakikatnya tercipta dari situasi dan pergulatan diri. Pengalaman, pengamatan serta pemaknaan situasi dan latar belakang sejarah akan menguatkan karakter kita," kata Nadiem.

Nadiem pun menegaskan, melalui tokoh sastra, manusia lebih mengenal lebih dekat sifat kemanusiaan. "Seperti sekarang ini, pandemi memberi waktu untuk memetik makna dan belajar menjadi manusia yang kuat, yang mampu menyongsong masa depan."

Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud pun mengatakan alih wahana karya sastra dari buku ke medium audio bertujuan untuk memperkenalkan dan menghidupkan kembali karya sastra Indonesia. "Melalui Sandiwara Sastra, Kemendikbud memiliki misi untuk memantik minat masyarakat dalam mengenali lebih dalam budaya dan karakter manusia Indonesia."

Lebih lanjut Hilmar mengatakan, karya sastra akan disukai kalau dikenal. Ia berharap dengan adanya Sandiwara Sastra, publik bisa jauh lebih mengenal karya-karya sastra Indonesia. Menurutnya, karya sastra bisa masuk dalam keseharian.

Orang-Orang Oetimu di Sandiwara Sastra


Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh Komunitas Leko Kupang (@komunitasleko) pada

Orang-Orang Oetimu (OOO) karya sastrawan muda Indonesia asal NTT ini sebelumnya dipilih sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. Novel yang sejak diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri ini masih hangat diperbincangkan hingga 2020. Di NTT sendiri, banyak calon pembaca yang telah memesan novel tersebut, namun belum mendapatkannya. Di beberapa toko buku, OOO habis terjual.

Happy Salma, aktris sekaligus produser Sandiwara Sastra kepada Leko NTT mengatakan, salah satu alasan dipilihnya karya Felix karena novel tersebut merupakan karya terbaik dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 lalu. Happy pun menilai OOO sebagai salah satu karya terbaik.

"Karya Felix memberikan variasi dan juga kekayaan sehingga menambah spektrum lebih luas untuk karya sastra yang dialihwanakan," kata Happy ketika dihubungi melalui kontak pribadinya pada Selasa (7/7).

Lebih lanjut Happy mengatakan OOO mampu memperkaya referensi sastra di Indonesia. "Orang-Orang Oetimu ini bisa memberikan wawasan yang lebih luas, kita mengenal Indonesia Timur khususnya bahwa mereka itu adalah bagian dari kita. Dan ini adalah upaya agar kita tetap bersaudara, semakin dekat, tidak ada sekat, dan kita juga bisa memahami sejarahnya juga sehingga rasa persaudaraan jauh lebih baik."

Felix Nesi sendiri ketika dikonfirmasi terkait OOO, karyanya yang jadi pilihan Sandiwara Sastra Kemendikbud mengatakan itu kesempatan yang baik. Ia pun berharap agar OOO bisa lebih banyak dibaca dan menjangkau semua kalangan masyarakat dan mendiskusikannya.

"Saya harap generasi muda yang mampu menulis, juga menulis tentang persoalan sosial dan jangan lupa untuk selalu ada bersama masyarakat," kata Felix yang saat ini juga fokus mengelola Tua Kolo, sopi khas Insana, Timor Barat. (het)

Related Posts:

Kasus Sastrawan Felix K. Nesi, Warganet: #SaveFelixNesi




Kiupukan, LekoNTT.com - Kasus penahanan yang dialami oleh Sastrawan Felix K. Nesi mendapat banyak respon dari warganet. Respon dimaksud datang dari pengguna media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.

Kasus penulis buku kumpulan cerpen Usaha Membunuh Sepi dan novel Orang-Orang Oetimu itu mulai viral di media sosial pada Jumat malam (3/7/2020) melalui akun Facebook Felix Nesi sendiri. Hingga saat ini, postingan tersebut telah ditanggapi lebih dari 5.790 kali, dibagikan lebih dari 2.100 kali dan dikomentari lebih dari 1.550 kali.

Ragam komentar dari pengguna Facebook. Sebagian mengapresiasi dan memberi dukungan hingga mengecam, sebagian lagi melontarkan argumentasi yang menyayangkan aksi Pemenang Pertama Sayembara Novel DKJ 2018 tersebut. Beberapa diantaranya yang menjadikan postingan tersebut sebagi sumber candaan sarat satir-sarkas. Berbagai ragam komentar bisa dibaca di akun Facebook Felix Nesi.

Tagline #SaveFelixNesi sendiri berseliweran di Facebook, Instagram hingga Twitter. Tagar ini selain digunakan oleh warganet pada umumnya, juga para penulis, sastrawan-sastrawati, seniman-seniwati, para aktivis yang mengenal baik sastrawan Indonesia asal NTT itu baik relasi personal maupun lewat karya.

Selain tagline #SaveFelixNesi, adapun tagline Felix Nesi yang masuk dalam trending topik Twitter Indonesia pada Sabtu (4/7/2020) pukul 15:36 WITA. Pada umumnya, tagline tersebut lebih banyak di-tweet oleh para penulis, penggiat sastra, seniman, aktivis, akun-akun komunitas, media pemberitaan, toko buku, penerbitan, dan para pencinta karya Felix K. Nesi.



Okky Puspa Madasari, salah satu penulis Indonesia pun ikut memberi dukungan kepada Felix K. Nesi melalui akun Twitternya. "Saya kirim doa dan dukungan dari jauh untukmu, Felix. Terima kasih telah memberi contoh keteguhan dalam perjuangan. Semoga keadilan bisa tegak," tulis Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2012 itu.

Okky pun menegaskan dua hal. Pertama, polisi lebih cepat bergerak untuk pengrusakan fasilitas dibanding untuk kekerasan seksual atau penyiraman air keras. Kedua, institusi apapun lebih mementingkan "Nama Baik" dibanding menyelesaikan pokok masalah.

Akun hitz Katolik Garis Lucu, selain di Twitter, juga melalui akun Facebook membuat tagline #save_felixnesi. Banyak dukungan dari berbagai pihak ditujukan kepada Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang tersebut.

Dari sekian banyak ragam komentar, ada salah satu komentar yang paling menarik, berkesan, dan bisa dijadikan sebagai bahan reflektif. "Felix bersalah dan dihukum karena merusak kaca. Apa hukuman untuk pastor yang cabul dan orang-orang yang menutupinya?" tulis salah satu pemilik akun facebook. (klk)

Related Posts:

Manusia Tuna Budi dan Pandemi: Kematian Kolektif Prosedural


Oleh: Dominggus Elcid Li*


Birokrasi negara adalah salah satu pilar utama yang menjamin keberlangsungan negara. Hidup matinya negara, atau mundurnya sebuah negara terbaca jelas melalui kondisi mental para birokratnya, maupun kemampuan sistem yang dibangun untuk menjawab kebutuhan warga negara dalam sekian dimensi, dan diuji terutama pada saat krisis. Birokrasi yang tidak menjawab kebutuhan di saat pandemi adalah birokrasi yang gagal, dan tidak bisa dipertahankan modelnya.

Jika menyebut birokrat maupun birokrasi sebagai sistem tata organisasi, tidak berarti ini hanya menyasar pilar eksekutif atau pemerintahan. Birokrasi dalam tulisan ini dimengerti dalam kategori yang lebih luas, sebab unsur birokrasi melingkupi sekian organisasi maupun institusi dari pemerintah, aparat keamanan, aparat peradilan (polisi, hakim, jaksa), aparat keagamaan, aparat kepartaian, hingga aparat pendidikan.

Dalam model maupun diksi ‘aparat’ yang diadopsi sikap mentalnya dalam sekian organisasi, manusia dianggap tidak mewakili diri sendiri, tetapi menjalankan alur rasional organisasi, atau sisi normatif sebuah organisasi. Untuk menjamin pelaksanaannya lantas sekian aturan berlapis dibuat, dan mekanisme pengawasan diadakan. Setelah itu sekian ritual dalam tata organisasi dibuat agar orang mempunyai ritual harian, mingguan, hingga tahunan.

Agar semakin sungguh-sungguh dan terarah, kepala sekian organisasi dianggap pemberi haluan tertinggi, dan menjadi nahkoda utama. Kepada mereka kehormatan diberi, dan sekian jenis hormat diciptakan sebagai tanda loyalitas. Posisi ini merupakan sejenis surga di Bumi, yang sering dianggap sebagai indikator keberhasilan dalam keluarga, klan, kelompok keagamaan, dan alumni sekolahan. Mereka ini sering dipuja, dan dirayakan dalam pertemuan kelompok. Setidaknya ini wajah masyarakat Indonesia hingga tahun 2020.

Kematian Kolektif Prosedural

Lalu apa artinya, jika manusia-manusia dingin, rigid, dan sistematis yang menjalankan tugas negara atau tugas publik atau tugas komunitas malah sesuai dengan prosedur lengkap semakin terpisah dengan realitas anggotanya? Bagaimana jika semakin hari sindrom narsistik atau mencintai diri secara berlebihan atau pemujaan terhadap ritual-ritual organisasi melebihi kemampuan kolektif mereka untuk merasakan kenyataan sederhana? Seperti kematian di samping kiri anak manusia yang tidak butuh SK (Surat Keputusan) agar orang bisa mengerti bahwa hilangnya nafas adalah momen suci yang amat dihormati oleh siapa pun.

Hal ini dapat dapat dijadikan pertanyaan mendasar dan sederhana untuk sekian jenis aparat untuk melihat sejauhmana organisasi mereka masih berhaluan kemanusiaan, atau telah berubah menjadi sesuatu yang lain, yang berbeda dari harapan awal.

Seandainya, hal sederhana tetang kematian itu tidak dimengerti oleh sekian manusia yang setia menjalankan prosedur dan aktif membaca teks, atau untaian tulisan—yang sebagian diperlakukan sebagai tanda suci simbol pengorbanan tertinggi bahkan keilahian, kepada siapa Bunda hendak berkeluh kesah? Atau kepada siapa dewata, nabi, maupun juru selamat harus menitipkan pesan kehidupan? Atau kematian yang diabaikan? Atau penderitaan yang tenggelam dalam belantara kota?

Atau para penanam benih di kulit Bumit yang menatap tanah-tanah retak tanda kurang air, karena tumbuhan enam minggu yang disebut padi sedang meranggas dan tak ada yang datang dan bertanya kepada mereka. Misalnya dengan bertanya, “Hai Kisanak, apa yang bisa kuperbuat untuk meringankan bebanmu, agar tidurmu boleh sedikit panjang dan tak mimpi buruk, agar harapan hidupmu bisa lebih panjang dan bisa kami indekskan dengan baik dalam statistika negara?”

Kematian diam-diam tak banyak dibicarakan. Sebaliknya orang senang di depan umum, dikenal sebagai dermawan, pemberi terbanyak. Tak peduli asal pemberian darimana.  Tak peduli ia berlaku tidak adil. Tidak peduli ia mencuri. Tidak peduli atas nama jabatannya, ia yang seharusnya melindungi mereka yang lemah, hanya memamerkan kenikmatan sendiri, yang tak mampu dikecap sesamanya yang hanya bisa menangis diam-diam.

Mungkin mereka sedang menghayati kalimat-kalimat ini, “Saya sudah bisa menikmati apa yang dulu tak pernah bisa kukecap, sehingga hari-hari ini wajar lah jika saya mempertontonkan kepada khalayak bahwa saya juga sudah bisa menjadi bagian dari leisure class….kelas yang bersenang-senang, tidak lagi berpikir besok makan apa, tetapi sudah bisa merencanakan besok minum dimana….”

Lalu dengan pin di dada, atau kartu nama, semakin bertambah kegagahan mereka. Seolah-olah ingin menyatakan bahwa harapan seluruh nenek moyang, maupun cita-cita masa kecil sudah mereka rengkuh dalam seragam yang mereka pakai. Dalam acara-acara keluarga, komunitas, maupun kumpul-kumpul tidak ada alasan mereka dengan lantang bersuara, “Sudah tidak usah pikir, semua saya yang tanggung.” Kebanggaan itu tidak hanya dirasakan oleh ia yang bersuara, tetapi mereka yang duduk satu meja bersama. Lalu ia berujar penuh penghayatan, “Ini semua bukan usaha saya sendiri, tetapi berkat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.” Seolah menyatakan bahwa atas nama Restu Sang Khalik lah ia bisa mengadakan dan memberikan uang. Kebaikan cenderung ‘di-tunaikan’. Meskipun, dalam banyak hal, ia menganggap Sang Khalik yang Maha Tahu itu tidak perlu tahu apa yang ia perbuat. “Yang penting, ada yang diberikan, soal darimana mengapa harus diurus?”

Entah ini karena ia anggap Yang Kuasa bisa ditipu, atau Ia boleh mengganti rupa diri kapan pun sesuai dibutuhkan, agar di etalase publik ia tak dipermalukan, karena kasak-kusuk bukan lah kenyataan yang diperhitungkan, tetapi hanya prosedur yang berhasil dikunci rapat-rapat dan diri menghilang dalam labirin birokrasi, dan budi tak lagi dikenal.

Mencuri Secara Prosedural dan Sistematis

Sekian jilid pembaruan dalam organisasi sering dibuat agar sebagai kawanan jangan lah orang dibuat malu secara bersama-sama. Maka dibuat lah evaluasi rutin. Dibuat lah pertanggunjawaban periodik. Diadakan lah pertemuan berkala. Tetapi, jika sekian jenis ritus ini tidak mampu membuat orang untuk ‘tersentuh’ atas kematian yang sederhana, apakah masih penting sekian prosedur yang masih dibuat? Apakah mungkin ada energi kreatif yang muncul tanpa ada spiritualitas?

Dalam tatanan dasar kebanyakan orang tidak mampu mencapai dan membedakan antara ritus dan spiritualitas. Sekian prosedur bagian dari menjaga ritus, sedangkan spiritualitas adalah kemampuan menjaga agar benih kehidupan tetap tumbuh.  Di sini di negeri yang hipokrisi dipelihara, fundamentalisme agama berkembang subur di berbagai rumah ibadah sambil mengejar materi dunia dan meniadakan yang berbeda sebagai tumbal, sebab hanya ritus yang dikejar.

Dalam gelombang masyarakat, ada sekian jenis organisasi, ada sekian kepala, ada sekian prosedur, ada sekian pertemuan, dan ada sekian ketiadaan. Setelah rangkaian pertemuan diadakan, dan sekian uang dihabiskan, dan sekian waktu dilewatkan, tetap saja kematian sederhana tidak dimengerti.

Sebaliknya intrik menjadi budaya bersama dan dikembangkan terus menerus. Skenario dibuat, dan buih ludah dihabiskan tanda bicara panjang, bahwa sebagai sekelompok kawanan, mereka harus menang. Entah menang untuk apa itu juga tidak penting. Yang dimengerti hanya, politik itu soal kalah atau menang. Bahwa sekian pihak yang terlibat dalam tikai sedang menuju kehancuran itu juga tidak mereka perhitungkan. Bahwa ada rakyat banyak yang teramat menderita akibat pencurian kolektif sistemtatis dan terstruktur yang mereka jalankan juga bukan lah persoalan yang perlu dibesar-besarkan, sebab yang lain juga sedang melakukan pencurian jika ada kesempatan, agar mereka punya chip yang cukup untuk berjudi dalam tahap pemilihan berantai.

Hal yang paling mengerikan adalah manusia-manusia yang disanjung di depan umum, diberikan kursi terbaik dalam pertemuan bersama adalah para pencuri. Lebih buruk lagi semua yang disebut penikmat duniawi hingga laskar akhirat yang tak henti menyebut nama Yang Maha Kuasa, juga bersama-sama diam dan mengatupkan tanda takzim terhadap para pencuri. “Mereka adalah pejabat yang terhormat…sebelum bisa dibuktikan di depan hukum, mereka tetap harus dikenakan asaz praduga tak bersalah, karena tidak bisa dibuktikan apa yang sebut bisa disebut fitnah,” kata Si Kancil pencuri ketimun.

Hal yang paling tragis adalah dengan kemampuan manipulasi sempurna. Sistem yang adil dibuat lumpuh. Kawanan gerombolan tuna budi ini lah yang mengendalikan rantai sekian organisasi. Pengaruh mereka teramat luas. Bahkan mampu mendiamkan orang yang paling saleh sekali pun.

Dengan sekian aparat di tangan mereka, kebenaran bisa diciptakan. Fitnah bisa disiapkan. Dengan modal duit hasil jarahan, informasi bisa dipesan. Disebarkan dengan luas, dan dianggap bukan hoax, karena itu diucapkan oleh seorang pejabat, meskipun ia adalah pencuri. Hal yang paling absurd dari orang sekolahan sekarang adalah semakin mereka tinggi bersekolah, tetapi tidak mampu menyatakan bahwa ‘sesuatu itu benar atau salah’. Mereka mudah sekali ketakutan, dan tunduk, meniadakan akal budi.

Hari-hari ini, organisasi-organisasi di era pasar bebas di-isi oleh kawanan pencuri, garong, perampok, atau disebut sebagai koruptor. Mereka merajalela hingga segala sendi. Mulai dari ruang yang paling hitam, hingga mendekati bahkan mampu memanipulasi mereka yang menjaga ritual kesucian. Hari-hari ini para pencuri merajalela mencuri di depan mata, tidak bertanggungjawab mengelola organisasi bersama. Hari-hari ini semua yang harusnya menjadi tiang keadilan malah bisa dibeli sekilo dua ribu, seperti telur busuk.

Hari-hari ini mereka yang dipercayakan bicara untuk warga hanya peduli dengan kedudukan mereka. Hari-hari ini mereka terlalu takut untuk miskin, jika berani menyuarakan kebenaran, apalagi menyatakan ketidakadilan. Hari-hari ini, di tengah pandemi yang meluas para pejabat sekian organisasi hanya sibuk urus makan sendiri. Hari-hari ini adalah hari yang kelam sebab mereka bicara Panca Sila tetapi tidak mengerti apa yang diucapkan. Hari-hari ini perang saudara hendak dicari atas nama kesucian yang tidak lagi dipunyai.

Hari-hari ini kita adalah Bangsa yang kalah karena tak mampu melawan para pencuri yang berkuasa. Hari-hari ini di tengah pandemi dan kesusahan yang begitu meluas, orang mencuri tanpa rasa malu. Hari-hari ini adalah hari kematian negara yang adil dan beradab.

Lalu sebelum pulang, ia bertanya, “Maaf Tuhan, fee saya berapa untuk biaya pengadaan plastik pembungkus jenasah?” tanya seorang pejabat yang terhormat kepada pedagang yang maha kuasa. Surga di Bumi bagi mereka yang percaya dan takluk pada kuasa ‘U’. Di negeri ini tak jarang mereka yang paling tampak di barisan terdepan di rumah ibadat, juga pencuri nomor satu. Di negeri ini pencuri besar dimaafkan, pencuri kecil dihukum berat.

Ya, minggu ini mereka sudah mulai sembayang normal. Para pencuri tersenyum mesra: semua bisa diatur. Sudah lama mereka tak bertemu. Semoga Covid-19 tidak ikut bertamu, sebab tiada alat untuk mencegah bahkan memantau jika menyebar cepat, karena sebagian dana rakyat sudah dihabiskan sesuai dengan prosedur meskipun keliru.

Di negeri ini ketika jalan keluar dari pandemi ditutup oleh gigantisme para pencuri, yang muncul hanya lah insting saling memangsa. Kemungkinan kematian massal semacam itu yang tidak disadari, seperti yang lalu. Sehingga mencari jalan keluar bersama tidak pernah menjadi opsi yang dicari dan diperjuangkan. Gotong royong tidak juga dikenal, karena semua biasa saling memangsa. Diantara itu kemungkinan kematian kolektif prosedural dan massal ada di depan mata. Konon itu soal perasaan yang tidak lagi sama--antara kepala birokrat dan yang di bawah. Tanda-tanda kematian ini perlu lekas dibaca.

Kupang, 3 Juli 2020

*Penulis adalah Anggota Forum Academia NTT

Related Posts: