LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Oktober 2021

TAG Gelar Colour Of Timor, Upaya Pengarsipan dan Inovasi Pewarna Alami Khas NTT

 

Kupang, LekoNTT.com - Timore Art Graffiti (TAG) menggelar kegiatan  bertajuk Colour of Timor di Kupang, NTT. Kegiatan ini digelar sejak tanggal 1 hingga 31 Oktober 2021 dengan dua bagian yaitu pra acara dan acara inti. Adapun pra acara adalah pembuatan film dokumenter yang mengulas tentang proses pewarnaan tradisional dari bahan alami.

Adriana Ajeng Ngailu, salah satu panitia penyelenggara mengatakan, saat ini pembuatan film sedang berlangsung di Kabupaten TTU bersama para penenun sejak tanggal 1 Oktober 2021. Selain itu, ada workshop menjadikan pewarna alami menjadi cat akrilik untuk lukisan di atas kanvas, sharring session oleh narasumber dan kurator, serta proses pengkaryaan bersama oleh 21 orang seniman.


"Untuk kegiatan acara inti adalah pemutaran film, pameran karya baru dan diskusi bersama para seniman yang turut memeriahkan Colour of Timor. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tetap mematuhi  protokol kesehatan," jelas Ajeng.


Asis Nadjib, salah satu anggota TAG menjelaskan, Colour of Timor merupakan rangkaian kegiatan pengarsipan proses pewarnaan tradisional dan pameran karya baru dari pewarna alami khas  Nusa Tenggara Timur. "Kegiatan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh keresahan akan tenun yang sudah mulai dilupakan terutama oleh generasi muda, bahkan untuk proses pembuatan kreatif pewarnaan tradisional dari bahan-bahan alami sudah hampir punah," kata Asis.

Ia pun menjelaskan, alasan tersebut menjadikan TAG berinisiasi membuat kegiatan Colour of Timor sebagai bentuk nyata dari generasi muda yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab untuk mempertahankan sekaligus melakukan inovasi agar tradisi dari tanah kelahiran tidak hilang begitu saja dan mampu menyesuaikan zaman.


Wandry Dami, anggota TAG yang lain mengatakan, berlangsungnya kegiatan ini didukung dan difasilitasi melalui Program Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Wandry pun mengimbau kepada masyarakat yang ingin mengakses kegiatan dimaksud dapat diketahui melalui akun media sosial TAG.

"Segala informasi yang berkaitan dengan kegiatan ini bisa diakses melalui akun instagram @timoreartgraffiti," kata Wandry.

Tentang Timore Art Graffiti

Timore Art Graffiti  atau yang disingkat TAG adalah komunitas yang berfokus pada seni rupa. TAG berdomisili di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Awalnya TAG lahir atas ketertarikan dan minat yang sama beberapa pemuda terhadap sebuah bentuk seni bernama graffiti, namun seiring berjalannya waktu TAG memperluas cakupan ke berbagai jenis seni visual kontemporer lainnya. Berdiri sejak tahun  2015, kini Timore Art Graffiti telah membuat program mulai dari pameran, kegiatan rutin melukis bersama, partisipasi kegiatan seni kolaborasi, hingga kelas terbuka untuk mengenalkan seni kepada generasi penerus.
(het)

Related Posts:

Quo Vadis Pandemi? Webinar Alumni Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang


Kupang, LekoNTT.com - Ikatan Alumni Faklutas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang mengadakan webinar bertajuk Quo Vadis Pandemi. Webinar ini menghadirkan pembicara antara lain RD. Sipri Senda, Lic. Theo.Bib, RD. Lucius Tae Mau, BsC, MA dan dr. Herly Soedarmadji. Webinar ini dimoderatori oleh RD. Anton Kapitan, S.Fil pada 27 September 2021. Webinar ini berlangsung menggunakan dua platform daring: Zoom dan YouTube dari pukul 16.00 hingga 18.00 WITA.

Webinar yang dipimpin oleh Master of Ceremony (MC) RD. Christo Ngasi melibatkan peserta dari para Alumni Fakultas Filsafat-UNWIRA-Kupang, mahasiswa-mahasiswi Politeknik, Universitas Timor, Universitas San Pedro dan OMK dari Sumba. Jumlah peserta yang hadir mencapai 700-an orang.

“Pandemi Covid-19 sudah merubah segalanya. Hidup yang kemarin pada zona nyaman berubah. Kita tidak bisa hidup dengan kehidupan yang bebas, sekarang kita kembali pada diri yang terbatas. Kita bergerak ke sana-kemari perlu memenuhi ketentuan, setelah memenuhi barulah kita bisa melewati. Pandemi Covid-19 membuat manusia berpikir keras untuk keluar dari penjara pandemi. Kesempatan hari ini, untuk kita bisa mencari solusi, bagaimana menunjukan pada dunia bahwa kita masih eksis, hingga sekarang ini,” demikian kata pengantar dari Paulus Bataona sebagai ketua Ikatan Alumni Fakultas Filsafat.

Selanjutnya RD. Jhon Subani, Iur. Can, dalam pengantar pembuka seminar menjelaskan bahwa manusia mungkin mempertanyakan dimana Tuhan dalam situasi seperti ini. Mungkin bagi sebagian orang akan menanyakan keberadaan Tuhan, tetapi sebaiknya kita tetap bersyukur untuk menaikan imun tubuh dalam situasi seperti ini.

"Kita bersyukur pada Tuhan karena para Alumni memiliki kesempatan untuk, menjadi wajah Tuhan bagi mereka yang menanggung penderitaan terbesar akibat Covid-19. Santo Agustinus mengatakan, Anda melihat Tritunggal jika anda mencintai, karena cinta adalah kebutuhan terbesar manusia untuk dicintai. Hal ini, memberi kesempatan dan motivasi untuk membiarkan manusia hidup dalam cinta, pada manusia yang hidup dalam ketidakpastian sehingga hidup dalam krisis iman, moral dan jasmani di tengah hidup saat ini."

Di tengah kebingungan ini, manusia tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Pandemi ini mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah.

Pemaparan pertama dari Dr. Herly menjelaskan bahwa pada April 2020, WHO merilis hasil penelitiannya mengenai asal muasal virus corona bermula dari kelelawar berpindah ke manusia. Ada yang mengatakan itu dari trenggiling baru ke manusia, ada yang mengatakan itu  hasil bocornya laboratorium di Cina. Dari sisi medis, awal muasal Covid-19 sampai sekarang masih menjadi perdebatan.

"Ada yang mengatakan itu muncul pertama di Wuhan, tapi oleh Amerika mengatakan itu muncul di Cina. Tapi sampai sekarang meskipun semua ahli WHO dikirim ke Cina pun tapi tidak bisa mendeteksi secara pasti, kenapa? Karena untuk mendeteksi asal muasal virus itu berkembang, butuh waktu cukup lama, situasi di Wuhan sudah mengalami mutasi berkali-kali sehingga agak sulit untuk mendeteksi rantai virus dari mana."

Dr. Herly mengatakan bahwa pertama kali Covid-19 ditemukan pada 31 Desember 2019 di Cina dan disebut Peneumonia. Pneumonia ditemukan di China tanpa diketahui penyebabnya. Lalu, pada 7 Januari 2020 ditemukan sebagai sejenis virus bukan bakteri, diberi nama Novelvirus. Lalu, pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan bahwa Coronavirus ini sebagai kedaruratan medis masyarakat yang cukup meresahkan dunia.

Kemudian pada tanggal 12 Februari 2020, WHO menyatakan bahwa penyakit Coronavirus itu sebagai covid-19. Lalu pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia ditemukan penyebaran virus corona. Semua negara hampir mengalami bagaimana begitu berkembangnya covid-19. Ini dikategorikan sebagai pandemi. Sementara di Kupang, corona virus masuk pada tanggal 9 April 2020, yang jelas penyakit ini disebabkan oleh jenis virus.

Sementara itu, Romo Lucius menjelaskan dari segi Antropologi, tuduh-menuduh seperti ini, oleh ilmu Antropologi disebut sebagai stigmatisasi, otomatis manusia ikut terseret dalam ras dan etnis. "Etnis ras mengidentifikasi dirinya dalam lingkungan atau sekelompok ras tertentu. Coronavirus ini menyebabkan social distancing dalam kelompok masyarakat."

Social distancing, berangkat dari virus Covid-19 atau penyakit yang merebak hampir di seluruh dunia. Misalnya hanya di Indonesia, per 9 September 2021, itu tercatat 4.900.000 kasus terkonfirmasi. Itu menyebabkan manusia terstigmatisasi. Dengan adanya virus, manusia diarahkan pada labelisasi dan stigmatisasi, social distancing dan social structure pada manusia.

Romo Sipri dari perspektif Kitab Suci menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu, cerita relasi tentang hidup manusia dan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Lalu, dari perspektif biblis mencatat bagaimana cara beriman orang Israel. Dalam beberapa teks tentang pandemi ada yang berbicara tentang wabah, sampar atau tulah.

"Orang Israel misalnya, dalam Kel 5:3 melihat tulah atau sampar sebagai hukuman dari Tuhan terhadap Mesir. Lalu, pengalaman Raja Daud dalam 2 Sam. 24:13, karena berdosa jadi pilih dikuasai oleh musuhnya atau sampar, akhirnya sampar melanda dan beberapa orang Israel meninggal.  Itu beberapa contoh yang menunjukan beberapa contoh hukuman, manusia dibuang ke Babel."

Lebih lanjut ia mengatakan, Israel melihat bahwa pengalaman faktual yang mereka alami itu, dilihat dari perspektif iman, mereka melihat relasi mereka dengan  Tuhan ada kaitan terhadap dosa atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Penderitaan atau penyakit wabah adalah konsekuensi akibat langsung dari perbuatan manusia yang serakah dan ceroboh terhadap alam mau pun sesama dalam Gal, 6:7-9. Dari perspektif ini, kita bisa melihat bahwa sudut pandang ilmu Israel untuk melihat bahwa satu konsekuensi dari perbuatan melawan Tuhan, untuk penyadaran dan pemulihan terhadap kehidupan Israel itu sendiri.

Setelah pemaparan pemateri, Romo Anton sebagai moderator meruncing diskusi dengan pertanyaan, “kenapa pandemi terus meluas dan belum ada vaksin sampai sekarang?”
Pandemi datang dengan situasi tiba-tiba, dan memporak-porandakan semua sisi kehidupan.

"Selama ini kita tidak menduga, dapat merubah berbagai aspek kehidupan, seperti sekarang, kita harus pakai masker, keluar harus jaga jarak dari keramaian dan sebagainya. Ini hal-hal yang membuat semua harus ikut dia, artinya kalau masih sayang diri, sayang keluarga berarti harus taat pada dia. Ini hanya bisa dilakukan oleh si Covid-19 ini. Vaksin harus didukung pula oleh protokol kesehatan, kalau tidak resiko penularan akan terus terjadi," demikian jawaban dari Dr. Herly.

Selanjutnya Moderator memancing diskusi lebih jauh dengan bertanya “apakah berarti manusia tidak berkuasa atas Corona ini?”
Kemudian jawaban dari Romo Lucius, mengemukakan bahwa manusia memang masih tetap berkuasa atas penyakit. Dia harus bertanggungjawab terhadap tubuhnya. Tetapi faktor sosial budaya, sangat mempengaruhi dalam pencegahan Covid-19. "Kalau saya meminjam satu teori tentang model keyakinan untuk sehat, pilihan masyarakat untuk patuh atau tidak patuh, dipengaruhi oleh kepercayaan individu tentang penyakit. Komponen dari teori ini, yakni kerentanan terhadap penyakit, artinya, orang sudah tahu tentang penyakit antara satu manusia yang satu dengan yang lain, maka kemungkinan tentang penyakit masih terus ada."

Sementara itu Romo Sipri menjawab bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa orang Amerika yang sering membaca kitab suci itu, harapan hidupnya lebih tinggi. Ini menunjukan bahwa ada iman, pengharapan dan cinta kasih, dan orang Amerika yang membaca kitab suci imun tubuhnya kuat dan bisa bertahan dalam hidup ini. Ketika berada dalam situasi yang putus asa, orang tidak lari dari kenyataan atau menganggap remeh tapi tetap berharap pada Allah.

"Kita belajar dari Israel bahwa, ketika mereka berada dalam situasi kemelut tertentu, mereka kembali pada Tuhan, dan pengalaman iman ini memberi inspirasi kepada kita bahwa Covid-19 ini kuasanya sementara, Allah tetap berkuasa dalam situasi apa pun. Orang yang percaya dan mengandalkan Tuhan, selalu punya kekuatan lebih untuk mengatasi ‘kekuasaan’ dari virus corona ini."

Di tengah pemaparan materi, ada pembacaan puisi dari Roby Fahik, dengan puisi berjudul ‘Air Mata Puisi.’ Selanjutnya, menanggapi pemaparan dari pemateri salah satu peserta Fr. Tian dari Komunitas San Juan, OCD menanyakan bahwa “zaman sekarang realitas maya menjadi suatu yang riil, sementara realitas yang sesungguhnya mati, mengutip Filsuf Jean Baudrilard, apakah realitas itu mati, dan hiperrealitas itu yang menjadi riil?”
Menjawab pertanyaan ini, Romo Lucius menjelaskan bahwa berhadapan dengan Covid-19 ini, salah satu alternatif untuk menghadapi covid-19 secara virtual seperti melalui Facebook, Instagram, Twitter, Wechat, atau WhatsApp. "Jadi interaksi masyarakat itu mutlak perlu. Realitas itu tidak mati, dia tetap hidup, karena institusi masyarakat tetap hidup. misalnya, kita dapat menggunakan televisi dan wifi, sehingga realitas manusia tidak mati tetap hidup."

Sementara itu penanya kedua Frans Mali  menanyakan “bagaimana menghadapi narasi sesat tentang Covid-19 yang dibangun dengan sedemikian rapi?”

Menjawab pertanyaan ini Dr. Herly menjelaskan bahwa, sebagai orang medis, menghadapi isu medis ini "kami orang medis, terus mengedukasi agar masyarakat yang sudah paham tentang suatu penyakit, ketika menerima ajaran sesat, dia tidak akan terpengaruh, kalau pemahamannya rendah, dia akan mudah terpengaruh. Jadi, kami memberikan edukasi agar bisa berkembang."

Tambahan dari Romo Lucius, dalam situasi seperti ini, menurut Emile Durkheim ini adalah suatu sentimental religious. Karena manusia punya perasaan terhadap suatu objek jadi manusia ramai-ramai ke sana. Dalam teori Health Believe Model, biasanya persepsi terhadap resiko lebih dipengaruhi oleh emosi daripada informasi factual. "Jadi, orang ini terjebak dalam narasi yang menyesatkan, sebenarnya ini adalah apersepsi yang menjadi titik keyakinan terhadap sesuatu."

Webinar yang dibuka dengan doa ini diakhiri pula dengan doa yang dipimpin oleh RD. Bob Ndun. Acara ini pula diakhiri dengan foto bersama.

Penulis: Ardy Milik


Related Posts:

FOTO | Rumah Budaya Tua Kolo dan Komunitas Leko Gelar Pelajaran Menganyam Daun Lontar

 

Pada hari Jumat, 17 September 2021 Komunitas Leko bersama Sane Tua Kolo, Up-Ana Bitauni menyelenggarakan "Pelajaran Menganyam Daun Lontar" di Rumah Budaya Tua Kolo. Pelajaran yang dimentori oleh Mama Sabina Sa'u ini berlangsung lancar, para peserta tampak sangat antusias. Turut hadir sebagai peserta, ibu-ibu dari Pokja T PKK Kabupaten Timor Tengah Utara, Dekranasda Kabupaten TTU, beberapa mahasiswa Universitas Timor, dan kawan-kawan GMKI cabang Kefamenanu.

Tidak sedikit peserta yang berkomentar bahwa menganyam daun lontar adalah pekerjaan yang lumayan sulit. Butuh waktu lebih dari dua jam bahkan berhari-hari bagi seorang pemula untuk menghasilkan produk anyaman yang bagus dan indah.

Menyadari kesulitan itu, ada peserta yang berkomentar begini: "Kalau ke pasar, kita selalu tawar-tawar harga saat mau beli produk anyaman. Misalkan harga 20 ribu rupiah, kita tawar jadi 10 ribu rupiah. Padahal ini bukan pekerjaan yang mudah." Komentar salah satu peserta ini terkait bagaimana seharusnya kita menghargai karya dari para pengrajin tradisional.

Namun sesungguhnya intensi dari pelajaran ini adalah bagian dari usaha melestarikan dan merawat produk-produk tradisional/ kebudayaan/ kearifan lokal. Demi terwujudnya pelestarian dan perawatan, maka kita harus memproduksi. Agar mampu memproduksi, maka kita harus belajar dan terus belajar dari para pengrajin tradisional. Semoga makin banyak orang muda yang menaruh perhatian kepada kebudayaan dan kesenian tradisional.

Sampai jumpa pada kesempatan berikut di tempat yang berbeda. Ikuti dan pantau terus akun-akun berikut:
Instagram:
@komunitasleko
@tua_kolo

Facebook:
Leko Kupang
Tua Kolo

Berikut beberapa dokumentasi selama "Pelajaran Menganyam Daun Lontar" berlangsung:










Related Posts: