LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Juni 2021

Kebersamaan Tidak Dimulai dari Anggaran

 Oleh: Dominggus Elcid Li

Hujan turun Bulan Juni dan air meresap masuk ke pori-pori tubuh. Dan kawan menyatu dalam semesta, sambil meninggalkan koma terdalam untuk pertemuan terakhir. Sejak malam kawan-kawan menyebarkan kabar pencarian golongan donor darah O, dan kemudian gambar duka cita memenuhi lini massa kaum muda penggerak. Menjadi muda, idealis, suka membantu, tidak minta apa-apa, bersahabat dengan penuh, dan pelantun puisi dengan nada hidup yang tidak dibuat-buat. Menjadi manusia pencari hingga ujung akhir. Eman.

Pandemi yang merangkak dan berulang tahun membuat sekian banyak pertemuan tertunda. Mereka yang pulang kadang tanpa pertemuan dalam tenda duka. Duka tiba dan orang dibawa pergi. Tanpa ada kesempatan melihat wajah terakhir. Covid-19 akan menjadi tanda sejarah dalam satuan abad. Membekukan waktu, menidurkan rencana-rencana masa depan yang seolah-olah pasti. Ketidakpastian datang menegur, dan rencana manusia tak lagi lurus, seumpama siklon seroja yang berlangsung pelan dan lama. Mencabut hingga akar. Mengangkat hingga hilang tak berbekas. Menidurkan hingga tinggal puing fondasi. Kita yang berdiri termangu melihat hempasan angin, air, virus mengangkat semua yang menjadi titik ingatan. Rumah, pohon beringin tanda jalan, dan kawan. Ada rasa ngilu jika mengingat tawa khas jalanan seusai memaki-maki dengan hormat para pejabat yang suka lupa ingatan untuk apa berkuasa.

Nama tak penting untuk perkawanan yang tidak butuh harga. Bahkan terima kasih juga tidak penting. Karena semua tahu kita sedang bergerak dan berdialog dengan sisa-sisa kemanusiaan terakhir yang makin hilang digerus pandemi. Jaga jarak bukan berarti meninggalkan perkawanan. Tapi, kadang sepi yang tiba-tiba datang meradang. Mempertanyakan mengapa tubuh yang biasa disebut diciptakan sesuai dengan Citra Allah dalam pelajaran agama di sekolah, tiba-tiba disentakkan dalam ruang kosong sendiri. Seolah tiada kawan seperjalanan meski mobil, motor, dan gemuruh media sosial bertalu tiada henti.

Kota ini semakin ramai. Kota-kota besar mati. Jika tak mati, orang-orang yang silih bergantian purna. Kota-kota sedang telah jadi tumpuan bertumpu masyarakat pulau.  Jalanan makin ramai dan macet. Truk berbadan besar mengangkut barang seolah tiada aturan dalam kota. Kematian di jalanan begitu sering. Orang tak peduli. Padahal jika diatur, hidup bisa lebih longgar. Apa mau dikata, yang konon diatur hanyalah anggaran. Bukan hidup bersama. Orang masih tega mengambil, di saat yang lain kelaparan. Orang masih bisa membuang makanan pada saat yang lain makan makanan sisa. Orang masih merasa perlu membuat drama komedi palsu untuk kekuasaan yang tidak ada artinya. Orang lupa, hidup aslinya bukan untuk diri sendiri. Yang akan sekedar menumpuk materi dan bingung.

Kekuasaan yang hanya mengurusi anggaran pada akhirnya akan lapuk sendiri. Demikian pula pertemanan. Jaga jarak tidak berarti membuat kita punya banyak alasan untuk saling melupakan. Menyapa untuk saling mengingatkan menjadi penting. Kesulitan akan menjadi beban jika dipikul sendiri. Ada saatnya kesulitan-kesulitan pribadi dilupakan agar persoalan bersama bisa dibaca. Sebab kecukupan materi diri, tidak membuat orang bisa melihat pengertian atas masalah bersama. Sebaliknya selubung itu sering menutupi mata yang tidak minus atau plus, untuk melihat kenyataan bersama.

Teriknya kota sering membuat kerongkongan kering, dan kebahagiaan sekedar ingatan lampau. Sahabat-sahabat berbagi adalah malaikat Tuhan yang dititipkan di Bumi. Mereka mengingatkan bahwa jarak dari tali pusar pemberian Ibu, ke liang lahat bisa beraneka warna. Dan mereka adalah pelangi. Lingkaran kecil untuk sekedar menyapa bertanya kabar, ada apa gerangan menjadi teramat penting. Kita juga tidak selalu bisa bertanya, ada berapa sen yang tertinggal di kantongmu dan kantongku agar cukup membuat malam ini bisa kita tiduri hingga pagi tanpa ada perih di lambung yang mengkilik-kilik. Atau kegundahan itu bisa terusir setelah air kata-kata pergi melewati kerongkongan.

Kadang pencarian itu belum lagi usai, dan kita sudah terbangun. Mimpi diterjang badai tidak lagi menyeramkan. Sebab gemuruh siklon yang menderu sudah pernah terlewati. Kematian massal tak lagi jadi dongeng orang tua dan cerita tragedi sekolahan, kematian beruntun yang banyak sedang kita alami.

Hari-hari ini kematian beruntun datang berganti. Ada yang langsung, ada pula yang berliku. Segala siasat untuk bertahan hidup kita kerahkan. Memberi diri pada semesta hidup dilakukan dengan biasa, tanpa perlu tahu siapa.

Pertanyaan dalam perjalanan semalam. El, lu masih ingat Eman? Itu dari Torry. SMS belum dijawab, foto duka sudah dipasang di lini massa yang lain. 90 menit sebelumnya di kantor Ardi masih menyebut, kronologi kecelakaan belum ia dapat. Eman butuh darah O. Beberapa menit kemudian Ardi menjawab, masih ada dua orang lagi di pemulsaran jenasah. Habis ini baru Eman.

Eman dikenal sebagai aktivis yang gemar keliling, membantu komunitas satu ke komunitas lain. Ucapan duka dan kehilangan mengalir dari para sahabat. Tidak terasa mereka yang kuat pulang duluan. Eman ada dalam barisan itu. Ia memberi tanpa berharap kembali. Seperti Ibu. Tapi, juga tak seperti Ibu, Eman kerap tak ingin dikenal, karena kebaikan mengalir, tanpa perlu memberitahu siapa yang memberi. Tangan-tangannya menyentuh.  Di atas aspal kota yang panas ini kaki kita pernah berjalan bersama. Tanpa harus tahu nama. Memperjuangkan kita, sudah kau lakukan hingga titik akhir.

Heronimus Emanuel Seto. (Foto: akun facebook Emanuel Seto-Rangga)

Hujan yang sama yang kita rasakan beberapa hari lalu, rupanya hujan terakhir buatmu semasa hidup. Mungkin karena itu puisi ini kau titipkan pada kami.  Kupang, 22 Juni 2021, jam 6 lewat 4 menit sore.

pikir Sapardi di kupang; 
padahal hujan pertama
setelah seroja.
Oh, Referendum ju
di bulan juni,
dar Sapardi; hujan su jadi puisi
Kas ringkas waktu,
Kas ikat ingatan
catat sagala bentuk 
Yang sonde sempat terbahaskan.
Ahh, Kasi resap ame hujan di badan dolo.

Seperti hujan yang datang tak dikira, seperti kematian pula kata-kata meresap jauh. Eman mengingatkanku pada jalan itu, sekian dekade silam. Puisi adalah teman, dan gerimis adalah tanda kehidupan. Kawan adalah malaikat yang tidak bersayap. Sembari mengingat fatwa dasar: kebersamaan tak butuh anggaran. Selama ada rasa kita, pandemi meski sulit tidak lah sedemikian menakutkan. Sebab kematian itu pasti. Selama ada sahabat di situ ada kehidupan. Selama ada tawa, meski hanya dari ingatan, sahabat memberi sapaan dari keabadian. Pada akhirnya ingatan itu yang membawa kita tidur nyenyak meski tidak lagi bersama.

Tulisan ini dibuat untuk mengenang sahabat yang tak ingin dikenal. Untuk kawan yang memberi dalam kegelapan. Epang gawang Nong Eman!
***
Kupang, 25 Juni 2021 (tadi malam Heronimus Emmanuel Seto – Rangga berpulang)

Related Posts: