Polemik antara Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat adat di hutan adat Pubabu, makin hari makin bertele-tele. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menguasai hutan adat dengan menurunkan aparat untuk mengamankan lokasi sekaligus berupaya untuk mengeluarkan masyarakat yang tinggal di sana.
Seorang ibu kelelahan saat berusaha mempertahankan tanah adat di Pubabu. (Foto: Niko Manao) |
Hal ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan; siapa yang sebenarnya mempunyai hak atas hutan adat Pubabu? Apa yang menjadi dasar utama dari pemerintah untuk mengeluarkan masyarakat dari hutan ada Pubabu? Apakah sertifikat Hak Pakai yang dipegang oleh pemerintah? Apakah implikasi hukum dari sertifikat Hak Pakai yang dikeluarkan di atas tanah masyarakat? Apakah kemudian menghapuskan hak kepemilikan masyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari fakta-fakta di lapangan yang tidak secara transparan dilakukan oleh pemerintah. Secara khusus, sosialisasi terkait dikeluarkannya sertifikat Hak Pakai di atas tanah milik masyarakat. Belum lagi permasalahan sertifikat hak pakai periode kedua ini juga kemudian menimbulkan pertanyaan baru; bagaimanakah prosedur perpanjangan sertifikat Hak Pakai yang sebelumnya telah selesai masa kontraknya di tahun 2012?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab oleh pemerintah sebelum kemudian mempunyai inisiatif mengeluarkan masyarakat dari tanah adatnya sendiri.
Merujuk pada Undang-Undang nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, yang mana didasarkan pada landasan filosofis bahwa tanah memiliki peran yang sangat penting. Artinya, dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan, sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Masyarakat adat yang mendiami wilayah hutan adat Pubabu juga merupakan masyarakat yang wajib diperhatikan hak-haknya karena merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Sejauh mana pemerintah memperhatikan hak masyarakat adat Pubabu dalam pembangunan, yang rencananya akan dikembangkan di lokasi Pubabu. Sementara itu, permintaan masyarakat Pubabu untuk menyelesaikan konflik terkait tanah adat, hingga saat ini tidak ditangani secara transparan.
Aparat TNI, Polri, Pol PP dan dinas terkait ketika mengeluarkan masyarakat dari hutan adat Pubabu. (Foto: Vera Selan) |
Pemerintah tentunya mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan dan menjawab permintaan masyarakat terkait pengakuan hak masyarakat atas tanah adatnya. Karena memang sejarah kegiatan pemerintah, dalam hal ini Dinas Peternakan Provinsi NTT dalam pengembangan peternakan dilandasi pada kesepakatan masyarakat melalui sertifikat Hak Pakai selama 25 tahun, sejak 1987 dan telah berakhir pada 2012.
Dalam pasal 41 Undang-Undang ini dijelaskan, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah: Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; Tanah Hak Milik. Dalam konteks masalah di hutan adat Pubabu, tanah tersebut adalah tanah masyarakat Pubabu karena awal pemberian sertifikat Hak Pakai, didasari pada kesepakatan bersama masyarakat sebagai pemegang Hak Milik.
Selanjutnya dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) menegaskan: (1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang; (2) Atas kesepakatan antar pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Artinya bahwa perlu ada kesepakatan dengan masyarakat sebagai pemegang Hak Milik, apabila sertifikat Hak Pakai akan diperpanjang lagi.
Terkait dengan hal ini, tentunya masyarakat yang mendiami hutan Pubabu mempertanyakan apa yang menjadi dasar pemerintah untuk mengeluarkan masyarakat dari tanah adatnya sendiri? Apakah setelah selesai masa perjanjian - sertifikat Hak Pakai selama 25 tahun itu, tanah dikembalikan kepada masyarakat?
Masyarakat kehilangan naungan. Barang-barang, seisi rumah turut dikeluarkan. (Foto: Vera Selan) |
Pasal 50 Undang-Undang ini secara tegas mengatur kewajiban pemegang Hak Pakai yang tertuang dalam poin (d): menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus. Jelas sudah bahwa tanah adat di Pubabu, secara hukum wajib dikembalikan kepada masyarakat adat.
Berangkat dari hal ini WALHI meminta pemerintah untuk menghentikan upaya paksa pemerintah mengeluarkan masyarakat yang mendiami hutan Pubabu. Hutan tersebut sampai saat ini, berdasarkan bukti-bukti sejarah adalah milik masyarakat adat Pubabu. Selain itu, Pemerintah Provinsi NTT, dalam hal ini Gubernur Viktor Laiskodat agar mendengarkan secara langsung aspirasi masyarakat di hutan adat Pubabu.
*Penulis: Yuvensius Stefanus Nonga, S.H., M.H. Deputi WALHI Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur
0 Response to "Pemerintah Minta Masyarakat Keluar dari Hutan Adat Pubabu. Eh, Itu Hutan Aset Pemda-kah?"
Posting Komentar