Oleh: Victor Manbait*
Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Ibukota Kefamenanu sesuai dengan namanya, terletak di tengah Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. TTU berbatasan dengan Kabupaten Kabupaten Timor Tengah selatan, Kabupaten Kupang, Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, Selat Ombay dan Districk Ambeno Repbulic Demokratic Timor Leste.
Timor Tengah Utara masih terasa asing bagi masyarakat Indonesia, tetapi hasil karya penduduknya berupa tenun ikat terutama Bunâ sudah sudah dikenal masyarakat di seluruh dunia. Mengenal TTU berarti mengenal masyarakat yang ramah tamah, beraneka ragam etnis dengan cara hidup yang unik. Lebih dari 80% masyarakat TTU beragama Katolik Roma, hidup berdampaingan secara damai dengan penganut agama lain seperti Protestan, Islam, Hindu, Buhda dan Konng Fu Cu.
Selain taat beragama, masyarakat TTU asli atau lebih dikenal dengan Atoin Metô, masih memegang teguh dan melaksanakan tradisi-adat istiadat dan keagamaan peninggalan leluhur mereka. Selain tenun ikat, TTU juga terkenal dengan budaya religius dan tempat-tempat wisata religius. Salah satu diantaranya, budaya religius abad ke-17 yang masih dipertahankan hingga saat ini. Budaya religius dimaksud biasanya dirayakan menjelang perayaan Paskah; adalah budaya religi Kure oleh masyarakat di Kote, Desa Noemuti, TTU.
Religi Kure di Kote Noemuti
Kote-Noemuti adalah desa kecil di sebelah selatan Kota Kefamenanu dan merupakan Kota Benteng pada Masa pendudukan Portugis. Wilayah ini dapat ditempuh dalam waktu 25 menit dengan kendaraan umum Mikrolet dari Kota Kefamenanu. Dengan luas wilayah 90 Km², Kote dihuni oleh mayoritas masyarakat beretnis Timor dengan sapaan Kaes Metan. Kote berada dalam lintas Daerah Aliran Sungai-DAS Benenain, yang mengalir dari Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu sampai ke Kabupaten Malaka. Kote terletak 500 meter dari Jalan Trans Internasional Kupang-Timor Leste.
Noemuti masa lalu adalah sebuah kota benteng yang dihuni oleh masyarakat Kaes Metan. Dalam sistem pemerintahan adat, Noemuti dikenal Fungsionaris Adat Abeuket-Akono Haek-Atikan Pah Atikan Nifu dengan Fungsionaris Adatnya Meol-Salem dan Dacosta, Tobe Ha Kalili Ha, Tnone Laot Meo dan Amfin, Baki Katila , Mafefa Meo – dan Peta’ Saeb yang bersama-sama Amnasit dalam fungsi dan perannya menjalankan roda pemerintahan dan fungsi sosial kemasyarakatan.
Noemuti dikenal akan inkulturasi budaya, antara adat dan agama Katolik yang tercermin dalam ritual budaya religi Kure. Budaya pemeliharaan iman umat yang dijalankan masyarakat Noemuti di Kote pada Tri Hari Suci dalam pekan suci Paskah dengan berdoa bergilir pada Ume Mnasi/ Rumah suku; tempat benda-benda devosional disimpan dan disucikan oleh para imam Dominikan.
Ume Mnasi yang telah disucikan sekaligus tempat dilaksanakannya Kure ini kemudian dikenal sebagai Ume Uisneno/ Usi Neno (Rumah Tuhan). Ume Mnasi-Ume Mnasi dan/atau Ume Uisneno letaknya di bagian hulu dan hilir kali Noemuti, mengelilingi Gereja Katolik Noemuti sebagai pusat iman, dan Sonaf sebagai pusat pemerintahan adat. Oleh masyarakat adat Noemuti, Ume Mnasi dengan kesatuan sukunya yang berada di bagian hulu dan hilir kali Noemuti disebut dengan Sio Noe Haen- Sion Noe Nakan.
Menurut sejarah Kote Noemuti pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, wilayah ini berada dalam kekuasaan Portugis. Namun dalam perjalanan, tepatnya pada tanggal 1 November 1916 terjadi kesepakatan antara Belanda dan Portugis untuk melakukan pertukaran wilayah sehingga Maukatar-wilayah kekuasaan Belanda yang ada di Timor Leste ditukar dengan Kote Noemuti-wilayah kekuasaan Portugis yang ada di Indonesia.
Pertukaran wilayah telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan penduduk Kote Noemuti, namun pada wilayah ini juga masih tersimpan sebuah tradisi religi yang sangat menarik menjelang perayaan Paskah. Ritus perayaan Paskah yang lazim dirayakan di setiap tempat oleh umat Katolik termasuk di kote Noemuti telah terjadi inkulturasi, dimana Ume Mnasi disakralkan dan dijadikan Rumah Tuhan. Dengannya, Ume Mnasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian Prosesi Perayaan Paskah.
Tradisi ini diawali pada saat datangnya Topasis yang saat itu datang bersama para Imam Katolik Dominikan, kemudian memperkenalkan dan menyebarkan agama Katolik kepada penduduk Kote Noemuti. Salah satu peninggalan para imam Dominikan dalam misi penyebaran iman Katolik adalah dengan menempatkan patung- patung para kudus dan benda-benda devosional pada rumah adat suku-suku yang ada di Kote Noemuti.
Penempatan patung-patung para kudus dan benda-benda devosional ini diikuti dengan sebuah ritus penumbuhan iman-doa bergilir dari satu rumah adat/Ume Mnasi ke rumah adat yang lain saat Tri Hari Suci, Paskah. Doa bergilir (Kure) yang dilaksanakan pada pekan suci yaitu malam Kamis Putih, dan malam Jumat Agung yang merupakan rangkaian memperingati Hari Raya Paskah bagi umat di Kote Noemuti.
Kure sendiri adalah tugas pemeliharaan iman umat yang diembankan kepada Tetua Adat pada Ume Mnasi- Ume Mnasi bila tidak ada gembala umat (Pastor) untuk melaksanakan tugas pelayanan umat, sebagaimana arti kata curre yang diserap dari kata Perancis. Kure merupakan sebuah dimensi baru yang diletakan pada tradisi Ume Mnasi, bukan lagi menjadi tempat menyimpan kepala manusia-hasil kemenangan perang, atau kepala sapi atau kerbau ataupun benda-benda keramat dan magis lainya melainkan menjadi tempat ibadat umat Katolik. Di dalamya ditempatkan alat-alat bantu sesuai dengan tradisi devosional agama Katolik.
Kure: Ritual Jelang Paskah
Suasana pesta Paskah di Kote Noemuti diawali dengan semaraknya penyambutan Kristus saat memasuki Yerusalem kota kelahiran-Nya yang dielu-elukan sebagai Raja dan Mesias, Sang Juruselamat; tepat saat misa Minggu Palem. Umat berkumpul bersama di lapangan kemudian berarak menuju ke Gua Maria dengan doa dan puji-pujian, menandai awal kisah sengsara dan kebangkitan Sang Juruselamat, Raja Damai Yesus Kristus.
Ritual Kure yang menjadi bagian pergumulan iman umat Noemuti dalam mengenang sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus dalam pembaharuan iman umat, diawali dengan prosesi Trebluman pada hari Rabu, sehari sebelum hari Kamis Putih. Setelahnya dilanjutkan dengan prosesi Taniu Uisneno dan Bua Loet pada Kamis pagi sebelum misa Kamis Putih.
Pada malam setelah misa Kamis Putih, dan setelah misa Malam Jumat Agung, dilakukan prosesi Kure dengan berdoa dari satu Ume Uisneno ke Ume Uisneno lainnya hingga merampungkan doa bergilir pada 24 Ume Mnasi-Ume Uisneno di Noemuti.
Ritual Trebluman-Boenekaf
Pada hari Rabu, sehari sebelum Kamis Putih, masayarakat Kote mulai memasuki masa hening, masa persiapan Tri Hari dalam Pekan Suci Paskah dengan melakukan prosesi Trebluman pada 24 Ume Uisneno yang melaksnakan Kure di Kote Noemuti. Trebluman merupakan penyiapan batin ataupun pengosongan diri.
Dalam prosesi ini, semua penghuni Ume Mnasi bersama warga sukunya, pada jam 6 sore, memadamkan lampu rumah mereka, lalu bersama mengelilingi rumah dengan bunyi-bunyian, memukul-mukul dinding rumah, sambil berseru: Mpoi Rirabu, mpoi ririabu, tam Usi Neno (Keluar setan, keluar setan, datanglah Tuhan, datanglah Tuhan).
Saat melakukan prosesi Trebluman semua lampu dipadamkan, kampung menjadi sunyi. Salah satu Amnasit di Ume Mnasi masing-masing menyebut rumpun sukunya. Ritual ini dilakukan kurang lebih lima menit, lonceng dibunyikan sekali, setelah itu semua lampu dinyalakan.
Prosesi ini hendak menggambarkan bahwa manusia dengan kekosongan batinnya, yang dikuasai oleh kuasa dunia, ingin dipersiapkan-dikosongkan, ada tempat paling nyaman di dalam diri yang dikhususkan Tuhan. Rumah atau tempat tinggal dilambangkan sebagai tubuh-diri manusia itu sendiri.
Ritual Pembersihan Diri (Taniu Uisneno)
Hari Kamis pagi, Kote Noemuti tidak boleh dilalui lalulinta-kendaraan; pintu masuk ke Kote ditutup. Aktivitas dalam dan melintas Noemuti dilakukan dengan berjalan kaki. Semua kendaraan diparkir di luar Kote, menandai dilaksanakannya ritual Taniu Uisneno-Prosesi membersihkan benda–benda devosional.
Pagi sekitar pukul 7 waktu setempat, Tetua suku dan utusan Ume-ume Uisneno berkumpul di Sepe Naek (Gereja) dengan membawa periuk tanah untuk ritual pengambilan air dan batu “Soet Oe, Tait Fatu" di kali Noemuti. Di Sepe Naek, tetua adat didampingi para utusan Ume Uisneno akan bertutur adat kepada Pastor, memohon berkat agar prosesi Soet Oe, Tait Fatu di kali berjalan lancar. Usai memperoleh berkat dari Pastor, utusan Ume-ume Uisneno bersama ketua suku akan jalan beriringan ke kali melewati Eno Krus di utara Gereja mengawali proses Soet Oe, Tait Fatu.
Dalam prosesi Soet Oe, Tait Fatu, air difungsikan untuk membersihkan atau memandikan Uisneno/ benda devosi, sementara batu berfungsi menghaluskan tebu yang akan digunakan sebagai pembersih dan pengawet benda–benda patung, dan benda devosi yang telah dimandikan. Dari kali, rombongan beriringan-kembali ke Sepe Naek, membawa serta air dan batu yang akan diberkati oleh Pastor untuk memulai prosesi Taniu Uisneno.
Dari Sepe Naek, air dan batu yang sudah diberkati akan dibawa ke Ume–ume Uisneno untuk membersihkan patung atau barang barang kudus dengan menggunakan air, kemudian dibersihkan dengan tebu yang sudah dihaluskan atau kelapa parutan (ampas kelapa) dan diolesi dengan minyak kelapa.
Air tersebut lalu dibasuhkan ke dahi, mata, telinga, mulut, dada, tangan, dan kaki semua rumpun Ume Uisneno sebagai wujud pembersihan diri-Boe Nekaf dari dosa pikir, dosa hati, dosa ucap dan dosa buat. Aktivitas ini sebagai tanda pembersihan diri atau pembasuhan diri umat dalam memasuki sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.
Bua Loét, Bua Pâ - Lais Mafutus
Sebagai ungkapan kebersamaan (Lais Mafutus), semua anak dalam rumpun Ume Uisneno mempersembahkan hasil usaha dan kerja kerasnya berupa buah-buahan yang akan disatukan di dalam Ume Uisneno. Persembahan hasil pertanian ini disebut Pâ (Bua Pâ) yaitu kewajiban yang harus dipenuhi atau ditaati. Sebagian dari hasil usaha, kerja dan karya itu juga dipersembahkan ke Ume Uisneno lainya yang punya hubungan kekerabatan (Bua Loét).
Ritual Bua Loét mengisyaratkan penyerahan diri secara total dari seluruh penghasilan umat. Kumpulan hasil pertanian ini menjadi hadiah bagi mereka yang melakukan Kure pada Ume Mnasi yang dikunjungi. Biasanya dilakukan setelah ritual Taniu Uisneno.
Setelahnya, umat pada setiap Ume Uisneno secara rapi menghiasi tempat patung atau barang-barang kudus, membuat sepe-lampu dengan sumbu kapas yang direndam pada minyak kelapa dalam tempurung kelapa (saat ini diganti dengan lampu pelita). Di sepanjang halaman dan jalan masuk ke tiap Ume Uisneno rumah dihiasi dengan janur. Setelah ritual itu usai, umat mempersiapkan diri untuk mengikuti misa Kamis Putih; mengenangkan perjamuan Tuhan bersama para murid.
Kure: Ritual Damai Pada Kamis Putih
Telah disinggung di atas, ritual Kure merupakan aktivitas doa bergilir dari Ume Uisneno yang satu ke Ume Uisneno lainnya; dilaksanakan seusai misa Kamis Putih. Setelah mengikuti adorasi (pentakhtaan Sakramen Maha Kudus), umat secara berkelompok memulai aktivitas doanya secara bergilir hingga seluruh Ume Uisneno di Sio Noe Haen, Sio Noe Nakan terlayani umat. Dalam prakateknya, jika peserta mengawali Kure pada salah satu Ume Mnasi, maka ritual dimaksud pun diakhiri pada Ume Mnasi tersebut.
Tiap-tiap kelompok yang datang berdoa ke Ume Mnasi mendapatkan tanda damai berupa buah-buahan. Hasil kebun dari kerja keras disiapkan sebagai tanda damai bagi peserta Kure berupa tebu (sebagai pengganti senjata), jeruk dan ketimun (pengganti peluru) serta “ut”-sagu (pengganti Upaf-mesiu senjata). Perang diganti dengan damai, maka dengan hati yang damai pula umat Noemuti merayakan pesta Paskah.
Kristus satu-satunya penyelamat mereka. Ritual Kure dilaksanakan selama dua malam yaitu pada malam Kamis Putih dan akan berakhir pada malam Jumat Agung.
Kure Jumat Agung, Hening
Suasan hening dan sunyi meliputi seluruh Kote Noemuti. Pada jumat pagi, unat tidak bepergian ke mana–mana. Mereka hanya bisa ke gereja untuk mengikuti jalan salib (beberapa tahun belakangan dengan Tablo) dan dilanjutkan dengan prosesi ratapan tepat pukul tiga sore waktu setempat. Setelah itu, umat mengikuti peringatan sengsara dan wafat Kristus yang berakhir kurang lebih pukul tujuh malam waktu setempat.
Umat secara berkelompok akan melanjutkan Kure, khususnya Ume Uisneno yang belum terlayani pada malam Kure Kamis Putih. Doa-doa yang dipanjatkan dalam Kure di tiap Ume Mnasi pada umumnya Devosi Maria, Doa Bapa Kami, dan intensi khusus dari peserta Kure.
Viligi Paskah, Sabtu Aleluya
Umat Kote Nomeuti melewati hari sabtu dengan kegiatan sehari-hari, tapi belum boleh ada bunyi-bunyian dan lalulintas kendaraaan. Sekitar jam enam sore waktu setempat, umat sudah menunggu di Sepe Naek untuk mengadakan Vigili Paskah. Umat dihantar untuk mengungkapkan iman akan Yesus Kristus yang bangkit dengan mulia. Dia telah bangkit dengan jaya dan menang atas maut. Usai misa, diadakan bonet bersama di Sepe Naek. Umat bersama Pastor Paroki, Pengurus DPP, Amnasit dari semua Ume Uisneno dan tokoh umat, turut dalam bonet yang kemudian dilanjutkan di setiap Ume Uisneno.
Sef Ma-u, Ritual Seusai Kure
Sef ma-u merupakan rangkaian akhir dari seluruh prosesi Kure di Kote Noemuti. Pada setiap Ume Mnasi mulai ditanggalkan segala atribut atau hiasan-hiasan seperti kembang dan janur, buah-buahan, ampas tebu, sisa air dan minyak yang dipakai untuk membersihkan benda-benda benda devosional. Segala perlengkapan itu lalu dilarungkan-dihanyutkan ke kali Noemuti.
Prosesi Sef Ma-u diawali dengan beraraknya masing-masing utusan dari Ume Uisneno menuju Sepe Naek dengan membawa Kabi Buset, yang nantinya dipersembahkan ke Gereja dalam misa Minggu Paskah. Seusai Misa Minggu Paskah, utusan Ume Mnasi membawa segala atribut untuk kemudian berkumpul di Ume Salem, lalu menuju Gereja untuk dituturkan secara adat. Dalam tutur adat diisyaratkan bahwa Kure telah selesai dilaksanakan dan akan dilangsungkan ritual Sef Ma-u sebagai simbol bahwa dosa umat manusia telah ditebus oleh Kristus dan menjadi manusia baru.
Dari Sepe Naek, umat berarak menuju kali Noemuti melalui Eno Naek Noe Pala. Di sana, dilakukan tutur adat dan sisa-sisa dari prosesi Kure dikarungkan ke dalam kali sebagai tanda pelepasan-pembersihan noda dosa.
Mengakhiri Sef Ma-u, utusan masing-masing Ume Uisneno membasuh tangan dan wajah dengan air sebagai tanda kemenangan. Bala telah ditanggalkan dan kembali mendapatkan kesejukan, kedamaian (manikin ma oeteme).
***
*Penulis, Direktur Lakmas Cendana Wangi Nusa Tenggara Timur.
Related Posts: