LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Maret 2020

Denyut UNBK dalam Cengkraman Wabah Corona

Oleh: Yoh. Joni Liwu, S.Pd*

Dampak wabah Corona tak terbilang. Tidak saja mengancam kehidupan manusia sejagad, merusak pula sendi-sendi kehidupan di berbagai aspek. Aspek pendidikan misalnya, bagai mati total. Perencaan yang tertuang dalam program-program pendidikan menjadi berantakan, bak bumi diguncang gempa 7,5  skala richter. Bangunan pendidikan itu memang tidak hancur, tetapi perabotannya berantakan. Pemangku kepentingan di bidang pendidikan harus memeras otak untuk menata kembali seluruh perencanaannya lantaran wabah Corona sedang mengintai.

Atas alasan tidak boleh berkumpul, maka segala aktivitas pembelajaran diberhentikan dengan jangka waktu yang belum ditentukan. Pembelajaran bersinonim dengan pertemuan antara guru dan siswa/ pelajar/ mahasiswa. Dengan demikian haram hukumnya jika diberlakukan social distancing ataupun physical distancing.

Siapapun ahlinya belum bisa memastikan kapan berakhirnya Covid-19 bergentayangan di bumi ini. Mungkinkah karena wujudnya yang tak kelihatan, ataukan Covid-19 lebih cerdik dari seorang professor. Jika social distancing atau physical distancing hanya sebagai sebuah strategi memutus mata rantai, maka ke mana perginya, satu pun belum bisa memprediksi. Itu artinya, semua kita hanya dalam sebuah kepasrahan. Belum lagi sebagaimana dilansir Tribun News muncul virus baru di Nigeria lebih mematikan, maut 48 jam. Itu artinya corona menyebabkan kematian 14 hari, sedangkan virus baru itu hanya dua hari. Duh…apalagi jenis virus ini?

Terlepas dari Covid-19 dan jenis virus terbaru, hari-hari ini dunia  pendidikan dari pendidikan dasar hingga sekolah menengah sedang giat-giatnya mempersiapkan diri melaksanakan hajatan akhir tahun pembelajaran di suatu jenjang yaitu ujian nasional. Ujian akhir yang berlabel Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) ini harus berakhir riwayatnya. Artinya, rencana Mas Nadiem meniadakan Ujian Nasional menemui titik terang sebagai sebuah percepatan. Apakah harapan Mendikbud ini direstui Sang Khalik? Tentu saja tidak.
Dampak Covid-19 sebagaimana saya sebutkan di atas telah memaksa penentu kebijakan untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan manusia di atas kepentingan lainnya.
Betapa Covid-19 tidak bisa dianggap sepele. Ketika siswa dirumahkan alias diliburkan selama 14 hari, banyak strategi dilakukan sekolah agar siswa-siswi dapat belajar di rumah. Pemantauan dilakukan guru dari rumahnya masing-masing. Salah satu caranya adalah pembelajaran melalui group WhatsApp. Guru dan siswa dapat saling berkomunikasi tentang jenis materi pembelajaran.
Ilustrasi UNBK. Foto: Syamsul Falaq

Apakah siswa berlatih menyelesaikan soal-soal atau jenis pembelajaran lainnya. Semua dilakukan agar siswa lebih mempersiapkan diri mengikuti UNBK setelah hari-hari kemarin mereka telah melakukan gladi UNBK. Walaupun demikian, keganasan Covid-19 yang terus mengancam membuat legislatif dan eksekutif tidak tinggal diam untuk menyelamatkan warga. Mereka pun kemudian harus mengambil keputusan agar siswa-siswi pun mahasiswa tidak boleh melakukan pembelajaran di sekolah juga di kampus.

Hal itu berarti UNBK yang digelar akhir Maret dan April itu harus dibatalkan untuk alasan keselamatan jiwa manusia. Semua rencana persiapan ke arah UNBK dibatalkan. Harapan guru pengasuh mata pelajaran Ujian Nasional terkubur Covid-19. Bedah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang dilakukan beberapa bulan silam melalui kegiatan-kegiatan guru semisal MGMP, bak membuang garam ke laut. Kepenatan melaksanakan les- les tambahan harus berakhir karena wabah Corona.

UNBK yang semula bernama Ujian Penghabisan (1950-1956), Ujian Negara (1965-1971), harus berakhir sampai di sini. Lembaga pendidikan harus menyampaikan selamat jalan kepada hajatan akhir tahun yang pada tahun 1972-1979 disebut Ujian Sekolah dan berganti nama lagi menjadi EBTA dan EBTANAS pada tahun 1980-2001.

Sebagai seorang guru yang sedang mempersiapkan peserta didik untuk bertempur di UNBK, harus mengelus dada lantaran kerja keras selama dua tahun lebih berakhir tanpa sebuah evaluasi.

Selanjutnya, tentu saja hendak dipikirkan sebuah sistem penilaian untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa. Hal tersebut harus terukur sehingga dapat menjadi angka-angka konkret yang menghiasi lembar ijazah.

Sejak Menteri Pendidikan dijabat oleh nama-nama seperti Sarmidi Mangunsarkoro, Bahder Djohan, Wongsonegoro, Mohammad Yamin, Soewandi Notokoesoema, dan Prijono (1965-1970), evaluasi akhir pendidikan itu tentulah memiliki tujuan tertentu di antaranya pemetaan mutu program pendidikan dan atau satuan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing. Pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan.

Ditilik dari kemanfaatannya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2013, yakni Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan hasil UN untuk melakukan pemetaan pencapaian standar peserta didik, satuan pendidikan maupun wilayah. Dengan begitu, baik Pemda maupun sekolah bisa mempelajari letak kekurangan atau kelemahan setiap sekolah di setiap daerah jika dibandingkan dengan perolehan nasional. Selain itu, mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota, dan sekolah/ madrasah. Manfaat terakhir adalah mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/ kota, sekolah/ madrasah, dan kepada masyarakat.

Semua tujuan dan manfaat pelaksanaan UNBK tidak serta merta diabaikan hanya karena UNBK tidak terselenggara. Namun karena belum terpikirkan format terbarukan untuk mewujudkan tujuan UNBK, tentu menjadi soal. Oleh karenanya kita berharap, dengan imbauan Presiden agar semua berkerja di rumah, akan ada inovasi-inovasi terbaru menggantikan UNBK, tidak untuk tahun ini, tetapi di tahun-tahun mendatang. Bahwa sinyalemen berakhirnya UNBK oleh Mas Nadiem, penggawa baris pendidikan di Indonesia telah menemui titik terang dengan musibah Corona.

Namun karena aksi dan strategi menggantikan UNBK belum muncul ke permukaan, sehingga jurus jitu dari seorang Mas Nadiem kita tunggu di beberapa hari ke depan. Hal ini menjadi penting sehingga guru-guru di setiap lembaga pendidikan bersama kepala sekolah akan memiliki panduan yang jelas dalam memberikan penilaian pada siswa peserta UNBK. Setidaknya, meminimalisir unsur subjektivitas dalam menilai kompetensi siswa yang akan disematkan di ijazah. Guru sedang menanti tangan dingin Mas Nadiem, agar ia tidak terlena dalam masa social distancing atau physical distancing yang menjenuhkan hari-hari ini.

*Penulis: Guru di SMP Negeri 13 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Related Posts:

Elou... Elou... | Cerpen Irenz E. Alupan


“Sematkan nama pada anak-cucumu dari nama moyang-moyang kita. Jangan lupa selipkan nama malaikat pelindung baginya dari nama orang-orang kudus yang di surga. Berikan juga kepadanya nama keluarga besar sebagai marga. Panggillah terus nama itu. Setiap waktu!”

***

Suatu pagi, tahun seribu sembilan ratus lima puluh enam usai musim penen. Hujan masih sesekali jatuh mengguyur, menggembur tanah bekas tanam. Di langit Supun yang mendung, suara bayi pecah dari rahim Toas, perempuan berusia muda nan cantik. Tidak ada catatan penting untuk sebuah kelahiran kala itu. Hanya akan hadir lewat mimpi seorang anak jika telah tumbuh dewasa dan tahu menghitung angka, untuk menentukan tepat tanggal berapa ia dilahirkan.



Supun, sebuah kampung kecil hasil pemekaran yang berbatasan sungai dengan pusat kecamatan, Kota Manufui, masih mengantuk dalam pagi yang dingin. Toas, perempuan itu melahirkan anak terakhir sekaligus putra tunggal Temukung Atetus. Seorang kepala kampung dari Kuan Manikin yang saban hari bernaung  di rindang hutan, bergelut bersama setan tanah, dan merindukan anak lelaki dari jampi yang diucap kepada Uisneno-Tuhan yang mereka sembah, setiap matahari membening dalam kabut pagi. Menitip pada ranting dan dedaunan dengan doa tak lekang, tak putus.

Mestinya ada sorak kegirangan. Semacam euforia bagi kelahiran baru ketika matahari rikuh mengecup kening puncak Son Mahole, disahut kotekan ayam hutan berirama garing. Mestinya sepatu kuda sudah berpacu laju menuju sebelah barat, atau ke selatan dan sekeliling kampung untuk meniupkan angin kabar dari bibir ke telinga, dengan teriakan suara girang, “sudah lahir An mone mese Tua Atetus-sudah lahir anak tunggal tuan Atetus”.

Mestinya orang-orang kampung membawa mnahat-padi hasil panen dari sebelah Utara, sebagai persembahan bagi anak Temukung. Mestinya para lelaki dewasa sedang bernyanyi lirih bonet dengan gerakan indah, melingkari lopo kepala kampung untuk merayakan sebuah kelahiran baru.

Tapi sayang, hatinya masih tawar. Atetus, si kepala kampung bijak itu hari ini menampakan wajah datar. Sedatar rasa sedih yang dikungkung pada kehilangan dua putri, persalinan pertama istri tersayang Toas yang bernama baptis Theresia.

Dua kali kelahiran gagal beruntun yang dialaminya, berarti bertaruh pada takdir. Kentara wajah kutuk nenek moyang sedang menganga menerkam. Sebab kutukan bagi yang melanggar titah, nyawa lumrah melayang bak angin berhembus. Berpulang ke dasar tanah, menjurus ke alamat tempat bernaung para nitu-nenek moyang. Mati.

Hatinya berkalut takut dan gelisah. Berharap terus kepada bumi yang dipijak-nenek moyang, sesama yang memberi dan kuasa tak terbatas dari langit sebagai Tuhan Tertinggi-Uisneno, adalah kekuatan yang harus ia genapkan. Terus. Sehingga tidak ada lagi nyawa yang diraup Pah Nitu-nenek moyang sebagai bayaran dosa masa mudanya. Kalau-kalau kali ini ia gagal punya anak lagi, ia musti meminang perempuan lain atau jika tidak, nyawanya sendiri harus ia habisi dengan oe mafun-air beracun sebagai imbas kegagalan kepala suku yang mandul. Lantaran tak ada generasi selanjutnya yang bakal menjadi penggati untuk menjaga serumpun nama pada lingkaran kukuh dan atap-atap ume suna-rumah bulat atau rumah adat.

Konon, kutukan yang melumuri tubuhnya adalah kutukan dari nenek moyangnya sendiri. Janji-janji untuk menjalakan alumat dari ume leu-rumah pamali seperti diamanatkan nenek moyangnya sejak kecil, lantas  diingkarinya dan memilih menuaikan ritual untuk pah nitu bian-nenek moyang lain dari tanah antah barantah.

Sejak muda, Atetus pernah memutuskan untuk bertuan dari pah nitu bian yang secara garis ketururan, tidak setitik pun darah menyatu. Pah nitu bian itu digambarakan sebagai orang-orang yang meninggalakan piring-piring bergambar naga. Mereka yang dikenal dengan nama Kaes Sinas-pedagang dari Cina selatan. Konon kedatang mereka ke pusat Timor untuk mencari kayu-kayu cendana.

Juga nitu atau jasad-jasad yang gugur pada pertempuran ketika melabuhkan kapal di Pantai Utara, Pelabuhan Wini; pelabuhan yang pernah disinggahi Santo Frasisikus untuk memberitakan kabar gembira sekitar tahun 1500-an. Mereka yang membunyikan senapan sepanjang malam dari lembah-lembah itu, diakrabkan sebagai penjajah dari Barat-kaum Portugis dan Belanda yang telah menduduki Timor sekian lama, dan kemudian harus angkat kaki setelah tentara Nippon dari negeri Sakura mengusai hampir sebagian Timor sejak perang dunia dua usai.

Barangkali niat mengusai piring-piring dan upeti yang berisi senjata juga amunisi itulah yang memungkarkan Atetus lalu memilih meninggalkan nenek moyangnya. Kutukan itu terus mengalir hingga menikah dengan Toas.  Maka secara adat, hendaknya ia menarik kembali jiwa yang telah ia gantung pada pah nitu bian di utara, tempat penghasil garam itu, lalu mencintai dan menjaga tanah warisan nenek moyang di bumi selatan.

Mungkin itulah sebab yang kemudian membuat wajah Atetus takut akan kehilangan anak lelaki yang baru saja membumi dari rahim Toas istrinya.
Sementara itu, ketika tempat bernama lain Ayam Hutan masih dibalut kabut, di dalam sebuah kapela kecil di pinggir jalan lingkar luar kota Manufui, Tuan Van Wissing telah lebih dahulu menulis dalam buku catatan hariannya; tentang kelahiran anak lelaki pasangan Toas dan Atetus.

Pastor berkulit putih-tinggi besar berkabangsaan Belanda itu tidak hanya menulis tentang inkulturasi antara agama, kultur dan alam dalam upaya membimbing iman umat. Membaptis menjadi Katolik orang-orang dari hutan dan bukit yang tergolong masih kuat menyuruk pada dinding pohon tua, batu-batu dengan membentuk kepercayaan yang disebut  animisme dan dinamisme itu.

Tetapi jauh sebeleumnya, ia telah melingkari serumpun angka yang entah berapa, pada sebuah kertas semacam almanak yang digantung di samping lemari makan pastoran. Tidak sempat diberitahukan kepada siapapun tentang ilmu penanggalan itu, bahakan kepada guru-guru agama yang ia percayakan mengajar sembayang Ave Maria dan Pater Noster berkeliling kampung.

Tahun-tahun yang amat kuno, sejak kemerdekaan Indonesia baru berumur anak-anak. Mereka belum bisa menghitung. Begitu Tuan Wissing menyebut orang-orang kampung yang kurang pandai menulis dan hanya fasih bertutur juga menghafal sembayang dalam hampir segala bahasa, termasuk Belanda.

Dua hari lalu dalam perjalanan dari bukit Son Mahole, Uis Pater Wissing, demikian orang kampung menyebut pastor yang lolos dari kejaran tentara Jepang sejak berpindah kekuasaan itu, bertandang sebentar di rumah Temukung Atetus yang bernama baptis Martinus. Uis Pater menceritakan mimpi lepasnya ke telinga Martinus. 

“Tuan Martin, jangan lupa beri nama anak lelakimu, Yosef.” Tidak lupa ia menyuruh Theresia, untuk selalu berjaga dalam Ave Maria.

Kepala tua dengan kening kerutnya, tidak berhenti menyebut nama para santo atau orang kudus yang hidup pada abad-abad lalu. Pastor Wissing, setiap kali entah sedang berjalan atau duduk di kursi malas depan kapela, selalu bernyanyi untuk menghafal nama-nama santo dengan irama lagu Bapa Kami versi Latin.

Pastor misionaris dari Serikat Sabda Allah itu betapa mencintai alam dan mampu melihat kejadian magis di luar batas pemikiran manusia normal. Ia adalah seorang yang memperlakukan anjing-anjing peliharan layaknya manusia. Ia pula telah mengajari binatang itu manyalak siapun yang hendak bertamu ke pastoran tanpa menyebut nama baptis. Dari anak kecil bahkan orang tua sekalipun. Namun yang jelas, pastor itu membaptis putra Temukung Atetus tanpa sebuah tanggal pasti. Buku catatannya tidak ia perkenankan untuk dilihat siapapun. Hanya mungkin tahun yang mudah untuk mereka kenang.

***

Mengingat pesan Uis Pater Wissing, Atetus lantas menamai anaknya Yosef. Yosef kemudian tumbuh menjadi seorang bocah kampung yang sudah ditakdirkan untuk lahir seorang diri, tanpa kasih sayang  dan menjadi tiri di rumah sendiri sejak kepergian Toas ibunya, ketika usianya beranjak empat tahun. Sebelum melihat langit terkahir, Theresia Toas yang mesti mati untuk menuntaskan klimaks kutukan Atetus, berteriak ingin memeluk putranya. Tapi apa daya, hasratnya keburu terkubur liang kematian.

“Sekarang aku tidak hidup seorang diri. Tuhan telah menganugerahkan kepadaku seorang istri, dua putri dan empat putra untuk mendampingi.” Begitu kenang Yosef suatu ketika.

Tanggal enam belas April adalah tanggal yang tumbuh lewat mimpi untuk sebuah kenangan kelahiran. Ketika usianya mendekat kepala tiga, Yosef yang memakai nama nitu Afoan melepas masa bujang dengan menikahi Nona Siska. Putri sulung seorang guru Sekolah Menengah Pertama yang bijak dari Kota Maubesi. Dari pernikahan itu, mereka dianugerahi enam orang anak. Semua nama anaknya diambil dari nama-nama santo yang telah hidup di kepala tua sang pastor Wissing, sebagai nama ketika suatu kelak dipertemukan pada Tuhan di surga, sebagaimana pada kepercayaan yang mereka Imani. Iman Katolik!

Tidak lupa nama itu disematkan dengan nama kampung dari leluhur-nitu atau mereka yang telah meninggal, termasuk Toas dan Atetus sebagai jiwa yang bangkit dari tanah untuk memelihara setiap derap-derap langkah anak-anak keturunannya.

Bisa saja benar jika yang diramalakan tuan Wissing, akan tergenapi suatu ketika. Sejak dalam kandungan, buah hati pertama pasangan Yosef dan Siska telah dinazarkan agar menjadi pelayan Tuhan seperti Tuan Wissing; seorang imam Katolik. Ia yang telah dipersebahkan untuk menempuh jalan imamat adalah Marcelus.

Sepuluh tahun pernikahan mereka, Yosef dan Siska diangurehakan lagi seorang anak yang gagal menjadi bungsu tatkala rahim sang ibu masih sanggup untuk dua kelahiran berikutnya. Sepuluh April tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima merupakan tanggal lahir bagi dia yang kemudian menulis cerita ini untukmu. Ketika kota bernama Jurang Dalam masih jauh dari dunia kerlap kerlip seperti yang disaksikan saat ini. Ia dilahirkan pada suatu malam, dengan nyala lilin dan tanpa sepotong cahaya bolham dari energi listrik.

Dia kemudian dinamai dari moyang perempuannya, Elu. Yah. Maria Elu. Nama dari  seorang dukun beranak yang menyelamatkan Theresia putrinya dan cucunya Yosef dari kecaman kutukan mati para nitu, yang menghendaki kedua nyawa melayang sekaligus pada hari itu dengan berpuluh-puluh Salam Maria dan sembah pada leluhur. Nama Elu telah menuntun memelihara dia yang menulis ini untukmu, tumbuh besar.

***

Inilah yang harus kutulis untuk mengenang sebuah nama, ketika mimpi membawa jiwaku terbang dan mendapat penglihatan tentang arti dari nama-nama itu. Aku seperti disesap masuk pada sebuah halusinasi dan hadir menjumpai mereka yang telah meninggal pada dunia lain di dasar tanah. Dunia penantian bagi sebuah penghakiman terakhir sebelum menuju pintu surga.

Untuk itulah, kepadamu aku menulis bahwa hidup bukan hanya soal menghirup dan menghembuskan napas. Tetapi juga tentang menyematkan sebuah nama-kepercayaan kami yang telah terwariskan sejak berabad-abab. Selain nama Santo yang menjadi pedoman manusia untuk bertaqwa kepada Tuhan, nama-nama yang disemat dari para leluhur yang telah meninggal-pah nitu adalah nama dari mereka yang kelak menjadi pelindung dari dasar tanah pada setiap tapak-tapak langkah kaki.

Aku yang menulis ini percaya bahwa seutuhnya hidup manusia dijaring pada lingkaran tiga dimensi. Kepada Tuhan Sang Pencipta, yang mendiami surga-di Atas. Kepada leluhur yang masih hidup beratus-ratus tahun di dunia lain pada dasar tanah untuk sebuah waktu penghakiman terakhir, dan kepadamu-sesama untuk saling melengkapi. Dan nama adalah penghubung dari ketiga dimensi ini.

***

Elou..Elou....
Itu nama yang mengingatkanku pada waktu-waktu lalu, jauh ketika ban bekas dari motor milik bapak baru bisa aku tepuk untuk tiga sampai empat kali melangkah maju. Biasanya sepulang sekolah, sehabis melepas seragam, menepuk ban bekas adalah ceritaku. Kira-kira semeter keluar dari halaman, suara bapak keras memanggil.

“Elou...Elou... makan dulu!” Begitu terus menerus, hampir setiap hari. Nama itu seperti nyanyian di mulut bapak. Pun ketika aku akan berlari kencang sambil menahan celana yang hampir jatuh untuk menghindari rutinitas tidur siang-nama itu selalu mengejar, mengikuti. Memacu untuk berlari lebih cepat.

“Elu...Elu..” Nama itu yang mesti bapak sebut. Bukankah Begitu?

***

Belum usai, Oebobo, 2016.

Irenz E. Alupan, seniman asal Kefamnanu, Timor Tengah Utara. Penggiat film/ videografi, saat ini tengah membangun KitaKefa Media - KitaKefa TV.

Catatan:
Saya menulis hanya untuk sebuah nama dari sisilah keturuanan. Cerita ini sesungguhnya lahir dari fiksi dan realita-cerita bapak dan keluarga. Nama Elou adalah nama masa kecil saya. Nama dari Nenek dari bapak yang kemudian di sematkan untuk saya. Supun-Manufui (ibu kota kecamatan Biboki Selatan-TTU) Berjarak kurang lebih 45 Km dari kota Kefamenanu.

Related Posts:

Dialog HPI, Oknum Aparat Pemdes Oenbit Terlibat Palak, Salah Satu 'Korban' Pastor


Oenbit, LekoNTT.com - Himpunan Pelajar Insaka (HPI), Ekafalo, Insana, Timor Tengah Utara mengadakan dialog bersama Pemerintah Desa (Pemdes) Oenbit pada Senin (2/3/2020). Bertempat di Kantor Desa Oenbit, perwakilan HPI bersama Pemdes Oenbit membahas persoalan yang meresahkan masyarakat beberapa pekan lalu.

Dialog tersebut sebagai tindak lanjut atas surat Permohonan Dialog dengan nomor:  01/BPH/HPI/B-II/II/2020 tertanggal  28 Februari 2020. Dalam isi surat, HPI fokus membahas tindakan palak yang melibatkan sekelompok orang, salah satu di antaranya oknum Kepala Dusun, aparat Pemdes Oenbit. Palak dimaksud terjadi pada Rabu (19/2) di Jalan Trans Timor, Oenbit, kurang lebih 200 meter dari Kantor Desa Oenbit.


Sore sekitar pukul 14.50 Wita pada hari tersebut, pohon putih tumbang, melintangi 'badan' jalan raya, antrian kendaraan 'panjang', lalu lintas macet. Menyikapi kejadian itu, sekelompok orang yang adalah masyarakat Desa Oenbit memotong batang dan ranting-ranting pohon agar arus lalu lintas kembali normal.

Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk 'meminta' sumbangan berupa uang kepada para pengguna jalan raya, terutama yang sedang berkendaraan. Aksi tersebut berlangsung hingga malam hari sekitar pukul 22.00 Wita. Itu pun setelah ditegur oleh seorang 'korban' yang adalah Pastor Keuskupan Atambua, Romo Mundus Sako, Pr, Deken Dekenat Malaka.

Romo Mundus kesal dan sempat menegur secara tegas karena aksi para pelaku terkesan memaksa, sebab sudah terpengaruh minuman beralkohol. Aksi tersebut kemudian diketahui pihak Kepolisian Sektor Insana, para Pastor dan umat Paroki Kiupukan, Pemdes dan masyarakat Oenbit.

Kabar terkait aksi palak di Oenbit kemudian menyebar hingga jadi perbincangan di kalangan mahasiswa Universitas Timor (Unimor), Kefamenanu. Beberapa mahasiswa asal Oenbit yang sementara kuliah di Unimor pun jadi pusat perhatian. Akibat lebih jauh, HPI yang adalah pelajar asal Insaka, Ekafalo turut 'menanggung' beban sosial. Beban itulah yang menghendaki HPI membangun dialog bersama Pemdes Oenbit.

Sesarius Ryadi Natun, Ketua HPI, kepada LekoNTT.com mengatakan, ia bersama anggotanya menjadi 'bahan' pembicaraan di kampus akibat aksi palak tersebut. "Kami (HPI) selalu jadi sorotan teman-teman mahasiswa di sana (Unimor). Dong bilang, kamu punya desa biasa bikin begitu ka? Kami jadi beban batin. Lagian pelaku bukan kami, tapi sebagai anak asli Oenbit, kami juga punya tanggung jawab, makanya kami bersurat," ungkap Sesarius, mahasiswa Jurusan Biologi, Unimor.

Ia juga menuturkan, salah satu tujuan dari dialog bersama Pemdes adalah pemulihan nama baik Oenbit. Menurutnya, aksi demikian bukan tipe orang-orang Oenbit. Tetapi aksi para pelaku telah membuat 'cacat' nama dan masyarakat Desa Oenbit.


HPI melalui Sesarius menilai, Pemdes Oenbit telah gagal membina masyarakat, secara khusus oknum Kepala Dusun, aparat pemerintah setempat. Selain itu, Pemdes Oenbit belum punya kesadaran atau lamban untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. "Sebagai pemerintah kan seharusnya beri teladan yang baik. Bagaimana masyarakat mau bertindak baik kalau oknum pemerintah saja sudah buat begitu," ungkap Seserius.

HPI berharap, para pelaku segera dibina dan sosialisasi dari Pemdes ke masyarakat perlu dilakukan secara rutin agar tidak terjadi lagi aksi semacam itu. Permintaan maaf kepada para korban, dalam hal ini Romo Mundus sebagai sosok yang dikenal masyarakat dan umat setempat perlu dilakukan.

Menanggapi dialog tersebut, Pemdes Oenbit menyanggupi permintaan HPI. Dalam rencana, binaan kepada para pelaku akan dijalankan dan dalam waktu dekat Pemdes akan memfasilitasi para pelaku untuk menyampaikan permohonan maaf.

"Sebagai pimpinan wilayah pasti saya tanggung jawab dengan segala aktivitas yang merugikan," ungkap Marselus Taoe, Kepala Desa Oenbit (Dok. dialog HPI). Ia pun mengungkapkan, palak yang terjadi di wilayahnya adalah tindakan ilegal dan memalukan.  'Minta uang' di jalan umum dalam aksi palak, dilarang.

"Saya lebih disorot. Banyak kalangan, pihak Gereja, Pastor Paroki, orang tua di kampung, tanya saya soal aksi memalukan itu".

Pemdes Oenbit telah mengantongi 19 nama pelaku, termasuk oknum aparat desa. Pemdes dalam rencana akan memanggil para pelaku untuk dibina. Selain itu bekerjasama dengan pejabat Gereja Paroki Kiupukan untuk memfasilitasi para pelaku menyampaikan permintaan maaf kepada Romo Mundus, salah satu korban palak. "Secepatnya, di bawah tanggal 10 Maret, pasti kami sudah ke Betun (tempat tugas Romo Mundus, red), dan itu pasti".

Marselus juga menegaskan kalau tidak akan terjadi aksi yang sama di wilayah Desa Oenbit. Pemdes akan menindak tegas para pelaku palak. "Selagi saya masih jadi pemimpin, saya tidak mau kejadian ini terjadi lagi untuk kedua kalinya. Saya jamin. Kalau ada aparatur yang berbuat di luar konteks saya, berarti dia keluar dari sini (Struktur Pemdes Oenbit, red), karena itu memang memalukan".

Sedangkan Romo Mundus, ketika dihubungi redaksi melalui nomor kontak pribadi, hingga saat ini belum mengkonfirmasi ataupun memberi tanggapan media. (red)

Foto: HPI

Related Posts:

Ledalero | Cerpen Hans Hayon


Jika memiliki anugerah untuk memahami, bahkan merekayasa masa depan, mungkin Barek tidak akan pernah mendukung keinginan anaknya menjadi seorang pastor. Namun apa boleh buat, kuasa gaib bukit Ledalero berhasil membuat hatinya gentar.


Bukit kecil menyerupai gundukan tanah itu tidak terlalu besar. Butuh waktu hanya sekitar tiga puluh menit untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Luasnya, jika dibandingkan, empat kali ukuran normal lapangan bola kaki. Namun, dengan ukuran yang nyaris tidak seberapa itu, nama mitis Ledalero berhasil menyedot perhatian banyak orang dari berbagai kampung. Mendengar namanaya saja, membuat bulu kuduk berdiri. Banyak orang telah hilang di sana.

Warga kampung Nita percaya bahwa bukit itu dihuni oleh puluhan, bahkan ratusan makhluk gaib. Tidak sedikit dari antara mereka yang karena lengah diculik oleh makhluk gaib tersebut. Karena keangkeran dan kengerian yang sedemikian hebat, warga menyebut bukit itu dengan nama Ledalero (dalam bahasa Sikka, Leda berarti tempat sandar dan lero berarti matahari) yang artinya tempat sandar matahari.

Menjelang sore hari, sebelum warga kampung Nita mendekam di dalam rumahnya masing-masing, dan matahari tepat bertengger di puncak bukit, terdengar isak tangis menguar dari dalam lebatnya pepohonan. Bersamaan dengan lenyapnya matahari dan datangnya kegelapan, rintihan itu semakin menjadi-jadi. Begitu memilukan. Seperti erangan seorang perempuan hamil ketika melahirkan anak pertamanya.

Warga Nita tahu. Bukit tidak pernah menangis. Itu tangisan anggota keluarga mereka yang telah hilang. Memang, banyak orang pernah tersesat di sana. Beberapa orang secara sadar ingin ke sana namun pada akhirnya tidak pulang-pulang. Sementara itu, beberapa yang lain, awalnya sekadar ingin lewat tetapi akhirnya mati kebingungan karena tidak menemukan jalan keluar.

Berita tentang kehilangan orang dalam jumlah yang besar itu membuat para pemuka adat, kepala suku, dan tokoh masyarakat menjadi begitu panik. Mereka khawatir mengenai jumlah warga yang mulai berkurang. Pengalaman kehilangan itu membuat mereka memikirkan kembali tentang tidak cukupnya jumlah petani di kebun, nelayan di laut, pegawai, dan prajurit perang. Apalagi, yang paling banyak hilang adalah para pemuda dan membuat mereka cemas jika pihaknya akan kalah dalam pertempuran melawan tentara Belanda.

Akhirnya, mereka berunding. Lalu dibuatlah aturan agar jangan sampai ada warga yang lewat lagi di sana. Semua warga diberi pekerjaan macam-macam agar mereka sibuk. Dengan sibuk bekerja, tidak ada lagi orang yang memasuki kawasan itu bahkan sejak dalam pikiran.

Sialnya, selalu saja ada warga yang bertindak ceroboh, terutama anak-anak. Parahnya, kehilangan ini bukan lagi terbatas pada warga kampung terdekat, melainkan menjangkau kampung terjauh bahkan warga dari pulau-pulau seberang. Hingga pada suatu hari, terjadilah musibah lain: sebelas anak menghilang dalam sehari.

Dan dari segala penjuru kampung, terdengar ratapan para ibu dan gerutuan para ayah. Mereka melumuri muka dengan debu tanah sambil menepuk dada, menyesal sekaligus dendam karena kehilangan penerus suku.

Namun apa hendak dikata. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun sudah melakukan ritual adat seperti memberikan sesajian diantaranya dengan menyembelih bermacam-macam hewan kurban, namun anak-anak mereka tak juga kunjung pulang. Lalu dibuatlah aturan yang semakin ketat. Pos ronda diaktifkan dan jam malam bagi warga diberlakukan. Tidak ada warga yang keluar rumah di atas pukul 20.00 WITA. Suasana menjadi begitu sepi dan angker.

Sebelum kampung-kampung di sekitar Ledalero kehabisan warga, datanglah seseorang mengunjungi salah satu kampung terdekat. Ia perkenalkan dirinya sebagai seorang pastor sekaligus arsitek. Bersamanya, beberapa orang tentara Belanda. Ia menyampaikan niatnya untuk mendirikan sebuah rumah ibadah di tempat tersebut. Apakah ini berita gembira ataukah bukan, warga antusias dengan rencana tersebut.

Tanpa berpikir panjang, para ketua kampung langsung bersepakat dan menyetujui usulan pastor tua itu. Mereka tahu, melawan hal gaib dengan tindakan bodoh seperti mendirikan rumah ibadah di tempat tersebut sama sekali tidak masuk akal, bahkan itu tindakan bunuh diri. Meskipun demikian, mereka tidak peduli.

Di luar dugaan, pastor itu berhasil mendirikan rumah ibadah di sana. Entah bagaimana caranya, ia juga mendirikan bangunan lain yang kemudian digunakan sebagai tempat pendidikan calon pastor. Bukan main rasa herannya warga. Dengan dibukanya tempat pendidikan di sana, perlahan orang mulai terbiasa melewati bahkan mengunjungi bukit yang dahulunya terkenal angker itu.

Entah bagaimana, ada begitu banyak pemuda mendaftar sekolah di sana. Setelah tinggal beberapa tahun di tempat itu, mereka lalu dikirim ke berbagai daerah. Apa nama daerahnya, warga sama sekali tidak tahu.

Hingga pada suatu hari, dari dalam sebuah kamar di kampung Ledalero, terdengar tangisan seorang ibu. Ia terkenang akan putera tunggalnya yang baru saja ditahbiskan menjadi pastor empat bulan yang lalu. Di tangan perempuan itu, selambar potret puteranya dan secarik kertas berisi telegram dari Rusia. Jangankan lokasi negara, nama Rusia saja baru ia dengar.

Semua orang kampung Ledalero tahu. Mereka kehilangan seorang pastor yang tewas ditembak ketika sedang memimpin Ekaristi. Meskipun demikian, tidak semua orang sangggup mengerti. Rasa sakit menjadi seorang ibu yang kehilangan putera tunggalnya.

Yogyakarta, 11 Juni 2019

*Hans Hayon, salah satu penulis muda dari Flores Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya berjudul Tuhan Mati di Biara (Ende: Nusa Indah, 2016) dan buku kumpulan esai Mencari yang Pintang, Menegakkan yang Terguncang (Yogyakarta: Rua Aksara, 2019).
Ilustrasi: kr.n/ dioaleksa

Related Posts: