Kupang, LekoNTT.com - Tim Kuasa Hukum Masyarakat Pubabu, Besipae, Timor Tengah Selatan mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepada masyarakat Pubabu. Kecaman itu dilayangkan kepada Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi NTT pada Rabu (14/10/2020) melalui surat bernomor: 03/THPB/X/2020.
Surat itu dikirim sebagai akibat dari peristiwa (14/10) dimana masyarakat mengalami tindakan represif dari oknum aparat maupun dari pihak Pemprov NTT. Pada pukul 11.48 WITA, rombongan Pemprov NTT bersama unsur TNI dan POLRI, masing-masing delapan dan tiga orang serta beberapa masyarakat luar, jumlahnya kurang lebih 200 orang.
Tujuan kedatangan rombongan Pemprov NTT hendak melakukan penghijauan dengan menanam lamtoro di lahan yang masih bermasalah. Kehadiran rombongan mendapat penolakan dari masyarakat Pubabu-Besipae. Alasannya, masalah hutan adat Pubabu dan tanah adat Pubabu-Besipae belum ada penyelesaian dan masih dalam suasana pandemi Covid-19.
Pada pukul 13.00 WITA, terjadi keributan antara masyarakat Pubabu-Besipae dan rombongan
Pemprov BTT. Tindakan represif dilakukan kepada warga Pubabu-Besipae, persis di hadapan anak-anak dan perempuan.
Beberapa korban kekerasan dari insiden tersebut antara lain:
Pertama, Debora Nomleni, perempuan berusia 19 tahun, tangan di putar hingga keseleo.
Kedua, Demaris Tefa, perempuan berusia 48 tahun. Ia dicekik, dibanting, lehernya terluka dan pingsan.
Ketiga, Garsi Tanu, laki-laki berusia 10 tahun, tubuhnya ditarik-tarik.
Keempat, Novi Tamonob, perempuan berusia 15 tahun, dibanting, ditendang, badannya penuh lumpur.
Kelima, Marni Taseseb, perempuan berusia 28 tahun, didorong hingga tubuhnya terpelanting ke tanah.
Sebelumnya pada tanggal 16 September 2020, Wakil Rektor II Universitas Nusa Cendana (Undana) bersama rombongan menuju lokasi Pubabu-Besipae. Mereka membersihkan lokasi untuk persiapan kedatangan Gubernur NTT dan rombongan tapi mendapat penolakan dari warga Besipae. Selanjutnya pada tanggal 25 September 2020, Rektor Undana mendatangi lokasi tersebut untuk memastikan pembersihan lokasi dan mendapat penolakan dari masyarakat adat Pubabu-Besipae.
"Surat kami yang terkami terdahulu, meminta penjelasan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai Nomor: 00001 tertanggal 29 Januari 1986 dengan Surat Ukur Nomor: 00001/Mio/1983 yang diduplikat pada tanggal 19 Maret 2013," ungkap Akhmad Bumi, Ketua Tim Hukum Masyarakat Pubabu-Besipae sebagaimana dalam surat tersebut.
Akhmad pun menjelaskan kalau dalam Sertifikat Hak Pakai, tertulis letak obyek tanah berada di Desa Mio, Kecamatan Amanuban Tengah. Padahal Kecamatan Amanuban Tengah berada di Niki-Niki, bukan di lokasi obyek tanah adat Pubabu-Besipae.
"Dalam Sertifikat Hak Pakai tertulis letak obyek tanah hanya berada di desa Mio, tidak mencakup desa Linamnutu, Pollo, Eno Neten dan lain-lain. Sedangkan lahan yang digarap dalam proyek investasi kelor bukan hanya terdapat di Desa Mio, tapi juga desa-desa lain termasuk 29 rumah warga yang dibongkar yang letak lokasinya berada di Desa Linamnutu."
Menurut Akhmad, peta bidang (data fisik) yang terdapat dalam Sertifikat Hak Pakai tidak sesuai dengan data yuridis yang tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai. Sebab dalam Sertifikat Hak Pakai, tertulis pendaftaran tanah tanggal 01 Maret 2013 dengan Nomor: 88/7.53.02.300/III/2013, sedangkan Sertifikat Hak Pakai diterbitkan pada tanggal 29 Januari 1986 (baca warkah Nomor; 566/1986).
"Dalam Sertifikat Hak Pakai tidak dicantumkan asal hak berupa konversi atau pemberian hak atau pemecahan/pemisahan/penggabungan bidang, dan lain-lain." Sampai hari ini Pemprov NTT belum memberi penjelasan sesuai permintaan Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai, kesalahan data fisik dan data yuridis dalam sertifikat tersebut.
Merujuk surat KOMNAS HAM Nomor: 873/K/PMT/IV/2011 tanggal 06 April 2011, berisikan beberapa poin sebagai berikut:
Pertama, menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi
sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut.
Kedua, menjaga agar kawasan hutan tetap lestari.
Ketiga, menghentikan untuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Propinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada penyelesaian.
Keempat, bahwa Komnas HAM akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan pemantauan ke lokasi dan atau melakukan upaya mediasi para pihak.
Selain itu, adapun surat KOMNAS HAM dengan nomor: 2.720/K/PMT/XI/2012 tanggal 9 November 2012. Isinya sebagai berikut:
Pertama, mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Propinsi NTT yang telah berakhir pada tahun 2000 kepada masyarakat untuk dikelola demi menghidupi keluarganya.
Kedua, mengevaluasi UPTD Propinsi NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan masyarakat, dimana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan masyarakat tetapi justru membebani masyarakat.
Selanjutnya sebagaimana rekomendasi KOMNAS HAM Nomor: 1.055/R-PMT/IX/2020 tanggal 3 September 2020 kepada Gubernur NTT. Bahwa adanya kontinuitas kegiatan pertanian, perkebunan dan peternakan di lokasi hak pakai setelah terdapat kejelasan status terkait konflik lahan Pubabu-Besipae (vide huruf j).
Di satu sisi, belum ada penjelasan dan penyelesaian masalah tanah adat Pubabu Besipae tersebut, "maka telah kami sampaikan kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur melalui surat terdahulu agar tidak menggunakan tanah adat Pubabu-Besipae sampai adanya penyelesaian konflik lahan/ tanah atau sampai adanya kejelasan status hak atas tanah tersebut."
Tim Kuasa Hukum pun meminta agar tanah adat tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat Pubabu-Besipae, selanjutnya melakukan pendataan dan pemetaan ulang dengan
mengedepankan opsi-opsi yang disepakati secara musyawarah-mufakat bersama masyarakat adat Pubabu-Besipae. Selain itu menjaga situasi yang kondusif, memenuhi dan menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat Pubabu-Besipae dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia.
Atas kejadian pada Rabu, 14 Oktober 2020, Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, mengecam tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat Pubabu Besipae oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kedua, mendesak DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur untuk meminta penjelasan resmi Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur atas tanah masyarakat adat Pubabu-Besipae.
Ketiga, menghentikan segala aktivitas diatas tanah adat Pubabu-Besipae sebelum adanya penyelesaian masalah tanah tersebut.
Keempat, mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat adat Pubabu-Besipae.
Kelima, semua pihak perlu menahan diri dan menjaga situasi yang kondusif.
Tindakan oknum aparat pun mendapat kecaman dari WALHI NTT. "Pemprov NTT seharusnya menindaklanjuti rekomendasi KOMNAS HAM terkait dengan penyelesaian konflik sengketa lahan," kata Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT.
Menurut Umbu Wulang, Pemprov NTT seharusnya menggunakan pendekatan dialog untuk menyelesaikan masalah pubabu. Ia pun menegaskan, WALHI NTT akan menyurati Gubernur NTT untuk menghentikan aktivitas di lapangan dan melakukan dialog dengan warga.
"Gubernur NTT harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. WALHI NTT menyatakan tidak percaya dengan kinerja penyelesaian masalah yang dilakukan oleh aparat Pemprov yang menangani permasalahan di Pubabu karena lebih banyak praktek-praktek kekerasan yang dilakukan."
Umbu Wulang pun meminta agar aparat kepolisian segera melakukan proses hukum kepada pihak yang melakukan kekerasan terhadap warga. Di lain pihak, Pemprov NTT melalui Plt. Badan Pendapatan dan Aset Daerah Welly Rohi Mone terkait video yang beredar di medsos.
“Anak buah saya yang justru jadi korban hingga kepala benjol,” kata Welly pada Rabu (14/10) seperti dilansir media online NTT Terkini.
Di pernyataan lain pada media pemberitaan yang sama, Welly mengatakan pihaknya memang datang untuk persiapan lahan, karena dekat musim penghujan. "Kami juga tidak usik warga setempat yang bolak-balik di depan kami.” Welly pun menuturkan kalau masyarakat melalui video tersebut seperti sinetron saja yang mau kejar tayang. (red)
Baca juga artikel lainnya tentang KONFLIK PUBABU
Related Posts: