LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Mei 2019

Budaya Tuli

Oleh: Benjamin Bahan dan Elizabeth Parish dalam Gary L, Albrecht (General Editor). Encyclopedia of Disability. London: SAGE Publications, 2006, halaman 349-352
Terjemahan Indonesia: Ifana Tungga *

Ilustrasi: Nancy Rorke (Seniman Tuli)

Mendefinisikan Budaya
Budaya mungkin adalah salah satu gagasan yang paling sulit untuk dipahami sepanjang sejarah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Raymond Williams, budaya adalah
“salah satu dari dua atau tiga kata paling sulit di dalam bahasa Inggris. Hal ini sebagian dikarenakan sejarah perkembangan kata ini dalam beberapa bahasa Eropa, tetapi terutama karena kata ini digunakan untuk konsep penting dalam beberapa disiplin intelektual yang berbeda, dan beberapa sistem pemikiran lainnya yang tidak cocok.” (sebagaimana dikutip dari Ladd 2003:197)
Telah ada banyak usaha untuk mendefinisikan konsep ini, dan tak ada satu pun definisi yang sama. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendefinisikan kembali gagasan mengenai budaya yang rumit. Sebaliknya, tulisan ini bermaksud membangun di atas sudut pandang yang sudah ada mengenai budaya sebagai “cara hidup” sekelompok orang, yang melibatkan “praktek kebudayaan” yang berfungsi untuk menandakan, atau untuk “memproduksi makna,” di mana di dalamnya termasuk praktek di Amerika Serikat seperti musik pop, opera sabun, dan komik (Storey 1998:2). Atau dengan kata lain, “sekelompok mekanisme kontrol – rencana, tata cara, aturan, instruksi… untuk pengaturan perilaku” (Geertz 1973: 44). Dengan demikian “berdasarkan definisinya, budaya adalah sistem yang sangat spesifik yang menjelaskan berbagai hal maupun mengharuskan bagaimana hal-hal ini harus dikenal” (Padden dan Humphries 1988:24).

Budaya Tuli
Bagaimanapun kita mendekati budaya tuli, budaya ini menunjukkan hubungan dengan sekelompok khusus orang dengan cara hidup, perilaku, cara berinteraksi, sistem kepercayaan, dan sistem pengetahuan serta proses belajar mereka.

Cara Visual dalam Ber-ada: Linguistik
Di Amerika Serikat, dan di dunia secara umum, budaya mayoritas (budaya dengar) memfokuskan keadaan tuli sebagai sebuah masalah kehilangan pendengaran, menekankan gagasan bahwa orang tuli adalah orang yang kekurangan sesuatu. Tetapi, bagi anggota budaya Tuli, mendengar bukanlah hal utama, mereka juga tidak melihat diri mereka kehilangan salah satu faktor identitas. Orang tuli memiliki sistem nilai yang menyingkapkan fondasi yang berbeda – bukan sebuah nilai yang didengar, tetapi sebuah nilai yang dilihat. Edward Hall (1982) menujukkan bahwa “orang-orang dari budaya berbeda tidak hanya berbicara bahasa yang berbeda, tetapi mungkin yang lebih penting adalah, mewarisi dunia sensorik yang berbeda” (hal. 2). Sebagaimana yang disampaikan oleh George Veditz (1912), seorang pemimpin tuli di awal abad keduapuluh, orang-orang tuli “sejak awal, akhir, dan bahkan sepanjang waktu, adalah orang-orang mata” (hal. 30) Cara visual dalam ber-ada bagi orang-orang tuli melekat dan ada dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Fondasi keber-ada-an ini adalah sistem komunikasi visual mereka. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bahan (2004), “Orang-orang tuli, ber-ada di dalam varietas manusia, yang menolak untuk direduksi dalam hal status mereka, menemukan cara untuk berkomunikasi secara visual dan mengembangkan bahasa visual. Ini adalah esensi dari keber-ada-an mereka. Semua hal lain dikonstruksikan di sekitar hal ini, disalurkan melalui dan oleh penglihatan” (hal. 3).
Keberadaan dan penggunaan sistem komunikasi visual gestural oleh orang-orang tuli telah terdokumentasikan sejak zaman Yunani kuno. Dalam Cratylus, Socrates memberikan sebuah pertanyaan pada Hermogenes, “Jika kita tidak memiliki suara atau telinga, dan ingin berbicara satu sama lain, bukankah kita, seperti orang tuli dan bisu, membuat isyarat-isyarat dengan tangan dan kepala dan seluruh tubuh kita?” (Plato 1961:457).
Berdasarkan penelitian, seorang anak tuli yang lahir dimanapun di dunia ini, ketika dia bertumbuh akan mengembangkan isyarat-isyarat rumahan dengan maksud mengekspresikan dirinya, baik jika dia dikelilingi bahasa visual ataupun terisolasi dari komunikasi reguler diantara mereka yang mendengar dan berbicara. Perkembangan ini menunjukkan proses penerimaan bahasa natural. Hal ini adalah cara ber-ada dari orang-orang tuli, tanpa perlu ada intervensi dari masyarakat (Lih. Lane, Hoffmeister, dan Bahan 1996; Goldin-Meadow 1985, 2003). Ketika sekolah-sekolah Tuli dibangun, orang-orang tuli yang berbeda dengan isyarat-isyarat rumahan berbeda dikumpulkan. Hal ini mengizinkan mereka untuk memunculkan dan mengembangkan isyarat-isyarat tersebut ke dalam sistem linguistik yang utuh. Beragam bahasa isyarat di dunia, seperti French Sign Language dan Nicaraguan Sign Language, lahir dari situasi seperti ini (lihat beragam esai di dalam Lane 1984; Social, Behavioral and Economic Sciences 2004). Dalam menggunakan bahasa isyarat, bahasa bukan saja diproduksi oleh tangan dan dipahami dengan mata yang menujukkan kekuatan visual yang utama dari orang-orang tuli. Bahan menjelaskan, “Pengguna bahasa isyarat menunjukkan beragam ciri kinestetik yang digambarkan secara visual: tubuh, kepala, tangan, lengan, ekspresi wajah, dan ruang fisik yang mengelilingi pengguna bahasa isyarat dan matanya” (hal. 4). Seiring berjalannya waktu, mereka juga mengembangkan beragam adaptasi untuk penglihatan dan visualitas, dan diantaranya kita melihat peningkatan sakkadik (pergerakan mata yang cepat) dan gerakan kepala, peningkatan penglihatan di sekelilingnya, penggunaan berlapis-lapis dari pandangan mata untuk memberikan dan menerima fungsi komunikatif dan linguistik (untuk informasi lebih lanjut, lihat Bahan 2004).
Di Amerika Serikat dan Kanada, American Sign Language (ASL) adalah contoh lain dari bahasa isyarat yang berakar dalam komunikasi visual gestural, seperti disebutkan di atas, yang berkembang ketika orang-orang tuli dikumpulkan di sekolah tuli pertama di Amerika Serikat beberapa saat setelah permulaan abad kesembulan belas. ASL saat ini adalah sebuah bahasa yang “memiliki tata bahasa, dengan aturan kata dan formasi kalimat” (Lane et al. 1996:43) dan adalah “sebuah simbol identitas sosial, sebuah medium interaksi sosial, dan sebuah gudang pengetahuan budaya” bagi Dunia-Tuli (Lane et al, 1996:67).

Cara Visual dalam Ber-ada: Cara Hidup
            Esensi visual dari orang tuli tidak hanya dilihat dalam keberadaan bahasa isyarat. Penelitian menunjukkan bahwa, “diantara orang-orang tuli yang menggunakan bahasa isyarat, peran penglihatan dan penggunaan mata meluas secara eksponensial” (Bahan 2004). Dengan demikian, cara visual dalam ber-ada yang baru saja didiskusikan “dibawa ke dalam kehidupan kultural, nilai-nilai, kesadaran, ruang sosial, dan literatur para pengguna bahasa isyarat” (Bahan: 2004). Hal ini dikarenakan fakta bahwa saat bahasa berkembang dalam kompleksitas, aturan mengenai keterlibatan di dalamnya secara natural mulai terbentuk. Dengan kata lain, standar mengenai bagaimana bahasa digunakan dan pembatasan sosio-kultural untuk penggunaan bahasa dikembangkan ketika bahasa itu menjadi lebih dan lebih berbelit-belit.
            Dari aturan budaya keterlibatan ini, sistem nilai dan perilaku mulai muncul seiring berjalannya waktu. Dengan demikian, misalnya di dalam budaya Tuli Amerika, banyak nilai-nilai yang diekspresikan berhubungan secara langsung dengan gagasan mengenai Tuli yang memiliki orientasi visual. Dalam sebuah teks terkenal mengenai studi tuli, A Journey into the DEAF-WORLD, penulis menyatakan bahwa nilai-nilai dari budaya Tuli “disimpan di dalam bahasa isyarat, untuk diteruskan dari generasi ke generasi” (Lane et al. 1996:70). Dengan demikian, masing-masing nilai berkaitan secara langsung dengan bahasa visual yang digunakan untuk menyampaikan nilai ini. Nilai-nilai dari budaya Tuli Amerika termasuk identitas keberadaan, pemikiran, dan perilaku seperti seorang tuli ketika berada dengan orang tuli lainnya. Orang tuli juga menghargai bahasa isyarat mereka dan memiliki kecenderungan untuk membuat keputusan secara berkelompok, timbal-balik, dan hubungan mutual sebagai bagian penting dari bagaimana mereka mempercayai mereka harus berinteraksi satu dengan yang lain. Sebagai bagian dari nilai budaya timbal-balik, kita dapat menemukan orang tuli berbagi beragam strategi adaptif untuk menjadi seorang visual di dunia yang dominan dengan audio melalui narasi pengalaman pribadi. Contoh dari strategi adaptif seperti ini adalah bagaimana untuk menyadari cara suara memantulkan tanda-tanda visual, dan seterusnya (Bahan, akan terbit, 2004). Budaya Tuli juga menghargai informalitas dan kontak fisik, bersama dengan promosi kesatuan diantara anggota komunitas ini.

Cara Visual dalam Ber-ada: Ekspresi dan Tempat Budaya Tuli
Bagian sebelumnya berefleksi mengenai gagasan bahwa budaya itu sendiri dapat dipahami sebagai sebuah sistem adaptasi dimana orang-orang “menghubungkan komunitas mereka dengan seting ekologis” (Keesing 1974:74 sebagaimana dikutip di dalam Ladd 2003:201), dan mereka melakukannya untuk bertahan (Meggers 1971:4 sebagaimana dikutip di dalam Ladd 2003:202). Ini menuntun kita meneliti beragam lingkungan, tempat, dan situs dimana cara budaya visual ini diekspresikan.
Ada beragam organisasi yang dijalankan oleh dan untuk orang tuli di level lokal, kota, regional, nasional, dan internasional. Organisasi-organisasi ini, termasuk asosiasi dan institusi atletik, sosial, keagamaan, pendidikan dan politik, memiliki beragam tujuan dan peran dalam kehidupan orang-orang tuli. Beberapa contoh di Amerika Serikat adalah klub Tuli lokal, sekolah residensi Tuli, asosiasi orang Tuli, USA Deaf Sports Federation (USADSF), National Congress of Jewish Deaf, National Association of the Deaf (NAD), dan World Federation of the Deaf (WFD) (untuk informasi lebih lanjut, lihat Lane et al. 1996:131-138).
Orang tuli yang bertumbuh di sekolah residensial seringkali melihat sekolah sebagai rumah mereka dan melihat teman kelas, kawan sebaya, dan mentor tuli sebagai “keluarga” besar mereka. Dengan demikian, sekolah Tuli lebih dari sekedar tempat pendidikan. Sekolah ini seringkali menjadi tempat pertama orang tuli menjadi bagian dari dunia visual dan sebuah tempat dimana mereka mulai mempelajari bahasa isyarat. Sebuah rasa kekudusan biasanya melekat pada tempat ini. Banyak orang tuli kembali setiap tahun untuk reuni, bermain sepak bola, dan acara khusus lainnya. Banyak orang tuli setelah lulus akan tinggal di tempat dekat sekolah dimana mereka bertumbuh, mempertahankan hubungan dekat dengan sekolah mereka (Lane et al. 1996:70-71).
Sebagaimana yang ada dalam semua budaya, Dunia-Tuli juga memasukkan dan menghargai cara artistik dalam ekspresi mereka. Di tempat-tempat komunitas ini, kita dapat menemukan kekayaan sejarah literatur ASL. Literatur ASL memasukkan beragam genre, termasuk cerita, puisi, cerita rakyat, legenda, anekdot, alegori. Di dalam Dunia-Tuli, ada pencerita, penyair, dan komedian yang dikenal karena kemampuan mereka. Mereka dipanggil untuk tampil di berbagai tempat. Banyak pekerja seni tuli berkeliling dunia menghibur dan menginspirasi penonton tuli maupun dengar, sekaligus menyebarkan budaya, bahasa, dan sejarah Tuli melalui cerita dan puisi mereka.
Tempat lain dimana budaya visual dari orang tuli, bersama dengan sejarah dan bahasa mereka dikembangkan adalah melalui teater tuli. “Penampilan pertama dari aktor tuli menyangkut tema Duna-Tuli di Amerika Serikat mungkin berasal dari pertengahan abad kesembilan belas di sekolah residensi, dimana pertunjukkannya berkisar antara kehidupan sekolah Tuli, sejarah Tuli, dan situasi keluarga Tuli” (Lane et al. 1996:145). Pada tahun 1940an, Universitas Gallaudet mulai menyediakan kelas drama formal, dan aktor-aktor tuli menemukan National Theatre of the Deaf (NTD) pada tahun 1967. Setelah hadir hampir 40 tahun, NTD telah melakukan lebih dari “lima puluh musim tur dan dua puluh delapan tur luar negeri, dan lebih daripada 6.000 penampilan dari lima puluh produksi dan menerima beragam penghargaan untuk karya mereka” (Lane et al. 1996 145-147; Peters 2000). Salah satu dari penampilan mereka yang paling terkenal memiliki dampak yang sangat besar pada persepsi mengenai ASL dan budaya Tuli. Penampilan ini berjudul My Third Eye, terdiri dari lima bagian menyangkut ASL dan orang tuli. Baik NTD dan teater tuli lainnya memiliki dampak besar bagi orang tuli tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia (Lane et al. 1996 145-147; Peters 2000).
Akhirnya, salah satu cara mengekspresikan budaya visual Tuli ditemukan dalam seni tuli yang memiliki beragam tema tuli, seperti kebanggaan dan keindahan identitas tuli, ekspresi frustasi atau kemaharan berkaitan dengan penindasan yang mereka alami seumur hidup, dan gambaran visual yang menunjukkan pengalaman tuli di dunia dengar. Pada tahun 1989, selama Deaf Way International Conference di Washington, D.C., sembilan pekerja seni tuli berkumpul dan membuat sebuah manifesto menyangkut seni tuli, menamakan bentuk seni ini De’VIA (Deaf View/Image Art), “berarti sesuatu yang ‘menggunakan elemen seni formal dengan maksud untuk mengekspresikan pengalaman budaya atau fisikal Tuli.’ Manifesto ini menjelaskan bahwa De’VIA seringkali berfokus pada tangan dan wajah” (Lane et al. 1996:140). Seni tuli dapat dilihat di banyak tempat, koleksinya yang besar disimpan di Universitas Gallaudet dan ditunjukkan di beragam lokasi di sepanjang kampus (untuk informasi lebih lanjut, lihat Sonnenstrahl 2002; www.deafart.org). Seni tuli mengizinkan pekerja seni tuli untuk mengekspresikan siapa mereka, juga sekaligus menunjukkan secara visual bahasa, budaya dan pengalaman mereka. Dalam melakukan hal ini, orang tuli lainnya menemukan sesuatu yang berkaitan dengan mereka, yang dapat menginspirasi mereka, dan menemukan sebuah bentuk seni yang merefleksikan kehidupan mereka.
Contoh-contoh ini memberikan gambaran umum mengenai cara budaya Tuli sebagai sebuah budaya visual diekspresikan. Gambaran-gambaran ini memberikan kepada kita contoh dari apa yang disebut oleh Padden dan Humphries sebagai pusat Tuli, mengacu pada sudut pandang yang berpusat pada-Tuli dan bukan berpusat pada-dengar, “dimana TULI, dan bukan DENGAR, dilihat sebagai poin inti untuk referensi” (hal. 41). Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang pemimpin komunitas tuli,
Ketika saya melihat ke belakang, saya tidak bisa tidak memikirkan berbagai kemungkinan “bagaimana jika.” Karena membutuhkan waktu yang begitu lama untuk mengakui peran penglihatan dan bahasa isyarat dalam kehidupa orang Tuli. Banyak generasi pengguna bahasa isyarat telah dibelenggu dalam sebuah masyarakat yang dimabukkan oleh ideologi bahwa berbicara adalah bahasa dan begitupun sebaliknya. Adalah hal yang luar biasa bahwa dengan semua penyimpangan ini, orang tuli telah berkembang menjadi salah satu kelompok paling visual dari orang-orang di Bumi. Kita membayangkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika mereka diizinkan untuk menjalani kehidupan tanpa dibatasi… seberapa jauh umat manusia dapat melampaui batas penglihatan? (Bahan 2004: 21)

Budaya Tuli dan Budaya Mikro
Berdasarkan penjelasan mengenai orang tuli sebagai orang visual, mungkin terlihat bahwa budaya Tuli berasal dari sebuah komunitas yang secara utuh terpisah dan dapat memenuhi diri mereka sendiri. Tetapi sesungguhnya bukanlah demikian. Dalam karya terbarunya Understanding Deaf Culture: In Search of Deafhood, Paddy Ladd (2003:224-225) menunjukkan gagasan mengenai budaya Tuli sebagai sebuah budaya minoritas yang terwujud di dalam budaya mayoritas. Demikian juga Graham Turner menjelaskan bahwa orang tuli dan budaya mereka adalah sebuah budaya minoritas dalam komunitas budaya bicara mayoritas. Akibatnya kebanyakan anggota budaya Tuli menjadi orang bikultural, dalam pengertian mereka berbagi nilai dan bahasa dari budaya yang lebih besar tetapi juga memiliki bahasa dan nilai dari budaya lain di dalamnya. Sebagaimana yang dijelaskna Turner (1994:98), orang tuli, tak peduli dimana mereka tinggal, “berbagi kesamaan yang sedikit maupun banyak dalam budaya lebih besar di dalam bangsa, wilayah atau suku darimana mereka berasal.” Dengan demikian, budaya Tuli tidak dapat sungguh-sungguh dipisahkan dari budaya dengar dimana budaya tuli merupakan bagian darinya (hal.98). Deskripsi struktural ini berhubungan dengan definisi budaya mikro yang diajukan oleh Spradley dan McCurdy (1987), yang menjelaskan budaya mikro sebagai “sub-sistem karakteristik pengetahuan budaya dari sub-kelompok di dalam komunitas yang lebih besar. Anggota dari budaya mikro biasanya akan berbagi apa yang mereka ketahui dengan semua orang dalam komunitas yang lebih besar, tetapi akan memiliki sebuah pengetahuan budaya khusus yang unik di dalam sub-kelompok itu… Pengetahuan bersama inilah yang membuat budaya mikro mereka” (hal. 13 dalam Turner 1994a:113).
Tetapi pendekatan ini juga diperumit dengan fakta bahwa budaya Tuli tidak dapat dibandingkan dengan budaya mikro lainnya, seperti budaya mikro pesepeda atau budaya mikro punk. Faktor rumit yang ada dalam melakukan analisis budaya Tuli dan budaya mikro adalah fakta bahwa ada bahasa lain yang digunakan dan telah menuntun pada penciptaan budaya Tuli. Tetapi adalah benar bahwa orang tuli tidak menjalani kehidupan yang terpisah sama sekali. Mereka biasanya bilingual dan bikultural dalam derajat tertentu, dan biasanya menjadi bagian dari budaya mayoritas. Masalah bahasa adalah alasan studi budaya Tuli tidak jatuh ke dalam kategori studi budaya manapun yang ada saat ini. Dengan demikian, sebuah pendekatan yang kreatif dibutuhkan untuk mempelajari budaya Tuli (Ladd 2003:208). Mungkin gagasan bahwa “orang dari budaya berbeda… mewarisi dunia sensorik yang berbeda” (Hall 1982:2) dipasangkan dengan gagasan mengenai budaya Tuli sebagai sebuah budaya mikro adalah salah satu pendekatan itu.



*Ifana Tungga, Mahasiswi semester VIII Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Terpanggil untuk mendalami isu disabilitas dan sedang mengerjakan skripsi berkaitan dengan misi Gereja untuk orang-orang dengan disabilitas khususnya bagi teman-teman tuli. Saat ini sedang belajar bahasa isyarat bersama teman-teman tuli. Waktu luang diisi dengan belajar Bahasa Inggris di Kelompok Children See Children Do (CSCD). Dapat dikunjungi juga di ifanatungga.wordpress.com.

Related Posts:

IRGSC Gelar Diskusi Terbuka tentang Peran Masyarakat Sipil


Kupang, LekoNTT.com - Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan budaya. Perbedaan beragam ini kemudian dikenal dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Namun, dewasa ini semboyan di atas yang artinya "Berbeda-beda tetapi tetap satu" mulai mengalami kelunturan makna dalam praktek hidup masyarakat zaman sekarang.

Diskusi dengan tema Peran Masyarakat Sipil dalam Mengawal Republik. Foto: Istimewa
Hal ini mendorong Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC) untuk menggelar diskusi terbuka pada Senin, 27/05/2019. Diskusi ini dilangsungkan di kantor IRGSC, Jl. R. W. Monginsidi II, No. 2, Pasir Panjang, Kupang, NTT dengan tema Peran Masyarakat Sipil dalam Mengawal Republik.

Acara berjalan lancar dengan adanya tiga orang 'pemantik' awal diskusi. Kasim Bapang, sekretaris DPW PPP NTT menekankan toleransi antar umat beragama yang ada sejak Ir. Soekarno harus dipupuk kembali. Sementara Emmy Sahertian sebagai tokoh agama melihat nilai-nilai Pancasila sangat penting dalam hidup masyarakat.

"Belakangan ini keagamaan dipakai untuk melemahkan masyarakat kecil," tuturnya. Ini menunjukkan keprihatinannya atas terkikisnya nilai-nilai pancasila sehingga korbannya rakyat kecil karena segala konflik selalu mengatasnamakan agama.

Menanggapi apa yang dikatakan Emmy Sahertian, Bonar Tigor Naipospos dari SETARA Institute mengemukakan bahwa ketegangan dalam masyarakat tak bisa dielakkan. Hal ini dikarenakan oleh pergerakan di ruang publik dan kecemburuan sosial.

Masyarakat sipil dapat terpecah belah karena dua hal penting. Negosiasi dan transaksi. Selain itu, ada juga tunggangan partai politik tertentu sehingga segala pergerakan dalam masyarakat selalu terstruktur dan terkontrol. Maka, masyarakat kecil hanya bisa bergerak sesuai segala sesuatu yang telah dikondisikan dari atas (negara, red).

Peserta diskusi juga digiring untuk melihat pertanyaan siapa itu civil society dan apa perannya dalam negara. Pada akhirnya disimpulkan bahwa civil society adalah masyarakat (kita) yang masih setia menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, transparansi dan toleransi. Harapannya, hal-hal ini dapat ditularkan oleh semua masyarakat demi negara, Indonesia tercinta.

Reporter: Weren Taseseb

Related Posts:

Intinya Kerja, Hasil Urusan Kakak


Kupang, LekoNTT.com - "Koooraaaann...! Koooraaaaann...!" itulah seruan yang biasa kita dengar dari para penjaja koran di sudut lampu merah atau persimpangan jalan. Ini untuk menarik perhatian para pengemudi roda dua maupun roda empat. Bahkan, para pejalan kaki sekalipun.

Sonya sedang menjajakan koran di Bundaran PU, Liliba. (Foto: Weren Taseseb/LekoNTT)

Namun, seruan itu tidak dilakukan Sonya, salah seorang bocah kecil penjual koran di Kota Kupang, Minggu (26/05/2019). Entah karena malu, kurang berani, belum terbiasa, atau karena kurang percaya diri. Ia hanya berdiri di salah satu sisi jalan, dekat bundaran PU, Liliba, Kupang. Dengan koran yang dipampangkan di depan dadanya, berharap ada yang membelinya. Bila koran yang dipegang di tangannya laku terjual, ia akan menyeberang ke sisi jalan yang lain dan mengambil hanya satu buah koran saja. Koran yang disimpan di tempat kakaknya yang juga melakukan pekerjaan yang sama.
Gadis kecil kelas 2 SD itu kelihatannya pemalu tetapi punya jiwa juang yang tinggi. Bila diperhatikan, ia hanya berbicara seadanya dengan air muka tanpa kesedihan. Senyum kecil dari bibir mungilnya selalu menunjukkan ketulusan dan kepolosannya.
Ia berjualan koran hanya sekali seminggu, yaitu pada hari Minggu saja. Hari Senin hingga Sabtu ia bersekolah seperti teman-teman seusianya. Sepulang sekolah, ia akan membantu ibunya atau menyelesaikan PR dari gurunya.
Bila hari Minggu tiba, ia akan kembali melakukan tugasnya sebagai penjual koran cilik. Koran yang dijual bersama sang kakak biasanya diantar oleh agen dan dijual dengan harga Rp 3.000/buah. Hasil penjualan akan diberikan kepada kakak untuk diserahkan ke agen.
Biasanya ia mendapat upah kerja Rp 5.000- Rp 10.000/hari. Uniknya, uang itu akan diberikan kepada kakaknya. "Tabung ko beli HP, Kaka," tuturnya ketika ditanya untuk apa uang itu diberi ke kakaknya. Mengapa tidak digunakan untuk jajan atau beli sesuatu.
Bocah kecil yang merupakan salah satu murid di SD Inpres Oesapa Kecil 1 itu, tak pernah mau menuntut upah. Walau sudah pandai menghitung rupiah, ia tak memperhitungkan hasil.
Baginya, lebih bagus kerja daripada bermain. Walau masih menginjak usia 7 tahun, ia sudah pandai mengadu nasib di pinggir jalan. Demi rupiah, nyawa terancam di sisi jalan yang dilalui para pengemudi yang kadang 'bodoh amat' dengan siapa di samping.

Reporter: Werenfridus Taseseb

Related Posts:

Bangkitkan Jurnalisme Warga, Leko Kupang Gelar Pelatihan Jurnalistik



Kupang, LekoNTT.com - Sebagai salah satu komunitas literasi yang ada di kota Kupang, Leko Kupang bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) menggelar pelatihan jurnalistik. Pelatihan ini dilakukan di meeting room F-Square Oebobo Kupang pada hari Sabtu, 25 Mei 2019.

Sischa Solokana (berdiri) sedang memaparkan materi Pelayanan Publik Inklusif (Foto: LekoNTT.com)
Kegiatan yang dihadiri oleh kurang lebih 19 orang peserta ini dimulai pukul 09.30 WITA yang diawali dengan materi pelayanan publik inklusif yang dibawakan Siska Solokana, salah satu relawan perkumpulan CIS Timor. Dalam sesi ini pemateri menyajikan masalah-masalah publik yang berkaitan dengan lemahnya pelayaan bagi masyarakat berkebutuhan khusus (disabilitas). Misalnya ketersediaan guiding block di trotoar bagi tuna netra, juga minimnya perhatian pemerintah bagi fasilitas-fasilitas di ruang publik lainnya yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas.   

Setelah itu dilanjutkan dengan materi dasar-dasar jurnalisme investigasi oleh Johanes Seo, seorang koresponden majalah Tempo. Dalam sesi ini, pemateri menjelaskan metodologi investigasi yakni dari perencanaan investigasi media, investigasi dan penulisan hasil investigasi juga sistem keamanan. Beliau juga menjelaskan pengalamannya sebagai investigator dalam kasus perdagangan orang yang terjadi di NTT.  

Dalam sesi feature dan straight news yang dibawakan oleh Johanes Taena, peserta diberi kesempatan turun ke lapangan untuk melakukan peliputan secara langsung. Hasil liputan itu menjadi rujukan bahan pemberitaan oleh komunitas Leko.

Menurut Koordinator Komunitas Leko, Herman Efriyanto Tanouf (28) kegiatan ini bertujuan untuk membangun minat tulis di kalangan penggiat Komunitas Leko. “Leko  adalah komunitas yang berusaha aktif dan terlibat menyoroti masalah sosial masyarakat melalui literasi baca-tulis. Kegiatan ini dilakukan sebagai upaya mengangkat masalah pelayanan publik terutama bagi mereka yang berkebutuhan khusus (disabilitas).”

Menurut Efry, “pelatihan ini menjadi satu bentuk pembekalan agar teman-teman bisa turun langsung ke lapangan. Di sini kami semua bukan jurnalis yang sudah sering turun ke lapangan tapi teman-teman baru mau belajar menjadi jurnalis.’’

Tentang Leko

Komunitas ini berdiri pada tanggal 09 September 2017. Biasanya Leko melakukan kencan buku di ruang-ruang publik Kota Kupang misalnya di Taman Nostalgia. Seperti yang dijelaskan Efri, bahwa hal ini dilakukan karena membaca tidak hanya terjadi di ruang kelas, ruang kuliah dan perpustakaan, tetapi juga dapat dilakukan dimana saja.

Sasaran kegiatan kencan buku ini adalah setiap pengunjung taman nostalgia. Biasanya buku-buku yang disediakan digelar di tanah, dan para pengunjung bebas untuk meminjam buku dan membacanya.

Langkah ini dinilai Efri dan penggiat Leko lainnya sebagai upaya strategis untuk membangun minat baca tulis di NTT khususnya Kota Kupang. Sebab menurut Efri, sejauh ini kebijakan pemerintah dalam menjawab masalah literasi masih sangat kaku. Hal ini bisa terlihat dari lini kebijakan yang lebih banyak berfokus pada literasi sekolah dan peran guru-guru. Hal ini tentu sangat tidak kondusif dalam menyiapkan produktivitas menulis yang baik bagi anak didik.  
Hal ini juga menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan literasi dengan adanya komunitas-komunitas, sebagai upaya membangkitkan gerakan melek baca. Sebab membaca adalah kunci. Jalan satu-satunya menjaga peradaban bangsa.

Reporter: Domi Karangora, Beatrix Dhone dan Grace Gracella

Related Posts:

Walhi NTT: Pariwisata Itu Bukan Sekadar Halal dan Haram


Pariwisata Haram bila Mengabaikan Kesejahteraan Rakyat dan Mengkapling Public Space serta Merampas Wilayah Kelola Rakyat

Semenjak pulau komodo dijadikan sebagai Taman Nasional dan Pulau Sumba dinobatkan sebagai salah satu pulau terindah di dunia, pariwisata  NTT mulai menjadi incaran mata para wisatawan asing dan domestik. Dilansir dari media antara news (22/09/2017), seorang pengamat ekonomi  Dr James Adam menyatakan bahwa jika dilihat dari indikator kunjungan wisatawan asing maupun domestik ke NTT pada 2015 yang mencapai 449.000 orang telah meningkat lebih dari dari 100.000 orang pada tahun 2016, maka sektor pariwisata telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru bagi provinsi  NTT.
Rima Melani Bilaut, Divisi SDA Walhi NTT.
Tidak mau melewatkan potensi emas ini, nahkoda baru provinsi Nusa Tenggara Timur, Viktor Bung Tilu Laiskodat dan Yosef Nai Soi yang dinobatkan pada september 2018, memasukan pariwisata sebagai satu dari lima visi utama selama masa kepemimpinannya 5 tahun ke depan. Hampir setahun kepemimpinan rezim ini, berbagai gebrakan pariwisata telah dilakukan untuk mendukung pariwisata NTT mulai dari pemberlakuan english day, penutupan pulau komodo selama setahun, hingga meluncurkan minuman keras khas NTT yang dikenal dengan sebutan SOPIA (Sopi Asli).

Kementrian Pariwisata RI juga tidak mau ketinggalan dalam mendukung pengembangan pariwisata di NTT.  Menurut penuturan  Deputi Pemasaran II Kementrian Pariwisata, Nia Niscaya, Pihak Kemenpar RI menitikberatkan kepada pemasaran dan penjualan objek-objek pariwisata. Contohnya melalui iklan-iklan dengan gambar komodo di internet maupun bus-bus pariwisata di luar negeri

“Di mana ada gula pasti akan banyak semut yang datang berkumpul”, peribahasa ini mungkin cocok untuk menggambarkan reaksi atas aksi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kementrian pariwisata dalam mempromosikan pariwisata NTT. Selain kunjungan wisatawan, tentu para investor juga akan berduyun-duyun datang ke NTT untuk berinvestasi.

Keberadaan investasi memang baik untuk mendukung perkembangan pariwisata NTT. Akan tetapi jika investasi tersebut merebut ruang untuk mengembangkan perekonomian rakyat disekitar daerah pariwisata apalagi sampai menimbulkan konflik dan rakyat kehilangan nyawanya seperti kasus Poro Duka yang terjadi di Sumba Barat, maka investasi tersebut harus ditolak. Dalam cataan WALHI NTT, lebih dari 70 persen kawasan pesisir yang merupakan kawasan strategis pariwisata di NTT telah dikuasai oleh investor besar maupun menengah. Kalau ini terus berlanjut maka, mimpi pemprov NTT untuk pariwisata kerakyatan hanyalah utopia semata

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur menegaskan pemerintah provinsi harus mengembangkan model pariwisata yang berbasis kerakyatan di setiap daerah di NTT yang kaya akan potensi pariwisatanya. Pariwisata berbasis kerakyatan artinya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program-program pariwisata. Contoh paling sederhana adalah pertama, memastikan tata kuasa kawasan berbasis masyarakat dan minimal negara. Agar masyarkat dapat mebangun fasilitas fasilitas pariwisata yang kemudian berdampak pada peningkatan ekonomi warga.

Kedua, memberdayakan kios-kios masyarakat lokal yang menjual hasil produksi masyarakat itu sendiri baik berupa souvenir, tenunan atau masakan khas di daerah pariwisata. Terlepas dari konsep pariwisata tersebut halal atau tidak, intinya masyarakat harus mampu menggaji dirinya sendiri bukan hanya didorong agar digaji oleh pihak investor saja. Dengan kata lain masyarakat harus dibiarkan berdaulat dan berproduksi di atas tanah miliknya sendiri.

Melalui model pariwisata ini, masyarakat akan menjadi penerima manfaat utama dari kegiatan pariwisata sehingga terciptanya kemandirian ekonomi dari masyarakat. Ketika sudah mampu mandiri, masyarakat tentu tidak perlu mencari pekerjaan ke luar negeri dan pulang dalam keadaan tidak berdaya. Pariwisata sebagai kekuatan ekonomi baru bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak yang datang dari investasi tetapi sebagai kekuatan ekonomi baru bagi rakyat itu sendiri. Dengan demikian provinsi NTT bukan menjadi provinsi yang kaya potensi wisata tetapi rakyatnya kere.

Rima Melani Bilaut
Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT

Related Posts:

Prodi Pendidikan Kimia UNDANA Kunjungi Masyarakat Desa Netpala

Netpala, LekoNTT.com - Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Nusa Cendana (UNDANA) melaksanakan kegiatan Pengabdian Dosen dan Mahasiswa pada Masyarakat (PDMM) di Desa Netpala Kecamatan Mollo Utara pada Kamis-Minggu (16-19/5/2019). Kegiatan ini bertemakan "hai aim he minoinâ, mîfenâ, ma moê lasi tani mafutus fain olif tataf, dalam bahasa Uab Metô yang artinya kami datang untuk mengabdi sembari belajar dan menjalin kasih kekeluargaan.

Dosen dan mahasiswa disambut dengan natoni. (Foto: Istimewa)
Ini adalah kali ke-5 diadakannya kegiatan pengabdian masyarakat. Selain sebagai bentuk pengabdian dosen dan mahasiswa kepada masyarakat, kegiatan ini juga dilaksanakan dalam rangka memperingati ulang tahun 3 lembaga/organisasi di Program Studi Pendidikan Kimia, yaitu HUT Prodi Pendidikan Kimia yang ke-26, HUT Ikatan Mahasiswa Pendidikan Kimia (IMASPIKA) yang ke-14, dan HUT Ikatan Alumni Pendidikan Kimia (IUPAC) yang ke-6.

Dalam kunjungan itu, diselenggarakan berbagai kegiatan seperti pertandingan futsal dan voly antara mahasiswa dengan pemuda/i di desa Netpala, lomba ranking 1 untuk anak-anak, nonton film bersama, bersih kampung, juga demo kimia dan pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di sekolah-sekolah. Masyarakat Desa Netpala sangat antusias dalam berbagai kegiatan selama PDMM.

Pertandingan voly warga vs mahasiswa. Foto: Istimewa.

"Kegiatan ini untuk mempererat silaturahmi antara dosen dan mahasiswa dengan masyarakat. Setelah kegiatan ini kita akan disibukkan dengan persiapan akreditasi
Program Studi Pendidikan Kimia. Jadi mari bekerja sama lebih baik lagi untuk mencapai hasil yang kita harapkan," kata dosen Yoseph Lawa, S Pd., M.Biotech, mewakili kepala program studi, Sudirman Bandu, S.Pd., M.Pd yang berhalangan hadir.
Kegiatan bersama anak-anak. Foto: Istimewa.
Kepala Desa Netpala dalam sambutannya juga mengapresiasi niat baik dosen dan mahasiswa yang meluangkan waktu untuk berbagi bersama masyarakat desa. Ia juga berharap agar kerjasama antara masyarakat Desa Netpala dengan Program Studi Pendidikan Kimia UNDANA terus berlanjut.
Penyerahan cinderamata diwakili oleh ketua IMASPIKA. Foto: Istimewa.
Ikatan Mahasiswa Pendidikan Kimia sendiri sangat mendukung kegiatan ini dan berharap akan adanya kerjasama pula di waktu-waktu yang akan datang.

“Terima kasih untuk teman-teman panitia dan semua pihak yang sudah berpartisipasi aktif dalam seluruh kegiatan ini. Kiranya kita sekalian terus bersinergi untuk mencapai tujuan bersama, khususnya persiapan akreditasi yang akan datang,” ungkap Gilbert Reku Raya, ketua Ikatan Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Nusa Cendana.

Reporter: Vivin da Silva

Related Posts:

Nasi Gila Jadi Rebutan Pengunjung

Oebobo, LekoNTT.com - Hadir dengan suguhan menu baru, Warkop Seduh yang terletak di Jl. Shopping Center menjadi incaran di mata pengunjung dari berbagai Warkop dan Kafe lain di Kota Kupang. Nasi Gila merupakan menu favorit yang selalu jadi rebutan pengunjung dalam tiga minggu terakhir.

Warkop Seduh dengan daftar menu baru yang menjadi incaran pengunjung. (Foto: LekoNTT.com)
“Nasi Gila adalah nasi putih biasa, hanya saja lauknya yang berupa sosis, pentolan bakso, dan telur goreng ditambahkan lombok untuk menambah tingkat pedas dalam level tertentu sesuai pesanan pengunjung,” kata Maria, salah seorang karyawan Warkop Seduh.

Sebelum Nasi Gila menjadi menu idaman pengunjung, sudah ada nasi Jinggo namun karena supplier-nya yang tidak lagi bekerja di Kupang, Pak Prima, yang juga pemilik Warkop yang berdiri sudah 1 tahun ini, kemudian menggagas beberapa menu baru di Warkop Seduh ’’ tambah maria.

Warkop ini buka dari pukul 09.00-23.30 WITA. Karena letak Warkop yang strategis, dimana tidak jauh dari pusat keramaian seperti Pasar Oebobo, Lippo Plaza, dan Rumah Sakit Siloam, serta pemukiman warga, maka Warkop ini banyak diminati pengunjung. Pengunjung di malam hari lebih ramai, didominasi oleh anak-anak muda yang datang untuk sekadar nongkrong bersama teman-temannya. Tempat ini juga menjadi tempat diskusi untuk komunitas-komunitas tertentu, sehingga untuk mengusir kantuk dan menambah hangatnya diskusi, Kopi Hitam dan Nasi Gila ini dapat menjadi prioritas.

Demikian pun dengan karyawan yang bekerja di malam hari lebih banyak dari pada siang hari, dimana 3 orang karyawan di siang hari dan 5 orang karyawan di malam hari, dengan rata-rata jumlah pengunjung sekitar 30-an orang.

Tampak pengunjung sedang menikmati menu Nasi Gila di Warkop Seduh. 

 “Ini Warkop menjadi tempat nongkrong favorit katong karena berbagai menu baru yang ditawarkan Warkop. Ini sangat unik serta sesuai dengan selera katongNasi Gila salah satunya., Terus jangkauannya dekat dari tempat tinggal dan pelayanannya bagus,” pungkas Wilbert, salah satu pengunjung Warkop.


Reporter: Ira Olla, Vivin da Silva dan Emanuel Nong

Related Posts:

Penghuni F-Square Kelola Sampah Sendiri


OEBOBO, LekoNTT.com - F-SQUARE, kompleks perumahan toko (ruko), terletak di Jln. Shooping Center Oebobo, Kupang. Ruko F-SQUARE terdiri dari berbagai jenis usaha, kegiatan dan meeting room. Berjejeran Warung Kopi ‘Seduh,’ Barber Shop ‘Lapan-lapan’ Komunitas Film Kupang, Butik, Apotek dan Praktek Dokter. Para pemilik usaha dan komunitas di tempat ini menyewa dengan harga tertentu sesuai kesepakatan pada pemiliknya, Ermi Ndoen.
Seorang karyawan Barbershop Lapan Lapan sedang memangkas rambut pelanggannya. Sampah (rambut) yang berserakan di lantai akan dibersihkan dan dibuang ke tempat pembuangan umum di Pasar Oebobo. Foto: LekoNTT.com


Setiap harinya, tempat ini memproduksi beragam jenis sampah. Warkop Seduh dibuka dari pukul 09.00-23.30 WITA. ‘Seduh’ menghasilkan sampah organik maupun non-organik,  seperti plastik es, kulit pisang, rak telur, ampas kopi maupun puntung rokok.

Menurut Maria (36) salah seorang pengelola Warkop Seduh, sampah-sampah tersebut akan dibuang setiap hari setelah kafe ditutup oleh karyawan.  “Sampah tidak dipisahkan tapi langsung digabung menjadi satu pada tempat sampah yang disediakan dan langsung dibuang ke tempat pembuangan sampah umum di belakang  pasar Oebobo, Kupang,”jelas Maria ketika ditemui redaksi di pelataran Warkop Seduh (25/05/2019). 

Berbeda dengan Warkop Seduh, Barber Shop ‘Lapan-lapan’ menghasilkan jenis sampah berupa rambut pelanggan, kemasan silet, silet bekas, sampah plastik, botol pomade. Adi (24), salah seorang pegawai Barber Shop, tampak ramah melayani pelanggan yang datang. “Pemilik Barber Shop berasal dari Bali. Kami digaji per bulan, ada 8 orang yang bekerja di sini, semuanya anak Kupang,” kata Adi.
Mengenai sampah, Adi menuturkan, “sampah di ‘Lapan Lapan’ dibuang setiap 7-10 hari sekali di tempat pembuangan sampah umum di belakang pasar Oebobo. Kecuali, sampah botol pomade, yang dikumpulkan kembali (dan) tidak dibuang. Kami tidak memilah jenis sampah sebelum dibuang."

Penghuni Ruko F-square yang lain, Komunitas Film Kupang juga setiap hari mempunyai sampah berupa plastik kopi, puntung rokok, maupun makanan sisa dari para pengunjung Komunitas Film Kupang. Adi Otanu (22) salah satu anggota KFK pun mengatakan hal senada. 

“KFK seperti para penghuni ruko yang lain, membuang  sampah pada tempat pembuangan sampah umum di belakang pasar Oebobo. Sedangkan sampah seperti sisa makanan akan dibawa pulang oleh salah seorang anggota KFK untuk makanan ternak di rumah,” turu

Ermi Ndoen Pemilik Ruko F-square, ketika dihubungi melalui Whatsapp (25/05/2019) mengatakan, pihaknya tidak menyediakan Tempat Pembuangan Sampah Sementara, karena dengan adanya klausul dalam kontrak mengenai kebersihan ruangan, pihaknya sebagai pemilik ruko berharap para penyewa sadar akan tanggungjawab untuk mengelola sampahnya sendiri. “Dalam kontrak penyewaan ruko, kami telah mencantumkan bahwa kebersihan setiap ruko dikelola oleh penyewa,” tutur Ermi.
F-Square menolak kebijakan Walikota Kupang yang mengharuskan pengelola usaha menyediakan TPS di sekitar tempat usahanya. Walikota harusnya mengatur pengelolaan sampah yang berkelanjutan untuk kebersihan dan kesehatan warga kota.

Masyarakat harus dibiasakan bertanggunggjawab atas sampahnya sendiri. Sampah yang kita pakai dan hasilkan sendiri, kita pula yang bertanggungjawab, masa bau yang kita hasilkan mau dibiarkan orang lain yang kelola,” tegas Ermi.  


Reporter: Silviona Pada, Alfa Atamau dan Weren Taseseb

Related Posts:

Sastrawan NTT Luncurkan Novel Ketiga



Kefamenanu, LekoNTT.com – Sesudah dua novelnya yang berjudul Unu (Juxtapose, 2009) dan Benang Merah (IBC, 2015), sastrawan NTT Unu Ruben Painneon kembali meluncurkan novel ketiganya yang berjudul Foek Susu (Pelangi Sastra Malang, 2019). Peluncuran tersebut bertempat di Lopo Kofe, Jln. El Tari KM 4 Kefamenanu, Sabtu (19/5/2019). Hadir sebagai pembicara Yohanes Sanak (penulis dan budayawan), Rano Korbaffo (pegiat Komunitas Lopo Biinmafo), dan Ardian Muhammad (Dosen Universitas Negeri Timor).

Suasana diskusi. (Foto: Akun FB Unu Ruben Painneon)
Mengawali diskusi malam itu, Unu Ruben Painneon menceritakan proses kreatif dan suka dukanya dalam menjalani hidup sebagai seorang penulis. Ia berusaha untuk terus menekuni bidang kepenulisan, sambil berusaha untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Foek Susu sendiri ditulisnya selama lebih dari empat tahun. Saat merampungkannya, pria yang aktif di Komunitas Lopo BIINMAFO itu menyambi bekerja sebagai pengemudi ojek daring untuk memenuhi kebutuhannya.
“Jangan pikir jadi penulis itu banyak uang. Tidak. Kita capek tulis, kita jual. Kadang orang utang, tidak bayar. Kita mau minta juga malu,”kata Unu disambut dengan tawa para hadirin.

Unu Ruben Painneon
Yohanes Sanak yang pertama didaulat untuk mengomentari Foek Susu, menyampaikan apresiasi kepada Unu Ruben Painneon yang terus produktif dalam menulis. Ia menilai novel-novel Unu Ruben Painneon banyak menyinggung tentang kosmologi masyarakat atoin metô yang perlu untuk diketahui oleh lebih banyak orang. Penulis yang sedang menjabat sebagai camat Bikomi Utara itu juga berpesan agar Unu Ruben Painneon tidak berhenti menulis, tetapi melanjutkan lagi dengan buku keempat.

“Saat membaca kisah Kolo yang berjuang untuk mencari pekerjaan, saya seperti berharap agar sebagai seorang sarjana yang berpendidikan, si Kolo melakukan sesuatu untuk tanah Timor. Mungkin Kolo tidak hanya berusaha mencari pekerjaan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja untuk para penganggur,” kata penulis yang telah menerbitkan dua buku itu.

Dalam gilirannya, Ardian Muhammad mengatakan meskipun novel Foek Susu mengangkat isu lokal masyarakat atoin metô, tetapi permasalahan yang dimunculkan oleh pengarang sebenarnya adalah permasalahan nasional. Sarjana menganggur dan nepotisme adalah dua masalah yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.

“Ini butuh solusi, baik oleh para sarjana itu sendiri maupun oleh pemerintah,” katanya.
Foek Susu dan pembacanya. Foto: Istimewa
Sementara itu, Rano Korbaffo memaparkan pembacaannya atas novel Foek Susu dari sudut pandang filsafat. Menurut Rano, salah satu keunikan dari novel Foek Susu adalah bagaimana Unu Ruben Painneon menempatkan lopo sebagai terminus ad quo (titik start) dan terminus ad quem (titik akhir) dalam cerita. Melalui lopo, pembaca dihantar untuk menemukan kaitan antara kadar subjektivitas penulis dengan objektivitas lingkungannya.

“Subjektivitas Ruben tentang Lopo yang diletakkannya dalam pengalaman individual Kolo merepresentasikan pengalaman universal anak-anak atoin metô lainnya,” tandas pria lulusan S1 Ilmu Filsafat Unwira dan S2 Hubungan Internasional Universitas Airlangga ini.

Pose bersama sesudah diskusi.
Foto: Akun FB Agni Ignioza

Diskusi peluncuran buku Foek Susu pada malam itu dihadiri juga oleh dosen-dosen dari Universitas Timor, mahasiswa, aktivis LSM, juga keluarga dari Unu Ruben Painneon. Di pertengahan acara, Rizky, seorang penyair cilik tampil dan membaca puisi-puisi karya penyair NTT, yaitu Ishack Sonlay dan Ragil Sukriwul.

Laporan jurnalis LekoNTT.com, Vivin da Silva

Related Posts: