Oleh: Herman Efriyanto Tanouf*
Ilustrasi Helketâ. (Foto: HET)
Helketâ, kata dalam Uab Metô (bahasa Dawan); terdiri dari dua kata: hel artinya tarik, sedangkan ketâ artinya lidi. Dari akar katanya dapat diartikan (actus) menarik lidi. Intensi dari menarik lidi adalah melepas atau membebaskan kotoran-kotoran yang telah menumpuk akibat dihalangi lidi-lidi. Kotoran yang dimaksud yaitu segala jenis sumpah adat yang terjadi di masa lampau. Sedangkan lidi adalah penghambat yang membuat sumpah adat itu tidak atau belum hilang.
Kotoran atau sumpah adat dimaksud berupa
peperangan antar suku, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Sebagaimana
kita ketahui bahwa dahulu, ketika kerajaan-kerajaan belum bersatu, terjadi
peperangan dalam segala bentuk. Beberapa di antaranya adalah merebut batas
wilayah suku/ kerajaan, suku yang satu ‘mencuri’ hasil kebun atau ternak milik
suku lain, bahkan ada kisah-kisah tentang penculikan para perempuan muda di
masa lalu.
Itu sebabnya, dalam perjalanan waktu ketika
seorang laki-laki (Atoin Metô) dari
suku tertentu yang ingin menikahi perempuan dari suku lain - yang saling berkonflik
(lasi batâ), ada ritual yang harus dijalankan yaitu Helketâ.
Adanya Helketâ, mengandaikan adanya
calon pasangan istri-suami yang akan segera menikah, ialah seorang laki-laki
dan perempuan. Sebelum melakukan ritual ini, ada perencanaan dari para tetua
dari suku-suku terkait. Umumnya di Timor, khususnya di Timor Tengah Utara,
pernikahan tidak hanya melibatkan dua suku, tetapi lebih (rumpun yang saling
berhubungan/ kekerabatan).
Setelah ada perencanaan melalui bua/ ťbua/ tabua (berkumpul), ditentukanlah tempat untuk melakukan ritual dimaksud. Helketâ biasanya dilakukan di sungai atau ‘kali hidup’ (airnya tetap mengalir) dengan filosofi air yang membersihkan, membasuh, menyucikan.
Sebelum turun atau masuk ke sungai, para Atoin Amaf (Om/ Paman) dan tetua adat lain serta rumpun keluarga akan berkumpul di tepi sungai, melakukan ritual tertentu (persiapan). Sebelum dilaksanakan, kedua belah pihak tidak diperkenankan untuk saling berkunjung. Pihak laki-laki menempati pinggir/ tepian sungai yang satu dan pihak perempuan menempati tepi lainnya (bersebrangan).
Persiapan sebelum Helketâ. (Foto: HET)
Kedua belah pihak diarahkan untuk bertemu di tengah sungai dan memulai ritual. Tutur adat (takanab/ natoni) dari Malasî/ Mafefâ (penutur adat) akan saling bertukar tutur. Takanab biasanya berisikan harapan ataupun doa agar ritual, terlebih hubungan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah dapat berlangsung dengan baik.
Berikut adalah salah satu contoh tutur adat yang sering saya dengar ketika mengikuti ritual Helketa:
Uisneno Apakaet, Aneset-Afinit, Apinat-Aklahat, Atukus-Anonot, nasaunton neu pah nifu ma be’e na’i, he maputu malala miloebe natuin suma mata i, he nloe nekje neo tais ametak nifu ametak. ‘Tfelaha ao mina ma ao leko, manikin ma oetene, neo an feto ma an mone he nait nao neu bale es ma bale esa, kaisa nastun kaisa nmof, kaisa nmui Ho se ma Ho bah.
Terjemahan bebas:
Tuhan Maha Pencipta, Maha Tinggi, Maha Cahaya, Maha Penuntun, yang menjelma melalui samudera-semesta dan para leluhur, kiranya semua masalah masa lalu dapat kami alirkan melalui sumber dan mata air ini, dibawanya serta ke samudera maha luas. Berilah kesehatan dan kebaikan pada jiwa-raga, juga kesejukan (berkat-Mu) bagi perempuan dan laki-laki yang akan hidup bersama agar perjalanan mereka dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tidak terantuk, tidak jatuh, tanpa teguran dan kutukan-Mu.
Tutur di atas adalah salah satu dari sekian
banyak tutur yang biasanya dipantunkan. Perlu diketahui bahwa tutur tersebut
tidak menjadi rumusan yang tetap. Tutur pada suku atau daerah yang satu belum tentu
sama dengan yang lainnya, terutama pada penggunaan kata. Atau juga pada suku
yang sama, bisa saja ada perbedaan, tergantung Malasi/ Mafefa.
Namun demikian, selalu memuat intensi yang sama dan beberapa pilihan kata
adalah kewajiban.
Setelah semua tutur sebagai bagian penting dari ritual itu diutarakan, akan dilanjutkan dengan penarikan lidi dari dua arah berbeda (kiri-kanan atau atas-bawah) dan penyembelihan hewan kurban. Semua dilakukan di tengah sungai, selain lidi yang ditarik, tetes darah pertama dari hewan yang disembelih ditetes-alirkan ke air dan sebuah batu sebagai meja sembah.
Actus tersebut adalah simbol bahwa semua penghalang/ penghambat/ sekat telah ditarik, dibuka, dialirkan, dan disucikan. Semua masalah selesai!
Puncak dari ritual ini adalah tiun ma tah
tabua tekes (sajen dimakan secara bersama-sama), akan didahului oleh
kedua calon mempelai, menyusul tetua adat dan perwakilan rumpun keluarga.
Setiap actus dalam ritual ini selalu disertai tutur adat. Pada tahapan makan
bersama, ada pantangan: semua makanan yang disajikan harus ‘dihabiskan’ (tidak
boleh ada sisa), dan tidak bisa dibawa pulang. Selain itu, peralatan/
perlengkapan yang dibawa dari rumah harus dibawa pulang, tidak boleh ada yang
tertinggal di lokasi Helketâ. Diyakini bahwa ‘sesuatu’ yang
tertinggal bisa saja mendatangkan kutuk; yang telah bersih tidak boleh dikotori
lagi.
Beda Sebutan,
Sama Esensi: Jalan Damai
Sebagaimana peperangan identik dengan senjata,
maka ada sebutan lain untuk ritual Helketâ yakni Bus
Ken Nafû, ialah serbuk atau bubuk mesiu yang digunakan Atoin Metô (Orang
Dawan) sebagai peluru untuk Ken Metô (senjata tradisional).
Umumnya bubuk mesiu (bahan peledak) terbuat dari belerang, arang dan kalium
nitrat, kalau pada ken metô biasanya dipakai juga bus (serbuk
halus, hasil olahan dari serabut kelapa).
Dengan demikian, Helketâ atau Bus
Kén Nafû merujuk pada usaha untuk menghapus segala bentuk peperangan
atau permusuhan di masa lampau. Perlu dipahami juga bahwa permusuhan dimaksud
tidak hanya berupa kontak senjata secara langsung di masa lampau, tapi bisa
juga berupa sumpah/ kutukan yang datang dari pertengkaran (tutur kata).
Kata-kata berisikan kutukan sering dilontarkan ketika adanya konflik, baik sesama
rumpun suku dalam satu daerah ataupun suku berlainan dari daerah lain.
Di Timor Tengah Utara terdapat beberapa sebutan untuk ritual ini yaitu Helketâ, Bus Kén Nafû (Insana), Laép Kisan Tunbubun (Biboki), dan Taloèb Hanaf (Miomaffo). Sedangkan di Belu dan Malaka disebut Saki Inuk atau Saki Dalan. Ritual semacam ini, memiliki motivasi yang sama sebagaimana beberapa ritual pranikah bagi suku-suku lain di Indonesia. Sebagai contoh, ritual Siraman (Jawa), Ngebakan (Sunda), Ngekeb (Bali), Mappaci (Bugis-Makassar), Mandi-mandi (Minang), Sesimburan (Lampung), dan lain-lain. Tentu proses ataupun tata cara sangat jauh berbeda, tetapi memiliki makna yang sama; lebih kepada pembersihan diri bagi pasangan yang akan menikah.
Di Timor sendiri, terkait Helketâ ada sebagian orang yang masih salah kaprah. Mereka menganggap bahwa Tasoén Enô Lalan adalah sebutan lain untuk ritual tersebut. Sesungguhnya, Tasoén Enô Lalan merupakan bagian dari Helketâ. Artinya, ia tidak berdiri sendiri (keterwakilan). Sebagai bagian dari ritual dimaksud, Tasoén Enô Lalan tidak menjadi suatu kewajiban. Ia baru akan menjadi ritual wajib ketika suku-suku terkait yang akan melakukan pernikahan, di generasi sebelumnya tidak atau belum pernah melakukan pernikahan adat.
Tasoén Enô Lalan, salah satu tahapan dalam Helketâ. (Foto: HET)
Jika dalam Helketâ, kedua pasangan adalah ‘generasi pertama’ dari rumpun suku terkait yang akan menikah, maka Tasoén Enô Lalan wajib dijalankan. Bagian ini biasanya ditandai dengan pemotongan daun pandan atau ranting bambu yang sebelumnya dibuat seperti gapura dengan daun tersebut sebagai ‘penghalang’. Pemotongan itu adalah isyarat bahwa pintu atau jalan telah dibuka, kedua calon mempelai secara adat telah sah untuk hidup bersama, dan ada keyakinan: bebas dari segala kutuk.
Perlu diketahui, Helketâ hanya dilakukan oleh suku-suku yang memiliki sejarah konflik di masa lalu atau masa kini (lasi batâ). Sederhananya, jika suku pihak laki-laki dan perempuan tidak memiliki sejarah lasi bata, maka Helketâ tidak perlu dilakukan.
Ritual ini masif dilaksanakan oleh suku-suku di
Biboki, Insana, dan Miomaffo. Namun akhir-akhir ini, hampir kebanyakan suku di
Timor Barat melangsungkan Helketâ.
Tentu dengan intensi utama yaitu pembersihan dari segala (rekonsiliasi) sebelum
sepasang anak manusia sah sebagai istri-suami di hadapan agama, pemerintah, dan
tentu adat itu sendiri. rumpun keluarga turut mempererat tali persaudaraan,
memupuk kerukunan, penuh cinta, penuh damai. ***
0 Response to "Memaknai Helketa, Ritual Pranikah Bagi Orang Timor"
Posting Komentar