LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for September 2022

Vatikan Mengaku telah Menjatuhkan Sanksi kepada Uskup Belo, Tokoh Timor Leste yang Diduga Melakukan Kekerasan Seksual


Uskup Belo saat menerima Nobel Perdamaian pada 1996, diduga melakukan kekerasan seksual kepada anak laki-laki sejak tahun 1980-an. (AP Foto/B. Sigurdsoen).

LEKO NTT – Kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo atau lebih akrab Uskup Belo, seperti yang dilaporkan oleh media Belanda De Groene Amsterdammer pada tanggal 28 September 2022, membuat pihak Takhta Suci Vatikan buka suara.

Uskup Belo, peraih Nobel Perdamaian 1996 itu diduga melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah remaja laki-laki selama tahun 1980-an hingga 1990-an. Investigasi dari De Groene Amsterdammer telah dimulai sejak 20 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2002.

Saat itu, seorang pria asal Timor mengungkap kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Uskup Belo terhadap temannya. De Groene Amsterdammer lalu mewawancarai dua korban yang kini telah berusia lebih dari 40 tahun.

Baca juga: Terbukti Melakukan Kejahatan Seksual, Mantan Pastor Richard Dasbach Dijatuhi Hukuman 12 Tahun Penjara

Dalam investigasi itu, dua puluh narasumber dilibatkan. Baik dari pejabat pemerintahan, politisi, aktivis LSM, dan beberapa orang yang bekerja di Gereja. Diduga ada lebih banyak korban yang mengalami kekerasan seksual dari Uskup Belo.

Suara Vatikan dan Sanksi bagi Uskup Belo

Atas laporan investigasi media Belanda itu, Juru Bicara Vatikan Matteo Bruni mengatakan, pihaknya akan “memeriksa informasi itu,” katanya sebagaimana dilansir Kyodo News pada 28 September 2022 waktu setempat.

Sebelumnya pun, dalam investigasi itu, tim De Groene Amsterdammer telah berusaha mengkonfirmasi kasus tersebut kepada Kardinal Virgilio do Carmo da Silva di Dili, namun tidak ada jawaban.

Tak hanya itu, tim investigasi pun mengkonfirmasi langsung dugaan tersebut kepada Uskup Belo melalui sambungan telepon. Namun setelah diangkat selama beberapa saat, sambungan telepon diputuskan.

Uskup Belo, tokoh yang sangat dihormati karena perjuangannya dalam membela rakyat Timor Leste selama penjajahan Indonesia. Itu sebabnya, pada tahun 1996, Uskup berusia 74 tahun itu meraih Nobel Perdamaian.

Baca juga: Korban Pelecehan Seksual oleh Uskup Belo Penerima Nobel Perdamaian, Angkat Bicara

Sejak dirilisnya hasil investigasi, umat di Timor Leste bahkan di dunia terkejut akan tuduhan yang dialamatkan kepada Uskup Belo yang diketahui, kini tinggal di Portugal.

Dilansir dari Associated Press, sehari setelah tuduhan pelecehan seksual itu, pihak Vatikan pun mengkonfirmasi bahwa mereka telah memberikan sanksi kepada Uskup Belo. Hal itu diungkapkan Juru Bicara Vatikan, Matteo Bruni.

Ia mengatakan, pada tahun 2019 Vatikan telah mendapat laporan “perihal perilaku Uskup Belo.” Pihak Vatikan mengakui, sanksi itu berupa pembatasan aktivitas dan pelayanan bagi peraih Nobel Perdamaian 1996 tersebut.

Matteo Bruni pun mengungkapkan, Uskup Belo dilarang untuk melakukan kontak dengan anak-anak di bawah umur. Dalam sebuah pernyataan, Bruni mengatakan sanksi itu "direvisi dan dipertegas" pada November 2021.

Baca juga: Luapkan Kecewa dan Bongkar KasusPejabat Gereja, Sastrawan Felix Nesi Ditahan Polisi

Dikabarkan, Uskup Belo pun telah secara resmi menerima kedua hukuman tersebut. Namun, Vatikan tidak merinci mengapa Paus St. Yohanes Paulus II saat itu, mengizinkan Uskup Belo mengundurkan diri sebagai kepala gereja di Timor Leste pada awal tahun 2002.

Selain itu, Vatikan pun belum menjelaskan, mengapa otoritas Gereja Katolik Roma mengizinkan Uskup Belo pergi ke Mozambik. Mengingat, di Mozambik, Uskup Belo juga melakukan pelayanan kepada anak-anak. (teh/leko).

Related Posts:

Pantun Anak Timor (2)


Ilustrasi polisi memegang pistol.

Ada polisi tembak pemuda

Pemuda nakal dari Motamaru

Biar anak kepala batu

Tangkap pakai akal jangan pakai peluru

 

Di sini tembak di sana tembak

Di mana-mana polisi tembak

Kota kita seperti daerah perang

Sok hebat asal tembak orang

 

Kakak tercinta mau pigi Malaysia

Mama menangis takut terima mayat

Adik tersayang mau jadi polisi

Mama menangis takut jadi pembunuh

 

Adili dulu baru dihukum

Itu tanda negara berjaya

Main tembak seperti berperang

Itu tanda negara preman

 

Penulis

Sisilia Bia, usia delapan belas tahun, bersekolah di salah satu SMA Swasta di Kabupaten Belu. Redaksi menerima kiriman cerita, puisi, dan pantun di alamat email leko.ntt@gmail.com, atau hubungi kami di halaman facebook Leko NTT.

Related Posts:

Hendrikus van Wissing, Misionaris Katolik yang Diburu Pemerintahan Soekarno, Ditolak Pemimpin Biara, Telantar di Timor dan Australia


Hendrikus van Wissing, SVD

LEKO NTT - Pastor Hendrikus van Wissing SVD adalah seorang misionaris di Timor. Ia dituduh mendukung tentara Permesta dan diburu oleh Soekarno.

Bayi Hendrikus van Wissing lahir pada tahun 1910 di Nijmegen, Belanda, sebuah kota dekat perbatasan antara Belanda dan Jerman. Ia bersekolah di Seminari Kecil milik Konggregasi Sakramen Mahakudus. Tamat dari seminari kecil, Henk van Wissing melanjutkan pendidikan hingga menjadi frater dan studi filsafat.

Saat studi filsafat, Henk merasa bahwa ia tidak cocok hidup bersama konggregasi Sakramen Mahakudus. Konggregasi ini mengutamakan doa dan kontemplasi dalam pelayanannya. Tetapi Henk ingin menjadi misionaris yang bekerja bersama umat di tanah misi. Ia sadar bahwa doa dan kontemplasi tidak cocok dengan gaya hidupnya.

Henk van Wissing memutuskan untuk pindah ke Konggregasi Serikat Sabda Allah (SVD) di Steyl. Konggregasi SVD terkenal aktif mengirimkan misionarisnya ke penjuru dunia. Di akhir tahun 1936, Henk van Wissing pun ditahbiskan menjadi pastor. Setahun kemudian ia memulai tugas misionarisnya di pulau Timor.

Pater Henk van Wissing hidup berdampingan dengan masyarakat Timor. Dalam suratnya ke Belanda, ia sering menceritakan penyakit dan serangga tropis yang mengganggunya. Ia juga sering menyebut dirinya sebagai kolonial dalam kerajaan Kristus – suatu kesadaran yang jarang dimiliki orang Belanda lain.

Lima tahun hidup bersama umatnya, Jepang menyerang Timor dan mengalahkan Belanda, di tahun 1941. Pater van Wissing dan orang Belanda lain dibawa ke kamp interniran di Pare-Pare, Sulawesi. Kehidupan di kamp interniran sangat sulit. Pater Henk van Wising tidak pernah menceritakan bagaimana ia bisa melewati kehidupan yang penuh trauma di kamp itu.

Saat Jepang menyerah pada sekutu, Pater van Wissing pulang kembali ke Timor. Ia menemukan banyak gedung misi yang ia bangun dengan susah payah telah dihancurkan. Namun ia berusaha membangun kembali tanah misi itu.

Saat persiapan kemerdekaan Indonesia, Pater van Wissing sangat mendukung pergerakan Soekarno dan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1946, saat Dewan Raja-Raja Federasi Kepulauan Timor dibentuk, Pater van Wissing menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pertama mewakili swapraja Biboki.

Pada akhir tahun 1958, surat kabar di Belanda dan Amerika dihebohkan dengan berita hilangnya Pater van Wissing di Timor. Ternyata Pater Henk van Wissing ditangkap oleh militer Indonesia. Ia dilaporkan mendapatkan kiriman senjata dan mendistribusikannnya kepada tentara Permesta yang saat itu sedang memberontak. Ia ditangkap oleh pengadilan di Timor.


Surat kabar di Belanda yang memberitakan pelarian Pater van Wissing. Dok. Rumah Budaya Tua Kolo

Pengadilan di Timor tidak bisa menemukan alat bukti keterkaitan Pater van Wissing dengan Permesta, sehingga ia dibebaskan. Namun beberapa bulan kemudian, wakil perdana menteri Indonesia saat itu, Idham Kalid, kembali menuduh Pater Henk Wissing akan keterlibatannya dengan pemberontakan Permesta. Idham Kalid memanggil Pater Henk Wissing ke Jakarta untuk diinterogasi.

Karena ia diminta datang ke Jakarta langsung atas permintaan wakil perdana menteri Indonesia, Pater van Wissing merasa itu bukan tuduhan yang main-main. Saat itu situasi sedang tidak stabil. Banyak pendukung Permesta yang hilang.

Pater van Wissing tidak ke Jakarta, tetapi melarikan diri dari Timor Barat. Ia masuk ke Timor Portugis, yang kini dikenal dengan nama Timor Leste, lalu menyeberang ke Australia.

Pelarian ini membuat pemimpin biara SVD di Belanda marah. Mereka ingin Pater van Wissing datang ke Jakarta dan memberi informasi, agar masalah ini tidak berlarut-larut. Tetapi sebagai orang yang lama tinggal di Indonesia, Pater van Wissing tahu bahwa saat itu situasi politik sedang kacau, dan ia benar-benar sedang terancam.

Komunikasi antara Pater dengan pemimpinnya berhenti begitu saja. Selama 4 tahun lamanya, Pater Wissing hidup dan bekerja bersama para imigran di Australia, luntang-lantung, tanpa kejelasan akan nasibnya.

Baru di tahun 1961, hubungan Pater Wissing dan para pemimpin biaranya membaik. Ia kemudian pulang ke biara pusatnya di Belanda selama satu tahun. Ia tidak henti mengkritik para pemimpin Gereja di Belanda yang menurutnya semakin konservatif. Ia menyebut para pemimpinnya konservatif, busuk dan angkuh.

Tahun 1962, ia dikirim untuk misi di Papua, hingga tahun 1972. Saat kembali ke Nijmegen, ia tidak henti memutar slide dan bercerita tentang hasil kerjanya di Timor. Memang misi di Timor kelihatannya lebih berpengaruh dalam hidupnya.

Pater Henk van Wissing meninggal di panti jompo Breda, Belanda, pada tahun 1999. Sampai hari ini masih banyak orang Timor yang mencintainya. (SA/Leko)

 

Related Posts:

Berikut Profil Lengkap Penulis Emerging Terpilih Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2022


Sumber: Akun resmi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022

Leko NTT - Panitia perhelatan festival Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) menerima 1.310 karya tulis dari 262 penulis di seluruh Indonesia sejak tanggal 1 Februari 2022 hingga 11 Maret 2022. Dari ratusan orang tersebut, kurator antara lain Ahmad Fuadi, Ramayda Akmal, dan Made Adnyana Ole memilih sepuluh penulis yang akan diundang sebagai emerging writer dalam perhelatan festival UWRF pada akhir bulan Oktober 2022 mendatang.

Siapakah sepuluh penulis tersebut?

Berikut nama dan profilnya.

1.       Andi Makkaraja, berasal dari Bulukumba, Sulawesi Utara. Ia bekerja sebagai guru dan penulis lepas. Beberapa karyanya berupa cerita anak pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Cerpen-cerpennya dimuat media cetak dan online. Ia juga beberapa kali memenangi lomba menulis cerpen nasional.

2.       Awi Chin, asal daerah Sintang, Kalimantan Barat. Ia adalah seorang penulis, penyair, model, dan digital strategist. Novel debutnya yang berjudul Yang Tak Kunjung Usai diterbitkan oleh The Comma Books dan Penerbit KPG pada 2020. Novel keduanya, Debur Ombak Memanggilmu Kembali oleh Gramedia Pustaka Utama diterbitkan tahun 2022. Ia juga sudah memenangkan beberapa lomba cerpen serta penerima residensi penulis dari AIR Litteratur Västra Götaland di Swedia.

3.       Puspa Seruni, asal daerah Situbondo, Jawa Timur, kini menetap di Bali. Seorang pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana. Karya-karyanya berupa cerpen sudah banyak diterbitkan di berbagai media cetak dan online. Dengan nama pena Puspa Seruni, ia berhasil menelurkan tiga karya novel pada tahun 2018 dan 2021.

4.       Eko Darmoko, prosais kelahiran Surabaya, Jawa Timur. Cerpen-cerpennya dimuat Harian Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Radar Surabaya, Radar Malang, Surabaya Post, Basabasi.co, dan media massa lainnya. Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (Basabasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Baru saja merampungkan dua naskah novel yang siap diterbitkan. Kini bekerja sebagai karyawan swasta di Surabaya.

5.       Iin Farliani, asal daerah Mataram, Nusa Tenggara Barat. Lahir di Lombok, sejak tahun 2013 aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Karya-karyanya berupa cerita pendek, puisi, dan esai telah tersebar di berbagai media cetak maupun online. Buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan segera terbit buku puisi pertamanya Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022).

6.       I Putu Juli Sastrawan, asal daerah Klungkung, Bali. Ia pernah menjadi pemenang kedua Festival Literasi Nasional (2016) Badan Bahasa Kemendikbudristek Indonesia. Tulisan terbarunya tergabung dalam antologi Parade Yang Tak Pernah Usai (2022). Penulis dan penerjemah ini menyelesaikan studinya di Wacana Sastra, Universitas Udayana. Saat ini ia aktif di Lingkar Studi Sastra Denpasar dan menulis kelindan sastra terhadap gender dan politik identitas.

7.       I Wayan Agus Wiratama, asal daerah Gianyar, Bali. Ia adalah aktor dan penulis. Aktif di Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan, dan Lingkar Studi Sastra Denpasar yang berupaya meneropong sebagian kecil dari lanskap besar Sastra Indonesia. Praktik artistiknya mencoba membaca hubungan disiplin sastra dan teater sebagai studi tokoh yang berada pada tegangan biografi-fiksi, tulisan-pelisanan.

8.       Sasti Gotama, asal daerah Malang, Jawa Timur. Kumpulan cerpennya Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (Diva Press, 2020) menjadi salah satu buku rekomendasi Tempo 2020, nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbudristek 2021, dan pemenang I Hadiah Sastra Rasa 2022. Buku terbaru Sasti Gotama berjudul B (Diva Press, 2022).

9.       Muhamad Nanda Fauzan, asal daerah Lebak, Banten. Berstatus sebagai mahasiswa akhir di Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, prodi Filsafat Agama. Lahir di Lebak, Banten dan bergiat di komunitas Madah Doa, Serang. Buku kumpulan cerita pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (2022), akan diterbitkan oleh Buku Mojok.

1     Ricky A. Manik, asal daerah Jambi. Ia bekerja sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Karyanya pernah termuat dalam buku antologi puisi dan cerpen Tamsil Tanah Perca dan Dentum Swarnadwipa. Ia menulis buku Cerita Rakyat Jambi dan Legenda Bukit Perak, serta beberapa artikel ilmiah di jurnal akreditasi, resensi, esai, dan cerpen di Jambi Ekspres, Jambi Independent, Padang Ekspres, Singgalang, dan Harian Kompas. (ST)

Related Posts:

CERPEN: Memotong Bambu di Hutan Timor

Ilustrasi: Pinterest

Karya: Yohanes Un*
 

Dua hari yang lalu, saya mengajak Anto pergi memotong bambu di hutan. Anto bertanya, Berapa batang?

Saya menjawabnya,Kalau mau ikut na ikut, jangan tanya terlalu banyak.

Akhirnya dia berkata,Ho, jalan su.”

Kami berdua langsung pergi ke hutan untuk memotong bambu.

Tiba-tiba ada ular yang sangat besar muncul di hadapan kami. Saya bertanya pada Anto lihat ular itu atau tidak, dan saya langsung menunjuk ular itu pada Anto.

Anto ingin membunuh ular itu.

Saya berkata,Kita lepas saja dia, dia ju butuh makan, butuh hidup.”

Lalu kami melanjutkan perjalanan kami. Tetapi Anto berkata “Kita pulang saja, takutnya kita kena musibah karena kita melihat ular.

Lalu saya tanya lagi Anto “Bagaimana dengan bambu?”

Dan Anto menjawab, “Masih banyak waktu lain.

Lalu kami berdua langsung pulang ke rumah karena takut kena musibah.


Tentang Penulis:

Yohanes Un adalah siswa SMK 1 Alas, Kabupaten Malaka.

Related Posts:

Kirim Tulisan Anda untuk Dimuat di Media Leko NTT


Ilustrasi: Jakarta Post/Budhi Button

LEKO NTT menerbitkan berita, esai dan opini, fiksi, dan puisi, dan karya seni visual. Untuk menciptakan kesadaran akan ruang aman bagi perempuan dan anak, kami menyiapkan juga rubrik tentang perempuan dan anak.

Berikut penjelasan rubrik dalam Leko NTT:

Berita adalah rubrik untuk mengabarkan berita terkini. 

Pandangan adalah rubrik untuk tulisan-tulisan esai dan opini, tempat untuk bertukar ide dan gagasan.

Perempuan dan Anak merupakan rubrik untuk memuat tulisan seputar isu-isu perempuan dan anak.

Seni Budaya memuat tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kegiatan seni atau kebudayaan.

Kencan Buku adalah rubrik yang membahas tentang buku dan geliat literasi.

Fiksi dan Puisi memuat tulisan-tulisan sastra, baik sastra baru dan sastra lama. Sastra lama bisa berupa dongeng, pantun, cerita rakyat, dan lain-lain. Sastra baru berupa cerita pendek dan puisi. 

Seni Visual adalah rubrik untuk karya seni dan visual.

Sosok memuat tulisan-tulisan tentang sosok orang yang berpengaruh.

Kirimkan tulisan anda ke alamat surat elektronik: leko.ntt@gmail.com, sertakan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

 

(Redaksi)

Related Posts:

Terbukti Melakukan Kejahatan Seksual, Mantan Pastor Richard Dasbach Dijatuhi Hukuman 12 Tahun Penjara

Richard Daschbach (kiri) menuju ruang sidang di pengadilan Oekusi, Timor Leste. (AP Photo / Raimundos Oki)

Oekusi, LEKO NTT - Richard Dasbach (84), seorang pastor yang telah diberhentikan dari jabatannya, dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun pada tanggal 21 Desember 2021, karena terbukti bersalah atas 14 kejahatan seksual, termasuk satu dakwaan pornografi anak dan kekerasan domestik. Semua kejahatan itu ia lakukan selama masih menjabat sebagai pastor dan menampung anak-anak pengungsi yang miskin.

Total hukuman yang ia terima seharusnya 37 tahun, tetapi hakim kepala mengurangi hukuman menjadi 12 tahun mengingat usianya yang sudah sepuh.

Richard Dasbach sangat dihormati karena perjuangannya menyelamatkan anak-anak Timor Leste di distrik Oekusi selama konflik Timor Leste untuk merdeka dari Indonesia. Ia mendirikan "Topu Honis” atau yaitu rumah singgah sebagai tempat perlindungan untuk anak-anak di distrik Oekusi-Ambeno pada tahun 1992.

Ia juga dihormati karena oleh masyarakat setempat ia dianggap sebagai seorang pendoa dan pertapa yang memiliki kekuatan supranatural. Banyak orang yang datang berdoa kepadanya untuk kesembuhan atau untuk tujuan tertentu.

Tidak ada yang menyangka, selama bertahun-tahun itu ia melakukan pelecehan seksual dan kekerasan kepada anak-anak yang mencari rumah aman dan menganggapnya sebagai sosok ayah.

Ada lima belas korban yang dulu tinggal di panti asuhan, yang hadir dalam persidangan dan menceritakan kisah pahit yang dialami. Disinyalir ada lebih banyak korban. Kini rata-rata mereka telah berusia tiga puluhan tahun. Mereka dipaksa tidur telanjang bersama Richard Dasbach dan mendapatkan serangan secara seksual, juga pemukulan. 

"Bukan berarti kita ingin melupakan kebaikannya," kata seorang korban.

Baca juga: Romo Dominikus Atini, Pastor Orang Kecil dari Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Dilansir dari The Sydney Morning Herald, Maria Agnes Bere, seorang pejuang Hak Asasi Manusia dari lembaga Jurídico Social yang sembilan korban dalam kasus tersebut mengatakan, ini akan menjadi hari bersajarah dalam perkembangan peradilan di Timor Leste. Richard Dasbach adalah mantan pastor pertama yang dijatuhi hukuman pidana karena kasus kekerasan seksual yang dilakukan selama masih aktif sebagai pastor.

“Ini adalah sejarah pahit bagi seluruh bangsa. Anak-anak kami menjadi sasaran kejahatan yang menghebohkan untuk waktu yang lama, karena kami sebagai masyarakat dibutakan oleh keyakinan bahwa tokoh besar (seperti Dasbach) tidak akan melakukan kejahatan seperti itu terhadap anak-anak,” kata Agnes Bere.(MS)

Related Posts:

Sastrawan Asal Kefamenanu-NTT Mengikuti Kongres Penulis Internasional di Gedung PBB

Kongres Penulis Internasional di Gedung PBB. Foto: The New York Times

LEKO NTTFelix Nesi, seorang sastrawan asal Kefamenanu-NTT terpilih menjadi satu-satunya penulis Indonesia yang mengikuti Kongres Penulis Internasional di Gedung PBB, New York, Amerika Serikat, pada tanggal 13 Mei 2022 lalu. Kongres tersebut adalah rangkaian dari The PEN World Voices Festival of International Literature, event festival sastra tahunan yang diadakan di New York dan Los Angeles.

Saat dihubungi lewat telepon, Felix Nesi menyatakan senang bisa duduk bersama para sastrawan internasional untuk membahas tentang kaitan sastra dan kepenulisan dengan isu yang sedang terjadi di dunia.

Kongres Penulis Internasional. Foto: Akun Instagram Felix Nesi

“Banyak hal yang didiskusikan, banyak ilmu baru yang didapatkan,” aku Felix Nesi.

Dikutip dari website resmi PBB, kongres tersebut menghadirkan hampir 100 orang penulis dari berbagai negara untuk membicarakan tentang persoalan dunia, dengan fokus kepada krisis yang sedang terjadi di Ukraina.

Situs PEN Amerika menyatakan, meskipun Festival PEN diadakan setiap tahun, kongres penulis internasional terakhir kali diadakan pada tahun tahun 1939, atau 83 tahun yang lalu. Perhelatan pada tahun 2022 ini ingin mengulang kembali sejarah tersebut.

Felix Nesi adalah sastrawan Indonesia asal Kefamnanu, NTT. Ia pernah ramai diberitakan sesudah memecahkan kaca pastoran SMA St. Pius X Bitauni, sebagai bentuk protes terhadap bungkamnya Gereja atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh para imam. Ia telah menerbitkan buku kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, dan novel.

Related Posts:

Dugaan Pelecehan Seksual Uskup Belo, Vatikan: Kami Akan Melakukan Investigasi


Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo

LEKO NTT - Dua orang laki-laki, Paulo dan Roberto (bukan nama sebenarnya, red), baru-baru ini mengaku telah mengalami pelecehan seksual oleh Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo saat mereka masih remaja. Dengan iming-iming makanan dan uang, mereka dilecehkan maupun diperkosa.

Pernyataan Paulo dan Roberto merupakan hasil investigasi dari De Groene Amsterdammer. Media jurnalistik asal Belanda ini menurunkan beritanya pada Selasa (27/9/2022).  

Menanggapi pernyataan tersebut, juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, seperti dikutip dari Kyodo News 28 September 2022, menyatakan akan segera memeriksa laporan tersebut.

Laporan De Groene Amsterdammer menyebutkan kemungkinan lebih banyak korban, mengingat Uskup Belo melakukan kejahatannya sejak tahun 1980. Uskup Belo adalah figure yang sangat dihormati karena kegigihannya dalam membela rakyat Timor Leste selama penjajahan Indonesia. Usahanya itu membuatnya mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996, bersama dengan Ramos Horta. 

Related Posts:

Korban Pelecehan Seksual oleh Uskup Belo Penerima Nobel Perdamaian, Angkat Bicara

Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo saat memimpin misa di Dili, 8 Oktober 1999. Foto ©Jason Reed / Reuters

Peringatan: Artikel ini mengandung cerita para korban pelecehan seksual di Gereja. Hubungi kami di leko.ntt@gmail.com jika anda membutuhkan konsultasi terkait pelecehan seksual oleh kaum tertahbis.

LEKO NTT - Dua orang laki-laki, Paulo dan Roberto (bukan nama sebenarnya) mengaku telah mengalami pelecehan seksual oleh Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, saat mereka masih remaja.

“Uskup Belo mengundang saya untuk datang ke tempatnya,” kenang Paulo, seperti dikutip dari sebuah majalah Belanda, De Groene Amsterdammer, Selasa(27/9/2022).  

Paulo mengaku masih berusia enam belas atau tujuh belas tahun, saat itu. Baginya, diundang oleh uskup Belo adalah suatu kehormatan. Uskup Belo dianggap pahlawan dan sangat dihormati oleh semua orang Timor Leste, sebab selalu berbicara atas nama rakyat Timor Leste saat penjajahan Indonesia.

Paulo pergi ke kediaman uskup Belo tanpa curiga. Sang uskup mengajaknya ke dalam kamar.

“Uskup Belo membuka celana saya, menyentuh saya, dan melakukan oral seks,” kata Paulo.

Paulo terkejut dan kebingungan. Pagi hari, sang uskup memberinya uang. Ia berlari pulang dengan ketakutan.

Apa yang disampaikan oleh Roberto tidak jauh berbeda. Saat ia berusia empat belas tahu, Uskup Belo datang ke kotanya. Ia diajak oleh Uskup Belo untuk datang ke biara tempatnya menginap. Karena hari telah malam, ia terpaksa menginap di situ.

“Malam itu saya diperkosa dan dilecehkan secara seksual oleh Uskup Belo. Pagi harinya ia memberi uang dan memintaku untuk datang lagi nanti,” aku Roberto.

Memberi Uang

Menurut para korban, uskup melakukan kejahatannya dengan iming-iming uang dan perhatian. Ia memanfaatkan kemiskinan anak-anak.

“Dia memberi makanan dan sangat baik kepada kami,” kata Paulo.

Paulo hanya mengalaminya satu kali. Tetapi Roberto mengalaminya berulang kali. Saat kunjungan Uskup Belo berikutnya, seseorang menjemput Roberto. Ia merasa diperhatikan. Ia kemudian pindah ke kota Dili. Peristiwa itu berlanjut di kediaman uskup di Dili.

Roberto juga sering melihat anak laki-laki lain yang dipanggil ke kamar, seperti dirinya. Roberto dan Paulo sama-sama mengatakan bahwa mereka melihat anak laki-laki sering diantar ke kediaman Uskup Belo dengan mobil.

“Dia memahami bahwa anak-anak itu membutuhkan uang,” kata Paulo. Saat itu Timor Leste sedang dilanda kelaparan dan krisis akibat peperangan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Indonesia.

Lebih Banyak Korban

Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh majalah De Groene, terdapat lebih banyak korban pelecehan seksual oleh Uskup Belo. De Groene telah mewawancarai tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, politisi, pekerja LSM, orang-orang dari lingkungan Gereja, dan setidaknya sebagian besar dari mereka mengenal seorang korban, dan sebagian lain tahu tentang kasus itu. De Groene juga telah mewawancarai beberapa korban yang tidak ingin ceritanya dipublikasikan. Paulo dan Roberto sendiri mengenal beberapa korban lain.  

Pelecehan yang diceritakan oleh Paulo dan Roberto terjadi pada tahun 1990-an. Tetapi berdasarkan penelusuran De Groene, Belo telah melakukan pelecehan sejak tahun 1980-an, saat masih sebagai pastor kepala di seminari Salesian Don Bosco di Fatumaca.

Menutup Telepon

De Groene telah menghubungi Kardinal Timor Leste Virgilio Do Carmo Da Silva untuk mengonfirmasi kasus ini, tetapi hingga hasil investigasi diturunkan, kardinal belum memberikan jawaban. De Groene menghubungi Uskup Belo melalui telepon. Uskup Belo sempat mengangkatnya, tetapi tiba-tiba menutup kembali telepon.  

Ini adalah kaum tertahbis dan pejuang kemanusiaan kedua yang tersandung kasus pelecehan dan kekerasan seksual dalam Gereja Timor Leste. Sebelumnya, Richard Dasbach, seorang pastor yang mendirikan shelter untuk anak pengungsi, dihukum 12 tahun penjara karena kasus yang sama.

Untuk membaca laporan investigasi lengkap dari De Groene, kunjungi link berikut

Related Posts:

Kefamnanu atau Kefamenanu? Ini Peta Asli Ibu Kota Kabupaten TTU Zaman Belanda


Kolase foto udara kota Kefa (YouTube Bebeluck Channel) dan peta (Rumah Budaya Tua Kolo).

Detail peta asli kota Kefamnanu, ada dalam isi artikel ini.
LEKO NTT – Kota Kefamenanu (selanjutnya Kefamnanu) pada 22 September 2022 genap satu abad atau berdiri sejak 100 tahun lalu, tepatnya pada 22 September 1922.

Kefamnanu punya sejarah panjang, tapi tenang. Artikel ini tidak sepanjang jalan kenangan kita. Eh maaf, maksudnya sepanjang catatan-catatan sejarah ataupun tutur-tutur yang mungkin sudah pernah kita dengar.

Telah ditulis di artikel sebelumnya (baca di sini). Habis baca, kembali ke sini, di artikel ini. Kalau memang sebelumnya sudah baca, kita lanjut berkisah tentang kota ini, kota yang senantiasa dirindukan para perantau sebagaimana lagu Kuan Kefa, ciptaan almarhum Vinsen Kolo.

Banyak orang yang tahu tentang nama Kefamnanu, tetapi sedikit yang tidak tahu sejarah yang melatarinya. Tapi saya yakin, semua pasti tahu, semoga saja.

Ini juga menjadi tugas para orang tua, dan tentu juga kita semua untuk senantiasa berkisah tentang rahim – tanah yang telah membuat kita hidup dan menikmati kehidupan ini.

Jangan sampai, di mana-mana ketika bertemu siapa saja, dengan bangga kita berkata: saya orang Kefa. Lantas, mampukah kita mempertanggungjawabkan status yang sangat melekat dengan diri kita?

Kefa itu apa? Ada apa di Kefa? Adanya Kefa seperti apa? dan banyak pertanyaan lain yang bisa saja dilontarkan kepada kita.

Bukan hanya tentang Kefamnanu, tetapi daerah mana saja. Sudah semestinya, tanah yang darinya ibu menjerit sakit menyambut tangis pertama kita, ada di dalam isi kepala, di dalam isi dada.

Basi-basinya muncul nih. Yuk kita lanjut lagi. Simak ulasan berikut ini.

Adanya Kefamnanu, Ibu Kota Kabupaten TTU

Kefamenanu, demikian nama ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dalam bahasa tulis. Dahulu, kota ini menjadi ibu bagi masyarakat dari tiga swapraja yaitu Biboki, Insana, dan Miomaffo (Biinmaffo).

TTU sendiri, pada pemerintahan Hindia Belanda disebut Onderafdeeling Noord Midden Timor, dibentuk pada tahun 1915. Pusat pemerintahan ini dibentuk setelah Belanda melakukan survei pada tahun 1909 hingga 1911, sebagaimana dikatakan sejarahwan Yohanes Sanak dalam dialog di RRI Atambua.

Sebelum Kefamnanu, pusat pemerintahan masih berada di Noetoko; telah disinggung di artikel sebelumnya. Pada tahun 1921, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kefamnanu.

Sebelum lanjut, sebagai penyegaran, kita simak lagi asal-usul adanya kota Kefamnanu.

Sebelum resmi disebut Kefamenanu, ketika pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan, dilakukan survei di beberapa lokasi.

Survei itu dilakukan oleh Letnan Skatel Olifiet dan beberapa warga pribumi, Atoin Meto (Orang Timor – Dawan). Adapun rute survei sebagai berikut.

Berangkat dari Noetoko, Letnan Skatel Olifiet bersama rombongan mampir ke Nilulat, Oefui, Ukimnanu, Fatuknapa, dan Noelekat. Penjelajahan pun dilanjutkan ke Oeapot, Fautsuba, Nunpene, Matmanas, lalu berakhir di Tele (dekat Oemenu dan Nuntaen).

Dua tempat terakhir yaitu Matmanas dan Tele menjadi pilihan bagi rombongan untuk dijadikan pusat pemerintahan. Mereka lalu menginformasikan pilihan itu kepada pemerintah Hindia Belanda di Noetoko.

Awalnya, Matmanas (dekat Pasar Baru Kefamenanu) dijadikan ibu kota (pusat pemerintahan). Akibat longsor dan banjir di daerah tersebut, pemerintah Hindia Belanda memindahkan lagi ibu kota ke Tele sekaligus pilihan terakhir.

Ada satu momen yang kemudian menjadi cikal bakal nama Kefamenanu. Beberapa sumber menulis, ketika rombongan tiba di Tele, seorang tentara Belanda ingin mencari sumber air terdekat.

Ia menjumpai salah satu Atoin Meto, sumber-sumber menyebut, orang tersebut bernama Mnune Bani. Yohanes Sanak juga menyebut nama yang sama.

“Di sekitar sini ada sumber mata air kah?” tanya tentara Belanda itu dalam Bahasa Melayu sambil menunjuk ke arah jurang (kali Oemenu).

Mnune Bani yang saat itu sedang membersihkan ladangnya, lalu memberikan isyarat. Mengingat ia tidak terlalu paham dengan Bahasa Melayu.

Kefamnanu, Tuan. Nane kefamnanu,” kata Mnune Bani dalam Uab Meto (Bahasa Dawan) yang jika diindonesiakan, jawabannya seperti ini: “Jurang dalam, Tuan. Itu jurang dalam.”

Tentara Belanda itu tertarik, sebab ada air terjun kecil dan kolam yang cukup luas di dalam jurang – kali Oemenu tersebut.

Sejak saat itu, Kefamnanu menjadi pilihan nama bagi ibu kota Kabupaten TTU hingga saat ini. Mnune Bani sendiri, kata Yohanes Sanak, diangkat menjadi temukung di Nuntae.

Kefamnanu rupanya asyik di telinga orang Belanda. Kefamnanu, nama yang indah untuk didengar. Kefamnanu, nama yang tepat untuk ditulis dan dikenang.

Demikian asal-usul nama Kefamnanu. Diucapkan Mnune Bani, didengar tentara Belanda, hingga diwariskan kepada seluruh penghuni Kefamnanu, dan semua orang yang pernah mampir atau dengar tentang nama ibu kota Kabupaten TTU ini.

Peta Kota Kefamnanu pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Bagaimana ‘penampakan’ peta kota Kefamnanu semasa pemerintahan Hindia Belanda atau sebelum Indonesia merdeka?

Ketika saya membuat simpulan dan bertanya sana-sini tentang Kefamnanu, penulis sekaligus sastrawan Felix K. Nesi mengirimkan kepada saya sebuah gambar – peta.

Mengingat, pada 2019 lalu sastrawan asal Bitauni, Insana, Kabupaten TTU itu sempat melakukan riset selama beberapa bulan di Belanda terkait kisah-kisah ataupun dokumentasi tentang Belanda semasa pendudukannya di Timor.

Peta asli kota Kefamnanu zaman Belanda. (Foto: Rumah Budaya Tua Kolo/ Felix K. Nesi)

Peta yang dikirimkan Felix bukan merupakan hasil cetak digital atapun tampilan peta pada umumnya, tapi berupa gambar dan tulisan tangan. Berikut ‘penampakan’ peta dimaksud.

Peta tersebut menggambarkan situasi Kefamnanu (masuk Timor Belanda) pada Mei 1942. Peta itu merupakan hasil survei dan riset yang dihimpun dari berbagai informasi, baik dari pihak Belanda maupun pengetahun Atoin Meto (orang Dawan – Timor) yang tinggal di Kefamnanu, saat itu.

Peta itu sendiri dirilis setahun kemudian, tepatnya 27 Maret 1943 oleh Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS) – Badan Inteligen Pasukan Hindia Belanda.

NEFIS sendiri merupakan unit inteligen dan pasukan khusus semasa Perang Dunia II yang beroperasi di wilayah Hindia Belanda (Indonesia) yang kemudian dijajah Jepang.

Dilansir dari Dutch East Indies, pasukan khusus ini dibentuk di Australia atas perintah Letnan Conrad Emil Lambert Helfrich dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda.

CEL Helfrich, seorang komandan terkemuka semasa Perang Dunia II yang lahir di Semarang, Jawa Tengah pada 11 Oktober 1886.

Ayahnya seorang dokter KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger) – Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang didirikan pada 14 September 1819. Ayah Conrad menikah dengan seorang perempuan pribumi asal Jawa.

NEFIS memiliki beberapa tugas utama seperti menghimpun informasi (laporan), membuat dokumentasi berupa foto, publikasi, dan membuat peta.

Kembali pada peta kota Kefamnanu. Oya, seperti biasa, jangan lupa kopi, diminum dulu. Kalau belum bikin, segera. Sambil ngopi, mari kita lanjut.

Peta kota Kefamnanu yang dibuat NEFIS sebagaimana tampak pada gambar di atas, menunjukkan 66 titik (lokasi) yang ada di ibu kota Kabupaten TTU, saat itu.

Detailnya dapat dibaca pada peta tersebut, terlalu panjang dan banyak untuk ditulis. Seperti rindu perantau akan Kuan Kefa yang jauh di sana, atau pada kekasih yang menyimpan rindu bertahun-tahun untuk dipeluk. Husus, lupakan ini.

Titik lokasi tersebut, akan diulas dalam artikel berikutnya lagi. Kita simak ulasan berikut.

Pada artikel sebelumnya dengan judul Satu Abad Kota Kefamnanu, Ibu Kota Kabupaten TTU yang Namanya ‘Salah’ Ditulis? telah disinggung soal ‘salah penulisan’ Kefamenanu ini semasa pemerintahan Hindia Belanda atau setelah Indonesia merdeka?

Jika dilihat dari peta yang dibuat dan dirilis NEFIS, tampak tidak ada yang janggal di sana. Peta itu ditulis KEFANNANOE (ejaan lama). Tampak ada kesalahan di sana, NEFIS menulis ‘M’ menjadi ‘N’ yang seharusnya KEFAMNANOE.

Mengapa dikatakan demikian? Lihatlah, di bawah tulisan KEFANNANOE, ada keterangan di bawahnya: KEFAMNANOE. Artinya, NEFIS menyadari kesalahan penulisan itu.

Dapat dilihat juga, tidak ada tanda-tanda munculnya huruf ‘E’ pada KEFAMNANOE. Disimpul, bahwa pemerintah Hindia Belanda masih ingat jelas perkataan Mnune Bani. Bahkan ketika mereka menulis nama ibu kota Kabupaten TTU itu.

Jika peta itu dirilis pada tahun 1943, maka adanya sebelum dua tahun Indonesia merdeka. Lagi-lagi dapat disimpul, penulisan dan pengucapan Kefamenanu baru muncul setelah Indonesia merdeka.

Peta asli kota Kefamnanu itu, sebagaimana perannya, menjadi salah satu jawaban bahwa ‘kesalahan penulisan’ tidak dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Lantas, kesalahan penulisan itu dimulai sejak kapan? Sabarlah menunggu. Jawabannya akan diulas dalam artikel berikutnya lagi.

Kita jeda dulu, habiskan kopi di cangkir, tarik napas, hembus, dan jangan lupa berkisah kepada anak-cucu, saudari-saudara, dan sesama tentang peta kota Kefamnanu pada zaman Hindia Belanda.***

Herman Efriyanto Tanouf, 24 September 2022.

Related Posts:

Satu Abad Kota Kefamnanu, Ibu Kota Kabupaten TTU yang Namanya ‘Salah’ Ditulis?


Kota Kefamnanu dari foto udara. (tangkapan layar akun YouTube Bebeluck Channel).

LEKO NTT – Kefamenanu, demikian nama ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dalam bahasa tulis. Pada 22 September 2022, kota kecil di Timor Barat ini merayakan ulang tahun yang ke-100 (satu abad).

Memasuki usia satu abad, artinya kota ini lahir pada 22 September 1922. Kota yang menjadi ibu bagi masyarakat dari tiga swapraja (dahulu) yaitu Biboki, Insana, dan Miomaffo (Biinmaffo).

Sebelum Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU adalah Noetoko. Kabupaten TTU sendiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Onderafdeeling Noord Midden Timor yang dibentuk pada tahun 1915.

Jauh sebelum Noetoko, pusat pemerintahan Hindia Belanda berada di Oelpunum, dekat Eban. Sedangkan Noetoko sendiri, baru menjadi pusat pemerintahan sejak 1915 hingga 1921.

Sebelum Noetoko dipilih sebagai pusat pemerintahan, menurut sejarahwan Yohanes Sanak dalam siaran di RRI Atambua, Belanda melakukan survei pada tahun 1909 hingga 1911 untuk membuat pemetaan.

Dalam survei itu, dihasilkan sebuah peta yang diterbitkan pada Juni 1911. Peta itu meliputi wilayah Biboki, Insana, dan Miomaffo. Empat tahun kemudian atau tepatnya pada 1915, dibentuklah Onderafdeeling Noord Midden Timor

Sebelum lanjut, sebagai informasi, artikel ini hanya sedikit menyentil sejarah Kota Kefamenanu sebagai simpulan. Mari lanjut.

Pemindahan Ibu Kota dari Noetoko ke Kefamenanu

Pada 1921, pusat pemerintahan Onderafdeeling Noord Midden Timor dipindahkan ke Kefamenanu oleh kontrolir (Controleur) Paddemors bersama petinggi Belanda lainnya.

Nah, mengapa ibu kota harus dipindahkan dari Noetoko ke Kefamenanu? Terkait alasan pemindahan itu, Yohanes Sanak menyebut empat aspek, sebagai berikut.

Pertama, aspek tata ruang. Secara topografis, wilayah Noeltoko ada diapit oleh beberapa gunung, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sebuah kota yang baik.

Kedua, aspek geopolitik. Noetoko terlalu dekat dengan Fatumnutu (markasnya Sonbai, musuh bebuyutan Belanda).

Ketiga, aspek geostrategis. Untuk memudahkan control pemerintahan Belanda, maka dicarilah titik tengah, Kefamenanu jadi pilihan.

Keempat, aspek ekonomi. Noetoko merupakan salah satu pusat tambang emas. Dengannya, keberadaan kota di wilayah tambang emas, tidaklah memungkinkan.

Sebagai simpulan, Kefamenanu sendiri, pada awalnya bukan merupakan nama sebuah tempat ataupun nama kampung tertentu, apalagi nama kota atau ibu kota.

Beberapa sumber tertulis menyebut, sebelum resmi disebut Kefamenanu, ketika pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan, dilakukan survei di beberapa lokasi.

Survei itu dilakukan oleh Letnan Skatel Olifiet dan beberapa warga pribumi, Atoin Meto (Orang Timor – Dawan). Adapun rute survei sebagai berikut.

Berangkat dari Noetoko, Letnan Skatel Olifiet bersama rombongan mampir ke Nilulat, Oefui, Ukimnanu, Fatuknapa, dan Noelekat. Penjelajahan pun dilanjutkan ke Oeapot, Fautsuba, Nunpene, Matmanas, lalu berakhir di Tele (dekat Oemenu dan Nuntaen).

Dua tempat terakhir yaitu Matmanas dan Tele menjadi pilihan bagi rombongan untuk dijadikan pusat pemerintahan. Mereka lalu menginformasikan pilihan itu kepada pemerintah Hindia Belanda di Noetoko.

Awalnya, Matmanas (dekat Pasar Baru Kefamenanu) dijadikan ibu kota (pusat pemerintahan). Akibat longsor dan banjir di daerah tersebut, pemerintah Hindia Belanda memindahkan lagi ibu kota ke Tele sekaligus pilihan terakhir.

Ada satu momen yang kemudian menjadi cikal bakal nama Kefamenanu. Beberapa sumber menulis, ketika rombongan tiba di Tele, seorang tentara Belanda ingin mencari sumber air terdekat.

Ia menjumpai salah satu Atoin Meto, sumber-sumber menyebut, orang tersebut bernama Mnune Bani. Yohanes Sanak juga menyebut nama yang sama.

“Di sekitar sini ada sumber mata air kah?” tanya tentara Belanda itu dalam Bahasa Melayu sambil menunjuk ke arah jurang (kali Oemenu).

Mnune Bani yang saat itu sedang membersihkan ladangnya, lalu memberikan isyarat. Mengingat ia tidak terlalu paham dengan Bahasa Melayu.

Kefamnanu, Tuan. Nane kefamnanu,” kata Mnune Bani dalam Uab Meto (Bahasa Dawan) yang jika diindonesiakan, jawabannya seperti ini: “Jurang dalam, Tuan. Itu jurang dalam.”

Tentara Belanda itu tertarik, sebab ada air terjun kecil dan kolam yang cukup luas di dalam jurang – kali Oemenu tersebut.

Sejak saat itu, Kefamnanu menjadi pilihan nama bagi ibu kota Kabupaten TTU hingga saat ini. Mnune Bani sendiri, kata Yohanes Sanak, diangkat menjadi temukung di Nuntae.

Kefamnanu rupanya asyik di telinga orang Belanda. Kefamnanu, nama yang indah untuk didengar. Kefamnanu, nama yang tepat untuk ditulis dan dikenang.

Kefamenanu atau Kefamnanu?

Mengapa hingga saat ini dalam bahasa tulis bahkan hal-hal terkait administratif, Kefamnanu ditulis Kefamenanu? Apakah itu kesalahan teknis? Siapa yang pertama memulai? Ataukah teknis menulisnya memang demikian?

Mari lanjut bertanya, apakah para pendahulu di TTU yang telah mewarisi ‘kesalahan’ penulisan itu? Mengapa saya katakan ‘kesalahan menulis’? Mari, kita ulik lagi.

Kefamnanu yang diucapkan Mnune Bani, dalam Uab Meto berasal dari dua kata. Kefa yang berarti jurang, dan mnanu yang berarti panjang, dalam, dan tinggi. Dalam kaitannya dengan jurang, maka Kefamnanu berarti jurang yang dalam.

Kita bertanya lagi ya, mengapa harus ditambahkan huruf ‘e’ setelah huruf ‘m’ pada kata Kefamnanu dan jadinya Kefamenanu? Jika ini dilakukan secara sadar, maka sungguh ‘terlalu’.

Jika alasannya masalah tata bahasa – aturan penulisan, maka masih terbilang keliru. Oh, ditulis Kefamenanu, tapi dibaca Kefamnanu. Anggapan semacam ini sebaiknya dihilangkan. Kefamnanu itu kata dalam Uab Meto, bukan Bahasa Indonesia.

Lanjut lagi, sambil teguk kopi. Yang belum bikin, bersegeralah. Tulisan ini tidak akan enak dibaca, kalau belum ada kopi yang dinikmati. Teh juga boleh, atau sopi, tapi jangan sampai mabuk e. Ingat pesan Tua Kolo, mabuk bodok, jangan minum. Baiklah, kita lanjut.

Untuk membuat perbandingan sekaligus penegasan, saya mengkonfirmasi seorang putra asli TTU asal Biboki yang juga punya fokus yang sama pada penulisan Kefamenanu.

Dofry Bone, lebih dikenal dengan nama Unu D. Bone sebagaimana tertulis pada akun Facebook miliknya. Kepadanya saya tawarkan, pilih Kefamenanu atau Kefamnanu?

Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Timor (Unimor) itu bilang begini: “Saya lebih memilih Kefamnanu, frasa yang dibentuk dari kata dasar Kefa dan Mnanu, sebagai transposisi dari kata sifat amnanut ketika melekat dengan kata benda.”

Dofry Bone pun memberikan beberapa perbandingan. Ia menyebut kata dengan ciri yang sama seperti Nakamnanu (rambut panjang), Haemnanu (kaki tinggi), dan Nifumnanu (kolam yang dalam).

“Pasti aneh kalau kita bilang Nakamenanu, Haemenanu, Nifumenanu,” katanya yang mengundang tawal kecil saya muncul, tapi sebenarnya sedih.

Dosen Pendidikan Matematik itu menjelaskan, pengucapan dan penulisan kata Kefamenanu, datang dari mereka yang kesulitan menyebut konsonan ‘m’ dan ‘n’ jika ditulis bersambungan dalam satu kata.

Akademisi sekaligus penggiat literasi itu masih sempat bercanda. “Syukur, bukan dari mereka yang mengucap konsonan ‘f’ sebagai ‘p’. Kalau tidak, hari ini kita pasti ikut menyebut Kepamenanu.”

Dofry Bone pun menyinggung kemungkinan lain terkait adanya Kefamenanu. Menurutnya, perlu ditelusuri lebih lanjut. Penggunaan kata Kefamenanu berawal dari Belanda ataukah setelah Indonesia merdeka?

“Orang Indonesia saat urus format administratif pemerintahan, lebih banyak orang luar Dawan yang kesulitan menyebut Kefamnanu. Kalau misalnya Belanda, kita perlu pelajari Bahasa Belanda sebagai pembanding.”

Soal menjawabi dugaan ataupun kemungkinan yang dimaksud Unu D. Bone, entah dari Belanda ataukah Indonesia, akan diulas dalam artikel berikut.

Dengan demikian, masing-masing kita dapat membuat simpulan, Kefamenanu ataukah Kefamnanu?

Entah ke depan diubah atau tidak, perlu kita sadari bahwa selama satu abad (22 September 2022, para pendahulu dan kita di masa kini, merasa nyaman dengan penulisan dan pelafalan yang aneh.

Disadari atau tidak, itulah yang terjadi selama ini. Artikel ini hadir bukan sebagai bentuk protes, adanya untuk ikut merefleksikan satu abad bagi Kota Sari, kota kecil di Timor Barat yang sarat kenangan.***

Dari luar Timor, jauh dari Kefamnanu, 22 September 2022, Herman Efriyanto Tanouf.

Related Posts: