Ia banyak berjasa pada kami.
Anak-anak kuliah jurusan sastra yang selalu takut akan masa depan dengan
kemelaratannya yang pasti. Beberapa kawan kami punya hati yang tak terlalu kuat. Cinta yang
pahit melumpuhkan mereka. Menjadikan dunia mereka seperti neraka, dan segala-galanya
hilang makna.
Ilustrasi: Mando Soriano |
Kawan-kawan itu diselamatkan Bruder Bartholomeus dari kegilaan,
depresi, kegalauan akut, percaya diri yang melompong, penyimpangan orientasi
diri, kecanduan alkohol dan tentu saja usaha-usaha bunuh diri.
Kami biasanya menyapa dia Bruder atau Bruder Barth. Yang paling diingat darinya,
adalah bajunya hanya dua pasang. Pertama adalah jubah dari kelompoknya.
Warnanya gelap, berbahan tebal dan sudah cukup lusuh. Ini dipakainya hampir tiap
hari, dan membantunya diterima pada saat urusan-urusan resmi, termasuk kuliah.
Satu pasang berikutnya adalah sebuah kaos tim sepak bola liga lokal dengan kualitas tiruan. Warna Jersey itupun sudah cukup pudar. Dia memakai baju itu dengan sebuah celana panjang kain berwarna biru tua. Setelan kedua ini dipakai untuk bekerja, baik yang kasar maupun yang tak kasar-kasar amat, seperti bertanam di kebun kelompoknya atau mengurus teman-teman yang sakit.
Ia secara sukarela mencari tahu kabar kawan-kawan yang sakit lalu membezuk dan membantu merawat mereka, juga dengan berkala mengunjungi kawan-kawan yang kos-kos-kosannnya berantakan karena malas atau depresi untuk dia rapikan. Baju itu juga untuk bersantai, bahkan pernah dipakainya naik pesawat.
Dia akrab dengan kami. Karena satu angkatan dan sekelas maka kami sering bersama. Bersama kami, ia kuliah, nongkrong, makan dan minum. Dengan santai Ia akan duduk-dudk bersama kelompok yang suka menonton film biru dan memberi komentar dengan santai seolah itu adalah film dokumenter lama yang sudah sering dan bosan ia lihat, lalu segera berkeliling di kos-kosan atau rumah kontrakan itu mencari hal-hal yang bisa dia perbaiki atau kerjakan. Menguras bak bila kotor atau menyusun kertas-kertas tak terpakai dan memintanya untuk dikilokan. Yak, betul! Uangnya dia simpan dan akan segera dia berikan saat ada yang butuh.
Hobinya adalah bertanam. Ia suka sekali berkebun. Ia berhasil membuat kebun-kebun sayur kecil di beberapa tempat kos kawan kami yang punya sedikit ruang untuk bertanam.
Ia ikut duduk dalam kelompok yang sedang asik menengak alkohol tapi tak setetes pun ikut minum. Ia akan ikut tertawa di tengah suasana yang penuh kabut asap rokok itu. Malahan saat mereka sudah mabuk berat, mulai diam dan terisak-isak, ia jadi tempat mereka curhat, mendengarkan bagaimana mereka liar memaki-maki dan muntah-muntah sebelum pingsan. Kadang ia harus memapah yang terlanjur lelap bermandikan muntahan sendiri di atas jambangan kamar kecil... patah hati tentunya. Hal apa lagi yang bisa se-memuakkan itu.
Dengan sabar ia mendengar keluhan-keluhan kami. Ia ikut tertawa saat ada yang berbagi cerita tentang lupa membawa uang setelah habis memakai PSK di pelacuran. Ia ikut mencari jalan keluar bagi yang kebingungan mengurus kehamilan pacar mereka yang juga sedang kuliah. Dan ia juga menemani kami mengerjakan tugas-tugas kuliah yang kadang dikerjakan sampai pagi terang, dengan cerita-cerita lucu yang entah dari mana ia dapat.
Lelucon-lelucon sederhana tapi punya daya tinju humor yang membuat kami percaya bahwa sekalipun uang menipis, perempuan-perempuan yang kami taksir tak sedikit pun melirik kami, dan hari depan kami begitu kelabu, semua akan baik baik saja. Tak perlu sedih-sedih apalagi gantung diri.
Tentu saja sudah beberapa kali, banyak kali bahkan, dia menerima pemberian kawan-kawan berupa pakaian, uang dan barang-barang lain. Dengan senang hati ia menerimanya lalu langsung dengan semangat menceritakan tentang orang-orang lain, kenalannya, yang sedang butuh barang-barang itu. Bisa dari lingkaran kami ataupun orang-orang lain, ia kenal banyak pengemis, gelandangan, orang-orang gila, dan orang-orang tua yang tak terurus. Pemberian-pemberian itu hanya singgah, sebentar. Ia tak punya apa-apa selain dua setel pakaian, satu tas kain yang isinya buku dan alat tulis seadanya, sebuah jam tangan. Tak ada HP.
Pernah seseorang membelikannya HP. Dia memberikan HP itu pada kawan lain yang sedang kesusahan karena HP-nya kecopetan. Kawan itu memberinya sedikit uang sebagai balasan. Uang itu dia pakai membeli bibit sayuran yang ditanam di kebun kelompoknya dan saat panen dia akan memasak sup banyak-banyak dan mengundang siapa saja untuk makan bersama.
Terakhir kali kami makan bersama, ia memasak sup tomat. Masakan yang menyelamatkan aku dan teman-teman bukan saja dari rasa lapar tapi rasa kehilangan harapan.
Penulis: Mando
Soriano. Tulisan di atas sebelumnya telah dipublikasikan di akun facebook penulis.