LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Agustus 2019

Kebun Tomat


Ia banyak berjasa pada kami. Anak-anak kuliah jurusan sastra yang selalu takut akan masa depan dengan kemelaratannya yang pasti. Beberapa kawan kami punya hati yang tak terlalu kuat. Cinta yang pahit melumpuhkan mereka. Menjadikan dunia mereka seperti neraka, dan segala-galanya hilang makna.
Ilustrasi: Mando Soriano

Kawan-kawan itu diselamatkan Bruder Bartholomeus dari kegilaan, depresi, kegalauan akut, percaya diri yang melompong, penyimpangan orientasi diri, kecanduan alkohol dan tentu saja usaha-usaha bunuh diri.

Kami biasanya menyapa dia Bruder atau Bruder Barth. Yang paling diingat darinya, adalah bajunya hanya dua pasang. Pertama adalah jubah dari kelompoknya. Warnanya gelap, berbahan tebal dan sudah cukup lusuh. Ini dipakainya hampir tiap hari, dan membantunya diterima pada saat urusan-urusan resmi, termasuk kuliah.

Satu pasang berikutnya adalah sebuah kaos tim sepak bola liga lokal dengan kualitas tiruan. Warna Jersey itupun sudah cukup pudar. Dia memakai baju itu dengan sebuah celana panjang kain berwarna biru tua. Setelan kedua ini dipakai untuk bekerja, baik yang kasar maupun yang tak kasar-kasar amat, seperti bertanam di kebun kelompoknya atau mengurus teman-teman yang sakit.

Ia secara sukarela mencari tahu kabar kawan-kawan yang sakit lalu membezuk dan membantu merawat mereka, juga dengan berkala mengunjungi kawan-kawan yang kos-kos-kosannnya berantakan karena malas atau depresi untuk dia rapikan. Baju itu juga untuk bersantai, bahkan pernah dipakainya naik pesawat.

Dia akrab dengan kami. Karena satu angkatan dan sekelas maka kami sering bersama. Bersama kami, ia kuliah, nongkrong, makan dan minum. Dengan santai Ia akan duduk-dudk bersama kelompok yang suka menonton film biru dan memberi komentar dengan santai seolah itu adalah film dokumenter lama yang sudah sering dan bosan ia lihat, lalu segera berkeliling di kos-kosan atau rumah kontrakan itu mencari hal-hal yang bisa dia perbaiki atau kerjakan. Menguras bak bila kotor atau menyusun kertas-kertas tak terpakai dan memintanya untuk dikilokan. Yak, betul! Uangnya dia simpan dan akan segera dia berikan saat ada yang butuh.

Hobinya adalah bertanam. Ia suka sekali berkebun. Ia berhasil membuat kebun-kebun sayur kecil di beberapa tempat kos kawan kami yang punya sedikit ruang untuk bertanam.

Ia ikut duduk dalam kelompok yang sedang asik menengak alkohol tapi tak setetes pun ikut minum. Ia akan ikut tertawa di tengah suasana yang penuh kabut asap rokok itu. Malahan saat mereka sudah mabuk berat, mulai diam dan terisak-isak, ia jadi tempat mereka curhat, mendengarkan bagaimana mereka liar memaki-maki dan muntah-muntah sebelum pingsan. Kadang ia harus memapah yang terlanjur lelap bermandikan muntahan sendiri di atas jambangan kamar kecil... patah hati tentunya. Hal apa lagi yang bisa se-memuakkan itu.

Dengan sabar ia mendengar keluhan-keluhan kami. Ia ikut tertawa saat ada yang berbagi cerita tentang lupa membawa uang setelah habis memakai PSK di pelacuran. Ia ikut mencari jalan keluar bagi yang kebingungan mengurus kehamilan pacar mereka yang juga sedang kuliah. Dan ia juga menemani kami mengerjakan tugas-tugas kuliah yang kadang dikerjakan sampai pagi terang, dengan cerita-cerita lucu yang entah dari mana ia dapat.

Lelucon-lelucon sederhana tapi punya daya tinju humor yang membuat kami percaya bahwa sekalipun uang menipis, perempuan-perempuan yang kami taksir tak sedikit pun melirik kami, dan hari depan kami begitu kelabu, semua akan baik baik saja. Tak perlu sedih-sedih apalagi gantung diri.

Tentu saja sudah beberapa kali, banyak kali bahkan, dia menerima pemberian kawan-kawan berupa pakaian, uang dan barang-barang lain. Dengan senang hati ia menerimanya lalu langsung dengan semangat menceritakan tentang orang-orang lain, kenalannya, yang sedang butuh barang-barang itu. Bisa dari lingkaran kami ataupun orang-orang lain, ia kenal banyak pengemis, gelandangan, orang-orang gila, dan orang-orang tua yang tak terurus. Pemberian-pemberian itu hanya singgah, sebentar. Ia tak punya apa-apa selain dua setel pakaian, satu tas kain yang isinya buku dan alat tulis seadanya, sebuah jam tangan. Tak ada HP.

Pernah seseorang membelikannya HP. Dia memberikan HP itu pada kawan lain yang sedang kesusahan karena HP-nya kecopetan. Kawan itu memberinya sedikit uang sebagai balasan. Uang itu dia pakai membeli bibit sayuran yang ditanam di kebun kelompoknya dan saat panen dia akan memasak sup banyak-banyak dan mengundang siapa saja untuk makan bersama.

Terakhir kali kami makan bersama, ia memasak sup tomat. Masakan yang menyelamatkan aku dan teman-teman bukan saja dari rasa lapar tapi rasa kehilangan harapan.
 ***
Penulis: Mando Soriano. Tulisan di atas sebelumnya telah dipublikasikan di akun facebook penulis.

Related Posts:

Rasis, Peristiwa Papua dan Keberpihakan Media


Dua hari setelah perayaan kenang hari ulang tahun ke-74 Republik Indonesia, tepatnya 19 Agustus 2019,  jalanan di ibu-ibu kota macet, tidak ada aktivitas ataupun pelayanan di kantor-kantor, beberapa sekolah diliburkan. Semua turun ke jalan, menempuh jarak berkilo-kilo meter. Orang-orang masih hanyut dalam perayaan kemerdekaan ini Negara dalam rupa karnaval.


Foto: akun Instagram PSSI

Agar bernilai estetis, nasionalisme berbalut lokalitas, busana daerah dari berbagai etnis dikenakan, sebut saja di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Actus itu dilabeli karnaval budaya, demikian kebiasaan merayakan kemerdekaan dalam segala bentuk, itu budaya!

Pandangan publik, merdeka itu bebas dari segala belenggu, apapun itu (lupakan konsep ‘merdeka’ ala Putu Wijaya). Drum band dari kelompok anak-anak hingga orang muda, bahkan kelompok aparat keamanan, itu suara-suara – pekik kemerdekaan, semua merayakan kemenangan.

Saat yang sama, ada samasaudara di beberapa kota di Papua juga turun ke jalan jalan. Masih sama, jalanan macet-lumpuh total. Apa yang bikin beda?

Tiang-tiang listrik dirubuh-cabut, kantor yang adalah rumah rakyat dibakar, rusuh dimana-mana. Itu bukan pekik kemerdekaan, bukan pula karnaval berlabel budaya, tapi itu semua adalah pekik kesakitan. Iya, mereka sakit, sakit hati yang paling!

Mengapa ada itu rasa sakit? Segala kemugkinan bisa jadi ‘sebab’, tetapi dalam situasi yang demikian, sakit itu datangnya dari sesama yang se-tanah air, sebangsa; hidup bersama sebagai saudara dalam dalam satu 'induk'. Eh, tapi induk kok 'bunuh' anaknya sendiri? Ada sekian catatan panjang kekerasan dan pelanggaran HAM di sana (baca: Pelanggaran HAM). Sesama, untuk beberapa saat dianggap musuh bahkan disapa secara tidak beradab. Disadari atau tidak, nama-nama binatang menggantikan nama manusia. Sungguh rasis!

Mungkin, semua itu akibat dari ego dan amarah yang tak terkendali. Bisa saja dengan mudah kita berucap, tetapi saat yang sama menimbulkan luka dan sakit, bahkan trauma berkepanjangan. Akibat semacam ini tentu tidak kita inginkan bersama. Baiklah sebelum lanjut, mari, bersama Franky Sahilatua melalui gema suara Edo Kondolangit, kita bernyanyi:

Tanah Papua

Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi 
seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
di sana aku lahir
bersama angin bersama daun
aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut, aku Papua 
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua
Biar nanti langit terbelah, aku Papua
dst….


Rasis, Isyarat Superioritas dalam Bangsa yang Majemuk

Indonesia sebagai bangsa yang besar, memiliki banyak suku, budaya, Bahasa, keyakinan, dan lain-lain yang merupakan kekayaan bagi ini Negeri.  Itu sebabnya, persatuan senantiasa menjadi kebanggaan. Ya, kita patut berbangga bahwa kemajemukan menjadikan kita satu, itu luar biasa.

Menjadi orang Indonesia ialah suatu kebanggan lebih. Hidup bersama dalam satu rumah, yang sama. Hidup sebagai saudari dan saudara, itu wujud persatuan. Anda dan saya sebagai bagian intim dari bangsa Indonesia, memang sering merasa bangga, sebab ini negeri dihuni bangsa yang besar, itu kita, di rumah kita.

Namanya juga rumah. Kadang, ‘piring dan gelas’ perlu dibunyikan (selagi tidak pecah), agar kita mampu mengerti lalu memahami arti dari persatuan itu sendiri. Namun keseringan bisa menjadikan kita dimangsa ego hingga actus yang menyata, bisa saja tidak beradab.

Keseringan itulah pertanda adanya superioritas. Ada individu/ bangsa/ suku/ golongan tertentu ingin ‘melebihi’ yang lain. Artinya, bangsa yang majemuk selain sebagai wujud kekuatan, dalam situasi tertentu dapat melahirkan ‘keterasingan’.

Peristiwa Papua menjadi satu catatan penting bagi bangsa Indonesia untuk lebih berbenah lagi. Persatuan tengah diguncang, oleh kita sendiri. Kita boleh sepakat dengan Ligia Judith Giay bahwa “rasisme adalah masalah Indonesia, bukan orang Papua”, pernyataan yang kemudian menjadi judul tulisannya di Tirto.id.

Ligia melalui pengalamannya mengisahkan tentang bagaiamana orang Papua menghadapi berbagai stereotip (serba kekurangan) sampai kemanusiaan pun harus dikoyak-koyak. Anggapan-anggapan ‘serba kekurangan’ terhadap orang Papua “dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda, Indonesia hari ini mengulanginya”.

Ungkapan dan tindakan-tindakan rasis dalam realitas digalakkan oleh kelompok-kelompok mayoritas (superior). Saat ini dialami oleh saudari-saudara asal Papua, bisa saja esok dialami oleh semua kita yang dianggap ‘minim’ dalam segala hal. Atau mungkin sudah terjadi dan berlangsung lama, tapi luput dari perhatian? Entahlah.

Negara, dalam hal ini pemerintah juga belum mampu mengatasi perselisihan yang ada. Masih lebih banyak kata ‘maaf’ dan sejenisnya yang selalu diserukan. Bahkan ada gejala ketakberpihakan pemerintah terhadap teman-teman, korban rasis.

Salah satu contoh adalah memperlambat akses internet (disinformasi) di Papua oleh Kemkominfo beberapa waktu lalu.  Hanya itu sajakah yang bisa dilakukan pemerintah? Sudahkah para pelaku ujaran rasis ditindak tegas?

Sebagai bangsa yang majemuk, keangkuhan dari pihak tertentu sering ditonjolkan. Peristiwa Papua bisa mengukur sejauh mana kerendahan hati dan sikap saling menghargai sebagai samasaudara.

Kita perlu ‘menanam, menumbuhkan dan memelihara’ sikap tersebut. Adalah mulia ketika individu-individu ataupun kelompok-kelompok terus menjadikan itu sikap sebagai spirit yang harus dibangun, bersama!

Pemerintah perlu rendah hati dalam mengatasi masalah yang ada dengan tidak muluk-muluk melontarkan pernyataan-pernyataan seremonial, demikian dengan masyarakat juga harus menyikapi setiap masalah dengan tidak membuat situasi ‘memanas’. Semua pihak, termasuk kita perlu ‘masuk’ ke dalam persoalan. Akar dari segala bentuk rasis perlu ‘dicabut’ dengan kebijakan yang berlaku. Memang berat, tapi itu keharusan! Sebab tindakan rasis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.

Keberpihakan Media Massa, Jurnalisme Damai?

Kebanyakan orang terjebak dalam berbagai stigma buruk tentang Papua, konyolnya beberapa media pemberitaan pun kerapkali menjadikan itu sebagai sasaran pemberitaan. Disadari atau tidak, media-media turut berkontribusi dalam ‘memancing’ rasisme di Indonesia.

Media-media yang tidak netral adalah wujud superioritas yang lain. Media, khususnya jurnalis tampaknya mengabaikan kode etik jurnalistik yang seharusnya memuat jurnalisme damai, sebagaimana dikemukakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kepentingan ‘mengejar klik’ menjadi prioritas, minim referensi (data), lebih mengandalkan ‘hitz media sosial’.

Sayangnya, setelah ada seruan jurnalisme damai, media-media tampak ‘takut’ untuk memberitakan peristiwa serupa. Di satu sisi, persoalan ada pada konsep Jurnalisme Damai itu sendiri.

Eko Rusdianto, wartawan freelance asal Makassar dalam artikelnya “Rasisme Papua dan Praktek Jurnalisme Damai” yang tayang di Geotimes (24/8/2019) mengatakan kalau para jurnalis mendapat instruksi dari redaksi untuk tidak memuat hal-hal sensitif. Kekhawatiran Eko, justru para jurnalis lupa menggali akar masalah dan mempertanyakan penanggung jawab kerusuhan.

Untuk diketahui, Eko dalam artikelnya mengisahkan kerusuhan di asrama mahasiswa Papua, Makassar (20/8/2019). Kaca, tembok dan atap asrama dihujam batu oleh sekelompok orang diiringi seruan-seruan provokatif. Tiga hari pasca kerusuhan, media massa nyaris tak memuat peristiwa tersebut. Apakah para jurnalis ada dalam bayang-bayang Jurnalisme Damai?
Eko Rusdianto, wartawan freelance. (Foto: DestinAsian)

Eko, ketika dikonfirmasi melalui kontak pribadinya mempertanyakan adanya jurnalisme damai. “Saya tidak percaya ada Jurnalisme Damai. Jurnalisme, bagi saya pakem tetap sama. Intinya adalah verifikasi”.

Lebih lanjut ia mengatakan kalau di kemudian hari Jurnalisme Damai dianggap sebagai genre baru, maka bisa jadi ada Jurnalisme Lingkungan, Jurnalisme Sejarah, Jurnalisme Ayam, Jurnalisme Angin, dan isme isme lainnya. “Kalau buat pakem baru di jurnalisme itu, ya jurnalisme alam gaib toh. Wawancara dengan ruh, harus semedi, belajar ilmu dan mantra”.

Menurutnya, sejauh ini praktek jurnalisme damai itu hanya mencari narasumber yang bisa berbicara adem, menceritakan suasana kondusif, tapi melupakan fakta lapangan. “Di Makassar, ini sangat kelihatan. Misalkan pertemuan Kapolda dengan mahasiswa, wartawan dilarang masuk. Itu hal yang keliru”.

Ia mengharapkan, akses informasi ke teman-teman Papua itu terbuka, kecuali jika teman-teman Papua yang tidak mau diwawancarai, itu soal lain. “Di Makassar, kita tak dengar siapa penyulut bentrok? Polisi tak membicarakan atau tak mau tahu”. Sangat memprihatinkan, media dan para pemangku kebijakan seolah tidak berpihak kepada koban rasis.

Sebelum mengakhiri ini tulisan, bersama Iksan Skuter kita berkata sembari bernyanyi: Papua Kucinta

Hitam kulitku bukan berarti kami dendam denganmu
di penjuru dunia tanah kami paling kaya
Papua Papua kucinta

Panah dan tombak bukan untuk menyerangmu
kami ada sebelum republik ini tercipta
Papua Papua kucinta
dst…



Sebagai Negara dan bangsa yang besar pun kita hendaknya mampu menerima kemajemukan sebagai resiko yang memang tidak dapat dihindari. Maka rendah hati adalah gerbang masuk bagi adanya persatuan-persaudaraan. Apapun bentuknya, akar dari segala rasisme harus dicabut!

Kupang, Agustus 2019
HET

Related Posts:

Pemberitaan Peristiwa Papua, AJI Minta Media Terapkan Jurnalisme Damai


Kupang, LekoNTT.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengimbau kepada seluruh jurnalis di berbagai media massa untuk menerapkan jurnalisme damai dalam memberitakan peristiwa Papua. Imbauan tersebut muncul sebagai akibat dari pemberitaan yang terkesan memuat stigma negatif yang bisa saja memicu banyak konflik.

Ada media yang menulis judul berita yang memberi peluang akan stigma negatif. Misalnya, menyebut mahasiswa Papua “keras kepala”, melakukan aksi anarkis”, “membuat rusuh”, dengan tanpa dukungan data dan informasi yang memadai. Ada juga media yang pemberitaannya tidak berimbang, tidak meminta pihak yang dituduh berbuat rusuh tersebut menyampaikan informasinya.

Pemberitaan itu berawal dari peristiwa pengepungan organisasi massa, satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, polisi dan tentara terhadap sejumlah mahasiswa di asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus 2019. Pemicunya adalah kabar tentang adanya pengrusakan tiang bendera, infromasi yang dibantah oleh mahasiswa Papua. Selama pengepungan, terlontar umpatan bernada rasis, menggunakan nama binatang kepada mahasiswa Papua.

Peristiwa itu disusul sejumlah insiden lain di kota Malang dan Semarang. Puncaknya, Senin, 19 Agustus 2019, ratusan orang di Papua dan Papua Barat memblokade sejumlah jalan dengan merobohkan pohon. Salah satunya terjadi di Jalan Yos Sudarso, Manokwari, Papua Barat, massa juga membakar Gedung DPRD di Kota Manokwari. Protes serupa juga terjadi di Jayapura, massa turun ke jalan dan memblokir jalan utama menuju Bandara Sentani.

Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia, menilai pemberitaan di beberapa media terkait peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang dan Papua tersebut, mengabaikan prinsip jurnalisme damai. “Ada media yang tak cukup sensitif atas keadaan, yaitu dengan mengangkat dampaknya terhadap etnis tertentu. Secara tak sengaja, pemilihan sudut pandang seperti ini mengabaikan prinsip jurnalisme damai dalam pemberitaan bernuansa konflik karena bisa memicu dampak susulan,” ungkap Abdul dalam keterangan pers yang diterima LekoNTT.com, Selasa (20/8/2019).

Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia (Foto: CNN Indonesia/ Hesti Rika)

Menurutnya, dengan menerapkan prinsip jurnalisme damai, maka pemberitaan tak berpretensi untuk menghilangkan fakta. Hal yang lebih diutamakan adalah memilih atau menonjolkan fakta yang bisa mendorong turunnya tensi konflik dan ditemukannya penyelesaiannya secara segera.

Hal senada ditegaskan Dandy Koswaraputra, Ketua Bidang Pendidikan, Etik dan Profesi AJI Indonesia. Ia mengimbau agar jurnalis dan media mematuhi kode etik jurnalistik dalam peliputan dan pemberitaannya. Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik mengingatkan jurnalis dan media untuk "tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras...".

Dandy Koswaraputra, Ketua Bidang Pendidikan, Etika dan Profesi AJI Indonesia. (Foto: Hidayatullah/ Zulkarnain)

Sikap itu ditunjukkan antara lain dengan tidak mudah mempercayai informasi, apalagi sekadar tuduhan, dari ormas, TNI atau Polri. Dalam membuat berita juga hendaknya jangan mengesankan membenarkan tindakan yang rasis itu, baik oleh ormas maupun aparat keamanan,” ungkap Dandy.

Lebih lanjut, Dandy mengimbau agar jurnalis dan media melakukan verifikasi sebelum melansir berita, menghindari memuat berita dari sumber yang tidak jelas dan menuliskannya seakurat mungkin berdasarkan fakta. Media hendaknya tidak tergoda untuk memuat berita sensasional, meski itu mengundang jumlah pembaca yang tinggi.

Pemerintah Indonesia diharapkan melakukan proses hukum terhadap massa, organisasi massa, TNI atau Polri, yang bersikap rasis. Sebab sikap itu merupakan pidana menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Aparat keamanan harus menghormati aspirasi yang disampaikan warga Papua, yang disampaikan secara damai dan memenuhi ketentuan hukum, karena itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi Konstitusi. (ed.het).

Related Posts:

Razia Buku ‘Kiri’, Upaya Mematikan Geliat Literasi dan Membungkam Ke-MERDEKA-an


Akhir-akhir ini razia buku yang diduga berhaluan ‘kiri’ marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada akhir Desember 2018, razia buku terjadi di Kota Kediri, Jawa Timur yang dilakukan oleh aparat TNI dari Kodim 0809 Kediri. Razia tersebut dilakukan setelah aparat bersangkutan mendapat laporan dari warga setempat. Sebanyak ratusan judul buku yang berhasil dirazia sebagaimana dilansir BBC News dalam artikel berjudul Razia buku: Mengapa buku-buku kiri menjadi sasaran (9/1/2019). Beberapa di antaranya, Manifesto Partai Komunis, Catatan Perjuangan 1946-1948, Gerakan 30 September dan Oposisi Rakyat.

Berselang dua minggu, razia buku terjadi lagi di Kota Padang, Sumatera Barat, tepatnya 8 Januari 2019. Razia tersebut melibatkan apparat gabungan TNI, POLRI dan Kejaksaan Negeri. Terdapat enam eksemplar dari tiga judul buku yang dirazia, antara lain, Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno, Kronik 65 dan Jasmerah.

Lima bulan setelah peristiwa itu (27 Juli 2019), aksi yang sama dialami dua mahasiswa asal Jawa Timur yang tergabung dalam Komunitas Vespa Literasi. Lagi-lagi, razia dilakukan oleh aparat POLRI dari Kepolisian Sektor Kraksaan, Probolinggo, Jatim dan didukung oleh MUI. Sesuai laporan reporter Tirto.id dalam artikel berjudul Razia Buku Sudah Dilarang, Kok Pembawa Buku DN Aidit Ditangkap? ada beberapa buku yang berhasil ‘direbut’ antara lain, D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat D.N. AIDIT dan Marxisme & Leninisme.

Setelah seminggu, publik terutama di dunia maya dihebohkan lagi oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia, ini bukan aparat keamanan seperti TNI dan POLRI. Beberapa buku yang berhasil disita, seperti dimuat di Tirto.id (2/8/2019) adalah Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka dan Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Kedua buku tersebut ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, Pastor, Budayawan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Beberapa kasus di atas menjadikan literasi baca-tulis di Indonesia ‘berwajah’ melankolik. Buku bukan lagi menjadi teman setia bagi setiap mereka yang ingin hidup secara beradab. Ialah mereka yang senantiasa merawat ingatan dengan membaca dan menulis. Sebagai actus, membaca tentu bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi tidak bagi aktivitas menulis.

Ditilik dari beberapa judul yang ada, maka dapat diketahui bahwa buku-buku tersebut meyimpan catatan panjang dan mendalam tentang sebagian sejarah di ini negeri. Bukankah adanya Negara tidak terlepas dari situasi historis? Bagaimana mungkin sebuah bangsa mengetahui seluk-beluk adanya Negara yang tengah dihuni tanpa membaca? Sudahkah bangsa di ini negeri menghargai para pemikir dan penulis yang menjadikan mereka sangat beradab?

Buku-buku yang memuat catatan sejarah, berhasil dirawat oleh oleh para penulis yang mencintai ingatan. Cara mereka mencintai bukanlah sebuah imajinasi belaka, sebagaimana ketika Anda membaca karya-karya fiksi sampah yang mengandalkan romantisme belaka. Ketahuilah bahwa cinta yang mereka wujudkan itu melalui riset bertahun-tahun, data dikumpulkan, diolah, otak diperas dengan seperangkat teori dan kemampuan menulis mumpuni, hingga akhirnya menjadi sebuah buku.

Lantas bagaimana cara kita menghargai buah pikir dan usaha kreatif para penulis? Cukuplah dengan membaca, kalau tidak punya selera, baca buku lain saja, bukan dengan cara menjarah, menghancurkan, merazia atau sejenisnya. Sangat disayangkan, ketika buku-buku direbut tanpa proses dan alasan masuk akal apalagi tidak dibaca.

Bagaimana Seharusnya Mereka Bertindak?

Tanggapan dari berbagai pihak terkait razia buku yang marak terjadi, menimbulkan kecurigaan publik terhadap oknum-oknum tersebut. Kecurigaan itu bisa kita simpulkan dalam sebuah pertanyaan mendasar: Sudahkah mereka baca buku-buku yang dirazia?

Pertanyaan sekaligus kegelisahan itu muncul sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dari pihak-pihak yang melakukan razia. Buku-buku yang diduga memuat paham ‘kiri’ dirazia tanpa suatu proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka bertindak sewenang-wenang tanpa alasan yang mampu diterima nalar sehat (orang-orang beradab).

Sejauh ditelusur, mereka hanya melihat tampilan buku, baik judul, warna cover maupun ilustrasi. Hal terpenting yang luput dari perhatian adalah isi buku. Dapat disimpul, pihak-pihak yang melakukan razia itu, sebelumnya memang tidak membaca isi buku samasekali.

Tidak membaca bukan berarti tidak paham, juga bukan berarti oknum-oknum tersebut tidak tahu membaca, ini kan namanya sin namkak! Tindakan itu justru dilandasi oleh pemahaman lebih tentang paham-paham berhaluan ‘kiri’, sayangnya dibangun di atas fanatisme yang berlebihan.

Fanatisme dalam paksaan ego menjadikan mereka bertindak tanpa suatu pertimbangan matang, juga tanpa melalui proses yang diamanatkan dalam peraturan. Jika kemudian tindakan itu didasarkan pada Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 yang berisi tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan paham komunisme di Indonesia dalam segala bentuk, Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP, maka tindakan itu sangat keliru.

Walaupun produk-produk hukum tersebut tetap berlaku hingga saat ini, tetapi tindakan tersebut tetap harus melewati proses yang tepat. Salah satu proses yang harus ditempuh adalah seizin pengadilan sebaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010.

Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/ 1963, bertentangan dengan konstitusi. Artinya, segala pendekatan terhadap ancaman paham ‘kiri’ harus sesuai hukum yang berlaku, bukan sebaliknya bertindak sewenang-wenang.

Menghancurkan Peradaban, Mematikan Geliat Literasi

Adanya sebuah buku berkaitan erat dengan salah satu literasi dasar, yakni baca-tulis. Sebagai literasi yang memiliki peran (fungsional), membaca dan menulis memampukan seseorang memiliki pengetahuan dan kehidupan yang baik. Membaca tidak terbatas pada aktivitas di tengah waktu luang, tetapi sebagai kebutuhan paling mendasar bagi siapa saja. Demikian pun dengan menulis adalah respon atas segala realitas masyarakat dan semesta.

Peradaban sebuah bangsa hanya akan kokoh oleh kedua actus tersebut. Jika membaca adalah usaha mendulang pengetahuan, maka menulis adalah usaha kreatif untuk ‘menyediakan’ ide atau pengetahuan itu sendiri. Upaya merazia buku-buku yang menyimpan segudang pengetahuan, itu sama saja menghancurkan peradaban sebuah bangsa.

Fernando Báez dalam bukunya Penghancuran Buku dari masa ke masa (terjemahan Lita Soerjadinata) yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri (2013), menggambarkan secara dramatis upaya penghancuran buku oleh para biblioklas (penghancur buku).

Báez di halaman awal bukunya, menyuguhkan kepada pembaca sebuah kisah melankolik yang dialami seorang profesor sejarah abad pertengahan di Bagdad. Profesor itu meratapi peristiwa penjarahan dan penghancuran buku di perpustakaan Universitas Bagdad, tempat ia mengajar. “Kenangan kita tidak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu,” ungkap profesor tersebut seturut kisah Báez (hal. 3).

Báez juga mengisahkan sejarah penghancuran buku dari zaman Dunia Kuno, Byzantium sampai abad k-19, selanjutnya abad ke-20 sampai saat ini. Báez setelah melakukan riset selama 12 tahun kemudian mencapai suatu kesimpulan bahwa para penghancur buku adalah orang-orang terpelajar yang berupaya menyingkirkan buku-buku oleh sebab tekanan mitos-mitos apokaliptis, depresif, perfeksionis, egois dan cenderung berada dalam lembaga yang berada dalam kekuatan yang sedang berkuasa (Báez, hal. 22).

Di Indonesia sendiri, Airlangga Pribadi, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga menilai, razia buku terjadi sebagai akibat warisan Orde Baru yang membatasi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri. Aparat ingin menjadikan paham tersebut sebagai mitos (BBC News, 9/1/2019).

Di lain pihak, Romo Magnis yang beberapa bukunya juga turut disita menilai secara tegas, razia buku sebagai tanda kebodohan besar dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana dimuat dalam artikel Tirto.id, “Razia Buku Makassar: Beraksi karena Sampul Marx, tapi Tak Paham Isi”. Ia mengganggap, orang-orang yang melakukan razia hanya ingin menyebarkan kegelisahan akan adanya Leninisme dan Marxisme di Indonesia.

Tanggapan-tanggapan tersebut tentu menyayangkan usaha penyingkiran buku dalam segala bentuk. Aksi tersebut pun tanpa melalui proses yang sahih dan tidak dibenarkan. Penyingkiran buku tidak lebih dari bayang-bayang ketakutan akan masa lalu dan vandalisme yang berujung pada hancurnya peradaban bangsa.

Pemerintah dengan dukungan dari berbagai komunitas literasi di Indonesia, bahkan kebanyakan komunitas bergiat dan memilih jalan sendiri, semarak mengkampanyekan literasi sebagai sebuah gerakan. Ada juga usaha beberapa komunitas yang peduli pada literasi dasar itu, turun ke jalanan untuk mendekatkan bahan bacaan kepada masyarakat.


Tantangan paling besar yang sering dijumpai adalah terbatasnya bahan atau akses bacaan.  Itu sebabnya para pegiat literasi berupaya untuk membangun jaringan yang kiranya mampu mengatasi persoalan yang ada. Dimana-mana, buku-buku didonasikan ke berbagai daerah (pelosok) di Indonesia.

Harapan besar akan generasi Indonesia yang ‘melek’ baca, sudah ada. Jika kemudian ada usaha-usaha menghalangi peredaran buku, tiada bedanya dengan mematikan geliat literasi itu sendiri. Apalah arti dari Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?

Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia, perlu mengetahui pemikiran-pemikiran dari luar. Paham ‘kiri’ atau apalah itu, seperti Marxisme, Leninisme dan lainnya, selagi dibaca sebagai usaha menambah pengetahuan tanpa praksis, hemat saya itu bukan sebuah ancaman bagi ideologi bangsa dan Negara.

Membungkam Ke-MERDEKA-an

Ini hari, 17 Agustus 2019, seluruh lapisan masyarakat merayakan hari ulang tahun ke-74 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hampir seabad Indonesia merdeka, di mana-mana, lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, Merah Putih dikibarkan di tiang-tiang istana hingga media-media sosial, nasionalisme dan patriotisme digaungkan, di balik itu semua ada bayang-bayang ‘mencekam’.

Belum lama dan mungkin akan terjadi lagi tindakan yang tidak beradab, adanya sebagai wujud bayang-bayang itu. Ialah razia buku yang mengindikasikan adanya ‘kekuasaan’ yang lain. Masyarakat seolah dikungkung kemerdekaannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Negara melalui ‘kekuasaan’ itu, tidak lagi menjamin secara mutlak usaha warga Negara untuk berpengetahuan lebih, kebebasan menampung ide, dibatasi. Sudahkah ini bangsa merdeka?

Jika Belanda dan Jepang adalah masa kelam bagi Indonesia di masa lalu, maka di kekinian Indonesia sebagai sebuah Negara tengah menjajah bangsanya sendiri dalam segala bentuk. Selain kemiskinan, kesenjangan sosial, kriminalitas, dan lain-lain, kebodohan juga menjadi salah satu masalah besar di ini Negara. Kebodohan itu sendiri tidak terbatas pada orang-orang yang memang tidak memiliki pengetahuan samasekali, tetapi ada pada mereka yang merasa pintar. Eh, bukannya harus pintar merasa?

Kita boleh sepakat dengan pernyataan Romo Magnis bahwa razia buku adalah tanda kebodohan dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan. Lebih jauh dari itu, razia buku menjadi upaya dari pembodohan terhadap bangsa, secara individu. Upaya pembodohan inilah suatu bentuk hegemoni yang sebenarnya tengah dibangun dengan dalil ‘ancaman’ terhadap ideologi. Catatan riil di masa lampau dijadikan mitos yang tentunya menghancurkan peradaban.

Razia buku, itu usaha mendatangkan ancaman yang lebih besar. Semakin marak dilakukan, masyarakat semakin ingin tahu akan paham-paham ‘kiri’. Tampilan fisik boleh saja dirazia, disingkirkan dan dihancurkan, tetapi akan semakin banyak e-book yang tersebar di mana-mana, mudah diakses siapa saja. Apapun tindakan itu, jangan sampai menghancurkan peradaban, mematikan spirit literasi yang tengah dibangun dan menjadikan bangsa senantiasa dijajah. Merdeka!
***
Kupang, Agustus 2019
Herman Ef Tanouf

Related Posts:

Steven Adler: dari Guns N' Roses, Narkoba, hingga Buku


Oleh: Derby Asmaningrum*


Saya tidak tahu apakah ini hanya sebuah sensasi atau memang benar-benar sebuah kegagalan eksekusi, nama Steven Adler pada 28 Juni 2019 lalu tiba-tiba mencuat dalam pemberitaan dunia hiburan khususnya musik. Oleh sebab insiden tusuk-menusuk perut, ia harus dilarikan ke rumah sakit.

Tak lama, pihaknya menyatakan bahwa kejadian itu tidak disengajai dan bukan percobaan bunuh diri. Ketika saya baca update-nya di media online beberapa hari kemudian, ternyata pria berusia 54 tahun itu mengabarkan bahwa dirinya masih hidup dan dalam kondisi sehat. Informasi tersebut tanpa merinci kronologi di balik perbuatannya yang sebetulnya ingin sekali saya ketahui. Entahlah jika ia memang memilih untuk menyembunyikan sesuatu.

Steven Adler (kedua dari kanan) drummer asli Guns N' Roses (GNR), band hard rock yang menggemparkan jagat raya pada akhir tahun 80-an. (Ki-ka): Duff McKagan (bass), Slash (lead guitar), Axl Rose (vokal) dan paling kanan Izzy Stradlin (rhythm guitar). (Foto: rollingstone.com/Ross Halfin)

Siapakah Steven Adler? Pastinya bukan tetangga sebelah rumah saya. Steven Adler yang terlahir dengan nama Michael Coletti ini adalah drummer pertama Guns N' Roses (GNR), band beraliran hard rock yang musiknya mendapat pengaruh dari AC/DC, Queen hingga Aerosmith.

Terbentuk pada tahun 1985 setelah ribet bongkar pasang personil, band yang akhirnya beranggotakan Axl Rose (vokal), Slash (lead guitar), Duff McKagan (bass), Izzy Stradlin (rhythm guitar) dan Steven Adler sendiri, telah melahirkan sebuah album studio perdana dahsyat. Appetite for Destruction (1987) yang seketika menarik perhatian dunia musik rock, terjual lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia. Disebut-sebut sebagai salah satu album terbaik sepanjang masa.

Lagu-lagu pada album itu timeless, melegenda dan memberikan appetite tersendiri buat kuping para rock n' rollers, sebut saja Welcome To the Jungle yang merupakan ekspresi kelima anak muda ini tentang ganas dan carut-marutnya kehidupan yang mereka jalani. Paradise City yang bercerita tentang kampung asal mereka yakni Los Angeles, Amerika Serikat atau lagu sayang-sayangan Sweet Child O Mine yang liriknya manis-manis gulali gula jawa ditulis sang frontman Axl Rose terinspirasi kekasih tercintanya saat itu, Erin Everly, puteri dari Don Everly, salah satu personil duo Everly Brothers.

Album itu pun memenangkan kategori Favorite Heavy Metal/ Hard Rock Album pada American Music Awards (AMA) tahun 1990 mengalahkan senior mereka Mötley Crüe dengan album Dr. Feelgood (1989) dan Skid Row dengan album self-titledSkid Row (1989).



Sebuah Harga yang Harus Dibayar Mahal

Menjadi seorang rockstar adalah cita-cita Adler sejak berumur 11 tahun. Bersamaan dengan itu ia mulai kecanduan ganja dan semakin mantap menggunakan heroin ketika beranjak dewasa, hasil dari pergaulan. 

Bersahabat dengan Saul Hudson (Slash) sejak di bangku SMP, ia selalu memperluas jaringan pertemanan terutama dengan para musisi hingga akhirnya bertemu dan nge-jam bareng Hollywood Rose, band besutan Axl Rose dan Izzy Stradlin. 

Setelah GNR terbentuk dan mulai merangkaki puncak dunia, Adler mulai habis-habisan menggauli heroin, kokain hingga Speedball (campuran heroin dan kokain) dalam dosis tinggi. Ramuan Speedball inilah yang kerap membawanya ke ujung kematian, overdosis. 

Selalu teler akibat duo bubuk-bubuknya itu, Adler dianggap tidak bisa menjalankan aktivitas manggung dan proses rekaman (ketika itu untuk album kedua Use Your Illusion) dengan semestinya. Setelah diberi beberapa ultimatum dari GNR yang ia remehkan, maka pemecatan pun menjadi jalan terakhir. 

Pada 11 Juli 1990 karirnya bersama band yang dibanggakannya itu resmi tamat. Ia hanya diberi ongkos selamat tinggal sebesar 2.000 dolar. Royalti dan segala kredit untuk kontribusinya semasa di GNR dibabat habis yang mengakibatkan ia mengalami masalah keuangan setelahnya. Menyadari GNR menendangnya seenak jidat, pada tahun 1991 ia maju ke pengadilan menuntut mantan band-nya sendiri. 

Kasusnya selesai pada tahun 1993 dimana ia menang dan mendapatkan ganti rugi sebanyak 2,5 juta dolar dan akan seterusnya menerima royalti sebesar 15 persen dari kontribusinya bersama GNR. Posisi Adler segera digantikan oleh Matt Sorum, penabuh drum dari band yang ketika itu beraliran gothic rock, The Cult.

Sebetulnya sungguh disayangkan kisah pemecatan ini karena lagu-lagu untuk album GNR berikutnya seperti Don't Cry, Back Off Bitch, You Could Be Mine (yang nantinya menjadi OST Terminator 2 Judgment Day, 1991) sudah diisi dengan drum tracks milik Adler yang akhirnya harus ia relakan untuk diutak-atik oleh sang drummer pengganti. Namun setidaknya ia masih bisa tersenyum, meski kecut, mengingat lagu terakhir yang ia rekam bersama GNR adalah Civil War dan ditampilkan dalam album kedua mereka, Use Your Illusion II (1991).

Ciri khas permainan drum Adler yang rock n' roll telah memberi warna tersendiri pada lagu-lagu GNR. Salah satu teknik bermainnya terdapat di sepanjang verse lagu Welcome To the Jungle dimana ia menampilkan teknik Hi-Hat (simbal) yang unik. Setelah ia dipecat, saya rasa usai sudah formasi perkasa band yang telah membuat dunia musik rock gonjang-ganjing. Sound GNR di album Use Your Illusion sudah berbeda, tidak lagi terasa magical tanpa swing dan groove sang drummer pertamanya.

Konser GNR tahun 1988 (klik di sini) ketika menggeber tembang seksi Rocket Queen memperlihatkan gaya permainan drum Adler yang telah membuat saya mengalami rockgasm akut. Saya tidak bisa tidur semalaman meski sudah mandi kembang dan pakai Sari Puspa.

Adalah patah hati yang berkepanjangan, didepak GNR membuat Adler semakin tenggelam dalam pusaran narkoba. Ia telah mengalami 28 overdosis, tiga kali percobaan bunuh diri, masuk penjara karena kepemilikan heroin dan tuduhan kekerasan seksual yang ia sanggah karena merasa dijebak. Ia juga pernah mengalami koma (hampir dinyatakan koma seumur hidup) pada 19 April 1996, apalagi kalau bukan karena Mr. Brownstone (julukan yang diberikan GNR untuk narkoba yang juga menjadi salah satu judul lagu mereka).

Tiga hari kemudian ia siuman namun pada saat itu juga ia harus menerima stroke pada bagian wajah sebelah kanan sebagai cobaan hidup berikutnya. Sungguh, ia masih termasuk beruntung karena stroke yang mendera tidak sampai mempengaruhi koordinasi gerakan tangan dan kakinya yang nyata-nyata ia butuhkan untuk bermain musik. 

Tidak kapok. Itulah nama tengah yang tepat buat Adler saat itu. Rehabilitasi berkali-kali, koma dan stroke tidak berhasil menghentikannya dari candu heroin. Di tahun 2007 dalam program televisi di channel VH1 bertajuk Celebrity Rehab with Dr. Drew, akhirnya membulatkan keinginannya untuk sembuh dan di saat yang sama ia juga bertekad untuk pulih dari stroke. 

Tidak pernah mudah, ia harus belajar dari awal lagi seperti anak-anak yang baru sekolah mengeja kata-kata. Perlahan-lahan ia membaik meski hingga sekarang ketika berbicara kalimatnya kerap terdengar tidak jelas akibat stroke yang pernah dideritanya itu.

Sang drummer di penghujung tahun 80-an, rocker muda dengan mimpi-mimpi yang layu sebelum benar-benar berkembang. (Foto: forums.stevehoffman.tv)

Habis Kelam, Terbitlah Buku

Sebagai musisi, Steven Adler adalah sosok survivorGNR survivorrock n' roll survivor dimana kebanyakan rekan-rekan sejawatnya hancur lebur dalam lingkaran seks, narkoba dan alkohol yang kemudian tewas karena overdosis, alcohol poisoning atau bahkan karena mengidap AIDS. Adler seakan mempunyai banyak nyawa untuk tetap hidup. 

Saat itu ia dilabeli rockstar, pecandu, pecundang, hidup sudah di ambang maut namun akhirnya sembuh dan kembali bermusik seperti sediakala.  Ia termotivasi untuk menceritakan lika-liku perjalanan hidupnya ke dalam lembaran-lembaran buku yang ia persembahkan, terutama untuk para penggemar setia GNR yang selalu mendukungnya dari awal karir hingga kini. 

Karyanya yang diberi judul My Appetite for Destruction : Sex and Drugs and Guns N' Roses dikerjakan tahun 2009. Ia dibantu oleh seorang teman prianya Lawrence J. Spagnola, seorang pelaku perfilman, musisi sekaligus penulis dan diterbitkan pertama kali tahun 2010.

Derby dan buku Sang Rockstar kesayangannya (Foto: Derby Asmaningrum)

Pengalaman hidupnya yang tumpah ruah setebal hampir 300 halaman itu berisi tentang kehidupan masa kecil, awal ketertarikannya dengan musik rock, karir bersama GNR termasuk kerumitan hubungan antar sesama personilnya. Ia pun membeberkan kisah cinta dan pernikahannya di tahun 1989 yang bubar jalan begitu saja, flirting, seks bebas, pelecehan seksual yang dialaminya ketika masih remaja dan tentu saja tentang pergulatannya dengan narkoba hingga bagaimana ia kembali bangkit untuk menemukan jalan pulang. 

Kisahnya yang liar sekaligus inspirasional tersebut ia tulis dengan antusias, rangkaian kalimat-kalimatnya yang kadang serius kadang jenaka yang membuat saya ngakak-ngakak sendiri ketika membacanya. Semuanya ia ceritakan dengan terbuka, blak-blakan, apa adanya.

Salah satu yang menarik perhatian saya dalam itu buku adalah ketika Adler harus bekerja serabutan mati-matian siang-malam, dari pembuat adonan pizza, pengelap meja di restoran, pegawai mini market tengah malam hingga bekerja di pom bensin, saat itu ia berusia belasan tahun dan tidak ingin melanjutkan sekolah. Pekerjaan apa saja dilakoninya untuk mengumpulkan uang demi membeli drumset profesional yang ia idam-idamkan, kemudian berhasil menjadi miliknya. 

Itu buku juga telah menjawab rasa penasaran saya tentang awal mula Adler belajar drum yang ternyata otodidak. Tiap malam, ia selalu menyelinap ke dalam gedung pertunjukan dimana band-band terkenal saat itu tengah manggung. Ia menemukan sebuah ruangan yang sangat sempit namun bisa membuatnya bebas mengintip dari atas melalui salah satu dindingnya yang sudah retak sehingga ia bisa melihat langsung ke bawah, ke arah drum. 

Dari situlah ia memperhatikan dan merekam dalam otaknya segala gerak-gerik dan teknik bermain para drummer. Pengalaman itu yang memampukan ia belajar sunguh-sungguh hingga menemukan gaya permainannya sendiri, sejalan dengan awal karirnya bersama GNR.

Di akhir autobiografinya, rocker yang sejak SMP juga bersahabat dengan Michael Peter Balzary alias Flea, pemain bas dari band Red Hot Chilli Peppers ini berharap para pembacanya terutama pencinta rock n' roll, bisa melihat seperti apa kehidupan seorang pecandu. Selain itu, ia juag mengutarakan bagaimana heroin telah 'memanjakan' sekaligus meluluhlantahkan hidupnya sehingga mereka semua akan berpikir dua kali untuk tidak menjadi seorang junkie seperti dirinya.
Rincian perjalanan hidup sang drummer yang tertuang pada lembar demi lembar buku karyanya. (Foto: Derby Asmaningrum)

Rock and Roll Hall of Fame

Setelah buku, halinat neno (berkat/rejeki/keuntungan) nampaknya masih berpihak kepada musisi yang satu ini. Steven Adler mempersunting seorang mujer latina Argentina (mujer = wanita) bernama Carolina Ferreira pada tahun 2002.

Pada 14 April 2012, personil GNR formasi lama (classic lineup) yang terdiri dari Axl Rose, Slash, Duff McKagan, Matt Sorum, Dizzy Reed (keyboard) dan Steven Adler dilantik menjadi penghuni Rock and Roll Hall of Fame, kategori Performer, namun sayang Axl Rose, Izzy Stradlin dan Dizzy Reed memutuskan untuk absen.

Hall of Fame sendiri merupakan sebuah museum bertempat di kota kelahiran Adler, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat yang didedikasikan untuk merekam sejarah para artis, produser, dan orang-orang yang sangat terkenal dan memiliki pengaruh yang sangat besar di industri musik, terutama rock and roll. Artis-artis yang dilantik harus memiliki pengaruh yang cukup besar dan telah berkarir sedikitnya 25 tahun sejak merekam album pertama.

Selain menunjukkan keunggulan dan bakat musik yang tidak diragukan lagi, orang yang dilantik akan memiliki dampak signifikan pada evolusi dan pelestarian musik rock and roll itu sendiri. Bagi Adler, penganugerahan Rock and Roll Hall of Fame adalah mimpi yang nyata, momen terbaik sepanjang karir dan hidupnya. Pria kelahiran 22 Januari 1965 itu merasa lega, akhirnya dirinya diakui dan dicatat sejarah sebagai bagian dari salah satu band rock 'berbahaya' di dunia. Itu dulu, suatu ketika!

Momen Rock and Roll Hall of Fame ini juga dianggapnya sebagai saat yang tepat untuk menutup chapter GNR di hidupnya. Ia memang mencintai GNR dan selalu ingin menjadi bagian dari band yang semua personilnya sudah ia anggap sebagai kakak-kakaknya sendiri.

Namun masa-masa itu baginya telah selesai. Kini ia siap memulai lembaran hidupnya yang baru. Impiannya tidak muluk-muluk, ia hanya ingin bermusik, menerbangkan kembali hasrat rock n' roll-nya. Kali ini bersama Adler's Appetite, band hard rock yang ia bentuk pada tahun 2003 silam, namun sempat terbengkalai karena kisah-kasihnya dengan heroin.

Saya sudah mendengar lagu-lagu GNR yang ada di album Appetite for Destruction seperti Nightrain, Rocket Queen, Paradise City, Patience (GNR Lies, EP 1988), Don't Cry atau si tersohor November Rain (Use Your Illusion I, 1991). Itu salah satu aktivitas saya sejak duduk di bangku SMP dimana teman-teman sebaya kala itu dimabukkan oleh Basketcase milik Greenday dan dikejar-kejar Zombie-nya The Cranberries. Bagi saya GNR adalah Axl Rose, Izzy Stradlin, Duff McKagan, Slash dan Steven Adler. TITIK! Tanpa Steven Adler, GNR kehilangan separuh nafas rock n' roll-nya.

GNR classic lineup, ki-ka : Gilby Clarke (gitaris GNR setelah Izzy Stradlin memutuskan keluar di tahun 1991), Matt Sorum (drummer yang menggantikan posisi Steven Adler setelah ia ditendang dari GNR tahun 1990), Duff McKagan, Slash dan Steven Adler setelah tampil dalam Rock N' Roll Hall of Fame 2012 (Foto : nytimes.com/Michael Loccisano)

Adler adalah sosok drummer yang selalu bermusik dari hati, senantiasa menjadi personil yang paling gembira ketika memainkan instrumennya karena baginya, berada di atas pentas haruslah dinikmati dengan ceria, tidak cemberut atau seperti orang yang tengah mengalami konstipasi. Membuktikan kecintaannya akan musik, album Appetite for Destruction adalah wujud dedikasi Adler untuk rock n' roll

Matt Sorum apalagi Frank Ferrer (drummer GNR sekarang) atau mungkin jika nanti Axl Rose akan menggantinya lagi dengan Doraemon atau Nobita, tidak akan ada yang bisa menyamai cara seorang Steven Adler menjinakkan snare drum, bas drum, jejeran tom, dentingan cowbell dan aneka macam simbalnya.

Memang, tiap drummer punya ciri masing-masing, tapi ini GNR, band dengan darah dan denyut rock n' roll dan Adler tercipta untuknya! Dialah the best GNR drummer! Stevie punya semuanya, soul, groove, swing, beat, dan tentu saja, pe-so-na.

Jadi, nanentom kalau lagu berikut ini saya nyanyikan (meski dengan suara sember) untuk sang drummer pirang yang selalu riang, legendaris dan super manis,

Ooh uooh sweet child o mine
Oh oh uh uuhh sweet love of miiiinee....




Referensi:
Steven Adler & Lawrence J. Spagnola. 2011. My Appetite for Destruction: Sex & Drugs & Guns N' Roses. London: HarpersCollins Publishers.
Martin Kielty, 2019, Steven Adler Reportedly  Suffers Self-Inflicted Stab Wound. ultimateclassicrock.com, diakses Juli 2019.
Andy Greene, 2012. Steven Adler on AXL Rose: 'I'm Done With Him'rollingstone.com, diakses Juli 2019.
Rock & Roll Hall of Fame, 2016. Induction Processrockhall.com, diakses Juli 2019.
***
Prancis, 25 Juli 2019

Penulis:
*Derby Asmaningrum, Kompasianer asal Jakarta, kini tinggal dan bekerja di Prancis. Adalah mantan parmugari Singapora Airlines yang suka mendokumentasikan setiap perjalanannya melalui tulisan. Ia juga salah satu penggemar musik rock 80-an.

Ed: HET

Artikel ini pernah dipublikasikan di Kompasiana (25 Juli 2019), kemudian seizin penulis, artikel ini dikurasi dan dipublikasikan lagi di LekoNTT.

Related Posts: