LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for 2023

Pastor, Intrik Cinta dan Pergolakan: Sebuah Tinjauan untuk Karya Felix K. Nesi

oleh: Ivo Mateus Goncalves*

Cover depan Novel Orang-orang Oetimu karya Felix Nesi.
Sumber foto: Marjin Kiri


Judul                : Orang-Orang Oetimu
Penulis             : Felix K. Nesi
Tebal                : 220 halaman
Penerbit           : Marjin Kiri, 2019

Setelah selesai membaca Novel Orang-Orang Oetimu karya novelis muda Felix K. Nesi, imajinasi saya langsung terarah pada “Mereka yang Dilumpuhkan,” karya penulis termashur Indonesia mendiang Pramoedya Ananta Toer. Karya ini sepenuhya tentang pemuda-pemuda Indonesia yang dipenjarakan oleh penguasa Belanda karena eksistensi mereka dianggap mengancam politik dan militer kolonial. Mereka yang dilumpuhkan bisa dianggap sebagai memoar yang tidak hanya menceritakan tentang penderitaan yang dialami oleh para pemuda Indonesia di penjara Belanda, tetapi juga berkisah tentang romansa mereka dengan noni Belanda, istri para perwira, imajinasi liar di saat tidur serta maut yang terus mengintai dan menjemput para tahanan kapanpun, kalau penguasa menginginkan nyawa mereka untuk diakhiri malam itu juga.

Saya telah mendengar tentang karya Felix Nesi ini tahun lalu (2022) setelah novel ini menjadi pemenang 1 sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018. Tentu saja ada alasan yang kuat dari para dewan juri dalam memilih novel ini sebagai yang terbaik dan rasa penasaran inilah yang membawa saya untuk memahami karya ini secara menyeluruh.

Setting dari novel ini adalah sejarah konflik di Timor Leste sejak Portugis mencetuskan ide dekolonisasi, proklamasi unilateral di Timor-Leste pada tanggal 28 November 1975, perlawanan orang-orang Timor terhadap invasi militer Indonesia pada tanggal 7 Desember 1975. Perjuangan ini bermuara pada jajak pendapat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999. Lebih dari itu, yang menarik dari novel ini adalah multisite konflik yang dipaparkan oleh penulis.

Dalam karya ini bisa kita temukan perang saudara yang singkat di Timor-Leste (Fretilin-UDT), pembantaian terhadap kaum komunis di Timor Barat, serta dendam kesumat yang dibawah oleh para pengungsi dari Timor-Leste yang menyberangi perbatasan pasca jajak pendapat pada tahun 1999 serta para mantan pejuang di Timor-Leste (veteran) yang menuntut balas atas kematian sanak keluarganya sampai tanah seberang. Kembali kita temukan bagaimana jargon komunis sebagai senjata paling sakti ketika terjadi pembunuhan terhadap Atino dan kelompoknya oleh aparat militer Indonesia pasca tewasnya Sersan Ipi.

Novel ini adalah perpaduan narasi antara warisan kekerasan di negara post-kolonial, birahi sang pastor muda yang tidak tertahankan dengan para “bidadari” di sekelilingnya (Maria dan Silvy), bahaya laten komunis, serta bagaimana penduduk lokal melakukan perlawanan terhadap para misionaris baik yang dari luar maupun para pastor lokal dalam mempertahankan keyakinan para leluhur yang dianutnya.

Pergulatan antara intrik cinta, dendam, konflik serta gereja dan institusi pendidikanya yang kelihatan anggun ibarat rumah kaca saat dipandang dari luar, tetapi bobrok dari dalam dan selalu dibungkus dengan rapi.

Benar kata seorang kawan bahwa novel ini adalah perspektif penulis dari Timor-Barat tentang Timor-Leste. Tetapi satu hal yang patut diapresiasi adalah penulis sendiri bukan Timor-Barat (sentris) apalagi Indonesia (sentris) yang lebih mengagungkan peranan militer, integrasi Timor-Timur ke pangkuan ibu pertiwi adalah atas kemauan penduduk Timor-Leste sendiri, serta berbagai narasi yang tunggal yang dominan ORBA (sentris).

Novel ini diawali dengan beberapa protagonist seperti Martin Kabiti, Sersan Ipi dan si cantik Silvy yang merupakan gadis pujaan hati Sersan Ipi dan pemuda seluruh kampung Oetimu. Nampak bahwa perang dan dendam tidak bisa dipisahkan dalam karya ini, Kabiti yang sudah jenuh berperang dan kembali ke Timor-Barat. Nasib sersan Ipi lebih tragis, berawal dari kedatangan kakeknya Julio Craveiro dos Santos beserta istrinya Lena dan putri tunggal mereka Laura, yang terakhir ini kelak akan menjadi bunda kandung dari Sersan Siprianus Portakes Oetimu alias Sersan Ipi.

Novel ini bisa dikatakan membuka cakrawala baru tentang sejarah pendudukan Indonesia di Timor-Leste, konflik yang diciptakan oleh tentara pendudukan, dan imbasnya terhadap penduduk sipil. Tentang bagaimana para penulis muda Indonesia menghubungkan karya mereka dengan sejarah konflik di Timor-Leste, Nesi bukanlah penulis satu-satunya. Eka Kurniawan, salah seorang penulis muda Indonesia yang sedang naik daun dan seringkali disandingkan dengan almarhum Pramoedya Ananta Toer oleh mendiang Ben Anderson, menyertakan Timor-Leste dalam karya mutakhirnya Cantik Itu Luka.

Dalam karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa itu, Eka mengaitkan konflik di Indonesia, percintaan sang komunis keras kepala Kamerad Kliwon dengan Adinda, dan bagaimana sang Shodancho yang betisnya ditembusi peluru saat dikirim ke medan perang di Timor-Timur (saat ini Timor-Leste).  Sejak saat itu sang Shodancho terus mengenang penembaknya itu yang menodongkan senapanya sambil menyanyikan lagu Internationale. "Begundal komunis itu ternyata ada di mana-mana,” kata sang Shodancho (Kurniawan hlm. 360).

Kembali ke karya Nesi, sesudah Julio dan Lena (orang tua Laura) dibantai dengan keji di pelabuhan Dili, saat itu juga Laura menjadi tawanan perang tentara pendudukan. Gadis ini kemudian menjadi budak seks para serdadu sampai dia “dibiarkan melarikan diri” oleh seorang tentara asal Timor, sayang sekali sang “pahlawan” ini benar-benar hilang di seluruh isi novel (hlm. 26).

Pembunuhan, pemerkosaan setelah dimabokan oleh minuman keras, saling merampas asset penduduk lokal oleh tentara pendudukan seolah-olah menjustifikasi kata-katanya almarhum Romo Mangun Wijaya, ‘para serdadu itu identik dengan tiga W “war, wine and women.”

Si kakek misterius bernama Am Siki

Pasca dibiarkan pergi oleh sang serdadu Timor, Laura pun berkelana dari satu ke tempat lainnya, kelaparan dan kurus krempeng. Sampai dia bertemu dan diselamatkan oleh tokoh Am-Siki dalam keadaan sekarat dengan pakaian compang-camping.

Am-Siki sendiri adalah seorang figur yang dikenal luas di seantro Oetimu sebagai seorang kakek yang memiliki kesaktian tanpa tandingan. Dia menjadi legenda dan buah bibir setelah berhasil menaklukan beberapa serdadu Jepang dan membakar kamp mereka sampai rata dengan tanah hanya untuk menyelamatkan kuda betinanya yang beramai-ramai diperkosa oleh para serdadu Jepang saat dia ditawan oleh tentara Nipon (hlm. 37).

Dengan naluri seorang kakek, Am Siki merawat Laura beserta jabang bayinya, sampai Laura melahirkan. Laura sendiri bertahan hidup hanya untuk melahirkan putranya itu, setelahnya Laura sudah jarang makan masakan yang dihidangkan oleh Am Siki, sampai ajal menjemputnya. Sersan Ipi sendiri tidak terlalu mengagumi almarhumah bundanya, karena dia anggap Laura sebagai seorang perempuan yang egois, bertahan hidup hanya untuk melahirkannya kemudian meninggalkanya (hlm. 87).

Oetimu dan Sejarah Kampung yang Kelam

Berdasarkan imajinasi penulis, Oetimu sendiri merupakan kampung yang tepencil dengan jalanan yang rusak parah dan berubah menjadi rawa-rawa di musim hujan. Hutan belantara dipenuhi binatang buas dan bahaya lainnya yang terus mengintai orang-orang yang lewat. Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat membangun koperasi yang menyediakan kebutuhan pokok sampai aktifitas ini dihentikan oleh militer Indonesia, para anggotanya dibunuh dan mayat mereka dikubur di bukit-bukit di hutan belantara (hlm. 55).

Penulis mencoba meramu berbagai kejadian yang berbeda di Timor-Leste, Timor-Barat, bahaya laten komunis, legenda Am Siki, pengungsi di wilayah perbatasan serta kekacauan dan protest mahasiswa di Jakarta dan tempat lainnya yang berhasil mendongkel diktator Soeharto dari kekuasaannya. Diamati dari runutan ceritanya, fokus dari novel ini selalu berpindah setting dan karakter tokoh yang ditampilkan. Misalnya Linus, tiga kali gagal test masuk tentara,  gagal kuliah, dan karena kecintaanya terhadap negara, dia memilih untuk menjadi informan dengan menjadikan para mahasisiwa Timor-Timur sebagai target pelaporan. Si Linus kemudian menjadi petualang cinta, bekerja dengan Romo Yosef sebagai guru sejarah di asrama, selanjutnya memperkosa dan menghamili si cantik Silvy (halm. 196).

Antara Maria dan Silvy: Pastor Yosef dan Love Triangle (Cinta Segitiga)   

Kebobrokan Gereja juga tidak luput dari pembahasan sang penulis dalam karyanya ini. Pastor Yosef bertemu dengan seorang mahasiswa idealis bernama Maria, gadis brilliant yang suka berdiskusi tentang persoalan sosial. Dia juga mengkritisi pemalakan bantuan kemanusiaan dari lembaga-lembaga internasional kepada para pengungsi Timor-Timur yang menyeberang ke perbatasan oleh para pejabat lokal.  Gadis ini kemudian terus berada dalam imajinasi sang pastor baik saat dalam keadaan sakit maupun ketika berhubungan sex dengan Silvy, nama terakhir yang didengar Silvy dari erangan sang pastor saat mencapai orgasme adalah “Maria…” Walaupun perempuan yang disetubuhinya adalah Silvy.

Cinta antara Maria dan Pastor Yosef adalah sebentuk cinta yang berimbang dan dibawa mati. Awalnya Maria tergila-gila dengan sang frater muda, kemudian gantian sang pastor yang batinya dibuat tidak berdaya oleh Maria setelah ditahbiskan menjadi pastor. Maria kemudian menikah dengan seorang lelaki bernama Wildan, nasib Maria berakhir tragis. Dia bunuh diri dengan melompat dari jembatan setelah suami dan anaknya (Riko) tewas ditabrak oleh konvoi truk tentara dalam perjalanan mereka dengan sepeda motor ke rumah neneknya Riko (hlm. 149). Aksi bunuh diri itu terjadi setelah antara Maria dan Yosef saling memagut bibir di gereja di suatu minggu yang senja.

Novel ini juga mengguraikan sikap gereja yang sangat anti komunis, anti-perubahan dan pro terhadap diktator Soeharto. Kaum Tionghoa yang mengungsi ke gereja pasca kekacauan di Jakarta dibombardir dengan berbagai pertanyaan oleh si Linus yang diberi tanggungjawab oleh Yosef untuk mengurus penginapan. Pertanyaannya mulai dari “apakah kalian komunis?” Kalau bukan kenapa sampai mengungsi ke tempat ini? Narasi ini bertolak belakang dengan para romo di Indonesia yang seringkali menjadi tempat perlindungan dan menyelamatkan dokumen-dokumen penting kaum yang dianggap komunis. Bahkan para romo jugalah yang sering mengunjungi para tahanan politik yang mengalami pembuangan di pulau Buru paska penghancuran terhadap gerakan kiri di Indonesia pada tahun 1965.  

Nasib Sersan Ipi dan Martin Kabiti

Setelah kesal saat menonton pertandingan final Piala Dunia antara Brazil versus Perancis, Martin Kabiti dan Sersan Ipi tidak sempat menyaksikan pertandingan itu sampai usai. Dengan nada marah keduanya berboncengan sepeda motor menuju tempat kediaman Martin Kabiti, tempat dimana istri dan anak-anak Martin telah diciduk dan ditawan oleh Atino dan kawan-kawannya tanpa sepengetahuan Martin. Pada saat tiba di kediaman Martin, Atino dan kelompoknya mulai menyerang Sersan Ipi dan Martin dengan membabi buta, Sersan Ipi tewas pada saat itu juga setelah ujung kelewang dihunuskan tepat di dadanya serta kepalanya dipenggal dan leher bekas penggalan diolesi garam agar tubuh Sersan Ipi tidak bisa tersambung kembali (hlm. 201).

Satu hal yang janggal dan seolah-olah mengulangi narasi tunggal Orde Baru yang mengambarkan gerakan pembebasan sebagai sekumpulan kriminal juga tergambar jelas dalam karya Nessi ini. Misalnya ketika Martin Kabiti mengetahui bahwa pemimpin gerombolan itu adalah Atino “jadi semua pembunuhan dan perampokan di koran itu kau punya ulah, Atino”? (hlm. 6 & 212).

Berdasarkan setting awal novel ini, kita bisa berasumsi bahwa Atino korban operasi militer yang dilakukan oleh Martin Kabiti pada saat dia aktif sebagai serdadu di pegunungan Matebean Timor-Leste. Atino juga menyebut-nyebut Kabiti sebagai salah satu biang kerok pembantaian terhadap para demonstran di Santa Cruz pada 12 November 1991. Dendam Atino terhadap Kabiti dan Sersan Ipi adalah bagian dari sejarah kelam di masa lalu (hlm. 213).

Atino sendiri dan kelompoknya kemudian tewas di tangan tentara yang menyergap kediaman Kabiti dan membunuh delapan orang “perampok itu.” Sekali lagi jargon anti komunis menemukan momentumnya dalam novel ini. Kedelapan orang yang meninggal dituduh sebagai kaum komunis yang menyusup ke Oetimu, serta Sersan Ipi yang tewas terhunus kelewang dan kepalanya dipenggal dianggap sebagai pahlawan pembela negara (hlm. 219-220).

Penutup

Dalam novel ini pembaca bisa menemukan invasi dan proses dekolonisasi di Timor-Leste, dendam kesumat para eks pejuang kemerdekaan di Timor-Leste yang dibawah sampai ke wilayah perbatasan, tentara yang jenuh berperang serta bahaya laten komunis yang masih terus hidup. Percikan-percikan konflik di masa lalu kemudian memicu pembalasan.

Perpaduan antara kepercayaan lokal dan ekspansi gereja katolik seringkali melahirkan kontradiksi yang berujung pada penghilangan nyawa para misionaris, sang penyebar keyakinan.

Hantu komunisme, tentara yang terus memainkan peran sebagai penyelamat bangsa dan gerakan pembebasan nasional Timor-Leste yang hanya sekedar dianggap sebagai sekelompok pemuda perampok adalah runutan penting dalam novel ini. Dan tentu saja skandal seks dan intrik cinta para pastor muda dan para bidadari yang mengelilinginya.

Diamati dari berbagai segi, novel ini masih belum membebaskan diri  dari pengaruh dan mainstream historiografi narasi tunggal yang dipromosikan oleh militer selama ini, walaupun runutan sejarah (historical sequence) yang disajikan dalam novel ini patut diacungi jempol.

Saya berharap ke depannya penulis bisa melahirkan sebuah karya yang lebih berimbang, dengan deskripsi yang tidak bombastis tapi mewakili karakter dan tokoh yang dideskripsikan dalam karya itu.



Penulis adalah Kandidat Doktor di bidang kajian sejarah gerakan pemuda dan pelajar Timor-Leste pada Department of Pacific Affairs-Coral Bell School of Asia and Pacific Affairs. 

Related Posts:

Ben Dan Ide Cerita Film

Irens Alupan, guru produktif di SMKS Katolik Kefamenanu. Pegiat film.

 

Catatan lepas untuk sebuah kepergian sahabat Benyamin O. Baba

Hujan masih sesekali jatuh di akhir Juni, bahkan sampai awal Juli 2023 yang dingin, meski suhu udara di kota Kupang cukup normal, di atas 25 derajat. Sudah beberapa hari saya di Kota Kupang untuk urusan yang segera kelar. Kota Kupang semakin maju. Tembok-tembok beton merapat perkasa, menjulang di bibir jalanan utama kota, membuat hiruk pikuk padat dan kemacetan dari dua arah berlawanan tak bisa terhidarkan.

Saya baru tiba sekitar pukul delapan malam lebih di rumah kerabat untuk beristirahat. Seharian penuh menghabiskan waktu di rumah Komunitas Film Kupang, sebuah rumah kreatif anak muda yang bergerak di dunia perfilman, yang beberapa tahun terakhir giat menonton dan membikin film sampai menyabet banyak penghargaan.

Menghabiskan waktu, berbagi cerita tentang ide film, pemutaran film, festival, produksi film, sampai kegelisahan anak muda di tengah masyarakat dan bagaimana memakai akal sehat untuk terus menggerakan tangan-tangan kreatif sehingga tidak menganggur dan bisa menghasilkan uang untuk bertahan hidup adalah pembahasan paling berkualitas di KFK. Kompleksitas persoalan anak muda kreatif di Indonesia ini, jatuh-jatuhnya sama dan tidak jauh berbeda.

Pembicaraan itu selesai terlalu luas secara pemaknaan, tapi begitu cepat dalam runutan waktu, secepat kabar yang saya terima pukul sembilan. Seorang menelpon, teman saya Benyamin Omega Baba, baru saja putus napas di rumah sakit Leona Kupang. Informasi ini masih kabur air. Saya segera ke sana untuk memastikan. Kemudian di grup angkatan 2013, Jurusan Ilmu Komunikasi Undana, seorang anggota grup memuat foto Benyamin, mengenakan jas hitam putih dengan keterangan bahwa rekan kami itu baru saja meninggal di RSU WZ Johanes Kupang, pukul 9 lebih, Minggu 2 Juli 2023.

“Selamat Jalan Ben.”

Untuk kehilangan seorang sahabat, orang kerap menyebutnya sebagai kehilangan semangat. Ada perjuangan yang dijunjung tapi harus berakhir dalam durasi kehidupan yang amat singkat.

Benyamin adalah teman baik. Tahun 2013 pada pertengahan Agustus, pertama kali kami berkenalan sebagai mahasiswa baru di Jurusan Ilmu Komunikasi Undana. Tahun-tahun berlalu dan kami sangat akrab. Sekitar tahun 2016, bersama beberapa teman lain kami mulai menggagas UKM audiovisual, fotografi dan kelompok penulisan. Hasil produksi dari proses belajar dan sedikit pengalaman dari beberapa teman cukup baik. Akhirnya kami menyebut tim kecil itu sebagai Sampah Visual. Dari sinilah kami menyabet beberapa penghargaan salah satunya juara 1 lomba film dokumenter tentang air yang diselenggarakan NTT Satu Data.

Ben cukup punya andil besar dalam tim Sampah Visual. Ide cerita film dan konsep membikin kegiatan, Ben salah satu yang kami dengar dan percaya. Geliat berpikir dan ‘kegatalan’ membuat film itulah yang akhirnya menjadi motivasi kami terus bergerak, kerja-kerja tanpa upah, intinya berkarya. Di awal-awal tahun menggagas tim ini, kami adalah pekerja lepas yang menggantungkan segalanya. Siang malam entah berapa banyak peluh yang mengalir, waktu tidur sedikit dan hampir lupa makan, itu bagian paling indah. Ada kenangan di sana yang patut kami ingat. 

Sepenuhnya rasa ingin belajar dan berkarya kami letakan jauh di atas segalanya. Mahasiswa lainnya sibuk dengan urusan kampus yang lelah dan membosankan, kami lebih sibuk bekerja kreatif. Sampai pada saatnya, ketika kami kembali menjadi mahasiswa dengan urusan kampus, menyelesaikan tugas akhir, Ben masih saja begitu dan lulus dengan predikat waktu cukup memuaskan, 7 tahun, 14 semester.

Pada tahun 2017 Ben adalah salah satu pegiat film dari NTT yang mendapat kesempatan belajar Manajemen Produksi Film dari Pusbang Film, Kemendikbud RI. Dari sanalah ia berkenalan dengan sutradara muda, Harvan Agustryansah yang kemudian memproduksi film di NTT dan berhasil meraih banyak penghargaan mancanegara. Salain film Empu besutan Harvan yang mengambil tema gender itu, ada juga film Siko karya sutradara Manuel Alberto Maia yang berhasil masuk nominasi piala citra 2020. Ben bertindak sebagai line produser di kedua film ini. Posisi yang cukup urgen dalam sebuah produksi film.

Ben adalah representasi dan kecemasan pekerja kreatif di NTT. Sampai mati, pekerja golongan ini hanya bisa terkenang-kenang lewat karya. Itu yang mungkin akan abadi. Saat memulai berpikir keras menemukan ide dan ingin membuat film dengan skala kecil untuk sekedar dinikmati, pembuat film dari luar dengan modal besar justru lebih cepat merebut ini sebagai pasar. Ide-ide anak lokal akhirnya kerdil seperti jagung hasil panen pasca seroja. Kosong melompong, sampai mengering di batangnya. Belum lagi diperhadapkan dengan urusan dana produksi. Itu yang paling banyak disuarakan anak-anak muda pekerja kreatif hari ini. Mungkin saja, tangan-tangan kreatif harus mati dan mengambil tugas lain?

Ide-ide yang berbau lokalitas menjadi jualan paling laris dan siapapun dari mana saja bisa mengeskplotasi apapun, yang bisa saja informasi riset yang diperoleh hasil comot dari internet. Dan sampai di sini, kita masih saja tetap penonton. Saat PH-PH besar datang dan memproduksi film di NTT, posisi kita tetap saja ‘babu’. Kesempatan untuk belajar bahkan sampai tidak ada, karena kita dipekerjakan sebagai pekerja. Dikontrak, dibayar dan selesai. Setelah film jadi, kita antrian di bangku paling depan sebuah bioskop dan menanti 20 detik terakhir yang menegangkan untuk sebuah nama di barisan credit title.

Di tengah banyak ketidakpastian sebagai pekerja kreatif, Ben telah membantu memikirkan ide untuk sebuah film yang sampai akhir hayatnya tidak terealisasi. Itu jugalah masalah teman-teman komunitas seni di NTT. Terkendala dana dan kebijakan yang terlalu mengurusi politik, seolah semuanya adalah produk politik dan kita hanya akan menjadi konsumen dan imbas dari kebijakan-kebijakan itu.

Sekali lagi Ben adalah pekerja kreatif di bidang film yang mati dengan ide ceritanya. Jika hanya berbicara menyoal ide dan anak muda yang menaruh perhatian juga berkontribusi pemikiran untuk pembangunan melalui kerja-kerja kreatif, berapa harga yang harus dibayar? Kita bisa menyaksikan kepedihan yang melanda dan meluluhlantakan hati pekerja kreatif hari ini. Jalan sunyi sudah dibawa pergi, meski suara-suara kemiskinan dan ketidakadilan di negeri ini kian bising untuk menjadi frame-frame di kamera filmmaker jalanan. Kita hendak menyongkong dan memberi sedikit suara lewat audiovisual dengan ide-ide yang dilahirkan dari keresahan, tapi film-film hari ini adalah jualan. Jatuh-jatuhnya eksplotasi.

Komersialisasi bergerak bergerilya masif ke segala aspek kehidupan yang menghasilkan keuntungan. Dari manusia, sampai alam dan budaya, kita jual saja dalam frame gambar. Ide-ide anak lokal biarlah dia bawa sampai mati. Produksi film itu mahal harganya. Kita hanya penonton di bangku depan bioskop.

Sebab kota terlalu maju dan orang-orang akan menyaksikan mereka yang bekerja kreatif dari atas balkon dengan lantunan lagu nan indah. Ben adalah pelajaran pekerja kreatif yang mati tanpa profesi, menjiwai perjuangan lewat seni dan kelak hanya dikenang lewat karya. Cukup sudah kita berkoar-koar kepada orang-orang bahwa membuat film itu juga pekerjaan, bukan sekedar hobi yang membosankan. Lewat kerja-kerja kreatif tangan-tangan tidak lagi menganggur dan tidak butuh banyak pengakuan bagi sebuah profesi untuk menentukan tujuan hidup. Setidaknya ide cerita film Ben pernah kami dengar, meskipun produksi film itu mahal harganya. Selamat jalan Boi Ben.


Sabtu Pagi, 8 Juli 2023

Related Posts:

NTT Masuk Daerah Afirmasi, Ini Syarat Pendaftaran Beasiswa LPDP

LekoNTT - Beasiswa Daerah Afirmasi LPDP diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang berasal dari daerah afirmasi. Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu daerah afirmasi, sehingga terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi putra-putri NTT yang ingin melanjutkan kuliah dengan skema beasiswa daerah afirmasi.

Cakupan Beasiswa Daerah Afirmasi terbagi ke dalam dana pendidikan dan dana pendukung, yang terdiri dari:

  1. Dana pendaftaran
  2. Dana SPP atau UKT
  3. Dana tunjangan buku
  4. Dana penelitian tesis atau disertasi
  5. Dana seminar internasional
  6. Dana publikasi jurnal internasional
  7. Dana transportasi
  8. Dana aplikasi visa
  9. Dana asuransi kesehatan
  10. Dana kedatangan
  11. Dana hidup bulanan
  12. Dana lomba internasional
  13. Dana tunjangan keluarga khusus doktor
  14. Dana keadaan darurat jika diperlukan

Skema Beasiswa Daerah Afirmasi

  • Beasiswa Daerah Afirmasi disediakan untuk jenjang pendidikan Magister satu gelar atau dua gelar dengan durasi pendanaan studi paling lama 24 bulan
  • Beasiswa Daerah Afirmasi disediakan untuk jenjang pendidikan Doktor satu gelar atau dua gelar dengan durasi pendanaan studi paling lama 48 bulan
  • Pendaftar beasiswa yang telah mempunyai dan mengunggah LoA Unconditional wajib memilih satu perguruan tinggi tujuan dalam ataupun luar negeri sesuai dengan LoA Unconditional tersebut dan termasuk ke dalam daftar perguruan tinggi LPDP
  • Pendaftar beasiswa yang belum memiliki LoA Unconditional wajib memilih tiga perguruan tinggi tujuan dalam negeri atau luar negeri yang ada di daftar perguruan tinggi LPDP dengan prodi serumpun
  • Dapat memilih perguruan tinggi tujuan dan prodi di luar daftar perguruan tinggi LPDP dengan ketentuan mengunggah LoA Unconditional dan bukti pendukung yang menunjukkan perguruan tinggi tersebut memenuhi kriteria unggulan terbaik dan penilaian lembaga independen pemeringkat dunia
  • Bagi yang memilih perguruan tinggi tujuan luar negeri saat pendaftaran dan tidak mendapatkan LoA Unconditional dari perguruan tinggi terkait selama masa pencarian LoA Unconditional sesuai ketentuan LPDP, maka LPDP memberikan kesempatan untuk mendapatkan LoA Unconditional dari perguruan tinggi dan program studi dalam negeri yang ada dalam daftar LPDP
  • Pendaftar yang ditetapkan lulus seleksi sebagai calon penerima beasiswa wajib mengikuti pembekalan afirmasi yang dilaksanakan oleh LPDP.

Related Posts:

Cerita Dwi-Bahasa Tetun-Indonesia: Ai-Laran Uma Balada (Hutan Rumah Binatang)

Oleh: Teofilio Da Silva Amaral 

Lahir di Kota Dili (Timor Leste) pada tanggal 13 Juli 1992. Sekarang tinggal di Kota Kefamenanu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Menyelesaikan studi D3 Jurusan Manajemen Informatika dan mendapat gelar A,Md dari Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta.

Iha ai-laran tuan ida moris balada barak hanesan laho, koellu, manu loriku ho nia oan sira. Sira moris hakmatek tan ai-mahon no iha ai -han barak atu han. Besik ai-laran ne’e moris toos nain ida naran tiu Peu.

Loron ida, tiu Peu ba’ai-laran atu taa ai.

“Tum… tum…

Ai lian makaas tebes, manu loriku hakfodak no halai tuun ba’a hare. Koellu mos iha ai sorin hafuhu tiu Peu. Manu loriku ta’uk tebes no halai arbiru de’it to’o xoke tan ai ida to’o monu maibe semo nafatin. Manu-loriku soe hela nia oan ki’ik sira iha ai-leten. Laho hein iha ai sorin, manu ki’ik sira hakilar buka sira-nia inan.

Iha ai laran sira halo plenu atu salva manu-loriku oan iha ai-leten. Lakleur ai lian nafatin no besik atu monu.

Balada sira buka ideia no sira foti ai-tahan no ai-talik tara ba sira nia isin. Manu sira semo no balada seluk la’o deit sira atu ba ataka tiu Peu.

Tiu Peu tesi hela ai, derrepente manu sira mai ataka tiu pelu. Balu tuku, balu tata tiu Peu nia isin.

Tiu Peu halai maka’as hodi hakilar, “Mate-klamar!!!

Balada sira hamnasa hare tiu Peu, manu loriku hasoru malu fali ho nia oan.

Ita tenke proteje ita nia uma, keta husik ema aat sira mai estraga,” manu loriku koalia.

Iha ne’e kedas tiu petu ta’uk mai tesi iha ai-laran ne’e.

Pak Peu masuk ke hutan untuk menebang pohon. (Ilustrasi: Utep/LekoNTT)

Hutan Rumah Binatang

Di dalam hutan hidup banyak binatang seperti, tikus, kelinci, burung nuri dan anak-anaknya. Mereka hidup tenang karena ada tempat berteduh dan makanan yang banyak untuk dimakan. 

Di tepi hutan itu, hidup seorang petani tuan tanah yang bernama Pak Peu.

Suatu hari Pak Peu pergi ke hutan untuk menebang pohon.

“Tum tum...”

Bunyi suara kayu sangat kuat. Burung nuri kaget lalu terbang untuk melihatnya. Kelinci yang ada di sebelah pohon juga mengintip Pak Peu. Burung nuri sangat ketakutan lalu terbang tak karuan sampai menabrak sebuah pohon hingga terjatuh, tetapi karena ketakutan ia tetap bangun dan terbang kembali. Burung nuri itu meninggalkan anak-anaknya di atas pohon. Tikus menunggu di sebelah pohon, anak-anak burung berteriak mencari induknya.

Pak Peu berlari sambil berteriak: "Setan!!!" (Ilustrasi: Utep)

Binatang-binatang itu lalu membuat sebuah rencana untuk menyelamatkan anak-anak burung nuri yang berada di atas pohon. Tak lama kemudian terdengar kembali suara pohon ditebang dan hampir tumbang.

Binatang-binatang itu mencari ide. Mereka mengambil daun dan akar lalu menggantung ke tubuh mereka. Para  burung terbang dan binatang lainnya hanya berjalan saja untuk mencelakakan Pak Peu.

Pak  Peu tetap memotong pohon. Tiba-tiba para burung datang mencelakakan Pak Peu. Sebagian mematuk, sebagian menggigit tubuh Pak Peu.

Pak Peu berlari sangat kencang sambil berteriak: “Setan!!!”

Para binatang tertawa melihat Pak Peu, burung nuri pun bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya.

“Kita harus melindungi rumah kita, jangan biarkan orang jahat datang merugikan kita,” kata burung nuri.

Sejak saat itu Pak Peu sudah takut ke hutan untuk menebang pohon.


Ilustrator

Petrus Sibu (Utep), lahir di Haufo’o 23 Februari 1990. Memiliki hobi menggambar dan melukis sejak masih duduk di bangku SD. Menghasilkan banyak karya seni lukis sketsa wajah, seni lukis di media kain, triplek, dinding juga seni tato di tubuh. Sering mengikuti lomba menggambar dan melukis. Juara III Oko Mama Award, Lomba Sketsa Wajah yang diselenggarakan pada Tanggal 17-20 Agustus 2016 di UPT Taman Budaya Daerah NTT. 

Related Posts:

Berpotensi Jadi Wabah Besar di NTT, Apa itu Rabies?


LekoNTT - Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengambil tindakan untuk mengatasi situasi yang serius terkait penyakit rabies di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Setelah terjadi kematian satu orang dan ada puluhan kasus dugaan infeksi virus rabies, langkah vaksinasi darurat untuk hewan yang berpotensi menularkan penyakit ini akan dilakukan.

Tindakan vaksinasi darurat ini bertujuan untuk melindungi seluruh hewan yang berpotensi membawa virus rabies di wilayah tersebut. Hal ini sangat penting karena jika penanganannya tidak tepat, virus rabies dapat menyebar ke wilayah lain dan menjadi wabah yang berdampak luas.

Dokter hewan Maria Geong, yang memegang gelar doktor di bidang mikrobiologi-epidemiologi, memprediksi virus penyebab penyakit anjing gila itu akan menyebar ke wilayah lainnya di seluruh daratan Pulau Timor, NTT, jika pemerintah setempat tidak melakukan langkah yang tepat untuk mengatasi kasus rabies.

Sebagai penyakit yang berbahaya, rabies dapat menular dari hewan ke manusia dan memiliki konsekuensi yang serius, bahkan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, upaya vaksinasi darurat ini menjadi langkah penting dalam memutus rantai penyebaran penyakit dan melindungi masyarakat dari risiko yang lebih besar.

Dalam situasi seperti ini, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk bekerja sama dengan cepat dan efektif dalam melaksanakan program vaksinasi darurat ini. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengendalikan penyebaran rabies dan melindungi kesehatan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Rabies adalah penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia. Infeksi ini disebabkan oleh virus rabies yang ditularkan oleh hewan yang terinfeksi, seperti anjing, kelelawar, kucing, dan kera. Di Indonesia, rabies atau yang sering disebut "penyakit anjing gila" masih menjadi masalah serius yang mengancam kesehatan masyarakat.

Rabies, juga dikenal sebagai "penyakit anjing gila," adalah penyakit menular akut yang menyerang sistem saraf pusat dan disebabkan oleh Lyssavirus. Virus rabies dapat menular melalui air liur, gigitan, cakaran, atau menjilati luka terbuka oleh hewan yang terinfeksi rabies. Hewan liar atau hewan peliharaan yang tidak divaksinasi rabies memiliki risiko tinggi untuk menularkan rabies.

Masa inkubasi virus rabies berkisar antara 4 hingga 12 minggu. Setelah masa inkubasi, orang yang terinfeksi virus rabies dapat mengalami gejala mirip flu, seperti demam, otot melemah, kesemutan atau rasa terbakar di area yang digigit, sakit kepala, mual, muntah, gelisah, kebingungan tanpa alasan yang jelas, hiperaktif, halusinasi, insomnia, kesulitan menelan, dan produksi air liur yang berlebihan. Gejala rabies pada manusia berkembang secara bertahap, dimulai dengan gejala awal yang mirip flu dan kemudian berkembang menjadi gangguan neurologis yang parah. Meskipun bisa berakibat fatal, jika segera diobati setelah terpapar virus rabies, masih ada peluang untuk sembuh.

Penanganan luka gigitan hewan yang berpotensi menularkan rabies sangat penting dilakukan dengan segera. Luka gigitan harus segera dicuci dengan air mengalir dan sabun selama 15 menit, kemudian diberikan antiseptik. Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit untuk membersihkan luka lebih lanjut dan mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR) serta Serum Anti Rabies (SAR). Penanganan luka yang cepat dan efektif dapat mencegah timbulnya gejala dan kematian.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi virus rabies antara lain yaitu dengan melakukan vaksinasi rabies baik pada hewan maupun pada korban gigitan, menghindari kontak dengan hewan yang berpotensi mengandung virus rabies, menjaga agar hewan peliharaan tidak berinteraksi dengan hewan liar atau asing, melaporkan kepada petugas kesehatan jika menemui seseorang atau hewan yang menunjukkan gejala rabies, dan mencegah hewan lain yang berpotensi menyebarkan rabies masuk ke dalam rumah.

Dengan mengikuti langkah-langkah pencegahan ini, risiko terkena rabies dapat dikurangi secara signifikan.


dida/LekoNTT

Related Posts:

’Karya Unik dan Ajaib’: Dokumenter NTT Raih Film Terpilih di Ajang Kemenparekraf


LekoNTT - Sailum: Song Of The Rustling Leaves, sebuah dokumenter pendek dari Nusa Tenggara Timur (NTT), ditetapkan sebagai Film Terpilih dalam Festival Film Bulanan (FFB), sebuah ajang apresiasi film pendek dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Pengumuman itu disampaikan FFB melalui akun Instagram pada Senin, 22 Mei 2023. Dikutip dari situs webnya, ajang ini setiap bulannya menyeleksi dan memilih dua film pendek terbaik berdasarkan zonasi di seluruh Indonesia.

Sailum: Song Of The Rustling Leaves menjadi satu dari dua Film Terpilih di FFB Lokus 4 edisi Mei 2023, yang melombakan 25 film dari zonasi NTT, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Bali. Satu Film Terpilih lainnya adalah Pepadu, film fiksi pendek dari Lombok, NTB.

Disutradarai Felix K. Nesi dan Moses Parlindungan Ompusunggu, Sailum: Song Of The Rustling Leaves adalah sebuah dokumenter personal berdurasi 29 menit yang mengeksplorasi sopi sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat Atoin Meto di pulau Timor. Pendekatan itu memadukan narasi Felix yang reflektif dengan gambar-gambar puitis dan intim dari Moses.

Hasilnya, seperti kata dewan kurator FFB dalam pernyataan yang dikutip dari berita Media Indonesia tanggal 22 Mei 2023, adalah sebuah film “ajaib” dengan “ide penuturan yang unik.” “Film dokumenter Sailum: Song of The Rustling Leaves itu dibuat dari seseorang yang sudah punya pemikiran kuat, lalu menggunakan film sebagai peluru untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut.

Imajinasi menarik, kesannya poetic. Aku suka tawaran ceritanya tentang pro kontra Timor Timur yang lepas dari Indonesia,” ujar Mohamad Ariansah, akademisi film dan salah satu kurator FFB.

Sailum: Song of The Rustling Leaves dibuat rumah produksi dokumenter Atmakanta Studio untuk Project Multatuli, sebuah media daring berbasis di Jakarta yang berfokus pada isu dan masyarakat terpinggirkan. Film ini dirilis resmi pada 28 Januari 2023 dalam sebuah pemutaran khusus undangan di Gudskul, Jakarta Selatan.

Acara tersebut disertai diskusi publik yang menghadirkan jurnalis harian Kompas Ahmad Arif dan Hasta Trida dari organisasi pengembangan dokumenter In-Docs. Film ini juga telah ditayangkan di Yogyakarta pada akhir Februari 2023, bagian dari tur kumpulan cerpen terbaru Felix Kapten Hanya Ingin ke Dili.

Related Posts:

Penulis Muda Nusa Cendana Calonkan Diri Jadi Kepala Desa

Herman Efriyanto Tanouf bersama pendukungnya berarak keliling desa menuju tempat pendaftaran pemilihan calon kepala desa Oenbit, Timor Tengah Utara

Oenbit-lekontt.com – Penulis muda Nusa Cendana, Herman Efriyanto Tanouf resmi mendaftarkan diri sebagai calon Kepala Desa Oenbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara pada Selasa, 21 Maret 2023.

Diiring ratusan massa pendukung yang menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat, penyair yang akrab disapa Efry Tanouf ini diarak sejauh tiga kilometer lebih.

Dalam iring-iringan kendaraan bermotor, ‘Hita Es Am Funan’ lagu yang dicipta dan dinyanyikan oleh Remy Salu sebagai bentuk dukungan kepada Efry Tanouf terus diputar.

Setelah diarak selama kurang lebih dua jam, Efry Tanouf didampingi para tokoh adat dan massa pendukung mendaftar ke panitia di lopo Desa Oenbit.

Pendiri Komunitas Leko itu bersama Ketua Tim Pemenangan, Petrus Asa Neonbeni lalu menyerahkan berkas persyaratan kepada panitia pemilihan Desa Oenbit.

Disaksikan massa pendukung, panitia pun melakukan pemeriksaan terhadap berkas yang dipersiapkan hingga seniman muda itu dinyatakan resmi untuk mendaftar.

Kepada media ini, Efry mengatakan, sebelumnya ia bergiat di Kupang dan beberapa daerah di luar Timor.

Pada awal 2020 lalu, ia diminta oleh para tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat untuk kembali ke kampung agar dicalonkan sebagai Kepala Desa Oenbit.

“Saya diminta untuk maju sebagai calon Kepala Desa Oenbit sejak awal tahun 2020. Saya sempat meminta waktu untuk berefleksi,” ungkapnya.

Efry melanjutkan, dirinya berefleksi selama satu bulan. “Saya lakukan itu karena ada beberapa aktivitas di Kota Kupang dan daerah lain yang masih dalam tanggung jawab saya.”

Menurutnya, ada banyak kader pemimpin termasuk orang muda di Desa Oenbit yang bisa diusung untuk maju sebagai calon Kepala Desa.

“Tapi setelah dilakukan pemetaan, kata mereka, saya diandalkan untuk bisa membuat dan memberikan sesuatu yang baru untuk Desa Oenbit yang lebih baik.”

Penggiat literasi itu menegaskan, dirinya bersedia maju untuk menjadi pelayan bagi masyarakat Desa Oenbit.

“Saya bersedia maju sebagai calon Kepala Desa Oenbit bukan karena mau dapat kekuasaan atau jabatan. Kalau terpilih, saya hanya ingin menjadi pemimpin yang melayani,” tegasnya.

Ketika ditanya terkait visi dan misi, aktivis Nusa Tenggara Timur itu mengatakan, semua yang ia susun berangkat dari persoalan-persoalan vital di tengah masyarakat.

“Selama tiga tahun lebih saya bikin pemetaan. Apa yang saya dengar, saya lihat, itu yang saya bawa dalam visi dan misi.”

Selain itu, menurutnya, visi dan misi yang dibuat tidak terlepas dari berbagai potensi yang ada di Desa Oenbit.

Efry Tanouf mengatakan, “detail dari visi dan misi akan saya sampaikan kalau sudah ada penetapan calon oleh Panitia Pemilihan Desa dan dijadwalkan untuk kampanye. Yakin saja Oenbit bisa berdaya saing.”

Ketua Tim Pemenangan Petrus Asa Neonbeni mengatakan, Efry dipilih dan diminta untuk maju sebagai calon Kades Oenbit karena dinilai mampu dan layak untuk menjadi seorang pemimpin.

“Kami pilih Efry setelah lakukan pemetaan kader pemimpin muda di Desa Oenbit dengan sejumlah kriteria. Akhirnya kita sepakat bahwa Efry sangat layak untuk kita usung,” ungkap Petrus.

Ia melanjutkan, proses untuk mencalonkan Efry sudah berlangsung sejak tahun 2020. Namun sempat tertunda karena terhambat pandemi Covid-19.

“Sudah tiga tahun kami bekerja. Pada 21 Maret kemarin, kami bersama seluruh massa pendukung resmi mendaftarkan Efry.”

Pria yang akrab disapa Markus ini menegaskan, hadirnya Efry di kampung menjadi satu jawaban atas berbagai persoalan yang ada di Desa Oenbit.

“Kita butuh pemimpin muda yang kreatif dan inovatif, pemimpin yang visioner, dan itu ada dalam diri Herman Efriyanto Tanouf.”

Dilanjutkannya, “kalau tanpa biaya saja Efry bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi mayarakat, apalagi ada kemudahan biaya.”

Petrus menegaskan, perubahan di Desa Oenbit entah pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan akan terwujud bila Efri terpilih menjadi Nahkoda Desa Oenbit.

“Oenbit ini desa besar, kami malu ketika hadir di mana-mana, disebut sebagai desa yang suram dan tertinggal. Maka hadirnya Efry semoga bisa merubah stigma buruk tentang Oenbit,” tutup Petrus Asa Neonbeni. (AM/lekontt.com)

Related Posts:

Renungan Indonesia: Makna Intelijen Negara

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Ilustrasi Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sumber foto: tangkapan layar Youtube. AM. 2023.





Mimpi menjadi orang merdeka memang tidak mudah. Di tahun 2023, sebagian orang sibuk berpikir soal bagaimana menjadi presiden 2024. Sebagian lagi untuk bertahan hidup saja saja sudah teramat sulit. Sebagian sudah terlanjur jadi tim sukses, jadi pejabat, mulutnya terkunci. Sebagian lagi, untuk makan saja harus merantau mencari kerja ke negeri orang. 

Dalam 5 tahun terakhir, Sr.Laurentina mencatat ia telah menerima 650 peti mati di bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mereka semua pekerja migran. Berusaha hidup, tapi mati. Mereka tetap jadi orang yang kalah.

“Mungkin kami dianggap cuma pergi dan menjemput peti, tetapi di situ kami menemukan simpul jaringan kriminal,” kata Pdt.Emiritus Emmy Sahertian, salah seorang perempuan yang rutin menjeput jenazah di bandara. Di terminal cargo kemanusiaan diingatkan sekali lagi, bahwa mereka bukan lah sekedar barang yang pulang. Mereka manusia. Sebab pernah terjadi ada peti dibiarkan begitu saja lebih dari Tiga hari tanpa ada yang peduli.

Hingga hari ini peran kepolisan untuk mengusut terbatas. Peran Kepala Negara untuk melindungi warga negara juga lebih terbatas lagi. Jarang orang sekarang meletakan penderitaan rakyat sebagai titik pintu masuk. Orang sibuk dengan imajinasinya tentang masa depan. Entah investasi, entah jabatan. 

Sementara penderitaan tidak menjadi bahan refleksi. Apalagi menjadi titik masuk untuk mencari jalan keluar. Sudah lama rakyat kita yatim piatu. Sudah lama pemimpin-pemimpin Indonesia tenggelam dalam egonya sendiri dan tidak mampu menemukan prioritas.

“Orang di Indonesia harus tahu lah, ya pasti tahu lah, apa yang kalian buat di Indonesia, dampaknya untuk kita di sini itu luar biasa,” kata Hermono Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia ketika menjawab pertanyaan wartawan BBC, Endang Nurdin, tentang ‘apakah para aparat itu tahu atau tidak’ adanya sekian modus perdagangan orang ke negeri jiran, Malaysia. 

Tidak kurang 4500 kasus masih belum terselesaikan. Sudah lama para diplomat mengeluh. Tetapi mengeluh saja tidak cukup. Kita butuh revolusi!

Revolusi bukan lah hal jelek. Dengan revolusi kita bisa bebas dari penjajahan Belanda. Revolusi jilid kedua dibutuhkan agar kita bisa bebas dari penjajahan bangsa sendiri. Karena struktur yang ada sudah begitu membelenggu. Rakyat yang disiksa dan mati tidak dianggap. Para pejabat hidup hedonis dengan imajinasinya sendiri tentang hidup yang teramat absurd. 

Para politikus sibuk bikin intrik. Para aparat keamanan sekarang kayanya minta ampun, sampai bingung bagaimana menghitung secara terbalik, untuk membuktikan masih ada relasi antara gaji, harta, dan logika. Konyol sekali melihat tontonan sistem peradilan saat ini. Keadilan tidak ada, cuma tontonan. Cuma polesan.

Lebih sedih lagi, Orang Kaya Baru di Indonesia sibuk mempercantik diri dalam identitas masing-masing. Mereka ada skema perwakilannya. Makanya, orang merasa benar menjadi tim sukses sekarang untuk membuka akses penguasaan kelompok terhadap sumber daya yang dikelola negara. 

Banyak hal menjadi prioritas. Investasi. Pengerukan sumber daya alam. Impor barang bekas. Orang mati dan disiksa karena berusaha mencari hidup yang lebih baik, tidak menjadi prioritas. Sepertinya sudah menjadi barang biasa, penderitaan rakyat itu hanya sekedar ‘renungan kemerdekaan’. Sesuatu yang lampau.

Di batas negara. Warga negara kita dijual. Transaksi mereka terbuka. Terekam. Tapi juga dibiarkan menjadi barang dagangan aparat. Bagaimana mungkin aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat, malah berkhianat? Ikut dalam mafia perdagangan orang.

Entah kenapa,  hingga hari ini tidak ada jalan keluar dari pemerintah dalam mengontrol perbatasan, mengontrol mafia perdagangan orang. Kita sibuk dengan sepakbola. Kita sibuk dengan upacara. Kita sibuk dengan capres 2024. Orang sibuk mempercantik diri dengan tim humas atau tim media. Orang sibuk mengamankan jabatan kita masing-masing. Kita lupa banyak orang untuk hidup saja sulit. Mereka harus pergi baru bisa hidup.

Intelijen dan perdagangan orang

Sayangnya kesulitan kaum susah penuh derita, yang berusaha berkorban untuk anak, istri, suami dan keluarga mereka dengan pergi dari tanah air pun tidak dimengerti kesulitannya oleh sebagian aparat negara. Mereka pergi merantau untuk bertahan hidup. Mereka korban penipuan. 

Terkadang ketika kita dalam kondisi yang paling sulit, berkorban adalah hal biasa. Anak dari Mariance (Meriance) Kabu mengatakan ‘Mama tidak pernah tampak sedih’. Kalau anda melihat wajah Mama Mariance bibir dan telinganya bekas pukulan. Lidah dan giginya dirusak dengan tang.

Berhadapan dengan  kesakitan kaum yang menderita. Kebanyakan aparat negara sekarang sepertinya berujar ‘karena dia tidak beruntung’, ‘karena dia bodoh’, ‘karena dia tidak rajin’. Semua yang salah adalah korban. Mereka lupa adalah tugas negara melindungi warga negara. Ini-lah alasan utama kita sepakat membentuk republik. Kita sepakat untuk bebas dari penjajahan.

Romo Paschal: Tokoh Agama versus Tentara Intelijen 

Sejak beberapa bulan ini seorang rekan Romo Paschal, seorang Imam Gereja Katholik yang membantu para korban perdagangan orang hidup dalam tekanan. Kerja sosialnya berhadapan langsung dengan jejaring perdagangan orang di Batam. Kebetulan kali ini yang dikritik adalah Wakabinda (wakil kepala Badan Intelijen Daerah daerah). Seorang tentara.

Pokok surat Romo Paschal kepada Jendral Budi Gunawan sebagai kepala BIN (Badan Intelijen Negara) adalah ‘mengapa anak buahnya’ mengintervensi  proses peradilan. Kira-kira ia menulis begini:

Pelanggaran kode etik ini karena diduga Si A melakukan pelanggaran kode etik (Pasal 4 huruf h, Peraturan Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia No.7 Tahun 2017) karena Si A melakukan intervensi terhadap kepolisian setempat dalam hal meminta pembebasan pelaku tindak pidana pengiriman pekerja migran secara non prosedural kepada Kapolsek Pelabuhan Barelang, yang membawahi Pelabuhan Batam Center, pada tanggal 7 Oktober 2022 (Surat itu ada pada Badan Intelijen Negara). Saat itu Lima orang pelaku diamankan oleh polisi, beserta Enam orang korban. Tiga orang korban kemudian diserahkan kepada Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) dalam hal ini saya sebagai ketuanya untuk tinggal di rumah sambil menunggu proses hukum.

Hingga hari ini Badan Intelijen Negara tidak melakukan apa pun di ruang publik terkait masalah ini. Yang terjadi Wakabinda melaporkan hal ini sebagai pencemaran nama baik di Polda Kepulauan Riau. Pertanyaan saya, kenapa waktu mengintervensi proses peradilan anda tidak berpikir soal nama baik, tetapi setelah itu baru berpikir? Bukankah seharusnya anda sebagai aparat negara (intel), Romo sebagai Imam dan saya sebagai penulis ini semuanya sama saja sebagai warga negara. Mengapa perlu keistimewaan? Mengapa kejahatan harus dilindungi?

Namun, Batam adalah ‘Pulau kota ajaib’. Kota dengan labirin aparat keamanan yang berliku. Setiap sudut pemilik lahan keamanannya berbeda. Jika anda adalah ‘pegawai baru’ yang pegangannya cuma undang-undang, sudah pasti anda akan tenggelam.

Peran intelijen negara pun lebih terbatas lagi. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar ada program dari Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, dan organisasi sejenis lainnya tentang gebrakan progresif memberantas perdagangan orang. Ini cukup aneh, karena angka perdagangan (human trafficking)  tidak pernah dibahas serius di Indonesia. Modusnya tidak dikaji. Database-nya sudah pasti tidak ada.

Ini membuat saya akrab dengan persoalan buruh migran, terutama terkait dengan pekerjaan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan bantuan kemanusiaan entah karena ditipu sebelum atau sesudah berangkat ke negeri jiran, terutama Malaysia sebagai ‘pencari kerja’. Tidak ada penampungan Pekerja Migran Indonesia di tempat saya, kami hanya membantu agar mereka tidak terlantar. Jika negara sudah menyediakan, tentu peran kami juga tidak diperlukan. Sayangnya, mereka lebih sering terlantar dan menjadi korban penipuan.

Batam adalah pulau perlintasan vital. Seharusnya dikawal agar tidak dimanfaatkan untuk tujuan kriminal. Seharusnya warga negara kita dikawal, agar tidak dijual. Prosedural atau non prosedural itu sebutan. Yang lebih penting mereka ini adalah manusia. Mereka adalah warga negara kita.

Setelah 1998

Di tahun 1998 ketika kita masih ada dalam badai krisis finansial, sebagai mahasiswa waktu itu, kita berharap ada perubahan yang mungkin dilakukan. Orang menyebutnya sebagai reformasi. Tenyata setelah 25 tahun, 2023, kita seperti orang yang keseleo lidahnya. Mau bicara benar dan jujur saja butuh embel-embel. Reformasi memang tidak cukup. Dan upaya untuk menegakan keadilan juga tidak mungkin dilakukan hanya lewat Pemilu yang sarat dengan tranksaksi dagang.

Bagaimana mungkin seorang Pastor yang membela kaum papa dikriminalkan? Dan itu dilakukan oleh pejabat Badan Intelijen Negara. Hari ini seorang anggota intelijen meminta kepolisian untuk memeriksa seorang Imam? Apakah masih ada harga Republik ini untuk kita semua? Selama keadilan tidak menjadi panglima penegakan hukum, dan kekuasaan lah yang menjadi panglima. Selama itu pula republik selalu ada dalam tawanan hukum rimba.(AM/Lekontt.com)


*Penulis adalah warga negara Indonesia

Related Posts: