oleh: Ivo Mateus Goncalves*
Judul : Orang-Orang Oetimu
Penulis :
Felix K. Nesi
Tebal :
220 halaman
Penerbit : Marjin Kiri, 2019
Setelah selesai membaca Novel Orang-Orang Oetimu karya novelis muda Felix K. Nesi, imajinasi saya langsung terarah pada “Mereka yang Dilumpuhkan,” karya penulis termashur Indonesia mendiang Pramoedya Ananta Toer. Karya ini sepenuhya tentang pemuda-pemuda Indonesia yang dipenjarakan oleh penguasa Belanda karena eksistensi mereka dianggap mengancam politik dan militer kolonial. Mereka yang dilumpuhkan bisa dianggap sebagai memoar yang tidak hanya menceritakan tentang penderitaan yang dialami oleh para pemuda Indonesia di penjara Belanda, tetapi juga berkisah tentang romansa mereka dengan noni Belanda, istri para perwira, imajinasi liar di saat tidur serta maut yang terus mengintai dan menjemput para tahanan kapanpun, kalau penguasa menginginkan nyawa mereka untuk diakhiri malam itu juga.
Saya telah mendengar tentang karya Felix Nesi ini tahun lalu (2022) setelah novel ini menjadi pemenang 1 sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018. Tentu saja ada alasan yang kuat dari para dewan juri dalam memilih novel ini sebagai yang terbaik dan rasa penasaran inilah yang membawa saya untuk memahami karya ini secara menyeluruh.
Setting dari novel ini adalah sejarah konflik di Timor Leste sejak Portugis mencetuskan ide dekolonisasi, proklamasi unilateral di Timor-Leste pada tanggal 28 November 1975, perlawanan orang-orang Timor terhadap invasi militer Indonesia pada tanggal 7 Desember 1975. Perjuangan ini bermuara pada jajak pendapat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999. Lebih dari itu, yang menarik dari novel ini adalah multisite konflik yang dipaparkan oleh penulis.
Dalam karya ini bisa kita temukan perang saudara yang singkat di Timor-Leste (Fretilin-UDT), pembantaian terhadap kaum komunis di Timor Barat, serta dendam kesumat yang dibawah oleh para pengungsi dari Timor-Leste yang menyberangi perbatasan pasca jajak pendapat pada tahun 1999 serta para mantan pejuang di Timor-Leste (veteran) yang menuntut balas atas kematian sanak keluarganya sampai tanah seberang. Kembali kita temukan bagaimana jargon komunis sebagai senjata paling sakti ketika terjadi pembunuhan terhadap Atino dan kelompoknya oleh aparat militer Indonesia pasca tewasnya Sersan Ipi.
Novel ini adalah perpaduan narasi antara warisan kekerasan di negara post-kolonial, birahi sang pastor muda yang tidak tertahankan dengan para “bidadari” di sekelilingnya (Maria dan Silvy), bahaya laten komunis, serta bagaimana penduduk lokal melakukan perlawanan terhadap para misionaris baik yang dari luar maupun para pastor lokal dalam mempertahankan keyakinan para leluhur yang dianutnya.
Pergulatan antara intrik cinta, dendam, konflik serta gereja dan institusi pendidikanya yang kelihatan anggun ibarat rumah kaca saat dipandang dari luar, tetapi bobrok dari dalam dan selalu dibungkus dengan rapi.
Benar kata seorang kawan bahwa novel ini adalah perspektif penulis dari Timor-Barat tentang Timor-Leste. Tetapi satu hal yang patut diapresiasi adalah penulis sendiri bukan Timor-Barat (sentris) apalagi Indonesia (sentris) yang lebih mengagungkan peranan militer, integrasi Timor-Timur ke pangkuan ibu pertiwi adalah atas kemauan penduduk Timor-Leste sendiri, serta berbagai narasi yang tunggal yang dominan ORBA (sentris).
Novel ini diawali dengan beberapa protagonist seperti Martin Kabiti, Sersan Ipi dan si cantik Silvy yang merupakan gadis pujaan hati Sersan Ipi dan pemuda seluruh kampung Oetimu. Nampak bahwa perang dan dendam tidak bisa dipisahkan dalam karya ini, Kabiti yang sudah jenuh berperang dan kembali ke Timor-Barat. Nasib sersan Ipi lebih tragis, berawal dari kedatangan kakeknya Julio Craveiro dos Santos beserta istrinya Lena dan putri tunggal mereka Laura, yang terakhir ini kelak akan menjadi bunda kandung dari Sersan Siprianus Portakes Oetimu alias Sersan Ipi.
Novel ini bisa dikatakan membuka cakrawala baru tentang sejarah pendudukan Indonesia di Timor-Leste, konflik yang diciptakan oleh tentara pendudukan, dan imbasnya terhadap penduduk sipil. Tentang bagaimana para penulis muda Indonesia menghubungkan karya mereka dengan sejarah konflik di Timor-Leste, Nesi bukanlah penulis satu-satunya. Eka Kurniawan, salah seorang penulis muda Indonesia yang sedang naik daun dan seringkali disandingkan dengan almarhum Pramoedya Ananta Toer oleh mendiang Ben Anderson, menyertakan Timor-Leste dalam karya mutakhirnya Cantik Itu Luka.
Dalam karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa itu, Eka mengaitkan konflik di Indonesia, percintaan sang komunis keras kepala Kamerad Kliwon dengan Adinda, dan bagaimana sang Shodancho yang betisnya ditembusi peluru saat dikirim ke medan perang di Timor-Timur (saat ini Timor-Leste). Sejak saat itu sang Shodancho terus mengenang penembaknya itu yang menodongkan senapanya sambil menyanyikan lagu Internationale. "Begundal komunis itu ternyata ada di mana-mana,” kata sang Shodancho (Kurniawan hlm. 360).
Kembali ke karya Nesi, sesudah Julio dan Lena (orang tua Laura) dibantai dengan keji di pelabuhan Dili, saat itu juga Laura menjadi tawanan perang tentara pendudukan. Gadis ini kemudian menjadi budak seks para serdadu sampai dia “dibiarkan melarikan diri” oleh seorang tentara asal Timor, sayang sekali sang “pahlawan” ini benar-benar hilang di seluruh isi novel (hlm. 26).
Pembunuhan, pemerkosaan setelah dimabokan oleh minuman keras, saling merampas asset penduduk lokal oleh tentara pendudukan seolah-olah menjustifikasi kata-katanya almarhum Romo Mangun Wijaya, ‘para serdadu itu identik dengan tiga W “war, wine and women.”
Si kakek misterius bernama Am Siki
Pasca dibiarkan pergi oleh sang serdadu Timor, Laura pun berkelana dari satu ke tempat lainnya, kelaparan dan kurus krempeng. Sampai dia bertemu dan diselamatkan oleh tokoh Am-Siki dalam keadaan sekarat dengan pakaian compang-camping.
Am-Siki sendiri adalah seorang figur yang dikenal luas di seantro Oetimu sebagai seorang kakek yang memiliki kesaktian tanpa tandingan. Dia menjadi legenda dan buah bibir setelah berhasil menaklukan beberapa serdadu Jepang dan membakar kamp mereka sampai rata dengan tanah hanya untuk menyelamatkan kuda betinanya yang beramai-ramai diperkosa oleh para serdadu Jepang saat dia ditawan oleh tentara Nipon (hlm. 37).
Dengan naluri seorang kakek, Am Siki merawat Laura beserta jabang bayinya, sampai Laura melahirkan. Laura sendiri bertahan hidup hanya untuk melahirkan putranya itu, setelahnya Laura sudah jarang makan masakan yang dihidangkan oleh Am Siki, sampai ajal menjemputnya. Sersan Ipi sendiri tidak terlalu mengagumi almarhumah bundanya, karena dia anggap Laura sebagai seorang perempuan yang egois, bertahan hidup hanya untuk melahirkannya kemudian meninggalkanya (hlm. 87).
Oetimu dan Sejarah Kampung yang Kelam
Berdasarkan imajinasi penulis, Oetimu sendiri merupakan kampung yang tepencil dengan jalanan yang rusak parah dan berubah menjadi rawa-rawa di musim hujan. Hutan belantara dipenuhi binatang buas dan bahaya lainnya yang terus mengintai orang-orang yang lewat. Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat membangun koperasi yang menyediakan kebutuhan pokok sampai aktifitas ini dihentikan oleh militer Indonesia, para anggotanya dibunuh dan mayat mereka dikubur di bukit-bukit di hutan belantara (hlm. 55).
Penulis mencoba meramu berbagai kejadian yang berbeda di Timor-Leste, Timor-Barat, bahaya laten komunis, legenda Am Siki, pengungsi di wilayah perbatasan serta kekacauan dan protest mahasiswa di Jakarta dan tempat lainnya yang berhasil mendongkel diktator Soeharto dari kekuasaannya. Diamati dari runutan ceritanya, fokus dari novel ini selalu berpindah setting dan karakter tokoh yang ditampilkan. Misalnya Linus, tiga kali gagal test masuk tentara, gagal kuliah, dan karena kecintaanya terhadap negara, dia memilih untuk menjadi informan dengan menjadikan para mahasisiwa Timor-Timur sebagai target pelaporan. Si Linus kemudian menjadi petualang cinta, bekerja dengan Romo Yosef sebagai guru sejarah di asrama, selanjutnya memperkosa dan menghamili si cantik Silvy (halm. 196).
Antara Maria dan Silvy: Pastor Yosef dan Love Triangle (Cinta Segitiga)
Kebobrokan Gereja juga tidak luput dari pembahasan sang penulis dalam karyanya ini. Pastor Yosef bertemu dengan seorang mahasiswa idealis bernama Maria, gadis brilliant yang suka berdiskusi tentang persoalan sosial. Dia juga mengkritisi pemalakan bantuan kemanusiaan dari lembaga-lembaga internasional kepada para pengungsi Timor-Timur yang menyeberang ke perbatasan oleh para pejabat lokal. Gadis ini kemudian terus berada dalam imajinasi sang pastor baik saat dalam keadaan sakit maupun ketika berhubungan sex dengan Silvy, nama terakhir yang didengar Silvy dari erangan sang pastor saat mencapai orgasme adalah “Maria…” Walaupun perempuan yang disetubuhinya adalah Silvy.
Cinta antara Maria dan Pastor Yosef adalah sebentuk cinta yang berimbang dan dibawa mati. Awalnya Maria tergila-gila dengan sang frater muda, kemudian gantian sang pastor yang batinya dibuat tidak berdaya oleh Maria setelah ditahbiskan menjadi pastor. Maria kemudian menikah dengan seorang lelaki bernama Wildan, nasib Maria berakhir tragis. Dia bunuh diri dengan melompat dari jembatan setelah suami dan anaknya (Riko) tewas ditabrak oleh konvoi truk tentara dalam perjalanan mereka dengan sepeda motor ke rumah neneknya Riko (hlm. 149). Aksi bunuh diri itu terjadi setelah antara Maria dan Yosef saling memagut bibir di gereja di suatu minggu yang senja.
Novel ini juga mengguraikan sikap gereja yang sangat anti komunis, anti-perubahan dan pro terhadap diktator Soeharto. Kaum Tionghoa yang mengungsi ke gereja pasca kekacauan di Jakarta dibombardir dengan berbagai pertanyaan oleh si Linus yang diberi tanggungjawab oleh Yosef untuk mengurus penginapan. Pertanyaannya mulai dari “apakah kalian komunis?” Kalau bukan kenapa sampai mengungsi ke tempat ini? Narasi ini bertolak belakang dengan para romo di Indonesia yang seringkali menjadi tempat perlindungan dan menyelamatkan dokumen-dokumen penting kaum yang dianggap komunis. Bahkan para romo jugalah yang sering mengunjungi para tahanan politik yang mengalami pembuangan di pulau Buru paska penghancuran terhadap gerakan kiri di Indonesia pada tahun 1965.
Nasib Sersan Ipi dan Martin Kabiti
Setelah kesal saat menonton pertandingan final Piala Dunia antara Brazil versus Perancis, Martin Kabiti dan Sersan Ipi tidak sempat menyaksikan pertandingan itu sampai usai. Dengan nada marah keduanya berboncengan sepeda motor menuju tempat kediaman Martin Kabiti, tempat dimana istri dan anak-anak Martin telah diciduk dan ditawan oleh Atino dan kawan-kawannya tanpa sepengetahuan Martin. Pada saat tiba di kediaman Martin, Atino dan kelompoknya mulai menyerang Sersan Ipi dan Martin dengan membabi buta, Sersan Ipi tewas pada saat itu juga setelah ujung kelewang dihunuskan tepat di dadanya serta kepalanya dipenggal dan leher bekas penggalan diolesi garam agar tubuh Sersan Ipi tidak bisa tersambung kembali (hlm. 201).
Satu hal yang janggal dan seolah-olah mengulangi narasi tunggal Orde Baru yang mengambarkan gerakan pembebasan sebagai sekumpulan kriminal juga tergambar jelas dalam karya Nessi ini. Misalnya ketika Martin Kabiti mengetahui bahwa pemimpin gerombolan itu adalah Atino “jadi semua pembunuhan dan perampokan di koran itu kau punya ulah, Atino”? (hlm. 6 & 212).
Berdasarkan setting awal novel ini, kita bisa berasumsi bahwa Atino korban operasi militer yang dilakukan oleh Martin Kabiti pada saat dia aktif sebagai serdadu di pegunungan Matebean Timor-Leste. Atino juga menyebut-nyebut Kabiti sebagai salah satu biang kerok pembantaian terhadap para demonstran di Santa Cruz pada 12 November 1991. Dendam Atino terhadap Kabiti dan Sersan Ipi adalah bagian dari sejarah kelam di masa lalu (hlm. 213).
Atino sendiri dan kelompoknya kemudian tewas di tangan tentara yang menyergap kediaman Kabiti dan membunuh delapan orang “perampok itu.” Sekali lagi jargon anti komunis menemukan momentumnya dalam novel ini. Kedelapan orang yang meninggal dituduh sebagai kaum komunis yang menyusup ke Oetimu, serta Sersan Ipi yang tewas terhunus kelewang dan kepalanya dipenggal dianggap sebagai pahlawan pembela negara (hlm. 219-220).
Penutup
Dalam novel ini pembaca bisa menemukan invasi dan proses dekolonisasi di Timor-Leste, dendam kesumat para eks pejuang kemerdekaan di Timor-Leste yang dibawah sampai ke wilayah perbatasan, tentara yang jenuh berperang serta bahaya laten komunis yang masih terus hidup. Percikan-percikan konflik di masa lalu kemudian memicu pembalasan.
Perpaduan antara kepercayaan lokal dan ekspansi gereja katolik seringkali melahirkan kontradiksi yang berujung pada penghilangan nyawa para misionaris, sang penyebar keyakinan.
Hantu komunisme, tentara yang terus memainkan peran sebagai penyelamat bangsa dan gerakan pembebasan nasional Timor-Leste yang hanya sekedar dianggap sebagai sekelompok pemuda perampok adalah runutan penting dalam novel ini. Dan tentu saja skandal seks dan intrik cinta para pastor muda dan para bidadari yang mengelilinginya.
Diamati dari berbagai segi, novel ini masih belum membebaskan diri dari pengaruh dan mainstream historiografi narasi tunggal yang dipromosikan oleh militer selama ini, walaupun runutan sejarah (historical sequence) yang disajikan dalam novel ini patut diacungi jempol.
Saya berharap ke depannya penulis bisa melahirkan sebuah karya yang lebih berimbang, dengan deskripsi yang tidak bombastis tapi mewakili karakter dan tokoh yang dideskripsikan dalam karya itu.
Penulis adalah Kandidat Doktor di bidang kajian sejarah gerakan pemuda dan pelajar Timor-Leste pada Department of Pacific Affairs-Coral Bell School of Asia and Pacific Affairs.