LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Desember 2020

Jalan Panjang Menuju Tersingkapnya Tabir Mega Proyek Awololong

Oleh: Vivin da Silva*


"Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator, dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi."

Demikian tulis Soe Hok Gie dalam sajaknya yang berjudul “Pesan” yang diterbitkan oleh Harian Sinar Harapan pada 18 Agustus 1973. Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa yang menentang kediktatoran pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Menurutnya makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi, sehingga tak heran ia menjadi salah seorang cendekiawan yang dikenal paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan di masa Orde Lama hingga runtuhnya pada tahun 1966.

Tanpa semangat Gie dan kawan-kawan pemuda di masa itu, maka tak mungkin demokrasi hari ini kita nikmati. Itulah beban yang dipikul oleh pemuda setiap generasi, membuat perubahan untuk memastikan bangsa ini terus bertahan di masa depan. 

Setelah bertahun-tahun runtuhnya masa Orde Lama dan Orde Baru hingga memasuki era reformasi, keadaan Indonesia tak jauh berbeda. Meskipun salah satu agenda reformasi saat itu adalah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun seperti yang dilihat, korupsi kian bertumbuh subur di ladang kebhinekaan. Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah beristirahat untuk menjemput para narapidana. Bahkan belum lama ini, di tengah pandemi ada dua menteri yang dijadikan tahanan akibat korupsi.

Tak hanya di tingkat Nasional, isu korupsi berhembus hingga ke tingkat daerah. Salah satunya adalah Kasus Dugaan Korupsi Pekerjaan Pembangunan Jembatan Titian Apung dan Kolam Apung Beserta Fasilitas Lain di Pulau Siput Awololong, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dugaan Korupsi berkedok pembangunan destinasi wisata ini dibaca dengan lugas oleh beberapa kelompok pemuda yang giat melakukan pengawalan isu pembangunan ini sejak awal. 

Kilas Balik Pemuda di Medan Perjuangan 

Pemuda merupakan golongan yang tak pernah absen mengawal setiap kebijakan yang lahir dari pemerintahan. Tak heran bahwa akhirnya pemuda-pemuda turut andil dalam runtuhnya berbagai orde pemerintahan akibat tak adanya keberpihakan pada rakyat.


Perubahan masif ini tentu lahir dari berbagai diskursus dalam ruang-ruang intelektual yang membentuk watak pemuda yang progresif dan revolusioner. Senada dengan itu, Karol Aida Carolia Olivia, seorang tokoh perempuan di balik Revolusi Pinguin Chili pernah berkata, “Menjadi muda tapi tidak revolusioner adalah sebuah kontradiksi biologis.”

Mengapa harus pemuda? Karena pemuda memiliki instrumen-instrumen yang jika dimaksimalkan dapat menjadi sarana membuat perubahan secara revolusioner. Diantaranya adalah umur yang masih muda, pikiran yang masih segar dan tubuh yang masih bugar.

Sebagai tanggung jawab moril atas status kepemudaan ini, para pemuda yang tergabung dalam berbagai kelompok/organisasi kepemudaan dengan progresif bersama-sama mengusut dugaan kasus korupsi proyek Awololong sejak awal. Di antaranya adalah Front Mata Mera (Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat), Amppera – Kupang (Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata) dan Amatata (Aliansi Mahasiswa Lembata Jakarta), Astagah-Lembata, Sparta, dan Amarah.

Selain tak adanya kejelasan AMDAL selama pembangunan, tidak maksimalnya penyerapan dana ditunjukkan oleh mangkraknya pembangunan tersebut yang tentu menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Di antaranya, Apperal-Lembata, Sparta-Jakarta, FP2L, PMKRI Cabang Kupang, LMND Kota Kupang, GMNI Komisariat Hukum Undana dan HMI Cabang Kupang.

Percaya bahwa kedaulatan tertinggi dalam demokrasi ada di tangan rakyat, bermodalkan semangat idealisme yang membara para pemuda ini terus berupaya melakukan berbagai aksi. Hal itu demi adanya eskalasi tekanan publik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah terkait proyek Awololong.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai kesempurnaan (dibaca keadilan) diantaranya adalah melakukan aksi demonstrasi menolak pembangunan proyek Awololong, diselenggarakan mimbar bebas, melakukan kajian melalui diskusi dengan berbagai pihak seperti praktisi hukum, politisi, masyarakat sekitar dan akademisi. Bahkan di tengah pandemi pun diskusi-diskusi daring dijadikan salah satu langkah  strategis untuk tetap merawat semangat penolakan ini.

Tak hanya sampai di situ, melihat belum adanya kejelasan proses hukum yang berjalan, Amppera Kupang dan Front Mata Mera Makassar kemudian menginisiasi Festival Jeritan Awololong pada Agustus 2020 kemarin. Dalam festival itu, aksi-aksi teatrikal pun dilakukan, penandatanganan petisi penolakan secara umum, mimbar bebas, aksi seribu lilin dan doa bersama. Setelah itu, proses audiensi dengan POLDA NTT dilakukan untuk mengkawal proses hukum yang berjalan. Sebab strategi-strategi liar seorang demonstran sudah seharusnya terus bergerilya hingga mencapai tujuan.

Supriyadi Lamadike, Presiden Front Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat (Mata Mera – Makassar) mengisahkan bagaimana sejak awal mengumpulkan teman-temannya untuk ikut beraliansi mengkawal isu pembangunan Awololong.

"Saat proyek Awololong menjadi perbincangan hangat di publik, kami kemudian berinisiatif untuk melakukan pergerakan dengan membentuk sebuah organ taktis demi menolak pembangunan Awololong. Karena berlandaskan semangat perjuangan dan tujuan yang sama, pendekatan yang dilakukan secara perorangan maupun organisasi untuk mengumpulkan teman-teman tidak begitu lama dilakukan,” ungkap Supri.

Revolusi memanglah seperti sebuah seni. Yang moral dalam dirinya adalah hasrat menjangkau yang sempurna dengan tubuh dan sarana yang tak sempurna. Ketika polemik pembangunan ini semakin ramai menjadi buah bibir di khalayak, Front Mata Mera tidak tinggal diam beberapa kali mereka melakukan aksi teatrikal, demonstrasi bahkan mimbar bebas di tempat mereka menempuh pendidikan yaitu Makassar.


Bermodalkan nekat untuk menduduki kantor DPRD Kabupaten Lembata dan menolak pembangunan melalui aksi demonstrasi, dengan uang seadanya sepuluh orang anggota Front Mata Mera kemudian membeli tiket kapal sampai ke Maumere untuk pulang ke Lembata. Meninggalkan perkuliahan demi agenda kemanusiaan, menggunakan uang pribadi untuk semua kebutuhan perjalanan.

Karena tiketnya hanya sampai ke Maumere mereka kemudian bersembunyi di kapal demi meneruskan perjalanan ke Lembata “Tidak sedikit tantangan yang kami dapat setelah sampai di Lembata, ditargetkan oleh intel hingga mendapat tekanan berupa ancaman dari berbagai pihak entah dari keluarga maupun pemangku kepentingan. Namun meski dihadang dengan situasi apapun seperti ancaman fisik yang menekan psikologi perjuangan, aksi saling dorong dengan aparat dan lainnya kami tetap bergerak bersama sesuai dengan semangat tagar yang kami gunakan yaitu #BakuBawaSampeMenang,” tambah Supri.

Sementara itu, Emanuel Boli Koordinator Umum Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera – Kupang) menceritakan kejadian seputar demonstrasi yang dilakukan, yang sangat berkesan baginya saat Amppera bersama aliansi pemuda-mahasiswa yang lain berusaha menemui Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur. Sejatinya pemimpin dipilih untuk melayani, menemui rakyat-mendengar langsung keluh kesah rakyat.

Merasa aspirasi rakyat tidak tersampaikan dengan baik, para pemuda-mahasiswa ini kemudian mendatangi langsung para pemangku kebijakan untuk mendiskusikan berbagai isu. Tapi sayang, bagai cinta bertepuk sebelah tangan. Dalam setiap aksi yang dilakukan, bertemu  dengan pemimpin Lembata itu untuk bertatap muka saling memberikan pandangan demi kemajuan Lembata adalah sesuatu yang tak pernah terjadi.

“Kami akhirnya bersepakat untuk datang langsung mengunjungi bupati di rumah jabatannya di Kuma Resort. Aliansi dibagi dalam dua kelompok yang menempuh perjalanan darat dan laut ke Kuma Resort. Namun sayang kami tetap dihadang oleh aparat,” ungkap Eman.

Ia mengatakan bahwa hal itu dilakukan dengan pertimbangan, jika di jalur darat mereka dihadang oleh polisi maka di jalur laut mereka bisa lolos menemui bupati. Semua berjalan di luar ekspektasi, di jalur darat mereka bertemu polisi dan di jalur laut mereka bertemu dengan Satpol PP. Ketika massa dan aparat keamanan disulut emosi seperti itu pertikaian pun terjadi. Berdebat sengit, saling dorong dan saling lempar tentu tidak dapat dihindari. Aksi hari itu berakhir nihil lagi.

Kronologi Proses Hukum

Meski hidup di negara hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa segala urusan akan berbelit-belit jika dibawa ke ranah yang satu ini. Seperti kata sastrawan Goenawan Mohamad, bahwa hukum tak identik dengan keadilan. Hukum bahkan ruang tertutup dan keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dengan semangat dan idealisme membara, para pemuda ini tetap mengharapkan sebuah kesempurnaan dengan sarana dan prasarana yang tak sempurna. 

Pada Jumat, 18 Oktober 2019 Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera – Kupang) melakukan audiensi sekaligus pengaduan dugaan korupsi atas pembangunan destinasi wisata dengan dana pembangunan sebesar Rp 6.892.900.000,00. Pengaduan ditujukan ke Kapolda NTT saat itu, Irjen Pol. Drs. Hamidin, S.I.K didampingi  Direskrimsus Kombes Pol. Heri Tri Maryadi, Dirkrimum Kombes Pol. Yudi Sinlaeloe, Dirintelkam Kombes Pol. Joudy Mailoor, S.I.K dan Ditresnarkoba di ruang kerja Kapolda NTT.

Berdasarkan data yang ditemukan, pada saat itu proyek ini telah menghabiskan sekitar 85% dari jumlah total dana pembangunan di atas yakni berjumlah Rp 5.542.580.890,00. Namun sayang, pembangunan belum terlihat menunjukkan penyerapan dana sebesar itu. Hal ini menjadi keresahan tersendiri untuk masyarakat Lembata secara luas. 


Langkah-langkah yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda NTT diantaranya adalah membuat dan menerbitkan surat perintah tugas, melakukan interogasi kepada 13 saksi, melakukan pengumpulan dokumen terkait, audit keteknikan bersama Tim Politeknik Negeri Kupang , melakukan pemeriksaan saksi ahli keteknikan Politeknik Negeri Kupang, gelar perkara hasil penyelidikan (16 Mei 2020 di Mabes Polri jam 10.00 WIB s/d 20.00 WIB).

Selanjutnya, perkara tersebut dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan sejak tanggal 20 Mei 2020 oleh penyidik Polda NTT  Langkah berikutnya adalah melakukan pembuatan mindik penyidikan, pemeriksaan saksi-saksi secara pro justicia (sebanyak 31 Saksi di Lembata, 11 Agustus sampai 22 Agustus 2020) serta penyitaan barang bukti (2 box), melakukan permintaan penetapan penyitaan barang bukti ke pengadilan Tipidkor Kupang, melakukan pemeriksaan ahli LKPP 12, melakukan pemeriksaan pabrikasi proyek Awololong di Bandung dan Surabaya. 

Kemudian untuk membuktikan kerugian secara pasti dan nyata, langkah yang ditempuh adalah permintaan audit PKKN ke BPKP perwakilan NTT, gelar perkara penetapan tersangka yang telah dilakukan pada Senin, 21 Desember 2020. Setelah ini akan dilakukan tahapan pemeriksaan tersangka dan penyusunan berkas perkara sebelum melangkah ke tahap selanjutnya.

Gelar Perkara Penetapan Tersangka 

Bagai awal dari hasil perjuangan yang panjang, salah satu hari yang dinanti-nanti pun tiba. Konferensi pers oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT dilakukan pada 21 Desember 2020. Tepatnya pada pukul 11.00 WITA bertempat di ruang rapat Ditreskrimsus Polda NTT untuk giat gelar perkara kasus tindak pidana korupsi.

Bahwa sesuai dengan pemeriksaan yang telah dilakukan pada pekerjaan pembangunan jeti apung dan kolam renang beserta fasilitas lain pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata Tahun anggaran 2018 dan 2019, ditetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini.

Kanit II Subdit III Ditreskrimsus Polda NTT AKP Budi Gunawan mengatakan, dua tersangka itu yakni Silvester Samin selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Abraham Yehezkibel Tsazaro selaku kontraktor pelaksana. "Statusnya sudah tersangka tapi belum ditahan, saat pemeriksaan baru akan ditahan," ungkapnya pada Senin (21/12/2020).

Berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian negara, kerugian yang dialami sebesar Rp 1.446.891.718,27. "Sejumlah dokumen kita sita dan 37 saksi kita periksa. Saat ini masih dua tersangka, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada penambahan tersangka," pungkasnya.


Seumpama Covid-19, dua orang ini mungkin masuk ke dalam bagian kluster pertama, sehingga tidak menutup kemungkinan akan ada kluster-kluster berikutnya. Kedua tersangka dijerat pasal 2 ayat 1 Subsider pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.  

Sejak pagi sekitar pukul 10.00 WITA perwakilan dari Amppera Kupang telah bersiap-siap memasuki ruang rapat, cuaca yang mendung tak dapat memadamkan kobaran api yang membara dalam diri para pemuda pencari keadilan ini. Hal ini tergambar jelas dalam raut wajah mereka, bahwa penetapan tersangka hari ini adalah titik terang proses panjang yang menjadi kepuasan tersendiri untuk kelompok-kelompok yang selama ini berdarah-darah di medan perjuangan.

Koordinator Umum Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera - Kupang), Emanuel Boli mengapresiasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Polda NTT atas kerja-kerja luar biasa (extra ordinary) dalam mengungkap secara terang benderang kasus dugaan korupsi Pekerjaan Pembangunan Destinasi Wisata ini. Emanuel menegaskan, agar Penyidik Tipidkor Polda NTT terus melakukan langkah hukum selanjutnya untuk menyeret pihak-pihak terkait sampai aktor intelektualnya yang diduga terlibat namun belum ditetapkan sebagai tersangka. 

Senada dengan itu, Supriyadi Lamadike, Presiden Front Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat (Mata Mera – Makassar)  saat dihubungi oleh Leko NTT menyampaikan bahwa setelah ini langkah strategis yang akan dilakukan oleh mereka adalah terus mengkawal persoalan ini, karena yakin bahwa tersangka bukan hanya dua orang. Namun masih ada aktor lainnya sehingga persoalan tersebut harus diusut hingga tuntas.

“Kami juga berharap agar kita tidak hanya peka untuk mengurus masalah Awololong, sebab masih banyak kasus lain di Lembata. Jadi kita harus terus berjuang dan mengawal kebijakan-kebijakan Pemda yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat. Oligarki harus terus dilawan,” kata Supri.

*Penulis adalah Pustakawati Komunitas Leko, Alumni Forum Indonesia Muda, dan Aktivis GMNI.

Related Posts:

Teknologi Mendekatkan Air di Sumba Timur

Oleh: Diana Timoria*


Agnes Danga Lila (25 tahun) dan beberapa warga Desa Rakawatu, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur berjalan membawa jerigen bekas minyak goreng berukuran lima liter. Mereka berjalan menyusuri jalanan setapak di tepian bukit dengan kerikil-kerikil kecil. Mereka menggunakan jerigen tersebut untuk mengambil air di sebuah bak penampung yang terletak sekitar 50 meter dari pemukiman mereka.

“Dulu kalau ambil air harus jalan jauh sampai ke sebelah bukit. Sekarang sudah tidak lagi. Sudah lebih dekat dan jalannya juga tidak terlalu curam,” kata Agnes atau yang biasa dipanggil Mama Amel.

Sejak awal tahun 2020, penduduk Desa Rakawatu terbantu oleh pompa hidraulik ram (hidram) yang membantu mengalirkan air bersih ke desa tersebut. Pompa ini dibangun atas kerja sama pemerintah desa dan komunitas peduli sesama serta warga di Desa Rakawatu.

Pertama kali dikembangkan di Perancis pada tahun 1700-an, teknologi pompa hidram memanfaatkan tekanan air untuk mengalirkan air dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi. Pompa ini banyak digunakan di negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Nepal adalah salah satu negara yang menggunakan pompa hidram di wilayah pedesaan yang sulit mendapatkan air, seperti Distrik Dhading.

Direktur Yayasan Marada Pilipus Mbewa Yanggu, yang juga menjadi koordinator lapangan pembuatan pompa hidram di Desa Rakawatu, mengatakan teknologi ini dapat menjadi solusi berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Pompa ini dapat beroperasi memompa air hingga ketinggian 70 meter tanpa listrik atau BBM. Air dialirkan ke tiga penampungan air di sekitar penampungan warga.

“Selain bahannya mudah didapat, pompa ini tidak akan mengganggu kualitas lingkungan. Teknologi ini mengandalkan tekanan air untuk beroperasi sehingga tidak membutuhkan energi lain yang perlu melepaskan zat berbahaya ke udara atau lingkungan,” kata Ipu Yanggu.


Pompa hidram ini bukan yang pertama kali dibangun oleh Ipu Yanggu. Awal tahun 2019 lalu, ia juga pernah membuat pompa hidram di desa Mbidi Hunga yang masih beroperasi hingga sekarang. Ia bahkan telah merencanakan untuk membangun lebih banyak pompa hidram lagi di Sumba Timur.

Salah satu syarat pompa hidram ini dapat bekerja optimal adalah keterjagaan debit air di sumber. Pompa di Desa Rakawatu saat ini menggunakan tiga mata air yang berbeda. Di musim kemarau, debit cenderung turun walaupun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Kami akan melakukan penanaman pohon yang cocok untuk menjaga debit air. Seluruh warga juga sudah sepakat untuk mel`akukan itu dan akan segera kami lakukan dalam waktu dekat di musim hujan ini,” kata Kepala Desa Rakawatu, Sem Mb. Haramburu.

Naser Randa, salah satu anak muda di Desa Rakawatu, merasa senang atas kehadiran pompa hidram ini. Ia tumbuh dalam kondisi minim akses air bersih di desa. Ia dan orangtuanya harus berjalan jauh untuk menimba air melalui jalanan yang curam.

“Saya dan warga lainnya akan membantu untuk melakukan penanaman pohon. Ini penting untuk terus mendapatkan air yang sehat dan dekat dengan kami, maka kami juga perlu menjaganya,” kata Naser.


Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sumba Timur, Mikael Jakalaki, mengatakan bahwa kekeringan selalu menjadi ancaman di wilayah Sumba Timur. Perubahan iklim dianggap sebagai penyebab musim kemarau menjadi semakin panjang di daerah ini. Curah hujan pun menjadi menurun ketika musim hujan. Setiap tahunnya, pemerintah mendistribusikan air bersih ke desa-desa yang mengalami krisis.

“Pandemi [COVID-19] membuat kebutuhan air menjadi lebih banyak. Bukan saja untuk minum dan mencuci pakaian, air bersih juga dibutuhkan untuk cuci tangan pakai sabun,” kata Mikael. Ia menambahkan pemerintah juga membutuhkan kerja sama banyak pihak untuk memenuhi kebutuhan air di Sumba Timur.

Amel, seorang ibu berharap pompa hidram ini bisa tetap digunakan di desa agar sumber air yang bersih dan sehat ini bisa terus mereka akses dengan mudah. “Kalau ada air yang dekat dan bersih, kami pasti sehat."


*Penulis NTT asal Waingapu, Sumba Timur. Alumni Indonesia Young Leader Program (IYLP) 2019 di New Zealand.

Related Posts:

Perpustakaan Pantai, Tawaran Wisata Yang Unik

Pantai identik dengan tempat wisata. Di mana-mana, pantai senantiasa diburu para pengunjung ataupun wisatawan. Di akhir pekan, masa liburan atau di waktu luang, orang-orang akan berkunjung ke pantai, bermain-main di pasir, mandi di pinggir laut, berselancar, menikmati senja atau menyambut fajar, dan segala sesuatu yang identik dengan keindahan pantai.

Beberapa aktivitas tersebut, umum dilakukan banyak orang. Kali ini, Aleksa berbagi informasi tentang pantai sebagai tempat wisata sekaligus tempat nyaman untuk membaca. Berikut adalah beberapa pantai yang selain terkenal dengan keindahan, tapi juga memberi ruang baca kepada pengunjung/wisatawan dengan adanya perpustakaan pantai.

Albena Beach Library, Bulgaria


Albena Beach Library (ABL), sebuah perpustakaan pantai Laut Hitam, Albena, Bulgaria. Perpustakaan pantai ini dibangun pada tahun 2013, didesain oleh Herman Kompernas, arsitek berkebangsaan Jerman.

ABL sebagaimana dilansir Far Out Magazine, memiliki koleksi lebih dari 6.000 bacaan dengan ragam bahasa (lebih dari 15 bahasa) di dunia. Buku-buku ataupun bacaan disusun secara rapi di 140 rak putih. Rak-rak buku didesain dengan bahan yang tahan terhadap panas matahari, angin kencang maupun hujan. Secara khusus di musim hujan, rak-rak buku ditutup dengan karpet vinyl.

Para pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke pantai ini, dapat membaca buku-buku secara gratis. Pengunjung pun dipermudah karena buku-buku telah disusun berdasarkan bahasa dan/atau negara. Kewajiban pengunjung adalah mengembalikan buku pada tempatnya seusai membaca. Pengelola perpustakaan pantai ini pun menerima buku-buku yang disumbangkan oleh pengunjung.

Adanya perpustakaan pantai ini selain untuk memberikan kesan unik, pengunjung pun bisa manambah wawasan ataupun pengetahuan lewat membaca. Lebih dari itu, pertukaran budaya pun bisa terjadi lewat aktivitas membaca.

Kimolos Beach Library, Cyclades, Yunani

Dilansir Greece High Definition, di pantai Kimolos, kepulauan Cyclades, Yunani, terdapat perpustakaan yang bisa diakses pengunjung/wisatawan. Perpustakaan pantai di Kimolos dibikin unik, rak buku berbentuk perahu.

Perpustakaan ini dibangun oleh Eleni Teknopoulou, seorang pelukis. Eleni membuat perpustakaan ini dalam empat desain berbeda. Proyek perpustakaan pantai ini hadir berkat donasi dari AK Laskaridis Charitable Foundation dalam program Sea Change Greek Islands pada tahun 2019 lalu. Tujuan dari program ini adalah mengurangi sampah plastik sekali pakai, menjaga laut dan pantai agar tetap bersih.


Dalam program tersebut, orang-orang Kimolos (Kimolist) diberdayakan untuk mengelola secara baik lokasi wisata pantai. Para Kimolist-lah yang berperan penting bahwa melalui ruang baca dengan desain yang menarik, yang dibangun di pinggir pantai dapat mengurangi sampah. Rak sebagai tempat menyimpan buku yang dapat dibaca secara gratis, memampukan pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Metzitzim Beach Library, Israel

Di Kota Tel Aviv, Israel, terdapat sebuah perpustakaan pantai di Pantai Metzitzim. Seperti perpustakaan pantai lainnya, tujuan didirikan perpustakaan ini untuk menciptakan ruang baca gratis bagi wisatawan.

Dilansir The Jerusalem Post, perpustakaan di Pantai Metzitzim berupa kereta roda dua yang ditempatkan di kawasan pejalan kaki dengan menampung lebih dari 600 buku. Umumnya, koleksi buku-buku berbahasa Ibrani, Arab, Inggris, Rusia, dan Prancis. Selain buku-buku cetak, pemerintah setempat juga menyediakan Wi-Fi gratis yang bisa dimanfaatkan wisatawan untuk mengakses bacaan-bacaan elektronik (e-Book).

Adanya perpustakaan ini pun bertujuan untuk menyadarkan orang-orang untuk menjadikan buku sebagai sahabat di waktu-waktu luang. Buku tidak dilihat sebagai suatu yang benda yang asing, tapi harus dekat dengan manusia dan bisa diakses di mana-mana.

Menariknya, di Perpustakaan Pantai Metzitzim tidak ada petugas khusus ataupun pustakawan yang mengawasi perpustakaan tersebut. Wisatawan bebas mengambil buku-buku untuk dibaca secara gratis. Hanya butuh kesadaran dan tanggung jawab wisatawan untuk mengembalikan buku pada tempatnya setelah dibaca.

Sharjah Beach Library, Uni Emirat Arab

Di Uni Emirat Arab, ada sebuah gerakan yang bertujuan untuk membiasakan semua kalangan masyarakat gemar membaca. Pantai sebagai tempat wisata dimanfaatkan untuk membangun perpustakaan pantai. Gerakan yang dinamakan Sharjah Beach Library Initiative ini pertama kali diwujudkan di Al Khan, sebuah daerah (destinasi wisata budaya) di pinggiran selatan Kota Sharjah.

Seperti dilansir Gulf News, gerakan ini merupakan kerja sama Sharjah World Book Capital Office (SWBC Office) dengan Knowledge without Borders (KwB), Sharjah Municipality, Sharjah Investment and Development Authority (Shurooq), dan Sharjah Ladies Club (SLC). Gerakan ini bertujuan mendorong anak-anak dan orang tua untuk memanfaatkan lebih banyak waktu dengan membaca yang sudah dikampanyekan sejak tahun 2010.


Berawal dari Pantai Al Khan, pantai-pantai di Kota Sharjah seperti For Fakkan, Kite Beach, Jumaira Beach (Dubai), dan pantai lainnya pun kemudian dibangun perpustakaan. Terdapat lebih dari 100 judul buku di setiap pantai yang bisa diakses pengunjung. Beberapa aturan yang perlu diperhatikan pengunjung adalah menjaga buku agar tidak basah, mengembalikan buku pada rak setelah dibaca, tidak merusak/membawa pulang/menghilangkan buku, dan tidak diperkenankan menambah koleksi bacaan tanpa sepengetahuan pengelola.

Atas inisiatif itu, pada tahun 2019 lalu UNESCO menobatkan Sharjah sebagai Ibukota Buku Dunia. Penobatan itu sebagai apresiasi karena berbagai pihak di Kota Sharjah telah giat dalam mendukung dan mengkampayekan pentingnya membaca.

Perpustakaan Pantai Etretat, Normandi, Prancis

Pantai Etretat, sebuah tempat wisata yang terletak di Haute-Normandia, Prancis. Pantai ini terkenal dengan keindahan tebing dan lengkungan yang alami. Tiga lengkungan yang terkenal di antaranya, Porte d'Aval, Porte d'Amont, dan Manneporte.

Pada tahun 2018, perpustakaan pantai dibuka di Etretat berupa pondok. Terdapat lebih dari 1.000 buku yang disimpan di sana. Perpustakaan pantai itu merupakan kelanjutan dari program Read At The Beach pada tahun 2005 dengan tiga perpustakaan pantai. Dilansir The Jakarta Post, pada tahun 2017 data pembaca mencapai lebih dari 38.000 orang.

Selain Etretat, terdapat perpustakaan pantai lainnya di Prancis seperti pantai di Gruissan dan Herault. Di Herault sendiri, pada tahun 2017 terdapat lebih dari 21.000 pembaca.

Santa Monica Public Library, California, Amerika

Santa Monica Public Library (SMPL) terletak di tepi laut California Selatan. Diktutip dari situs Santa Monica Public Library, perpustakaan pantai ini digagas oleh Community & Cultural Services and Santa Monica Public Library dan didukung oleh Friends of the Santa Monica Public Library.

Perpustakaan pantai ini pun menyediakan perpustakaan online yang bisa diakses pengunjung lewat situs smpl.org ataupun aplikasi SMPL Mobile. Di situs ini, pengunjung ditawarkan berbagai e-Book, e-Audiobook, streaming film dan musik, koran digital dan majalah. Menariknya, para penggiat pun bisa mengantar langsung bahan bacaan kepada para peminjam buku.

Perpustakaan Pantai Bondi, Australia


Pantai Bondi merupakan salah satu tempat yang bagi wisatawan untuk berselancar. Bondi sendiri merupakan kata dalam Bahasa Aborigin "Boondi" yang berarti air yang pecah di antara bebatuan. Pantai dengan ombak yang demikian memang sangat cocok untuk berselancar. Selain itu, di pantai yang paling sibuk di dunia ini pun para pengunjung bisa mengakses bahan bacaan secara gratis.

Pada tahun 2010, IKEA, sebuah perusahaan multinasional merancang rak-rak bongkar pasang yang siap dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan buku. Rak dimaksud terletak di Pantai Bondi di dekat Kota Sydney, New South Wales, Australia. Rak-rak tersebut dipenuhi dengan lebih dari 6.000 buku. Selain Pantai Bondi, perpustakaan sejenis pun dapat dijumpai di Cooge Beach.

***

Sebenarnya, di dunia ada lebih dari tujuh perpustakaan pantai. Namun kali ini, Aleksa batasi pada tujuh perpustakaan pantai di atas. Kiranya dengan artikel yang diolah dan foto-foto yang dihimpun dari berbagai sumber ini dapat memberi inspirasi bagi kita semua, di mana saja berada.

Di Indonesia, pemerintah dan berbagai lembaga non pemerintah ataupun LSM dalam beberapa tahun terakhir giat mengkampanyekan berbagai destinasi wisata (promosi wisata). Namun demikian, kampanye tersebut tampak monoton. Paling-paling seputar kuliner, ragam busana tradisional, produk-produk komersial, hingga vila/ hotel-hotel mewah.

Menurut catatan perjalanan beberapa orang yang tergabung dalam Lost Packer (Lihat Indonesia) pada 2014 lalu, terdapat sebuah rumah bambu (gedheg) di tepi Pantai Kondang Merak, Malang, Jawa Timur, yang dimanfaatkan sebagai perpustakaan. Perpustakaan ini dikelola oleh dua warga setempat yakni Andik dan Edy.

Keduanya ingin mendekatkan bacaan kepada anak-anak di sekitar sebab jarak ke sekolah terlalu jauh untuk dijangkau, apalagi ingin membaca di waktu-waktu luang. Bisa dipahami bahwa inisiatif itu terlepas dari konsep pariwisata.


Pariwisata kita belum dibarengi dengan kampanye literasi (membaca) seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara lain di dunia dengan membuka perpustakaan alternatif-yang tidak kaku seperti perpustakaan pantai. Artinya, selain mengejar pendapatan bagi daerah ataupun negara, masyarakat/wisatawan pun bisa mendapat pengetahuan lebih dengan membaca.

Lewat membaca, tidak hanya obyek wisata yang dikenal. Tetapi pengetahuan lain termasuk di dalamnya sosial, budaya, sastra, politik, ekonomi dan lain-lain bisa diketahui pengunjung dengan aktivitas membaca. Tentu untuk sampai pada capaian tersebut, refrensi bacaan perlu diperbanyak, diseleksi, yang kiranya dapat menjangkau semua kalangan.

Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi yang memiliki banyak obyek wisata bahkan ada 'wisata super premium', butuh kreativitas lebih untuk dikelola. Para pengelola, pelaku wisata atau apapun namanya, perlu berpikir dan berbuat melampaui wisata itu sendiri. Akan menjadi luar biasa kalau pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, marak dikampanyekan dibarengi dengan kampanye literasi (membaca). Dengannya, 'peradaban' dapat dibangun dan jadi kokoh.

Kupang, 15 Desember 2020
Aleksa

Related Posts:

Aksi Damai Peringati Hari HAM, WNI Eks Timor Timur Diduga Ditembak Oknum Polisi

Tuapukan, LekoNTT.com - WNI eks Timor Timur di Tuapukan, Kabupaten Kupang melakukan aksi damai dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional pada Kamis (10/12/2020). Aksi ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian hak atas tanah bagi WNI eks Tim-Tim.

Hingga hari ini, ada lebih dari 600 keluarga dari masyarakat yang mengungsi dari Timor Leste pada tahun 1999, hidup tanpa tanah, tanpa lahan yang bisa digarap. Mereka tersebar di beberapa kamp seperti Noelbaki, Tuapukan, Naibonat, Haliwen, dan Ponu.

Sebagian besar masih menghuni rumah darurat yang dibangun sejak tahun 1999 dengan dinding bebak yang miring dan lapuk, juga atap yang bocor. Mirisnya, ada dua hingga tiga keluarga tinggal dalam satu rumah.

Karena hal tersebut, aksi damai kembali dilaksanakan pada hari peringatan Hak Asasi Manusia 10 Desember 2020, di Kamp Tuapukan. Aksi ini bertemakan Berikan Kepastian Status Tanah bagi WNI Eks Pengungsi Tim-Tim.

Kejar-Kejaran, Lemparan hingga Tembakan Dilepas

Ramos Paz, salah satu massa aksi dalam keterangan tertulis mengatakan, aksi kali ini mendapatkan tindakan represif dari oknum aparat. "Satu orang massa aksi tertembak dan lima orang lainnya terluka," katanya.

Ramos pun membeberkan kronologi dari aksi yang berakhir ricuh. Sekitar pukul 09.00 WITA, massa aksi kurang lebih berjumlah 100 orang bergerak menuju tempat aksi, yaitu mimbar bebas di jalan Timor Raya sambil meneriakkan yel-yel. Polisi pun mendatangi tempat acara.

Orasi dilaksanakan secara bergiliran. Pukul 10.10 WITA, polisi berusaha membubarkan massa dengan paksa. "Salah seorang masyarakat atas nama Egidius dipukul hingga terjatuh dan kepalanya bocor."

Aksi saling dorong pun tak terhindarkan. Oky, massa aksi yang lain bersaksi, polisi memukuli massa laki-laki dan perempuan, dan mulai melepas tembakan peringatan. "Satu orang tertembak peluru tajam dan beberapa lainnya luka, diantaranya perempuan," kata Oky.

Ia menuturkan, polisi terus melepas tembakan dan membuat massa berlarian. Di lain pihak, para polisi pun berlarian menghindari lemparan batu dari massa aksi. Berikut beberapa korban:

1. Bribato Soares (29), tertembak di lutut bagian kanan.
2. Egidio Soares (36), luka di dahi dan hidung.
3. Armindo Soares (46), luka robek di kepala.
4. Ramoz Paz (30), bengkak di bagian perut.
5. Armindo Soares (40), luka di lutut.
6. Deolinda Belo (45), luka di bagian kepala sebelah kanan.

Selain itu, kaca mobil Polsek Kupang Timur pun pecah akibat lemparan batu. Arus lalu lintas sempat macet, sebagian warga pengguna jalan raya memilih putar (balik) arah menghindari kerusuhan.

Hingga saat ini, kondisi di Tuapukan sudah kondusif. Namun video-video dan foto-foto di lokasi kejadian terus berseliweran di media sosial. Banyak massa aksi yang mengalami luka dengan tubuh penuh darah akibat ricuh bahkan ditembaki, seorang polisi ditendang seorang pemuda hingga ajakan berduel, dan banyak dokumentasi lainnya yang menggambarkan situasi di Tuapukan.

Semuanya dilatari oleh tuntutan yang telah disampaikan selama bertahun-tahun namun tidak digubris yaitu kepastian hak atas tanah, rumah layak huni hingga lahan garapan. Tuntutan yang kembali disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional. (klk)

Related Posts:

Inklusif dan Aksesibel, Catatan Penting di Hari Disabilitas Internasional 2020

Internasional, LekoNTT.com - Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Peringatan ini dipelopori Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1992 dalam Resolusi 47/3.

Tujuan peringatan ini untuk mengembangkan wawasan dan kesadaran masyarakat akan persoalan-persoalan yang terjadi berkaitan dengan kehidupan dan memberikan dukungan untuk meningkatkan martabat, hak, dan kesejahteraan para penyandang disabilitas. Selain itu melalui momen ini, stigma terhadap penyandang disabilitas dapat dihilangkan.

Tahun 2020, Hari Disabilitas Internasional diperingati di bawah tema "Building Back Better: toward a disability inclusive, accesible and sustainable post Covid-19 world" (Membangun kembali kehidupan yang lebih baik, lebih inklusif, lebih aksesibel dan berkelanjutan pasca pandemi Covid-19). Di bawah tema tersebut, masyarakat global termasuk di Indonesia melalui Kementerian Sosial mengharapkan masyarakat untuk:

  1. Lebih mengenal keragaman jenis disabilitas;
  2. Menunjukan ragam kehidupan disabilitas yang unik dan menarik;
  3. Tidak mengekploitasi kekurangan para penyandang disabilitas;
  4. Apa yang kita lakukan merupakan sebagai respons positif kepada para penyandang disabilitas sebagai bagian dari kita;
  5. Respons dari yayasan dan keluarga sebagai sebuah langkah rehabilitasi terhadap mereka;
  6. Apresiasi karya dan potensi yang dimiliki para penyandang disabilitas;
  7. Meningkatkan awareness masyarakat untuk lebih peduli kepada penyandang disabilitas;
  8. Pemanfaatan ICT dan media digital dalam mengembangkan karya penyandang disabilitas;
  9. To respect, to fulfill, to protect.

Sejarah Singkat

Hari Disabilitas Internasional sendiri berawal dari masa lalu yang buram bagi para penyandang disabilitas. Dahulu, mereka tidak mendapat pengakuan secara nasional bahkan internasional; nyaris dalam berbagai bidang kehidupan. Di saat-saat itu, kecacatan dipandang sebagai sesuatu yang harus 'diobati', dan oleh karena itu hal itu paling sering dilihat melalui kacamata medis, bukan dari sudut pandang sosial sosial seperti saat ini.

Di tahun 1970, Inggris mengesahkan Undang-Undang Orang Sakit Kronis dan Penyandang Disabilitas. UU ini memuat pengakuan untuk hak-hak para penyandang disabilitas. Termaktub di dalamnya penyediaan bantuan kesejahteraan, perumahan, dan hak yang sama atas fasilitas rekreasi dan pendidikan.

Namun demikian, hak para penyandang disabilitas tidak diakui secara internasional hingga tahun 1971. Di tahun ini, muncul proklamasi yaitu Konvensi PBB tentang Hak-Hak Orang yang Menderita Mental. Empat tahun setelah itu, tepatnya pada 1975 muncul proklamasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dengannya, hak-hak sosial, politik, sipil dan hak asasi manusia dari para penyandang disabilitas baru diakui secara internasional

Selanjutnya pada 1983 hingga 1992 pemerintah dan organisasi global menyelenggarakan The United Nations Decade of Disabled Person dengan tujuan menempuh langkah dalam meningkatkan aspek kehidupan para difabel di seluruh dunia. Pada 14 Oktober 1992, Hari Disabilitas Internasional atau International Day of Disabled Persons ditetapkan oleh Majelis Umum PBB.

Pada 18 Desember 2007, Majelis Umum PBB mengubah nama International Day of Disabled Persons menjadi International Day of Person with Disabilites. Nama baru ini pun mulai digunakan sejak 2008 hingga saat ini.

Di Indonesia sendiri, komitmen pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas terwujud dalam lahirnya UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Tema Tahunan

Setiap tahun, PBB mengajak masyarakat global untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional dengan tema-tema tertentu. Tema yang diangkat memberikan fokus menyeluruh tentang bagaimana masyarakat dapat berjuang untuk inklusivitas melalui penghapusan hambatan fisik, teknologi, dan sikap untuk penyandang disabilitas. Berikut beberapa tema tahunan yang dihimpun dari berbagai sumber:

  • 2010: "Keeping the promise: Mainstreaming disability in the Millennium Development Goals towards 2015 and beyond"
  • 2011: "Together for a better world for all: Including persons with disabilities in development"
  • 2012: "Removing barriers to create an inclusive and accessible society for all"
  • 2013: "Break Barriers, Open Doors: for an inclusive society and development for all"
  • 2014: "Sustainable development: The promise of technology"
  • 2015: "Inclusion matters: access and empowerment for people of all abilities"
  • 2016: "Achieving 17 Goals for the future we want"
  • 2017: "Transformation toward sustainable and resilient society for all"
  • 2018: "Empowering persons with disabilities and ensuring inclusiveness and equality"
  • 2019: "Promoting the participation of persons with disabilities and their leadership: taking action on the 2030 Development Agenda"
  • 2020: "Building Back Better: toward a disability inclusive, accesible and sustainable post Covid-19 world"

Beberapa Fakta

Dari masyarakat-populasi dunia, sebanyak 10 persen atau 650 juta orang di dunia merupakan penyandang disabilitas. Sebanyak 20 persen dari orang miskin dunia adalah penyandang disabilitas.

Persentase anak-anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah sangat bervariasi, antara 65-85 persen di beberapa negara Afrika. Angka kematian untuk anak-anak disabilitas mungkin mencapai 80 persen di negara-negara dimana angka kematian balita secara keseluruhan telah menurun hingga di bawah 20 persen.

Di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, hanya 5-15 persen penyandang disabilitas yang bisa mendapatkan akses bantu seperti perangkat teknologi.

Di Indonesia, berdasarkan data berjalan 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen. Sebelumnya pada tahun 2018, data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 mengungkapkan bahwa akses informasi penyandang disabilitas dalam penggunaan ponsel atau laptop hanya 34,89 persen, sedangkan non-disabilitas 81,61 persen. Adapun, akses internet penyandang disabilitas 8,50 persen sedangkan non disabilitas 45,46 persen.

(alk)

(Diolah dari berbagai sumber)

Related Posts: