Oleh: Vivin da Silva*
"Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator, dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi."
Demikian tulis Soe Hok Gie dalam sajaknya yang berjudul “Pesan” yang diterbitkan oleh Harian Sinar Harapan pada 18 Agustus 1973. Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa yang menentang kediktatoran pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Menurutnya makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi, sehingga tak heran ia menjadi salah seorang cendekiawan yang dikenal paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan di masa Orde Lama hingga runtuhnya pada tahun 1966.
Tanpa semangat Gie dan kawan-kawan pemuda di masa itu, maka tak mungkin demokrasi hari ini kita nikmati. Itulah beban yang dipikul oleh pemuda setiap generasi, membuat perubahan untuk memastikan bangsa ini terus bertahan di masa depan.
Setelah bertahun-tahun runtuhnya masa Orde Lama dan Orde Baru hingga memasuki era reformasi, keadaan Indonesia tak jauh berbeda. Meskipun salah satu agenda reformasi saat itu adalah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun seperti yang dilihat, korupsi kian bertumbuh subur di ladang kebhinekaan. Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah beristirahat untuk menjemput para narapidana. Bahkan belum lama ini, di tengah pandemi ada dua menteri yang dijadikan tahanan akibat korupsi.
Tak hanya di tingkat Nasional, isu korupsi berhembus hingga ke tingkat daerah. Salah satunya adalah Kasus Dugaan Korupsi Pekerjaan Pembangunan Jembatan Titian Apung dan Kolam Apung Beserta Fasilitas Lain di Pulau Siput Awololong, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dugaan Korupsi berkedok pembangunan destinasi wisata ini dibaca dengan lugas oleh beberapa kelompok pemuda yang giat melakukan pengawalan isu pembangunan ini sejak awal.
Kilas Balik Pemuda di Medan Perjuangan
Pemuda merupakan golongan yang tak pernah absen mengawal setiap kebijakan yang lahir dari pemerintahan. Tak heran bahwa akhirnya pemuda-pemuda turut andil dalam runtuhnya berbagai orde pemerintahan akibat tak adanya keberpihakan pada rakyat.
Perubahan masif ini tentu lahir dari berbagai diskursus dalam ruang-ruang intelektual yang membentuk watak pemuda yang progresif dan revolusioner. Senada dengan itu, Karol Aida Carolia Olivia, seorang tokoh perempuan di balik Revolusi Pinguin Chili pernah berkata, “Menjadi muda tapi tidak revolusioner adalah sebuah kontradiksi biologis.”
Mengapa harus pemuda? Karena pemuda memiliki instrumen-instrumen yang jika dimaksimalkan dapat menjadi sarana membuat perubahan secara revolusioner. Diantaranya adalah umur yang masih muda, pikiran yang masih segar dan tubuh yang masih bugar.
Sebagai tanggung jawab moril atas status kepemudaan ini, para pemuda yang tergabung dalam berbagai kelompok/organisasi kepemudaan dengan progresif bersama-sama mengusut dugaan kasus korupsi proyek Awololong sejak awal. Di antaranya adalah Front Mata Mera (Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat), Amppera – Kupang (Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata) dan Amatata (Aliansi Mahasiswa Lembata Jakarta), Astagah-Lembata, Sparta, dan Amarah.
Selain tak adanya kejelasan AMDAL selama pembangunan, tidak maksimalnya penyerapan dana ditunjukkan oleh mangkraknya pembangunan tersebut yang tentu menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Di antaranya, Apperal-Lembata, Sparta-Jakarta, FP2L, PMKRI Cabang Kupang, LMND Kota Kupang, GMNI Komisariat Hukum Undana dan HMI Cabang Kupang.
Percaya bahwa kedaulatan tertinggi dalam demokrasi ada di tangan rakyat, bermodalkan semangat idealisme yang membara para pemuda ini terus berupaya melakukan berbagai aksi. Hal itu demi adanya eskalasi tekanan publik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah terkait proyek Awololong.
Upaya yang dilakukan untuk mencapai kesempurnaan (dibaca keadilan) diantaranya adalah melakukan aksi demonstrasi menolak pembangunan proyek Awololong, diselenggarakan mimbar bebas, melakukan kajian melalui diskusi dengan berbagai pihak seperti praktisi hukum, politisi, masyarakat sekitar dan akademisi. Bahkan di tengah pandemi pun diskusi-diskusi daring dijadikan salah satu langkah strategis untuk tetap merawat semangat penolakan ini.
Tak hanya sampai di situ, melihat belum adanya kejelasan proses hukum yang berjalan, Amppera Kupang dan Front Mata Mera Makassar kemudian menginisiasi Festival Jeritan Awololong pada Agustus 2020 kemarin. Dalam festival itu, aksi-aksi teatrikal pun dilakukan, penandatanganan petisi penolakan secara umum, mimbar bebas, aksi seribu lilin dan doa bersama. Setelah itu, proses audiensi dengan POLDA NTT dilakukan untuk mengkawal proses hukum yang berjalan. Sebab strategi-strategi liar seorang demonstran sudah seharusnya terus bergerilya hingga mencapai tujuan.
Supriyadi Lamadike, Presiden Front Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat (Mata Mera – Makassar) mengisahkan bagaimana sejak awal mengumpulkan teman-temannya untuk ikut beraliansi mengkawal isu pembangunan Awololong.
"Saat proyek Awololong menjadi perbincangan hangat di publik, kami kemudian berinisiatif untuk melakukan pergerakan dengan membentuk sebuah organ taktis demi menolak pembangunan Awololong. Karena berlandaskan semangat perjuangan dan tujuan yang sama, pendekatan yang dilakukan secara perorangan maupun organisasi untuk mengumpulkan teman-teman tidak begitu lama dilakukan,” ungkap Supri.
Revolusi memanglah seperti sebuah seni. Yang moral dalam dirinya adalah hasrat menjangkau yang sempurna dengan tubuh dan sarana yang tak sempurna. Ketika polemik pembangunan ini semakin ramai menjadi buah bibir di khalayak, Front Mata Mera tidak tinggal diam beberapa kali mereka melakukan aksi teatrikal, demonstrasi bahkan mimbar bebas di tempat mereka menempuh pendidikan yaitu Makassar.
Bermodalkan nekat untuk menduduki kantor DPRD Kabupaten Lembata dan menolak pembangunan melalui aksi demonstrasi, dengan uang seadanya sepuluh orang anggota Front Mata Mera kemudian membeli tiket kapal sampai ke Maumere untuk pulang ke Lembata. Meninggalkan perkuliahan demi agenda kemanusiaan, menggunakan uang pribadi untuk semua kebutuhan perjalanan.
Karena tiketnya hanya sampai ke Maumere mereka kemudian bersembunyi di kapal demi meneruskan perjalanan ke Lembata “Tidak sedikit tantangan yang kami dapat setelah sampai di Lembata, ditargetkan oleh intel hingga mendapat tekanan berupa ancaman dari berbagai pihak entah dari keluarga maupun pemangku kepentingan. Namun meski dihadang dengan situasi apapun seperti ancaman fisik yang menekan psikologi perjuangan, aksi saling dorong dengan aparat dan lainnya kami tetap bergerak bersama sesuai dengan semangat tagar yang kami gunakan yaitu #BakuBawaSampeMenang,” tambah Supri.
Sementara itu, Emanuel Boli Koordinator Umum Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera – Kupang) menceritakan kejadian seputar demonstrasi yang dilakukan, yang sangat berkesan baginya saat Amppera bersama aliansi pemuda-mahasiswa yang lain berusaha menemui Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur. Sejatinya pemimpin dipilih untuk melayani, menemui rakyat-mendengar langsung keluh kesah rakyat.
Merasa aspirasi rakyat tidak tersampaikan dengan baik, para pemuda-mahasiswa ini kemudian mendatangi langsung para pemangku kebijakan untuk mendiskusikan berbagai isu. Tapi sayang, bagai cinta bertepuk sebelah tangan. Dalam setiap aksi yang dilakukan, bertemu dengan pemimpin Lembata itu untuk bertatap muka saling memberikan pandangan demi kemajuan Lembata adalah sesuatu yang tak pernah terjadi.
“Kami akhirnya bersepakat untuk datang langsung mengunjungi bupati di rumah jabatannya di Kuma Resort. Aliansi dibagi dalam dua kelompok yang menempuh perjalanan darat dan laut ke Kuma Resort. Namun sayang kami tetap dihadang oleh aparat,” ungkap Eman.
Ia mengatakan bahwa hal itu dilakukan dengan pertimbangan, jika di jalur darat mereka dihadang oleh polisi maka di jalur laut mereka bisa lolos menemui bupati. Semua berjalan di luar ekspektasi, di jalur darat mereka bertemu polisi dan di jalur laut mereka bertemu dengan Satpol PP. Ketika massa dan aparat keamanan disulut emosi seperti itu pertikaian pun terjadi. Berdebat sengit, saling dorong dan saling lempar tentu tidak dapat dihindari. Aksi hari itu berakhir nihil lagi.
Kronologi Proses Hukum
Meski hidup di negara hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa segala urusan akan berbelit-belit jika dibawa ke ranah yang satu ini. Seperti kata sastrawan Goenawan Mohamad, bahwa hukum tak identik dengan keadilan. Hukum bahkan ruang tertutup dan keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dengan semangat dan idealisme membara, para pemuda ini tetap mengharapkan sebuah kesempurnaan dengan sarana dan prasarana yang tak sempurna.
Pada Jumat, 18 Oktober 2019 Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera – Kupang) melakukan audiensi sekaligus pengaduan dugaan korupsi atas pembangunan destinasi wisata dengan dana pembangunan sebesar Rp 6.892.900.000,00. Pengaduan ditujukan ke Kapolda NTT saat itu, Irjen Pol. Drs. Hamidin, S.I.K didampingi Direskrimsus Kombes Pol. Heri Tri Maryadi, Dirkrimum Kombes Pol. Yudi Sinlaeloe, Dirintelkam Kombes Pol. Joudy Mailoor, S.I.K dan Ditresnarkoba di ruang kerja Kapolda NTT.
Berdasarkan data yang ditemukan, pada saat itu proyek ini telah menghabiskan sekitar 85% dari jumlah total dana pembangunan di atas yakni berjumlah Rp 5.542.580.890,00. Namun sayang, pembangunan belum terlihat menunjukkan penyerapan dana sebesar itu. Hal ini menjadi keresahan tersendiri untuk masyarakat Lembata secara luas.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda NTT diantaranya adalah membuat dan menerbitkan surat perintah tugas, melakukan interogasi kepada 13 saksi, melakukan pengumpulan dokumen terkait, audit keteknikan bersama Tim Politeknik Negeri Kupang , melakukan pemeriksaan saksi ahli keteknikan Politeknik Negeri Kupang, gelar perkara hasil penyelidikan (16 Mei 2020 di Mabes Polri jam 10.00 WIB s/d 20.00 WIB).
Selanjutnya, perkara tersebut dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan sejak tanggal 20 Mei 2020 oleh penyidik Polda NTT Langkah berikutnya adalah melakukan pembuatan mindik penyidikan, pemeriksaan saksi-saksi secara pro justicia (sebanyak 31 Saksi di Lembata, 11 Agustus sampai 22 Agustus 2020) serta penyitaan barang bukti (2 box), melakukan permintaan penetapan penyitaan barang bukti ke pengadilan Tipidkor Kupang, melakukan pemeriksaan ahli LKPP 12, melakukan pemeriksaan pabrikasi proyek Awololong di Bandung dan Surabaya.
Kemudian untuk membuktikan kerugian secara pasti dan nyata, langkah yang ditempuh adalah permintaan audit PKKN ke BPKP perwakilan NTT, gelar perkara penetapan tersangka yang telah dilakukan pada Senin, 21 Desember 2020. Setelah ini akan dilakukan tahapan pemeriksaan tersangka dan penyusunan berkas perkara sebelum melangkah ke tahap selanjutnya.
Gelar Perkara Penetapan Tersangka
Bagai awal dari hasil perjuangan yang panjang, salah satu hari yang dinanti-nanti pun tiba. Konferensi pers oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT dilakukan pada 21 Desember 2020. Tepatnya pada pukul 11.00 WITA bertempat di ruang rapat Ditreskrimsus Polda NTT untuk giat gelar perkara kasus tindak pidana korupsi.
Bahwa sesuai dengan pemeriksaan yang telah dilakukan pada pekerjaan pembangunan jeti apung dan kolam renang beserta fasilitas lain pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata Tahun anggaran 2018 dan 2019, ditetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini.
Kanit II Subdit III Ditreskrimsus Polda NTT AKP Budi Gunawan mengatakan, dua tersangka itu yakni Silvester Samin selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Abraham Yehezkibel Tsazaro selaku kontraktor pelaksana. "Statusnya sudah tersangka tapi belum ditahan, saat pemeriksaan baru akan ditahan," ungkapnya pada Senin (21/12/2020).
Berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian negara, kerugian yang dialami sebesar Rp 1.446.891.718,27. "Sejumlah dokumen kita sita dan 37 saksi kita periksa. Saat ini masih dua tersangka, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada penambahan tersangka," pungkasnya.
Seumpama Covid-19, dua orang ini mungkin masuk ke dalam bagian kluster pertama, sehingga tidak menutup kemungkinan akan ada kluster-kluster berikutnya. Kedua tersangka dijerat pasal 2 ayat 1 Subsider pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Sejak pagi sekitar pukul 10.00 WITA perwakilan dari Amppera Kupang telah bersiap-siap memasuki ruang rapat, cuaca yang mendung tak dapat memadamkan kobaran api yang membara dalam diri para pemuda pencari keadilan ini. Hal ini tergambar jelas dalam raut wajah mereka, bahwa penetapan tersangka hari ini adalah titik terang proses panjang yang menjadi kepuasan tersendiri untuk kelompok-kelompok yang selama ini berdarah-darah di medan perjuangan.
Koordinator Umum Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera - Kupang), Emanuel Boli mengapresiasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Polda NTT atas kerja-kerja luar biasa (extra ordinary) dalam mengungkap secara terang benderang kasus dugaan korupsi Pekerjaan Pembangunan Destinasi Wisata ini. Emanuel menegaskan, agar Penyidik Tipidkor Polda NTT terus melakukan langkah hukum selanjutnya untuk menyeret pihak-pihak terkait sampai aktor intelektualnya yang diduga terlibat namun belum ditetapkan sebagai tersangka.
Senada dengan itu, Supriyadi Lamadike, Presiden Front Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat (Mata Mera – Makassar) saat dihubungi oleh Leko NTT menyampaikan bahwa setelah ini langkah strategis yang akan dilakukan oleh mereka adalah terus mengkawal persoalan ini, karena yakin bahwa tersangka bukan hanya dua orang. Namun masih ada aktor lainnya sehingga persoalan tersebut harus diusut hingga tuntas.
“Kami juga berharap agar kita tidak hanya peka untuk mengurus masalah Awololong, sebab masih banyak kasus lain di Lembata. Jadi kita harus terus berjuang dan mengawal kebijakan-kebijakan Pemda yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat. Oligarki harus terus dilawan,” kata Supri.
*Penulis adalah Pustakawati Komunitas Leko, Alumni Forum Indonesia Muda, dan Aktivis GMNI.