LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Dari Queensland: Mengapa Bali, bukan NTT? - Leko NTT

Dari Queensland: Mengapa Bali, bukan NTT?


Oleh: Irenz ‘Nanentom’ Alupan*

“Saya tidak akan membawa pulang apa yang saya dapat di sini. Manusia dan peradabannya biarlah tetap tinggal sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Pariwisata adalah usaha menjaga orang tetap menikmati hidupnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) dan manusianya punya budaya dan peradabannya sendiri. Pengambangan pariwisata mesti dimulai dari kesadaran.”

Ini adalah hari-hari terakhir saya berada di negeri Kanguru, Australia. Ada yang ingin saya tulis pada perjalanan pulang di bus dari Sunshine Coast kembali ke Brisbane, dua jam kurang lebih. Telah hampir satu bulan lebih seminggu, saya dan 24 rekan dari NTT berada di Negara bagian Australia, Queensland. Tiga minggu di Gold Coast, pantai bak Bali-nya orang Australia dengan pesisir dan pasir yang indah.
Para peserta Pendidikan Vokasi Pariwisata ketika berkunjung ke North Stradbroke Island. (Foto: Surya Fahik)

Selama itu juga kami mendapat kesempatan belajar Sustainability Tourism and Hospitality di Griffith University Gold Coast, sebagaimana tujuan utama dari program Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan Wakilnya, Yosef Nae Soi. Dua minggu kami pindah ke Brisbane, Nathan Campus Griffith dan menginap beberapa malam di Sunshine, dan hari ini (8 Oktober 2019) kami pulang. Inilah hari- hari terakhir di sini. Sangat berkesan.

Program pariwisata sebagai salah satu prime mover dalam memajukan sektor ekonomi NTT, menuju NTT sejahtera adalah program brilian Gubernur Viktor dan Wakilnya Yosef. NTT dalam skema-peta besar memiliki banyak destinasi dengan beragam keunikannya. Ada alam yang indah memukau dan membuat orang tetap betah di sana.

Saya telah mengunjungi banyak tempat di sini. Satu pulau, dua kebun binatang, dua puncak gunung dengan kebun anggur dan bangunan unik, dua museum, pesisir pantai yang indah dan masih banyak lagi yang tidak bisa sebut satu per satu, termasuk mengenal secara dekat suku Aboriginal.
Gold Coast

Dalam sebuah lembaran tugas yang diberikan kampus (Griffith University), sebelum mengunjungi setiap destinasi, ada pertanyaan yang mengajurkan kita untuk berekspektasi. Tentu di sebuah tempat baru, berekspektasi dan membayangkan hal baru, itu sesuatu. Namun, benar bahwa apa yang dipikirkan acapkali tidak sesuai dengan apa yang dilihat. Destinasi atau spot wisata hanyalah tempat, dengan apapun keunikannya, dia tetaplah tempat. Nilai jual alami barangkali adalah hal kedua setelah informasi, mitos dan sejarahnya.

Pengalaman berarti yang mungkin akan saya bawa dalam benak adalah bagaimana pariwisata sebagai usaha membangun pasar yang jualannya itu informasi. Informasi memiliki sisi penting dalam mengembangkan satu destinasi. Akses informasi yang dekat dan mudah diperoleh tentang sesuatu tempat wisata sangat penting dalam membentuk persepsi pengunjung.
Mahasiswa Griffith University asal NTT. Suatu hari, seusai kuliah.

Di NTT, apa yang perlu dibangun? Apakah informasi tentang tempat wisata sudah dapat diakses secara baik? Sudah cukup mencakup pasar ataukah hanya sekedar-sekedarnya saja, sebagai pekerjaan untuk diselesaikan sebagai program?

Di sini, ketika kita mengunjungi suatu tempat, orang-orang tua dengan usia 50 tahunan mengabdikan diri sebagai volunteer untuk membagi informasi. Ada membagikan pamflet, yang lainnya menjadi guid, yang lain lagi melambaikan tangan di setiap pintu masuk-keluar. Mereka senantiasa siap menjawab pertanyaan setiap pengunjung. Menarik bukan? Sangat!

Informasi adalah barang jualan. Keindahan atau keunikan mestinya dilengkapi informasi sehingga kesan yang dibangun tidak hanya melingkup tempat, melainkan mitos dan sejarahnya ikut didalaminya.
Saya bersama seorang volunteer

Ada hal lain yang saya lihat, bahwa dalam pengembangannya, sebuah tempat pariwisata mestinya melihat privasi dan kebebasan sebagai tujuan utama orang berkunjung ke tempat itu. Bali adalah tempat populer di dunia. Ketika menyebut Indonesia, tebakan pertama untuk sebuah pertanyaan tentang Indonesia adalah Bali. Mengapa Bali?

Bali adalah rumah bagi semua orang. Peradaban yang dibangun, kuat berdiri di atas fondasi yang baik. Manusia dan kebudayaan Bali tetap hidup meskipun culturshock telah menghacurkan generasi muda di sana. Jika dibuat perbandingan, maka pantai-pantai di NTT, bahkan komodo dragon yang ada di NTT, merupakan aset pariwisata luar biasa ketimbang Bali. Namun yang berbeda adalah manusia dan kebudayaannya.

Bali telah menjadi welcome bagi semua orang dan melihat kebabasan juga privasi adalah tujuan orang menikmati sebuah perjalanan. Mereka adalah tuan rumah yang membuat tamunya tidak menjadi asing di sana.

Apakah suatu hari, NTT ingin seperti Bali? Jika kita ingin, maka janganlah kita menjadikan orang lain begitu asing. Bicara bahasa Inggris seperti kebayanyakan orang berbicara.

Catatan ini saya usaikan. Perjalanan hampir sampai.


*Irenz ‘Nanentom’ Alupan, Direktur Kita Kefa Media, salah satu peserta Pendidikan Vokasi Pariwisata asal NTT di Griffith University, Queensland, Australia.

Related Posts:

1 Response to "Dari Queensland: Mengapa Bali, bukan NTT?"

  1. Luar biasa . apa yg perlu di perbaiki di NTT ? SEMUA masih dalam Mimpi kalau manusianya tidak mau berpikir positif utk maju

    BalasHapus