LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Lampu Tamnos Padam Jelang Pelantikan Presiden dan Wakilnya - Leko NTT

Lampu Tamnos Padam Jelang Pelantikan Presiden dan Wakilnya


Lampu Tamnos padam, apa hubungannya dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih? Saya sendiri bingung dengan ini judul tulisan. Tapi itu judul yang pertama kali melintas dalam isi kepala. Sempat ditolak, tapi tetap memaksa, masuk dan merasuk. Jadilah demikian, tertulis seperti ilham yang menyata sabda dalam kitab-kitab.

Tamnos itu bukan sejenis lampu, tapi nama sebuah taman di tengah-tengah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang. Orang-orang yang tinggal di Kupang atau pernah mampir ke ini taman, sudah tentu tahu. Tamnos, singkatan dari Taman Nostalgia. Adanya memang menyisakan kisah-kisah nostalgik di ini kota, termasuk kisah melankolis, ada dalam gelap di tengah taman, di tengah ibu kota.

Sabtu malam, 19 Oktober 2019. Malam ketika orang-orang di seluruh pelosok tanah air, cemas dan gemas menanti-nanti perayaaan puncak atas kemenangan yang diraih. Ialah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019-2024, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2019 (ini hari). Malam yang sama, lampu di salah satu sudut Tamnos pun padam.
Area di dekat Gong Perdamaian Taman Nostalgia, gelap. Sabtu, 19 Oktober 2019

Malam itu banyak pengunjung, seperti malam-malam minggu sebelumnya. Taman yang terletak di Jalan Frans Seda ini memang paling ramai dikunjungi setiap malam minggu. Banyak aktivitas, baik dari komunitas-komunitas, kelompok diskusi, musik, individu hingga pasangan-pasangan individu yang kadang bikin mata enggan menyaksikan aksi mereka.

Beberapa komunitas yang paling saya ingat aktivitas mereka adalah, Komunitas Raskal. Ialah komunitas yang menghimpun anak-anak muda yang memiliki minat dalam olahraga basket. Ada juga komunitas skateboard, kelompok musik seperti rock or die, OI Kupang dan tentu Komunitas Leko Kupang yang senantiasa menjalankan Kencan Buku, lapak baca buku gratis sejak tahun 2017.

Kejadian semalam (19/10), lampu padam. Itu bukan pertama kalinya, tapi sudah berkali-kali, tidak terhitung jumlahnya. Selain beberapa tiang tanpa bola lampu yang sudah sepantasnya dijadikan ‘besi tua’, faktor penyebab utama dari padam lampu tersebut adalah meteran yang kehabisan pulsa (listrik).

Itu malam, bertepatan dengan jadwal Kencan Buku. Empat pegiat di Komunitas Leko yang bertugas, sudah mulai menggelar lapak baca gratis tepat pukul 17.45 Wita. Cahaya dari sisa senja yang nyaris hilang masih ada. Para pegiat dan pengunjung di Tamnos masih bisa melakukan aktivitas membaca. Tigapuluh menit kemudian, sisa senja benar-benar hilang. Area di sekitar Tamnos, di dekat Gong Perdamaian mulai gelap.
Bias cahaya dari kios dan warung-warung di Tamnos

Cahaya lampu dari warung dan kios-kios di sekitar Tamnos, pun terhalang oleh beberapa pohon lontar. Aktivitas membaca, mutlak tidak bisa dilangsungkan. Dipaksakan, sudah tentu bikin mata rusak.

Duapuluhlima menit, para pegiat dan pengunjung menanti, lampu sesegera mungkin menyala, entah oleh siapa yang bertanggungjawab atau mungkin restu semesta (ini konyol). Tapi, tidak ada tanda-tanda. Para pegiat dan pengunjung memilih, memindahkan lapak ke salah satu sudut tepat di bawah tulisan TAMAN NOSTALGIA KOTA KUPANG.


Setelah lapak kembali digelar, aktivitas membaca pun kembali normal diselimut cahaya kuning. Berlama-lama, lagi-lagi bisa bikin mata rusak. Itu sebabnya, para pegiat menyiasati dengan adanya diskusi tematis, perform art dan obrolan lepas lainnya.

Kebetulan malam kemarin, para pegiat membuka ruang diskusi tentang buku dan ilustrasi. Buku pilihan yang didiskusikan adalah kumpulan cerpen ‘Kode Etik Laki-Laki Simpanan’ karya Robertus Aldo Nishauf. Buku terbitan perdana Buku Fanu ini, habis terjual pada cetakan pertama, telah menyebar dan dibaca di mana-mana.

Kumcer tersebut diberi ilustrasi oleh seorang seniman dan seniwati muda asal NTT, Armando Soriano dan Merlin Mare. Tapi hingga saat ini, sebagian besar pembaca masih bertanya-tanya, siapa itu Robertus Aldo Nishauf? Lupakan ini, kita kembali ke

Sebelum diskusi dimulai, saya kembali ke tempat semula, di dekat Gong Perdamaian. Area di sekitarnya masih gelap, ya gelap, hanya ada sedikit titik cahaya dari kios-kios itu. Sempat tidak nyaman, sebab di beberapa sudut yang gelap itu, beberapa pasangan anak muda duduk berhadap-hadapan, saling mengelus pipi, merapikan rambut yang sebenarnya sudah rapi, suap-suapan, dan beberapa aksi yang kurang pantas untuk diumbar.

“Mungkin karena lampu padam,” bisik hati seperti itu. Ya sudah, itu urusan dan hak mereka. Urusan yang lebih penting adalah bagaimana mungkin itu lampu masih saja padam. Ini tempat umum, dijangkau publik di Kota Kupang, ini demi kenyamanan.

Saya mengecek meteran di bawah tiang lampu itu, benar, stok pulsanya masih nol rupiah. Dua minggu yang lalu, tepatnya 5 Oktober 2019, hal yang sama terjadi. Lampu padam. Saya dan beberapa teman sudah sempat ‘patungan’ uang untuk melakukan pengisian ulang, tapi terlanjur diisi oleh perwakilan dari sebuah komunitas. Tentu bukan pihak pengelola, apalagi pemerintah atau instansi terkait.

Di lapangan basket, beberapa anak muda dari Komunitas Raskal berlatih dalam suasana gelap. Saya menghampiri seseorang di antara mereka. Namanya Ari Mantolas, ia sudah lama bergabung dalam komunitas tersebut.

Lampu padam, gelap, tapi mereka masih memaksakan diri untuk berlatih. Itu intensi saya menjumpai dan berbincang bersama Ari. “Selain di sini (lapangan basket Tamnos), kami tidak bisa berlatih di tempat lain. Kalau gelap begini, kami terpaksa latihan, lumayan ada cahaya dari kios di depan,” ungkap Ari meyakinkan.

Obrolan panjang terjadi di antara kami. Mulai dari sharing komunitas hingga mengarah pada lampu yang padam itu. Ia baru sadar. “Penerangan di sini, kalau pas lampu padam begini, biasanya katong batambah uang dari sesama pemain ko isi pulsa. Kalau sonde ada uang, ya katong main gelap-gelap begini.”

Ari mengisahkan kalau mereka sudah sering melakukan pengisian ulang pulsa. Pernah mereka menghubungi instansi terkait, tapi penerangan diatasi hanya dalam satu bulan. Setelahnya, lagi-lagi mereka melakukan pengisian. Komunitas Leko sendiri pun sudah pernah melakukan pengisian ulang sebanyak tiga kali.

Ari bersama teman-temannya berharap agar penerangan di Tamnos dapat dikelola dengan lebih baik lagi oleh pihak yang bertanggungjawab. “Pemerintah harus memperhatikan infrastruktur di sini. Hal kecil itu macam pantau pulsa listrik di meteran. Ini kan fasilitas publik, jadi masyarakat harusnya nyaman kalau ke Tamnos.”

Di lain pihak, saya menjumpai seorang pengunjung yang tengah asyik berbincang bersama temannya. Aditya Baskara, namanya. Ia lebih banyak ke Tamnos di malam minggu. “Lampu padam sih tidak terlalu bermasalah ya. Cuma kecewa, kalau lampu padam, terus dimanfaatkan untuk buat hal-hal tidak senonoh. Itu juga mengganggu kenyamanan kita yang berkunjung.”

Intensi yang diungkapkan Ari, Aditya dan para pengunjung tentu sama, yakni soal kenyamanan di Taman Nostalgia. Pemerintah dalam kasus ini, belum mampu menjamin sekaligus menjawab tugas mereka sebagai pelayan publik.
Suasana diskusi, buku dan ilustrasi dalam kumcer 'Kode Etik Laki-Laki Simpanan' karya Robertus Aldo Nishauf.

Di jalanan, di sudut-sudut Kota Kupang, lampu-lampu hias bertengger di mana-mana. Indah memang untuk dipandang, tapi satu titik pencahayaan yang bermanfaat bagi lebih banyak orang lagi, lalai diperhatikan. Ini di ibu kota provinsi, belum lagi kampung-kampung nun jauh di sana yang masih bertahan dengan asap pelita yang menyumbat lubang hidung saat anak-anak tengah belajar di malam hari.

Sampai kapankah komunitas-komunitas harus ‘patungan’ untuk mengatasi penerangan di Tamnos? Mungkinkah sesudah presiden dan wakil presiden dilantik? Kalaupun iya, hanya akan ada kenang bahwa dalam gelap, sebagian orang cemas dan gemas jelang pelantikan presiden dan wakilnya.

Selamat atas pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, periode 2019-2024!

Kupang, 20 Oktober 2019
HET

Related Posts:

0 Response to "Lampu Tamnos Padam Jelang Pelantikan Presiden dan Wakilnya"

Posting Komentar