LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Manipulasi Media Sosial yang Terorganisir #1 - Leko NTT

Manipulasi Media Sosial yang Terorganisir #1


Artikel ini merupakan terjemahan Ifana Tungga atas Proyek Penelitian Propaganda Komputasional Oxford Internet Intitute, University of Oxford; The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manupulation. Peneliatian tersebut dilakukan oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford.
_________________________

Di seluruh dunia, aktor-aktor pemerintahan menggunakan media sosial untuk membentuk konsensus, otomatisasi larangan, dan merusak kepercayaan pada tatanan liberal internasional. Meskipun propaganda selalu menjadi bagian dari diskursus politis, jangkauan yang dalam dan luas dari kampanye-kampanye ini telah meningkatkan perhatian dan ketertarikan kritis publik.

Pasukan cyber didefinisikan sebagai aktor dari pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi pendapat publik secara daring (Bradshaw dan Howard 2017a). Bradshaw dan Howard menyelidiki secara komparatif organisasi formal dari pasukan cyber di seluruh dunia, dan bagaimana aktor-aktor ini menggunakan propaganda komputasional untuk tujuan politis.

Penyelidikan tersebut melibatkan sebuah penemuan mengenai strategi yang digunakan, alat, dan teknik-teknik propaganda komputasional, termasuk penggunaan ‘bots politik’ [akun palsu yang dikendalikan oleh program internet, penerj.] untuk menyebarkan ujaran kebencian atau bentuk manipulasi konten lainnya, pengambilan data illegal atau penargetan-mikro, atau menggunakan pasukan ‘trolls’ untuk melakukan perundungan atau melecehkan pembangkang politis atau jurnalis secara online.

Ilustrasi media sosial/ Pixabay

Dalam penyelidikan itu juga dilacak kapasitas dan sumber daya yang diinvestasikan untuk mengembangkan teknik-teknik yang dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan pasukan cyber di seluruh dunia. Penggunaan propaganda komputasional untuk membentuk sikap publik melalui media sosial telah menjadi sesuatu yang biasa, jauh melampaui tindakan dari sedikit aktor jahat.

Dalam lingkungan informasi yang bercirikan banyaknya informasi dan terbatasnya level perhatian dan kepercayaan pengguna, alat dan teknik propaganda komputasional sedang menjadi sebuah bagian yang biasa – dan esensial – dari kampanye digital dan diplomasi publik. Sebagai tambahan dalam membuat sebuah gambaran komparatif global mengenai aktifitas pasukan cyber, Bradshaw dan Howard juga berharap untuk mengarahkan perdebatan publik dan ilmiah mengenai bagaimana seharusnya mendefinisikan dan memahami hakekat yang berubah dari politik daring, dan bagaimana teknologi dapat dan harus digunakan untuk meningkatkan demokrasi dan ekspresi hak asasi manusia secara daring.

Dalam laporan tahun ini, mereka menyelidiki aktivitas pasukan cyber di 70 negara: Afrika Selatan, Amerika Serikat, Angola, Arab Saudi, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belanda, Bosnia & Herzegovina, Brazil, Britania Raya, Cina, Ekuador, Eritrea, Etiopia, Filipina, Georgia, Honduras, Guatemala, Hungaria, India, Indonesia, Iran, Israel, Italia, Jerman, Kamboja, Kazakhstan, Kenya, Kolumbia, Korea Selatan, Korea Utara, Kroasia, Kuba, Kirgistan, Makedonia, Malaysia, Malta, Mesir, Mexico, Moldova, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Polandia, Qatar, Republik Ceko, Rusia, Rwanda, Serbia, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Siria, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yunani, and Zimbabwe.


Bukti yang Meningkat mengenai Propaganda Komputasional di Seluruh Dunia

Dalam penyelidikan, ditemukan bukti manipulasi kampanye sosial media yang terorganisir di 70 negara, meningkat dari 48 negara pada tahun 2018 dan 28 negara pada tahun 2017. Beberapa dari peningkatan ini datang dari peserta baru yang bereksperimen dengan alat teknik propaganda komputasional selama pemilu atau sebagai alat baru dalam kontrol informasi.

Meskipun demikian, jurnalis, akademisi dan aktivis juga telah dilengkapi lebih baik dengan alat-alat digital dan kosakata yang lebih khusus untuk mengidentifikasi, melaporkan, dan menyingkapkan kasus-kasus manipulasi sosial media yang terorganisir secara formal. Sepanjang tiga tahun terakhir telah disaring bahasa dan istilah pencarian untuk mengidentifikasi kasus-kasus propaganda komputasional.

Dalam penyaringan itu, ditemukan banyak negara telah menunjukkan elemen manipulasi sosial media yang terorganisir secara formal selama beberapa dekade terakhir. Hasilnya, ditemukan bahwa propaganda komputasional telah menjadi bagian yang terserap dan ada dimana-mana sebagai bagian dari ekosistem informasi digital.


Pilihan-Bersama pada Sosial Media dalam Rezim Otoriter

Di banyak rezim otoriter, propaganda komputasional telah menjadi alat kontrol informasi yang secara strategis digunakan dan dikombinasikan dengan pengawasan, sensorsip, dan ancaman kekerasan. Bradshaw dan Howard telah mendaftarkan jenis-jenis kampanye yang digunakan oleh negara-negara otoriter untuk melawan jurnalis, lawan politik, dan masyarakat luas, dan menemukan tiga cara dimana propaganda komputasional digunakan, yaitu: 1) untuk memberangus hak asasi manusia; 2) untuk mendiskreditkan lawan politik; dan 3) untuk menghilangkan perbedaan pendapat.

Pilihan bersama untuk menggunakan teknologi media sosial memberikan kepada rezim otoriter alat yang berkuasa untuk membentuk diskusi publik dan menyebarkan propaganda secara daring, sementara pada saat yang sama mengawasi, melakukan sensor, dan membatasi ruang digital publik.


Operasi Pengaruh Asing Terbatas oleh Aktor-aktor yang Sangat Berpengaruh

Operasi pengaruh asing adalah area perhatian yang penting tetapi menggunakan propaganda komputasional untuk aktor-aktor negara asing tetap menjadi sebuah tantangan. Facebook dan Twitter yang telah mulai mempublikasikan informasi terbatas mengenai pengaruh operasi dalam platform mereka – telah mengambil tindakan melawan pasukan cyber yang terlibat dalam operasi pengaruh asing di tujuh negara: Cina, India, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela.


Meskipun penilaian itu tidak mencakup jangkauan dimana operasi pengaruh asing mengambil tempat, Bradshaw dan Howard dengan yakin dapat memberikan gambaran mengenai fenomena yang sangat rahasia ini.


Cina Melenturkan Otot Misinformasinya

Hingga saat ini Bradshaw dan Howardi menemukan bahwa Cina jarang menggunakan media sosial untuk memanipulasi opini publik di negara lain. Khalayak untuk propaganda komputasional utama Cina terfokus pada platform domestik, seperti Weibo, WeChat, dan QQ.


Bagaimanapun, pada tahun 2019 pemerintah Cina mulai menggunakan platform media sosial global untuk menggambarkan pembela demokrasi Hong Kong sebagai radikal yang penuh kekerasan tanpa daya tarik populer (Lee Myers dan Mozur 2019). Di luar batasan platform domestik, peningkatan penggunaan teknologi jaringan sosial global menunjukkan bagaimana Cina juga berpaling pada teknologi ini sebagai sebuah alat kuasa dan pengaruh geopolitis.


Facebook Masih Nomor Satu

Meskipun saat ini sudah ada lebih banyak platform dibanding sebelumnya, Facebook masih tetap menjadi platform yang dominan untuk aktifitas pasukan cyber. Sebagian alasan untuk hal ini dapat dijelaskan dengan ukuran pasar Facebook – sebagai salah satu dari platform jaringan sosial terbesar – dan juga keterjangkauan khusus dari platform ini, seperti komunikasi keluarga dan teman dekat, sebuah sumber berita dan informasi politik, atau kemampuannya untuk membuat grup dan halaman.




Sejak 2018, Bradshaw dan Howard telah mengumpulkan lebih banyak bukti aktivvitas pasukan cyber melalui platform berbagi gambar dan video seperti Instagram dan Youtube. Mereka juga mengumpulkan bukti pasukan cyber melakukan kampanye di WhatsApp. Platform-platform tersebut akan bertambah penting dalam beberapa tahun yang akan datang karena semakin banyak orang menggunakan teknologi media sosial ini untuk komunikasi politik.

* * *

Tentang Para Peneliti:
Samantha Bradshaw, ahli dalam bidang teknologi demokrasi. Dalam disertasinya, ia meneliti tentang produsen dan penggerak disinformasi dan bagaimana teknologi - artificial intelligence - otomatisasi dan analisa data besar - meningkatkan dan mendesak penyebaran disinformasi secara daring. Saat ini sedang menyelesaikan studi PhD di Oxford Internet Institute, Uniersitas Oxford.

Philip N. Howard, seorang profesor dan penulis juga dosen di Universitas Oxford. Ia lebih banyak menulis tentang politik informasi dan hubungan internasional. Pada tahun 2018,  ia dijuluki "Global Thinker" oleh Majalah Foreign Policy. Ia  mendapat penghargaan "Democracy Prize" dari National Democratoc Institute, sebagai pioner ilmu sosial terkait informasi palsu.

Tentang Penerjemah:
Ifana Tungga, Mahasiswi Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Saat ini sedang belajar bahasa isyarat bersama teman-teman tuli. Waktu luang diisi dengan belajar Bahasa Inggris di Kelompok Children See Children Do (CSCD). Dapat dikunjungi juga di ifanatungga.wordpress.com

Related Posts:

0 Response to "Manipulasi Media Sosial yang Terorganisir #1"

Posting Komentar