LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Mengenal Pemburu Kepala Manusia dari Pulau Timor - Leko NTT

Mengenal Pemburu Kepala Manusia dari Pulau Timor

Kores memegang senjata ayahnya dengan bangga. Itu adalah sebilah kelewang pendek yang terbungkus dalam kain tenun dan dua bilah tombak kayu yang kasar.

Tatapannya telah memudar. Sebelah matanya menutup, lenyap seperti gigi-giginya. Ada sebuah gondok di bagian belakang tengkoraknya yang lebih besar dari lingkar pipinya.
Ia tak bisa lagi mengunyah sirih-pinang. Ia menumbuk bebijian itu di dalam sebuah tabung besi kecil, sebelum memasukkannya ke mulut untuk menyenangkan gusinya.


“Apakah ayahmu memenggal juga kepala perempuan dan anak-anak, atau hanya laki-laki?” aku bertanya.
“Anak-anak?” Ia mengulangi, dan menatap menantunya untuk memastikan. “Lebih baik menantu saya saja yang bercerita. Ingatannya masih kuat.”
Andreas, menantu Kores, yang tampak bercahaya dalam balutan kaos merah beriklankan tas plastik, dan mengenakan sebuah sarung kemerahan – semerah noda sirih-pinang di bibirnya, angkat bicara. Selain menguasai Bahasa Indonesia dengan lebih baik daripada ayah-mertuanya, ia juga bisa menulis. Ia baru saja tiba dari sebuah pertemuan adat, menenteng sebuah buku catatan. Dua anaknya yang kecil-kecil menyembunyikan kepala mereka ke dalam sarungnya, mendongak dari waktu ke waktu – dua orang penyusup berwajah pucat.
“Tidak,” katanya. “Kami tak pernah mengambil kepala anak-anak. Sudah delapan generasi tidak pernah. Delapan generasi…” ia berhenti sebentar untuk membuang ludah merah sirih-pinang, “Kami hanya mengambil kepala laki-laki dewasa.”
Asap dari tungku menampar wajah Z. Z terbatuk-batuk.
Keluarga itu terlihat keheranan. Asap sama sekali tak mengganggu anak-anak di kampung ini. Mereka telah terbiasa kena asap sejak lahir.
Kami sedang berada di Timor – Indonesia Timor – di sebuah kampung bernama Nome, yang diduga adalah kampung pemburu kepala terakhir yang masih bertahan.
Ini tempat yang tak biasa. Pondok-pondok berbentuk sarang tawon yang pendek dan melingkar, diatapi alang-alang yang telah menghitam sampai ke tanah karena asap, berjejer di atas tanah liat yang cerah, dikelilingi oleh pohon-pohon lontar dan, anehnya, pohon kayu putih.


Posisinya menunjukkan betapa kampung ini pernah menjadi sebuah kampung dengan benteng yang menakjubkan.
Sebuah pagar tembok dari batu karang yang bergerigi, yang telah dihancurkan untuk jalan dan pagar ladang, masih berdiri setengah meter tingginya, dan pernah berdiri setengah meter lebih tinggi lagi. Kaktus liar berbaris di atasnya, sisa-sisa pagar yang kokoh, dengan sejenis kawat duri alami.
Tebing menjulang setinggi 60 atau 70 meter di tiga sisi kampung ini, ditutupi pepohonan yang menjadi perisai pertahanan, sekaligus menawarkan pemandangan yang luar biasa.
“Ini adalah tempat mereka merencanakan penyerangan,” Aka, pemandu kami menjelaskan, saat kami berdiri di panggung kecil yang teduh tempat para pemburu mengadakan pertemuan. “Jika mereka datang dari utara, mereka mengukur sebatang tongkat dengan jarinya ke arah utara, dan jika jarinya tidak mencapai tengah, orang itu akan mati.”
Salah satu dari pemuda-pemuda kampung itu memeragakannya, memutar-mutar tongkat itu dan menjulur-julurkan tangannya.
“Hanya begitu saja caranya?” aku bertanya.
“Tidak,” ia menjawab, “mereka bisa mencoba lagi kedua kalinya. Jika kembali gagal, mereka mencari jawabannya di dalam telur. Jika ada darah di dalam telur, laki-laki itu akan mati.”
Aku mengangguk. Kami mengambil foto di dekat tiang takhta di bawah cengkeraman pohon ara. Pohon yang disucikan di seluruh Asia – di banyak tempat, mereka menyebutnya pohon Budha – dan menjadi rumah untuk para pendahulu suku.


Di luar pondok baru mereka, istri Kores tersenyum lebar dan menyodorkan semangkuk ubi jalar, umbi berwarna pucat yang masih segar dari tanah merah. Aku mengambil satu, mengupas dan menggigitnya. Sangat lezat.
“Apa yang kemudian mereka lakukan dengan dengan kepala-kepala itu?” Z bertanya.
Aku mengulanginya, dan Aka menerjemahkannya dalam Bahasa Dawan. “Apa yang kemudian mereka lakukan dengan kepala-kepala itu? Lalu, bagaimana dengan tubuh-tubuh tak berkepala itu?”
“Raja mengambil kepala-kepala itu. Raja Nope. Para ksatria menunggui kepala-kepala itu empat hari empat malam, lalu mereka memberikannya pada raja.”

“Tubuhnya?”
“Mereka meninggalkan tubuhnya di sana.”
“Apa yang kemudian dilakukan kepada kepala-kepala itu?”
“Tuan raja! Tuan raja menyimpannya.”
“Apa yang terjadi pada kepala-kepala itu sesudah orang-orang tidak diizinkan untuk berburu kepala lagi?”
Hening. Tak ada yang tahu.
Saat mereka menceritakannya – siapa yang tidak menceritakan kisah leluhurnya dengan baik? – perburuan kepala di Nome terdengar seperti ritual yang positif dan dihormati.
Seorang lelaki sudah harus mencapai usia empat puluh untuk diizinkan berburu kepala manusia. Hanya lelaki-lelaki terkuat yang bisa ikut berburu kepala – sebuah praktek yang, dalam istilah evolusi, terdengar seperti cara menentukan pemimpin.
Ksatria-ksatria yang terhebat, seperti tiga orang bersaudara yang terkenal, Oni, Boi dan Kao, akan dianugerahi pangkat “Meo” – ini seperti proses penentuan para ksatria pada abad pertengahan.
“Di mana kampung lain yang berburu kepala manusia di sekitar sini?”
“Hanya Nome.”
“Jadi, tak ada kampung lain yang berburu kepala orang? Hanya kalian?”
Hanya mereka. Hanya ksatria-ksatria mereka yang memburu kepala pria di kampung yang lain. Meski begitu, ada dua kerajaan lain di wilayah ini yang mempunyai pemburu kepala juga – begitu kata mereka kemudian.
Saat ksatria memasuki kampung, kepala-kepala bergantungan di bahu mereka, darah mengental di sekitar leher-leher yang telah terpotong itu, dan seluruh penduduk kampung, laki-laki, perempuan dan anak-anak, akan merayakannya, makan, minum dan menari di dalam benteng.
Kebanyakan rumah di kampung ini masih berdiri seperti adanya di masa perburuan kepala manusia. Sentuhan modernitas di tempat ini lebih sedikit, dibandingkan dengan rumah-rumah panjang di Borneo.


Tak perlu dipertanyakan lagi, ini adalah strategi pertahanan yang bagus.
Z, di usianya yang sepuluh tahun, hampir sama tingginya dengan laki-laki dewasa di kampung ini, harus membungkuk dua kali lipat saat ingin masuk ke dalam pondok tawon itu. Di situ, di pondok itu, seorang ksatria pemberani mati secara mengerikan dan dalam ketakpantasan.
Apakah begitu cara hidupnya hidup?
Pondok bundar ini memiliki diameter kurang lebih tiga meter. Tinggi pintunya kurang dari satu meter. Langit-langitnya satu meter lebih sedikit dari atas permukaan tanah. Di kasau-kasaunya, tergantung bulir-bulir jagung yang diasapi di atas tungku api; tungku api yang memanggang seisi ruangan itu sampai hitam berjelaga.

Di situ tidak ada jendela. Tidak ada cerobong asap. Saat pintu ditutup, asap merembes keluar melalui celah-celah pintu dan setiap celah alang-alang yang terlepas di atap.
Saat seorang bayi lahir di kampung ini, ari-arinya dikuburkan di lantai pondok, dan ditutupi dengan sebuah batu besar pipih.
Ibu dan bayinya harus menghabiskan empat puluh hari empat puluh malam pertamanya hanya di dalam pondok saja, diasapi seperti ikan kering – dan sebagai seorang perokok, saya tidak dengan asal saja memilih frasa ini.
“Ya Tuhan,” Z terlonjak, “pasti sangat besar tingkat kematian bayi di sini. Bayangkan semua kutu, serangga dan penyakit yang ada di dalam sana.”
“Tidak,” Aka berkata, “kaulihat anak-anak kampung itu? Mereka sehat dan kuat.”
Kelihatannya begitu. Mereka adalah anak-anak paling beringus yang pernah kulihat di Indonesia. Kemungkinan besar diakibatkan oleh terlalu banyak menghirup asap, meski tentu saja mereka tidak lebih beringus dari bocah-bocah di sebuah kelas Bahasa Inggris musim panas.


Tapi mereka berlarian ke sana kemari dengan kuat dan gembira, anak-anak yang periang.
Perburuan kepala manusia di Nome dihentikan pada tahun 1942, cerita dilanjutkan kembali. “Saat kemerdekaan,” begitu Kores menjelaskan.
Dalam logika seorang Eropa, tentu saja angka tahun itu mengagetkan. Aku menghitung kemerdekaan Indonesia dimulai di tahun 1945. Saat Perang Dunia II berakhir, Jepang pergi dan pemerintahan baru memproklamasikan kemerdekaan (meski Belanda tidak mau menyerah sampai tahun 1949).
Orang-orang ini menghitung kemerdekaannya dimulai sejak Jepang menghalau bangsa Belanda di tahun 1942.
“Kenapa dihentikan?” aku bertanya.
“Tidak diizinkan,” ia menjawab.
“Polisi?” Aku bertanya.
Ia diam lagi dan pertanyaanku menghadapi kebuntuan.
Aku menduga – dan ini adalah murni dugaan tak berdasar – bahwa pemimpin Indonesia di masa sesudah kemerdekaan diam-diam berbicara dengan raja mereka, mengatakan bahwa perburuan kepala manusia  tidak bisa dilakukan dalam pemerintahan modern…
Tampaknya, perburuan kepala ini, jujur saja, tidak mengganggu pemerintahan Belanda. Kita sendiri telah mempelajari, bahwa di Kepulauan Rempah ini, seseorang dapat melakukan pembunuhan massal hanya untuk membalaskan kematian anjingnya. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat di timur Indonesia tidak mengenal hukum lain di luar hukum adatnya, sering hingga beberapa dekade sesudah kemerdekaan.
Saya tidak yakin apa yang membuat saya dan Z merasakan sesuatu. Yang jelas, bukan persoalan perburuan kepala yang mengganggu kami. Ya, bagaimanapun juga, itu cukup bisa diterima sebagai cara hidup seorang ksatria.
Ini masalah asapnya!


Beberapa hari di Indonesia Timur, kami telah pernah tidur di bawah para-para dari papan tempat penampungan daun kelapa, di atas karung beras di sungai yang telah mengering, kencing di semak dan cebok dengan dedaunan, menyaksikan kerbau dikurbankan dan para pria saling hantam sampai mampus dengan tanduk kerbau, dan bertemu para pemburu-peramu nomaden, yang ke mana-mana membawa jimat dalam sabuk rotan.
Kami bisa melihat sisi pesona dari gaya hidup seperti itu. Itu sesuatu yang berbeda, tentu saja. Tetapi masih bisa dipahami.


Namun pengasapan di dalam ruangan gelap ini? Ini sama sekali tak bisa dipahami.
Di dunia ini, ada beberapa orang yang memilih untuk hidup dengan cerobong asap, atau paling tidak berusaha mengusir asap dari kediaman mereka.
Di sini, kita disambut di dalam pondok yang seperti sarang tawon, duduk di ruangan gelap yang hanya diterangi lampu minyak kecil: tungku untuk memasak dan sebuah periuk hasil modifikasi dari kaleng biskuit tua terletak di salah satu sudut, dan ada sebuah balai-balai kecil tempat anggota keluarga tidur bertumpuk-tumpukan.
Keluarga-keluarga di Nome bisa – dan mampu – membesarkan delapan atau lebih anaknya di dalam liang kecil ini, meskipun beberapa dari mereka mulai menambahkan ke dalam gaya hidup tradisional mereka, sebuah pondok yang lain lagi, yang berbentuk persegi panjang dan memiliki tempat terbuka untuk memasak.
Keluar dari pondok itu, mata kami beradaptasi kembali dengan matahari yang bersinar terang, dan kami duduk sebentar dengan para perempuan kampung, lalu menyodorkan sirih-pinang yang kami bawa. Sirih-pinang dikunyah dengan sedikit kapur yang terasa pedas; itu membuat nadi berdetak lebih cepat, meningkatkan laju pikiran, membuat mulut terasa kering.
Aku menyodorkan sirih-pinang dan membagikan rokok. Seorang perempuan dengan struktur tulang yang memesona, yang memiliki wajah model tahun 1930-an dengan sebuah jaket bekas menggantung longgar di atas kain tenunnya, menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke arah matahari.
Keriuhan terjadi. Semua orang – perempuan dan anak-anak – ketawa ngakak dan terguling-guling.


“Apanya yang lucu?” Z bertanya.
“Tidak tahu,” aku menjawab. “Mungkin karena perempuan itu merokok, dan perempuan di sini tidak diizinkan merokok.”
Dan saat kami berboncengan pulang ke Kefamenanu, kota kecil terbesar di Indonesia, dan sebelum kami menaikkan sepeda motor ke kapal untuk bertolak ke Papua, pikiran kami seperti bergentayangan tak tentu arah, hilang dari kepala kami.
Yang mengesankan kami adalah asap. Kegelapan. Lelucon yang terlalu sederhana untuk dipahami.

Kesederhanaan hidup yang tak terbatas di antara suku-suku pedalaman.[]



- Theodora Sutcliffe adalah penulis lepas. Suka mengajak anaknya, Zac, melakukan perjalanan ke negara-negara di Asia dan Eropa. Kini menetap di Bali.
- Versi Bahasa Inggris dari tulisan ini dimuat di Escape Artistes dengan judul My Father, The Headhunter. Terjemahan oleh Felix Nesi.

Related Posts:

10 Responses to "Mengenal Pemburu Kepala Manusia dari Pulau Timor"