LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Mendengarkan di Zaman (Dis-/Mis-/Mal) Informasi - Leko NTT

Mendengarkan di Zaman (Dis-/Mis-/Mal) Informasi


Oleh: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd*

Kita mafhum, dunia sekarang berlari lintang pukang.  Sedang dilanda banjir bandang informasi, bahkan tsunami informasi. Kuantitas informasi luar biasa banyaknya. Laksana gunung gelombang membuat kita tercekam dan tercengang. Begitu juga kualitas informasi luar biasa macamnya. Dari yang tidak benar ibarat sampah kotor sampai yang benar ibarat air sangat bening. Itu semua bercampur aduk menjadi satu. Kita pun tertegun seraya mengernyitkan dahi. Medium informasi pun demikian beraneka ragamnya. Tak jarang membuat kita repot dan kalang kabut.
Ilustrasi: Ist.

Di situlah kita dihadapkan pada mahadata (big data) atau maha-informasi (big information). Bahkan kemudian kita tercemplung ke dalam maha-data atau maha-informasi. Ibaratnya, dengan kesadaran dan keterampilan masing-masing yang bervariasi, kita terapung dan terombang-ambing di tengah samudra informasi yang penuh hempas-gelora badai.

Dihela oleh “angin puyuh” revolusi teknologi informasi dan komunikasi atau revolusi digital, samudra informasi yang penuh hempas-gelora badai jadi sangat(-sangat) melimpah ruah. Menerjang apapun, menggelontor kemana pun, lalu meluber ke mana-mana dan mengenang di mana-mana. Terlepas kita inginkan atau tidak. Batas-batas dan sekat-sekat informasi jebol Bukan hanya batas dan sekat tempat, tetapi juga ruang dan waktu.

Setiap waktu segala macam bentuk, jenis, rupa, dan sifat informasi bercampur aduk. Menyerbu, menggulung, bahkan “menyeret-hempaskan” kita semua. Ke dalam “ruang dan lanskap informasi serba tak terduga, tak pasti, njelimet, dan mendua. Selain itu, setiap saat informasi dengan segala kuantitas, kualitas, dan mediumnya berseliweran. Berlalu lalang, dan berkelebat cepat di dalam dunia-kehidupan kita.

Hidup kita pun “berada di dalam” dan “tak pernah terlepas sekejap pun” dengan informasi. Di sini kita – meminjam kata para ahli – kita mungkin menjadi masyarakat informasi – bahkan masyarakat informasi baru (digital). Tiba-tiba masyarakat dan informasi pun berkoeksistensi, saling mengada bersama. Sebab itu, beranalogi dengan proposisi masyhur cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dari Rene Decartes, tak berlebihan dikatakan: informationem ergo sum (aku berinformasi maka aku ada).

Kini eksistensi orang atau sekelompok orang sekarang ditentukan oleh seberapa besar, banyak, dan bermutu pemilikan dan penguasaan mereka atas informasi. Lebih-lebih pada era sekarang dan akan datang yang juga dinamai era mahadata (big data). Ini menjadikan informasi atau data sangat sentral dalam kehidupan manusia. Informasi atau data menjadi aset atau modal baru.

Di situlah lantas kita menyaksikan gejala kesentralan informasi dalam peri kehidupan bersama dan pribadi manusia. Pada satu sisi, informasi jadi salah satu kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari manusia. Tanpa informasi  mereka merasa kelimpungan. Pada sisi lain, informasi yang begitu melimpah ruah dan meluap-luap seperti samudra luas dan bergelora diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Kepentingan sosial, kultural, politik, ekonomi, religius, dan lain-lain bersilang sengketa. Ringkas kata, pelbagai kepentingan baik positif maupun negatif masuk dalam dunia informasi.

Tak ayal, bermacam-macam kadar dan mutu informasi bertebaran, berhamburan, dan bercampur menjadi satu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bukan hanya informasi yang benar dan akurat. Tetapi, juga informasi yang salah, dibuat salah, dan atau disampaikan salah demi kepentingan tertentu berhamburan dan bercampuran. Maka kita bukan hanya berhadapan dengan informasi (dalam arti informasi yang benar dan akurat). Tetapi, juga misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Mis-informasi merupakan informasi yang salah yang dipercaya benar oleh penyebarnya tanpa maksud dan niat negatif. Dis-informasi merupakan informasi yang salah yang diketahui dan disebarkan oleh penyebarnya demi kepentingan negatif tertentu bagi pihak lain. Lalu mal-informasi merupakan informasi yang sebenarnya benar dan akurat yang sengaja digunakan oleh pengguna digunakan untuk kepentingan negatif tertentu. Tak terelakkan, sekarang dan lebih-lebih ke depan kita bukan hanya dibekap era informasi. Tetapi, juga kecemplung era mis-informasi, dis-informasi, dan atau mal-informasi secara serentak dan bertumpang tindih.

Hidup di tengah era (mis-/dis-/mal-) informasi tersebut menuntut kita memelototi dan melek informasi. Juga wajib selalu berhati-hati dan tidak gegabah ketika berhadapan dengan informasi – informasi apapun. Untuk itu, kata para ahli dan pekerja informasi, kita memerlukan literasi informasi. Tentu saja kontennya bisa bermacam-macam meliputi pelbagai lapangan kebudayaan atau kehidupan manusia.
Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd


Literasi informasi membikin kita sadar atau melek mana yang informasi ‘benaran”, mana yang mis-informasi, mana yang dis-informasi, dan mana yang mal-informasi. Mengingat sekarang, lebih-lebih ke depan, kita tak hanya berada di dunia lisan, naskah, cetak, dan digital secara serentak, maka literasi informasi yang harus kita kuasai tak hanya bertumpuan kelisanan dan kenaskahan. Namun, juga bertumpuan keberaksaraan dan kedigitalan (atau disebut juga kelisanan sekunder).
 
Di sinilah kita jadi mafhum, literasi informasi tak hanya soal membaca atau daya baca, tetapi juga mendengarkan atau daya dengar. Tak cuma perlu kemahiran membaca. Namun, juga kemahiran mendengarkan. Tak cuma perlu aktivitas membaca, tetapi juga aktivitas mendengarkan secara bersamaan atau serentak. Kapasitas membaca diperlukan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber tertulis.

Kapasitas mendengarkan amat dibutuhkan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber lisan dan digital. Bahkan secara serempak kapasitas membaca dan mendengarkan diperlukan saat kita berhadapan dengan informasi dari dunia digital.

Itu sebabnya, mendengarkan dan membaca sama-sama penting untuk menguasai dan memperkuat literasi informasi. Lebih-lebih di tengah dunia yang diharu-biru oleh revolusi digital, revolusi komunikasi dan informasi, dan revolusi ilmu pengetahuan khususnya bioteknologi. Ringkas kata, kemahiran mendengarkan diperlukan setiap orang untuk menemukan informasi yang benar, akurat, dan tepat pada masa sekarang dan akan datang.

Seiring gonjang-ganjing perubahan revolusioner disruptif sekarang, yang membawa tsunami informasi pada satu sisi dan pada sisi lain menimbulkan mis-informasi, dis-informasi, dan mal-informas, maka yang kita perlukan bukan sembarang(an) mendengarkan.  Tak cuma mendengarkan literal dan mendengarkan komprehensif. Kini kita lebih memerlukan mendengarkan kritis, mendengarkan kreatif, bahkan menyimak reflektif.

Dengan mendengarkan literal dan komprehensif kita akan mampu menangkap dan memahami informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu dengan medium tertentu. Tetapi, hal itu saja tak cukup. Kita juga harus mampu menilai dan menerka dampak sebuah informasi yang kita peroleh dari aktivitas mendengarkan. Malahan kita juga harus mampu menggunakan informasi hasil mendengarkan demi kebaikan.

Di situlah kita juga memerlukan mendengarkan kritis, kreatif, dan reflektif. Jadi, selain beragam membaca, kita juga memerlukan beragam mendengarkan. Ini supaya kita memiliki literasi informasi yang baik, konstruktif, dan berfaedah bagi kehidupan bersama. Untuk itulah mendengarkan penting dijadikan perhatian, bahkan dijadikan bagian proyek reklamasi percakapan di tengah sorak-sorai literasi. Sekarang dan ke depan kita tak hanya memerlukan literasi, tetapi juga penguatan mendengarkan! Kita memerlukan proyek reklamasi percakapan termasuk di dalamnya reklamasi mendengarkan, bukan cuma proyek literasi!

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Artikel ini pernah dipublikasikan di akun facebook penulis: Djoko Saryono


Related Posts:

0 Response to "Mendengarkan di Zaman (Dis-/Mis-/Mal) Informasi"

Posting Komentar