LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Agama; Tragedi yang Tak Selesai - Leko NTT

Agama; Tragedi yang Tak Selesai


"Jika memang tanah ini adalah tanah Tuhan, biarlah Dia mengatur tanah ini sesuka hati-Nya"
(Balian van Ibelin)


Dan Yerusalem pun resmi diserahkan ke dalam kekuasaan Saladdin (Salahuddin al-Ayyubi), setelah Balian dari Ibelin tidak lagi sanggup mempertahankan kota itu dari kepungan ribuan serdadu Saladdin. Penyerahan ini bukan tanpa syarat, sebab Balian telah terlebih dahulu mengancam akan menghancurkan setiap inci Kota Suci itu, jika Saladdin bersih keras untuk terus menggempur.

Saladdin, sang pemimpin pasukan Muslim, dengan terbuka menerima tawaran Balian, dan memberi jaminan keselamatan bagi semua penduduk Yerusalem yang akan mengungsi keluar dari kota itu. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengawal rombongan pengungsi itu sampai ke kota-kota yang masih dikuasai orang Kristen. Yerusalem kini resmi dikuasai Saladdin, sang panglima pasukan Muslim.

Bertahun-tahun sebelum hari itu, ketika Balian masih menjadi seorang pandai besi jauh di Eropa, Saladdin pernah menderita kekalahan telak dari Baldwin IV. Sebuah kemenangan bersejarah bagi Baldwin IV sebab ia mengalahkan Saladdin ketika usianya masih amat muda. Kemenangan yang semakin meneguhkan kekuasaannya atas Yerusalem, sehingga ia menyebut dirinya sebagai Yerusalem, I am Jerusalem.

Selama berkuasa, Baldwin IV berhasil menjaga perdamaian dengan  saling menghormati batas-batas wilayah yang telah ditetapkan antara kaum Kristen dan pasukan Muslim. Hubungannya dengan Saladdin pun seolah bukan lagi sebuah hubungan permusuhan, tetapi lebih menyerupai hubungan persaudaraan yang terjalin di antara dua penguasa yang sama-sama menjunjung perdamaian dan ingin menghindari pertumpahan darah sia-sia.

Bahkan ketika Baldwin IV terkena penyakit lepra, Saladdin mengutus tabib-tabib terbaiknya untuk memberi pengobatan agar Baldwin bisa sembuh. Tidak ada tanda-tanda mereka saling membenci secara pribadi, apalagi memainkan cara-cara curang untuk saling menghabisi.

Keadaan berubah ketika kondisi Baldwin makin parah. Ia tidak mampu mengendalikan secara langsung para baron dan raja-raja Kristen yang berada di bawahnya. Satu-satunya hal yang bisa ia andalkan ialah kharismanya sebagai pemimpin dan hubungan baiknya dengan Saladdin, sehingga peperangan besar tidak meletus selama sisa waktu hidupnya. Baldwin kemudian meninggal akibat lepra, dan takhta Yerusalem jatuh ke tangan Guy de Lusignan, suami Sybilla, adik perempuan Baldwin.

Guy digambarkan sebagai penguasa yang berusaha membuktikan kepantasan dirinya dengan cara mengobarkan perang terhadap Saladdin. Itu sebabnya tidak lama setelah Guy menduduki takhta, meletuslah pertempuran antara pasukan Kristen dan pasukan Muslim. Perdamaian hanyalah cerita masa lalu, karena para ksatria Eropa masing-masing ingin membuktikan kemampuan bertempurnya, dan berambisi mengalahkan pasukan Saladdin.

Peperangan itu berakhir dengan kemenangan Saladdin. Ia berhasil menawan Guy de Lusignan dan Reinald de Chatillon, dua pemimpin yang sama-sama berambisi besar tetapi tanpa perhitungan dalam menjalankan taktik pertempuran. Ketidakcakapan menerapkan taktik pertempuran membuat keduanya membawa pasukan dalam jumlah besar bergerak menjauh dari sumber air.

Sebaliknya, Saladdin menjaga kebugaran pasukannya dengan selalu bergerak dari satu sumber air ke sumber air lainnya. Pasukan Kristen yang didera kelelahan ditumpas habis oleh pasukan Saladdin dalam Perang Sattin, dan makin mudahlah gerak pasukan Saladdin mendekati dan mengepung Yerusalem.
Balian van Ibelin bersama sisa-sisa pasukan Eropa lainnya dengan gigih mempertahankan Yerusalem, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Saladdin. Pertempuran berakhir dan Kota Suci itu berpindah tangan, berganti penguasa.
Balian dan Saladdin dalam film Kingdom of Heaven. (Foto: Diolah dari elsetge.cat)

Pengepungan Yerusalem (1187) bagian dari episode panjang Perang Salib, sebagaimana dikisahkan dalam film Kingdom of Heaven (2005) memang tidak seluruhnya sejalan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa itu. Namun beberapa kejadian juga dialog dalam film ini menunjukkan bahwa Perang Salib tidak seluruhnya dilandasi motivasi keagamaan dan sentimen permusuhan Kristen dan Muslim.

Ada begitu banyak faktor yang memengaruhi jalannya peperangan ini, sehingga pada tahap-tahap tertentu sebagian orang akan melihat, betapa agama dijadikan alat yang tidak saja mengancurkan pada suatu masa, tetapi meninggalkan teror yang bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun kemudian.

Agama dijadikan pembenaran untuk mengadakan pertempuran dan pertumpahan darah selama bertahun-tahun. Kemanusiaan dilindas, dan penghormatan atas kehadiran yang lain dilenyapkan dengan mencari legitimasi dalam ayat-ayat kitab suci dan tafsir kepemilikan atas Yerusalem, kota yang disucikan oleh agama-agama kaum keturunan Abraham.

Sejarah mencatat, atas nama agama banyak peradaban besar lahir, dan banyak pula peradaban besar runtuh atau diruntuhkan. Di antara sekian peristiwa itu, Perang Salib mendapat tempat istimewa dalam sejarah, karena ia memperhadapkan secara langsung dua peradaban besar, juga dua agama besar yang mendominasi masing-masing bagian dunia yang berbeda kala itu.

Namun, satu hal yang sama di antara kedua kubu itu adalah ambisi dan keserakahan manusia yang tidak segan-segan mengorbankan yang lain demi kemegahan yang dibalut imajinasi semu pengabdian kepada agama. Perang Salib menunjukkan, seberapa sucinya ajaran satu agama, ketika ia dibelokkan ke arah yang salah oleh para penganutnya, maka yang kemudian dikisahkan ialah tragedi dan bencana.

Ada hal lain yang boleh jadi perlu ditempatkan mengatasi posisi semua agama, yakni Kemanusiaan. Bila Kemanusiaan ditempatkan melampaui posisi agama, maka kisah peradaban dan sejarah dunia akan lebih banyak dihiasi toleransi, penerimaan akan "yang lain", dan keharmonisan. Ketika semua itu mampu diwujudkan, sesungguhnya Dia Yang Tersembunyi sedang tersenyum menyaksikan buah dari keputusan-Nya menciptakan makhluk fana bernama Manusia.**

Penulis: Gusty Fahik
Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan pada blog pribadi penulis - Kompasiana

Related Posts:

0 Response to "Agama; Tragedi yang Tak Selesai"

Posting Komentar