LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Petromak - Leko NTT

Petromak

Sampai terbuai engkau dalam negeri
seribu satu malam
Biar kuusap kepalamu
Dengan setangkai lilin sahaja


(Senja di Makam, Ishack Sonlay)
_________

Setiap jam 6 petang, dua puluh tahun yang lalu, saya setia bertengger di ketiak bapak yang sibuk menyalakan lampu petromak. Sambil menyuruh saya berpindah ke tempat yang lebih jauh, beliau akan mengarahkan bibirnya ke arah sumbu api, meniupnya perlahan-lahan, lalu mulai memompa memberi tekanan kepada minyak kerosin.



Ayah saya adalah seorang guru SD di pedalaman Oemasi.  Kami menempati sebuah mess sederhana, empat kamar, berdinding bebak, beratap alang dan berpenerang lampu petromak. Setelah kami terlelap (kira-kira jam sepuluh malam) ayah akan menghampiri lampu itu, melonggarkan penutup udara, lalu lampu akan segera padam, dan kami pun tidur dalam gulita.

***

Lampu petromak tidaklah asing bagi sebagian besar penduduk dunia yang hidup tanpa akses listrik. Lampu tersebut ditemukan oleh Max Graetz dan karena itu banyak sumber menyebut  bahwa Petromak berasal dari Petrol dan Max.

Prinsip kerja petromak adalah: dibutuhkan permukaan seluas-luasnya untuk memberikan penerangan sebesar-besarnya, namun diperlukan berat sekecil-kecilnya agar hemat bahan bakar. Setelah melakukan serangkaian percobaan, maka dihasilkanlah sebuah kaus yang berupa jaring-jaring keramik, campuran dari oksida-oksida logam. Itulah kaus lampu petromak yang akhirnya memenuhi prinsip tadi.

***

Boomingnya Petromak di pasaran, persis berbarengan dengan saat Max mematenkan produknya itu pada tahun 1990-an. Petromak menjadi penerang utama di lapak-lapak makan, rumah penduduk pedesaan, pasar malam, pesta dansa, pos ronda, dan sebagainya.

Secara tidak terstruktur dan tidak masif, petromak telah menjadi bagian dari geliat sosial masyarakat menengah ke bawah, terutama mereka yang hidup tanpa akses listrik di desa-desa terpencil. Petromak harus diakui telah menjadi terang bagi diskusi-diskusi akar rumput, kisah romantik para kekasih yang putus-sambung sambil merencanakan revolusi, pergerakan-pergerakan orang-orang tua, dan anak-anak yang bermain odong-odong. Semuanya tetap tertulis dalam ingatan.

Sekitar 1970-an, muncullah sebuah group musik bernama 'Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks' (OM PSP) yang beranggotakan Indrakesumah, Dindin, Aditya, Andra Ramadan Muluk, James R Lapian serta bintang tamu Edwin Hudioro.
Kemunculan group ini mendapat tempat di hati orang tua dan muda waktu itu, terutama karena mereka sering tampil bersama Warkop DKI di Prambors dan TVRI dengan gaya musik dangdut yang penuh humor. Dalam gaya humornya, mereka justru menyampaikan kritik terhadap ketimpangan sosial pada waktu itu.

Dalam lagu 'Duta Merlin' misalnya, OM PSP menyampaikan kritiknya terhadap kesenjangan sosial kemanusiaan dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta. Berikut kutipan liriknya:

Tapi sampe sono ane jadi kuciwe
Harge barang nyang dipajang aduh mahalnye
Duit nyang ade di kantong kagak sebrape
Masak blanje musti korban anak bini ane
Terpaksalah ane pulang tangan hampe
Pengen baju cume sanggup beli kancingnye
Dasar penyakitnye toko di kote gede
Jual barang kagak bisa kalo kagak mahal

Kalau hari sudah malam, cepat nyalakan petromak!

Denpasar, 24 November 2017
Penulis: Ishack Sonlay

Ilustrasi: Ist.

Related Posts:

0 Response to "Petromak"

Posting Komentar