LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Musim Tanam; Tidak Banjir, Tidak Makan - Leko NTT

Musim Tanam; Tidak Banjir, Tidak Makan


Oleh: Rizki Adiputra Taopan*

Seharusnya memasuki pertengahan Desember hingga akhir Januari, kompleks persawahan yang sepi, mulai ramai dengan aktivitas petani - menyiapkan lahan, menyambut musim tanam. Namun jauh panggang dari api, para petani tampaknya harus menggantung pacul dan duduk menunggu. Apa yang ditunggu? Banjir!
Sawah kering sebagai akibat kemarau berkepanjangan. (ANTARA FOTO/ Jojon)


Saat dimana daerah lain dilanda masalah banjir,
sebagian petani di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, justru harap harap cemas menunggu datangnya banjir. Banjir setiap tahunnya merupakan alarm, pertanda musim tanam akan dimulai.

Sawah tadah hujan memang mendominasi Kabupaten Kupang. Dari 23.187 Ha lahan sawah, sebesar 74,44% di antaranya merupakan sawah tadah hujan. Sebagaimana namanya, tipe sawah ini sangat bergantung pada ketersediaan air hujan. Itulah mengapa ada istilah “tidak banjir, tidak makan”.

Musim hujan biasanya dimulai bulan November, meningkat di Desember, kemudian mencapai puncak di Januari, dan semakin menurun di Februari sampai Maret. Banjir akan 'datang' ketika intensitas hujan meningkat (bulan Januari). Banjir akan mengisi sungai dan embung, yang kemudian dialirkan ke saluran-saluran irigasi di areal persawahan.

Berdasarkan pengamatan penulis, setidaknya dalam satu musim tanam terjadi satu sampai dua kali banjir. Lalu mengapa di musim tanam 2020 ini banjir tak kunjung datang? Apakah petani terancam gagal tanam?

Curah hujan menjadi penyebab pertama. Jika kita berkaca pada musim tanam 2018, rata-rata curah hujan pada bulan November 2017 sampai Maret 2018 adalah 63,83 mm (Data BPS Kab. Kupang). Musim tanam 2018 bisa dikatakan berjalan normal. Curah hujan pada November 2017 cukup tinggi yaitu 126 mm dan semakin meningkat pada Desember sebesar 415 mm, dan menurun pada Januari 2018 sebesar 151 mm.

Sebagai catatan bahwa musim tanam 2018 menghasilkan produksi padi tertinggi selama tiga tahun terakhir (2016-2018) yaitu sebesar 119.397 Ton, atau meningkat sebesar 9.088 Ton (Data BPS Kab. Kupang). Hal ini makin menegaskan pengaruh curah hujan terhadap keberhasilan musim tanam. Meskipun data curah hujan akhir 2019 dan awal 2020 ini belum dirilis lembaga terkait, kita dapat mengamati bahwa curah hujan terpantau rendah, dan berdampak pada terlambatnya musim tanam 2020.

Penyebab berikutnya adalah fenomena El Nino. El Nino merupakan fenomena meningkatnya suhu muka laut di kawasan pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox, 2000; Nicholls dan Beard, 2000). Jika terjadi El Nino maka curah hujan akan menurun dibawah curah hujan normal. El Nino memang merupakan momok bagi petani, khususnya petani tanaman pangan seperti padi.

Kita tentunya masih ingat bagaimana dampak El Nino pada tahun 2015, yang berpengaruh hingga pertengahan 2016. Sedangkan pada tahun 2017 tidak terjadi El Nino, namun menurut BMKG, itu merupakan tahun terpanas tanpa El Nino. Pada akhir 2018 kembali terjadi El Nino yang terus menguat sampai 2019.

Pada musim tanam 2019, banyak petani di Kecamatan Kupang Timur yang mengeluhkan menurunnya hasil panen padi. Pertanyaannya, apakah tahun 2020 terjadi El Nino? World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan kondisi ENSO (El Nino Southern Oscillation) netral sebesar 65% berlaku selama periode Desember 2019 sampai Februari 2020.

Perlu diketahui bahwa jika terjadi El Nino maka nilai ENSO negatif. Prediksi WMO ini dikuatkan oleh BMKG yang mengklaim bahwa tidak ada indikasi kuat terjadi El Nino di tahun 2020. Meskipun tidak ada indikasi kejadian El Nino, Met Office Amerika memprediksi 2020 akan menjadi tahun terpanas, bahkan akan memecahkan rekor. Penyebabnya adalah efek rumah kaca.

Apapun fenomena yang tejadi, petani di Kabupaten Kupang masih menunggu banjir. Bahkan ada petani yang terpaksa menanam, sambil berharap banjir akan datang, meskipun
resiko puso akibat kekeringan sangat tinggi. Angka tetap (Atap) ST 2013 menyebutkan terdapat 4.810 rumah tangga jasa pertanian di kabupaten Kupang, dimana 79,23 % mengusahakan tanaman pangan. Kelompok inilah yang paling rentan jika terjadi gagal tanam tahun ini.

Upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah memaksimalkan lahan-lahan sawah yang
memiliki cadangan air irigasi. Beberapa kecamatan memiliki sumber air yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan para petani disekitarnya. Salah satunya di Kecamatan Kupang Tengah yang memiliki bendungan Tilong.

Selain itu, petani juga harus mulai bertindak untuk 'mengganti' komoditas tanaman pangan, khususnya yang lebih tahan kekeringan, misalnya jagung. Tentunya kita berharap tidak terjadi gagal tanam, gagal panen, atau bahkan rawan pangan tahun ini. Semoga tidak.

Penulis: *Rizki Adiputra Taopan, Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Kabupaten Kupang.




Related Posts:

0 Response to "Musim Tanam; Tidak Banjir, Tidak Makan"

Posting Komentar