LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Ini Sejarah Singkat Perdagangan Manusia di NTT - Leko NTT

Ini Sejarah Singkat Perdagangan Manusia di NTT


Ilustrasi: Pasar perbudakan di Timor

LEKO NTT - Manusia Nusa Tenggara Timur telah ramai diperdagangkan sejak dulu, bersama dengan cendana, kuda dan hasil hutan lain. Manusia dianggap komoditas, sama seperti barang yang lain. Kurang adanya ketentuan hukum yang mengaturnya terus melanggengkan hal ini. Meski di masa ini, praktiknya sedikit berbeda.

Pendudukan kolonial Eropa semakin melanggengkan praktik perdagangan manusia yang telah ada sebelumnya. Datangnya bangsa Eropa pada awalnya ikut menunjang berkembangnya perdagangan budak ini. Dalam hal ini perdagangan budak dapat berhubungan dengan keperluan tenaga perusahaan-perusahaan orang Eropa, juga sebagai tenaga pencari kerang mutiara, teripang di lingkungan raja pribumi.

Aktivitas perdagangan manusia yang diperbudak sudah nampak sebelum abad ke-17, sebelum kompeni secara formal menguasai Makasar tahun 1667. Sesudah ada perdagangan terbuka, maka jual beli manusia mulai aktif.

Tahun 1436, Hsing ch’a Sheng sudah mencatat adanya 12 pelabuhan di Timor dengan berbagai komoditas perdagangan termasuk manusia. Tetapi belum ada catatan tentang berapa jumlah manusia yang diperdagangkan.

Baru pada tahun 1618, sumber Cina yang lain Tung His Yang mencatat rombongan raja bersama istri, anak-anaknya, gundik-gundik dan beberapa dagangan manusia yang diperbudak.

Pada masa Belanda setelah secara formal menguasai Makasar tahun 1667 sudah membuka memerlukan tenaga manusia untuk bekerja di galangan kapal, pertukangan, rumah-rumah pegawai dan mengisi kekurangan sebagai prajurit.

Di Batavia telah tercipta bagian kota yang bernama Kampung Manggarai (disamping : kampung Bali, kampung Makasar, kampung Melayu), pemukiman bekas manusia diperbudak asal Manggarai, Ndu’a (Ngada) kuo, Pawo (Ende), Sumba pada masa perdagangan budak.

Dagristel Kastel Batavia pada bulan Oktober 1664 mencatat tentang tibanya perahu layar dari “Mangary” (Manggarai) berawak 8 orang dengan muatan 50 pikul kulit kayu manis hutan. Bulan Oktober 1668 berita datang perahu layar dari Manggarai dengan 15 awak berisi muatan lilin, madu, beras, kayu manis dan dagangan 17 orang manusia yang diperbudak.

Pada tahun 1670, tercatat pula tiba tiga perahu layar dari Manggarai disamping barang dagangan biasa, termuat juga “20 stucx” manusia laki-laki dan perempuan untuk diperbudak.

Dengan demikian sejak tahun 1668, 1670 Kompeni Belanda telah menjadi pembeli dan pemesan manusia lewat makelar-makelar pedagang manusia, termasuk orang-orang Manggarai dan memperoleh tampungan di bagian timur Batavia yang sekarang menjadi Kampung Manggarai.

Tahun 1769 Sultan Bima, Abdul Kadim mengunjungi wilayah Manggarai setelah kembali pulang juga membawa hadiah-hadiah manusia yang diperbudak dari tawanan perang yang terjadi di daerah Pota. Sultan Abdul Kadim juga meminta upeti manusia dari Manggarai atas desakan Kompeni Belanda.

Neraca upeti berupa manusia atau pengeksporan manusia Manggarai menurut catatan mencapai 2.000 orang pertahun termasuk jumlah 300 hinga 400-an manusia atas nama upeti. Manusia-manusia tersebut kemudian diperdagangkan lewat pelabuhan Bima.

Pengiriman manusia bagi kompeni ke Batavia pada masa itu lewat penawaran perdagangan biasa di Bima atau jalur resmi berupa rampasan perang yang ditagih lewat perjanjian dari Makasar. Tidak jelas berapa sesungguhnya manusia yang dikeluarkan dari kawasan Nusa Tenggara. Karena perdagangan manusia tidak selalu dapat dikontrol maupun dicatat oleh kekuasaan Eropa yang biasanya melakukan pencatatan barang impor-ekspor.

Tome Pires yang jelas menyebutkan, bahwa pulau-pulau di sebelah timur Jawa ini banyak menghasilkan bahan makanan, pakaian, kuda dan manusia yang diperbudak (baik laki atau perempuan). Manusia dan barang-barang lain ini banyak dijual ke Jawa.

Pada awal abad ke-18 tidak hanya orang-orang Portugis, tetapi juga Belanda membeli atau memborong manusia-manusia dari Timor.

Beberapa kota di bagian timur memiliki naman dengan awalan ata, seperti Atapupu dan Atambua. Ata berarti manusia yang diperbudak.

Ada daftar nama manusia yang diperbudak yang dikirim dari Timor dengan Kapal Layar Padukawan de Bakul tanggal 18 September 1809. Algemen Verslag der Residentie Timor over het Jaar 1843, 1852, 1845 juga berisi laporan tetap jumlah manusia diperbudak yang ada di Kupang.

Sumber-sumber lainnya banyak memberikan keterangan mengenai kedatangan kapal-kapal layar dari Nusa Tenggara yang mengangkut manusia yang diperbudak dan diturunkan di Batavia.

P.J. Veth dalam tulisannya Het eilend Timor menyatakan bahwa residen Van Erste di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak. Tahun 1717 residen Van der Burg melaporkan keadaan perang Penfui tahun 1747 dan sebagai lampiran dikirim juga 70 orang manusia untuk diperbuda yaitu 35 orang dibeli dari orang Cina the Thinko dan 35 lainnya dibeli dari orang Cina Oijn Pinko yang jumlahnya sesuai dengan harga faktur yaitu 433,20 gulden. Harga rata-rata adalah 62 gulden dan ini sudah cukup mahal.

Pada masa residen Ter Horbrugger 1761, ada kebiasaan di Kupang yaitu kalau seorang petugas hendak pergi ke Batavia untuk suatu urusan, maka terlebih dahulu ia masuk ke kampung-kampung atau pulau-pulau kecil di sekitar Kupang dengan membawa anjing untuk memburu dan menangkap manusia. Orang-orang ditangkap itu dibawa ke Batavia sebagai hadiah atasan dan komandan serta kerabat dan lainnya dijual untuk mendapatkan uang.

Di masa kini, perdagangan manusia tidak dimulai dengan memburu dan menangkap mereka dengan anjing, tetapi banyak calo-calo yang menerima uang dari perusahaan untuk mengumpulkan manusia di kampung, yang akan dikirim ke tempat kerja dengan dokumen palsu atau juga dengan pengetahuan yang kurang memadai. Calo-calo ini sering merupakan orang terdekat dan membujuk dengan uang sirih-pinang. (TSA/LekoNTT)

Dari berbagai sumber

Related Posts:

0 Response to "Ini Sejarah Singkat Perdagangan Manusia di NTT "

Posting Komentar