Laki-laki separuh baya itu berkata sambil
tersenyum. Kumisnya yang telah memutih panjang tak beraturan, melintang dari
hidung sampai separuh bibirnya. Sesudah berkata begitu ia menunduk dan
membunyikan kembali gerinda. Bunga api beterbangan saat gerinda itu bertemu
dengan mata pisau.
![]() |
Tempat kerja Charles Manu. Foto: LekoNTT |
“Tidur, Kakak. Kalau capek istirahat.”
Saya meluruskan kaki dan berusaha mengusir
kepenatan. Rumah ini terletak di punggungan gunung – dari sini kau bisa melihat
bentang alam, dengan rumah penduduk di kejauhan. Mobil dan sepeda motor melaju
melewati turunan, suaranya bergantian dengan desing gerinda di tangan lelaki
tua itu. Sebuah rumah tembok yang belum diplester berdiri tidak jauh dari situ,
rumah tinggal sang pandai besi.
![]() |
"Nama saya Charles. Charles Manu." Foto: Dokumen pribadi |
Tak berapa lama saya bangun dan
menghampirinya.
“Nama
saya Charles. Charles Manu,” begitu ia memperkenalkan dirinya. “Saya sudah melakukan
ini sejak kelas 3 SD. Ayah saya melakukannya. Kakek saya melakukannya.”
Ia selalu tersenyum – setengah tertawa – di
setiap akhir kalimatnya, membuat ia kelihatan ramah bersemangat dan lebih muda
dari usianya. Sesekali ia menyentuh mata pisau, mengira-ngira ketajamannya. Di
sekitarnya berserakan pisau, parang kebun,maupun kelewang yang baru saja diasah.
Pangkalnya ditajamkan dan dicocokkan ke dalam gagang kayu.
“Saya tidak pernah memasang target harus
bikin berapa dalam satu hari,” begitu katanya saat saya bertanya tentang berapa
banyak pisau dan parang yang ia hasilkan setiap hari. “Ini pekerjaan milik saya
sendiri. Saya tidak mempunyai bos. Tidak ada yang memerintah. Ko ini saya kerja saya punya e. Kalau capek, ya saya masuk ke rumah
dan beristirahat.”
![]() |
Hasil kerja Charles. Foto: Dok. Pribadi |
Apakah Bapak pernah mempunyai bos? Saya
bertanya lagi. Kebanggaan di nada suaranya saat menyebut dirinya sebagai tuan
atas dirinya sendiri membuat saya tertarik kepada masa lalunya.
“Saya pernah menjadi tukang bangunan,”
katanya.
Itu sekitar tahun 1986 sampai 1988,
demikian ia bercerita. Ia pergi ke Kupang dan diperkejakan seseorang yang
berasal dari Bali.
“Kakak tahu gedung di Undana yang ada
perahu di atas tu, ko?” ia bertanya kepada saya. Saya mengangguk meski belum
pernah melihat gedung itu. “Itu kami yang bikin,”katanya dengan bangga.
“Itu adalah masa-masa yang sulit,”
kisahnya. “Banyak perempuan yang ikut bekerja juga. Bikin campuran, pikul
pasir… Kami dibayar 1500 rupiah per hari.”
Seseorang menepikan sepeda motornya dan
dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah kecil itu.
“Beta pu
pesanan mana, Om?”
“Ko parang kemarin tu?”
“Oh, beta pikir sonde jadi lai. Beta su mau
jual pi orang.”
“Ko su pesan na son jadi kermana?”
Charles mengambil parang dari para-para dan
menerima uang dari orang itu. Si Orang mengucapkan terima kasih dan berlalu.
“Kalau sedang sehat, berapa parang dan
pisau yang Bapak hasilkan dalam satu hari?” saya merevisi pertanyaan yang tadi
tidak mendapatkan jawaban.
“Bisa dua puluh pisau,” Charles menjawab. “Pisau
sa (saja). Yah, itu artinya bisa
dapat sepuluh parang.”
![]() |
Ia tersenyum sebentar dan mulai bekerja kembali.Foto: Dok. Pribadi |
“Bapak jual ke mana?”
“Kadang diambil sendiri sama orang. Kadang
saya jual ke Kupang. Kadang juga saya bawa ke Pasar Baru, Kefa. Kadang ke Atambua.”
Ia tersenyum sebentar dan mulai bekerja kembali.
Bunga api memercik. Bayangan bahwa penampang gerinda itu bisa terlepas kapanpun
dan menghantam wajah saya membuat saya bangun dan menjauh. Saya belum pernah
melihat pandai besi sebelumnya. Bayangan tentang orang yang berpandai-besi
hanya datang dari film pendekar, di mana sang guru membuat pedang pusaka untuk muridnya.
Menumbuk, membakar besi dan mencelupkan ke dalam air, mengeluarkan bunyi wusss
sebelum memukulnya dengan palu. Ada dua besi seukuran paha orang dewasa yang
ditancapkan di ruangan itu, kelihatannya sebagai alas untuk memipihkan besi. Di
bagian yang lain bertumpuk kayu-kayu bekas yang dipakai untuk membikin gagang.
“Darimana besi-besi ini Bapak dapatkan?”
saya bertanya ketika ia berhenti menggerinda.
![]() |
Besi dan alat untuk menempa. Foto: Dok. Pribadi |
“Saya beli di Oesapa. Dari para penjual
besi tua. Ini dari bekas mesin sensor,” ia mengambil sebilah pedang dan
menunjukkanknya kepada saya. Saya memegang gagangnya yang belum diukir dan
merasa hampir menjadi pendekar.
“Berapa ini mau Bapak jual?” saya bertanya.
“Ah, itu pesanan orang,” ia menjawab. “Kalau
yang itu seratus sa,” ia menunjuk kelewang yang lain.
“Parang itu?” saya menunjuk sebuah parang
kebun.
“75.”
“Pisau ini?” saya menunjuk pisau yang
berserakan di tanah.
“50 sa.”
“Yah… Beginilah hidup,” ia menjawab lalu menyambungnya
dengan tawa.
“Saya punya tiga anak,” ia berkata
kemudian. “Yang pertama lulus dari Undana. Sekarang kerja di bank, di sorong.
Saya baru pulang dari sana tiga minggu yang lalu.” Ia berhenti sejenak dan
tersenyum dengan bangga. “Yang kedua masih kuliah di Bandung. Kakak lihat alat
itu?” Ia menunjuk sebuah benda di samping saya. “Itu alat untuk kipas api.
Waktu saya ke Bandung, kunjungi anak saya, saya lihat kok orang-orang di
Bandung pakai itu. Ya saya beli. Dulu
saya pakai ini untuk kipas api (ia menunjuk alat lain yang terbuat dari roda
sepeda). Susah pakai ini. Kita harus punya karyawan yang bertugas memutarnya.”
Saya mendekati dua alat itu dan mengambil
gambar.
“Anak yang ketiga baru lulus SMA. Mau jadi
tentara dia,” Charles berkata lagi.
Saya mengangguk dan tiba-tiba baterai gawai
saya mati. Saya belum sempat mengambil beberapa gambar lain.
“Sekolah anak-anak Bapak biayai dengan
pekerjaan ini?” saya bertanya.
Ia tertawa dengan bangga.
“Saya tidak begitu suka bekerja dengan
orang lain,” katanya. “Serba salah! Tidak kerja juga salah… Kerja sedikit juga
salah. Harus ada target, harus kerja sepanjang waktu.”
Saya tertawa dan membuang pandangan. Di
rumah tinggal yang belum diplester itu seorang perempuan tua yang mengenakan
daster sedang mencuci beberapa pakaian.
Saat saya berpamitan Charles menatap saya
dengan sungguh-sungguh:
“Jalan hati-hati, Kakak. Kalau capek
istirahat dulu.”
Penulis: Felix K. Nesi
0 Response to "Kalau Capek, Istirahat Dulu"
Posting Komentar