Kupang, LekoNTT.com - "Koooraaaann...! Koooraaaaann...!" itulah seruan yang
biasa kita dengar dari para penjaja koran di sudut lampu merah atau
persimpangan jalan. Ini untuk menarik perhatian para pengemudi roda dua maupun
roda empat. Bahkan, para pejalan kaki sekalipun.
Sonya sedang menjajakan koran di Bundaran PU, Liliba. (Foto: Weren Taseseb/LekoNTT) |
Namun, seruan itu tidak dilakukan
Sonya, salah seorang bocah kecil penjual koran di Kota Kupang, Minggu (26/05/2019). Entah karena malu, kurang berani, belum terbiasa, atau karena
kurang percaya diri. Ia hanya berdiri di salah satu sisi jalan, dekat bundaran
PU, Liliba, Kupang. Dengan koran yang dipampangkan di depan dadanya, berharap
ada yang membelinya. Bila koran yang dipegang di tangannya laku terjual, ia
akan menyeberang ke sisi jalan yang lain dan mengambil hanya satu buah koran
saja. Koran yang disimpan di tempat kakaknya yang juga melakukan pekerjaan yang
sama.
Gadis kecil kelas 2 SD itu
kelihatannya pemalu tetapi punya jiwa juang yang tinggi. Bila diperhatikan, ia
hanya berbicara seadanya dengan air muka tanpa kesedihan. Senyum kecil dari
bibir mungilnya selalu menunjukkan ketulusan dan kepolosannya.
Ia berjualan koran hanya sekali
seminggu, yaitu pada hari Minggu saja. Hari Senin hingga Sabtu ia bersekolah
seperti teman-teman seusianya. Sepulang sekolah, ia akan membantu ibunya atau
menyelesaikan PR dari gurunya.
Bila hari Minggu tiba, ia akan
kembali melakukan tugasnya sebagai penjual koran cilik. Koran yang dijual
bersama sang kakak biasanya diantar oleh agen dan dijual dengan harga Rp
3.000/buah. Hasil penjualan akan diberikan kepada kakak untuk diserahkan ke
agen.
Biasanya ia mendapat upah kerja
Rp 5.000- Rp 10.000/hari. Uniknya, uang itu akan diberikan kepada kakaknya.
"Tabung ko beli HP, Kaka," tuturnya ketika ditanya untuk apa uang itu
diberi ke kakaknya. Mengapa tidak digunakan untuk jajan atau beli sesuatu.
Bocah kecil yang merupakan salah
satu murid di SD Inpres Oesapa Kecil 1 itu, tak pernah mau menuntut upah. Walau
sudah pandai menghitung rupiah, ia tak memperhitungkan hasil.
Baginya, lebih bagus kerja
daripada bermain. Walau masih menginjak usia 7 tahun, ia sudah pandai mengadu
nasib di pinggir jalan. Demi rupiah, nyawa terancam di sisi jalan yang dilalui
para pengemudi yang kadang 'bodoh amat' dengan siapa di samping.
Reporter: Werenfridus Taseseb
Hebat 🙋
BalasHapus