LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Pertahanan Terakhir yang Terancam Hilang - Leko NTT

Pertahanan Terakhir yang Terancam Hilang

Oleh:  Yuvensius Stefanus Nonga


 

Sebuah pantai di Nusa Cendana yang terancam diokupasi. AM/2022

Dalam Empat tahun terakhir ini Nusa Tenggara Timur dipimpin oleh rezim pemerintahan dengan paradigma pembangunan eksploitatif. Jauh dari spirit keberlanjutan ekologi. Seakan sedang menunggu diterkam oleh monster. Kini, Nusa Cendana menghadapi ancaman gempuran ekologis. Meski tanah ini  memiliki karateristik geografis bercorak kepulauan dan bentang alam pesisir yang luas, fakta demikian tidak merubah paradigma pemerintahnya dalam menjalankan pendekatan pembangunan yang ramah pada daya tampung serta daya dukung lingkungan. 

Sejak dilantik pada 5 September 2018, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) merancang program pembangunan yang diharapkan dapat mengeluarkan provinsi Nusa Cendana dari kemiskinan. Harapannya dapat bersaing keluar tidak saja dengan provinsi lain, namun dengan negara tetangga terdekat yakni Timor Leste dan Australia. Empat tahun sudah kepemimpinan Viktor Laikosdat, melahirkan banyak pertanyaan tentang janji manis di awal periode

Sejauh mana komitmen kepemimpinan Vikor Bungtilu Laiskodat dan Josef Nae Soi?

Berbagai masalah tambah runyam pada tahun 2022. Mulai dari masalah kemiskinan struktural, human trafficking, tambang, pariwisata, dan perkebunan skala besar. Wahana Lingkungan Hidup NTT mencatat beberapa kasus lingkungan yang terjadi sepanjang tahun 2022 ini sebagai akibat dari kebijakan rezim ini yang abai terhadap daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup di Nusa Cendana.

Pariwisata berbaju konservasi

Ambisi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan pariwisata sebagai salah satu obyek mengeruk keuntungan ekonomi sebesar-besarnya justru melahirkan konflik agraria dan monopoli sektor sumber daya alam. Pemerintah dengan salah satu misinya   “Membangun NTT sebagai salah satu gerbang dan pusat pengembangan pariwisata nasional (Ring of Beauty)”, memberikan ruang seluasnya bagi korporasi. Sementara, masyarakat lokal tergusur oleh skema-skema pengembangan parwisata yang mengedepankan pendekatan infrastruktur dan teknologi yang sulit dijangkau oleh masyarakat lokal.

Skema pembangunan bercorak industrial  mencipta ketimpangan yang kian lebar.  Pembangunan semakin menjalar pada semua sektor kehidupan rakyat dengan cara eksploitatif.  Akar developmentalism ini bermuasal dari monopoli kekuasaan. Tanpa perspektif keberpihakan pada masyarakat lokal. Pada galibnya, pemerintah seringkali menempatkan isu-isu pengentasan kemiskinan untuk dijadikan legitimasi pengembangan pariwisata yang ujungnya berdampak buruk pada tata kuasa, tata kelola sumber daya alam di Nusa Cendana.

Seperti yang diungkapkan oleh Cohen(1984) dalam Ismayanti (2010), secara umum dampak pariwisata meliputi: penerimaan devisa, pendapatan masyarakat, peluang kerja, harga dan tarif, distribusi manfaat dan keuntungan, kepemilikan dan pengendalian, pembangunan dan pendapatan pemerintah. Desain pariwisata yang mengarah pada orientasi profit, namun menjadi arena pertarungan antara oligarki dan rakyat.

Fakta eksploitasif tersebut ditemukan WALHI NTT dalam pengembangan Taman Nasional Komodo. Kawasan ini didesain secara sepihak untuk menyalurkan kepentingan korporasi di dalamnya. Melalui suatu kontrol yang besar, pemerintah tunduk pada korporasi sekaligus menjadi penindas rakyat kecil.

Pariwisata yang digadang-gadang membawa kesejahteraan bergeser jauh dari tujuan awal yang dikampanyekan pada rakyat. Publik dijanjikan dengan hayalan, kekuatan narasi kesejahteraan melalui alat yang bernama pariwisata. Kini, rakyat sebagai pemilik asali segala keindahan yang ditawarkan parwisata jadi terasing dari tanahnya dan akan selalu kalah.

Pemerintah tentu memiliki andil pada dampak buruk ini. Dasar legitimasi yang dipegang oleh korporasi adalah buah dari produk kebijakan pemerintah dengan jualannya adalah untuk kepentingan peningkatan ekonomi rakyat. 

Meski berdampak buruk, pemerintah Nusa Cendana masih tetap menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan prioritas karena pariwisata memiliki kontribusi yang signifikan dalam percepatan pembangunan ekonomi masyarakat. Publik tentu sepakat selama masih menempatkan kepentingan korporasi, maka sepanjang itu percepatan pembangunan dan kesejahteraan akan tetap menjadi mitos belaka, sekalipun telah ada dalam era reformasi.

Era reformasi merupakan era baru yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Distribusi peran diamanatkan pada daerah seperti sistem politik, pemilu dan penyelenggaraan pemerintahan. Daerah diberi wewenang merencanakan dan melaksanakan pembangunan di segala sektor dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan, demokrasi, akuntabilitas, keterbukaan, ramah lingkungan dan berlandaskan hukum sesuai dengan potensi-potensi ekonomi di daerah masing-masing (Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah)

Seringkali kebijakan pemerintah dalam pengembangan pariwisata mengabaikan asas-asas di atas. Setiap proyek pembangunan oleh pemerintah hanya demi memenuhi kepentingan korporasi dengan jubah politik. Episentrum pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo merupakan contoh bagaimana pejabat negara menguasai sebagian besar kawasan yang telah dikonversi menjadi zona pemanfaatan.

Dalam taman tersebut, terdapat pemilik seperti David Makes dengan perusahaan PT. Segara Komodo Lestari (SKL) dan PT. Komodo Wildlife Ecotuorism (KWE).  PT. Segara Komodo Lestari menguasai 22,10 hektar di pulau Rinca. Sedangkan PT. Komodo Wildlife Ecotuorism menguasai 426,07 hektar di Pulau Padar dan Pulau Komodo. Kontrak kedua perusahaan David beroperasi selama 52 tahun. Izin kedua perusahaan David berdasarkan SK Menteri Kehutanan 96/MENHUT-II/2014 yang dikeluarkan pada 29 September 2014 untuk PT. Komodo Wildlife Ecotuorism dan surat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 7/1/ Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/ Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)/2015 dan Surat Keputusan Balai Taman Nasional Komodo nomor 169/T.17/TU/KSA/04/2018 untuk PT. Segara Komodo Lestari .

2023: Tahun baru dengan ancaman lama

Pada penghujung tahun 30 Desember 2022 publik Indonesia disuguhkan dengan praktek otoritarianisme oleh pemimpin tertinggi negeri ini.  Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

Pemerintah membangkang pada ketetapan konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan dikeluarkan. Apabila dalam tenggat waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ini menetapkan keputusan bahwa pemerintah wajib menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Pemerintah tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemerintah Jokowi tentu menunjukan keberpihakannya bagi kepentingan korporasi. Sebelumnya dengan regulasi yang dinilai oleh masyarakat sipil berat sebelah, laju pengrusakan terjadi begitu masif. Penghisapan tersebut tidak diantisipasi oleh pemerintah dengan memitigasi pengrusakan lingkungan dan konflik agraria mulai dari regulasi. Malahan, pemerintah memuluskan jalan korporasi lewat regulasi.

Dari hal ini dapat pula meyakinkan kita bahwa ancaman yang terjadi akibat kebijakan investasi masih akan terus terjadi di masa yang akan datang atau bahkan semakin memburuk. Pemaksaan investasi untuk memperkuat daya tahan negara dari resesi harus dibayar oleh bencana ekologis yang juga akan merugikan hidup manusia, mengkooptasi pembangunan, serta membebani anggaran negara.

Berkaca pada krisis sebelumnya yang mampu dilewati, ekonomi rakyat mampu menopang negara bahkan mampu menahan badai krisis yang ditimbulkan oleh geliat ekonomi makro yang mengarah negatif. Negara yang melahirkan kebijakan kontra produktif akan semakin mendisrupsi daya survive rakyatnya. Imunitas rakyat dari krisis justru dilemahkan oleh ekspansi investor yang lebih dipilih negara. Pada gilirannya, negara akan semakin lemah karena kehilangan pertahanan terakhirnya.(AM/Lekontt.com)



 *Penulis adalah Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye Sumber Daya Alam WALHI NTT  


Related Posts:

0 Response to "Pertahanan Terakhir yang Terancam Hilang"

Posting Komentar