LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Pendidikan: Jalan Masyarakat Demokrasi Menuju Meritokrasi - Leko NTT

Pendidikan: Jalan Masyarakat Demokrasi Menuju Meritokrasi

*Oleh: Adhe Simon Setiawan*

 

Ilustrasi pendidikan adalah kekuasaan. Pixabay/AM


Era postmodernis ditandainya dengan keterbukaan pada segala aspek kehidupan masyarakat dunia. Satu negara dengan mudah terhubung dengan negara lainya seolah-olah sekat jarak dan waktu bukan menjadi hambatan bertukar informasi, pengetahuan, ekonomi serta kebudayaan setiap negara.

Hal mencolok lainnya dari era ini adalah keterbukaan terhadap akses pendidikan setiap individu. Berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat Eropa pada abad-XX (Spanyol mencatat angka literasi mencapai 98%)[i], faktanya setiap keluarga memiliki keterwakilan peserta didik.

Angka keterwakilan yang tinggi dan merata pada setiap keluarga, mendukung berkembangnya wilayah-wilayah di setiap negara. Jauh sebelum era postmodernis, Renaisans telah mendorong kelompok masyarakat membentuk pusat-pusat pendidikan yang mengembangkan ilmu humaniora terkait pengentasan aksara dan pembelajaran logika.

Tingkat pendidikan merata antar warga telah membantu setiap individu mengembangkan pola bernalar yang membentuk tatanan tradisi sesuai perkembangan pendidikan dan penemuan-penemuan baru.

Pada masa ketika tradisi menjadi begitu berkuasa mengatur tatanan masyarakat, pendidikan dan ilmu pengetahuan menjadi musuh bagi tradisi. Suatu pemikiran baru dianggap sebagai penentang pada tatanan ajaran tradisi. Kenyataan ini, membuat Nicolas Copernicus mengurungkan niat mempublikasikan penemuan pada bidang astronomi yakni teori mengenai bumi berputar mengelilingi matahari.

Rasa takut pada otoritas hingga ditolak masyarakat mengakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan menjasi stagnan selama dua puluh tahun lamanya karena perasaan takut Copernicus. Ia baru berani mempublikasikan penemuannya setelah mendapat dukungan dari seorang kardinal.[ii]

Galileo sebagai pendukung teori Copernicus berhasil menyempurnakan temuan sebelumnya dengan menciptakan teropong untuk mengamati benda-benda langit. Pada tahun 1630 setelah melakukan pengamatan panjang akhirnya Galileo mempublikasikan penemuannya yang menguatkan publikasi sebelumnya terkait matahari sebagai pusat tata surya serta menguatkan teori Phytagoras dan Aristoteles bahwa bumi berbentuk bulat.

Galileo kemudian dianggap sebagai salah satu pemikir terbesar dalam dunia sains modern. Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya menjadi pembuka cakrawala berpikir manusia sebagai individu tentang semesta.

Gagasan Meruntuhkan Tembok Istana

Institusi pendidikan yang berpusat di Eropa tak bisa lepas dari gerakan pembaharuan sosial yang terjadi pada abad pertengahan. Pada umumnya lebih dikenal dengan masa Renaisans yakni gerakan kebudayaan yang bermula di Italia pada abad ke-XIII.

Pengaruh Renaisans tidaklah merata di seluruh daratan Eropa, bermula dari kota Firenze dan menyebar ke hampir seluruh daratan Eropa. Abad perubahan atau Renaisans berasal dari bahasa Perancis yang berarti kelahiran kembali. Maknanya adalah upaya bangsa Eropa khususnya bangsa Romawi untuk membangkitkan kembali masa kejayaan Romawi (Gereja Kristen) setelah kekalahan mereka di Konstantinopel dari kesultanan Utsmani.[iii]

Era Renaisans merupakan trend sosial-romantisme yang tak terorganisir namun mempengaruhi hampir setiap kelompok masyarakat di Eropa dengan mengangkat kembali kebudayaan masa lalu dalam bentuk sastra, kesenian dan filsafat.

Kejatuhan Konstantinopel memukul jatuh mental masyarakat Eropa. Demi merawat mental masyarakat, melestarikan budaya serta sejarah bangsa maka para cendikiawan Eropa mulai menterjemahkan karya sastra, sejarah dan filsafat ke dalam bahasa romawi.  Usaha tersebut sebagai konsekuensi dari terputusnya pertukaran informasi wilayah barat dan timur setelah perang berkepanjangan.

Masa Renaisans adalah gerakan sosial kembali kepada diri sendiri. Sebuah gerakan masyarakat untuk kembali kepada komunitas dan budayanya. Gerakan mencari dan menemukan jati diri serta potensi individu serta kelompok. Renainsans tercermin dalam perkembangan arsitektur yang merupakan hasil dari penggalian budaya, teknik bangunan Yunani-Romawi masa lampau, perkembangan pemikiran filsafat Yunani dan humanisme Romawi yang kembali diminati.

Seiring dengan perkembangan filsafat dan humanisme pada masa Renaisans, para pemimpin kota di Eropa semakin menyadari perlunya mendirikan pusat-pusat pendidikan untuk mengembangkan studi humaniora yang berfokus bidang pra-profesional. Salah satu tujuannya membantu masyarakat mengentaskan buta aksara. Pada masa Renaisans berdirilah universitas besar di Eropa seperti Bologna, Padua, Paris dan menjadi penopang keterbukaan pendidikan.

Tidak seperti budaya profan yang memudar dalam waktu singkat layaknya bunga Wijaya Kusuma, menurut para sejarawan, gerakan Renaisans merupakan jembatan waktu yang menghubungkan abad pertengahan dan sejarah modern. Transformasi intelektual menjadi sorotan pada masa-masa ini di mana sastra, kesenian dan filsafat kembali mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat sehingga minat masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan kesenian menjadi perhatian para penguasa kota.

Standar hidup masyarakat pun mengalami perubahan seturut perubahan kebudayaan dan minat individu-individunya pada budaya belajar dan berkesenian. Masa ini menjadi penanda kemajuan pendidikan dan dialektika berpikir dalam peradaban manusia.

Perkembangan filsafat Yunani dan humanitas Romawi pada abad Renainsans membuahkan beberapa penemuan penting bagi peradaban manusia. Keterbukaan terhadap gagasan manusia sebagai makhluk berpikir yang terus berproses mengenali alam dan menentukan prinsip-prinsip berdasarkan kebenaran, mencapai keseimbangan dan kedamaian antar individu dan alam. 

Bahkan dari salah satu universitas tertua di Eropa melahirkan akademisi seperti Irerius, lebih dikenal sebagai Iucerna Juris (Lentera Hukum)[iv] yang kembali memperkenalkan dan mengajarkan Corpus Juris Civilis kepada mahasiswanya di Bologna, yaitu kitab undang-undang hukum Romawi pada masa pemerintahan kaisar Bizentium Yustinianus I (529-534 M).

Kitab Undang-Undang Hukum ini kemudian menjadi patokan pembuatan kitab hukum di Eropa yang rasional, sistematis dan komprehensif.[v] Kitab ini kemudian dipakai oleh banyak kerajaan di Eropa. Menjadi patokan dalam penyusunan kitab undang-undang hukum pada masa-masa selanjutnya. 

Warga kota mulai terbiasa dengan pemikiran-pemikiran kritis dan humanis. Mereka mulai menyuarakan realitas pada masanya baik itu budaya, sosial, ekonomi seperti pajak bagi raja atau bangsawan. Apalagi,  realitas ketimpangan menyata dalam ketidakpastian hukum dan privilege bagi kelompok masyarakat tertentu. 

Salah satu pemikir berpengaruh pada masa Renainsans adalah Nicolo Machiavelli. Melalui karyanya The Prince. Machiavelli merekam realita masyarakat kota, ketimpangan hukum, politik serta sejarah  dengan sangat gamblang. Ia dianggap sebagian orang sebagai kaum pragmatis, sebagian lagi melihatnya sebagai salah seorang sejarahwan realis yang jujur merekam momen. Berani mengungkapkan pemikiran apa adanya hingga menjadi awal bagi revolusi sosial-politik di Eropa khususnya pada pusat-pusat gerakan perubahan sosial-budaya. 

Gerakan humanis semakin kuat ketika memasuki abad pencerahan. Pemikiran politik filsuf Yunani dipertajam bersamaan dengan perubahan waktu. Sebagian masyarakat mulai berusaha mendasarkan pandangan politik dalam praktik keseharian warga. Dominasi suatu kerajaan terhadap yang lain pada abad pencerahan menjadi pergolakan gagasan para pemikir dan agen pergerakan sosial.

Tata kelola kota oleh para bangsawan jadi fokus perbincangan ketika ketidakpastian hukum, ekonomi serta tuntutan pemerintah kota terhadap warganya telah merubah konsep berpikir setiap individu. Demi memenuhi tuntutan zaman, para penguasa kota pun mulai membentuk lembaga yang dianggap perlu sebagaimana kebutuhan masyarakat dan menjaga keberlangsungan kekuasaan. 

Ruang-ruang publik terbatas disediakan bagi masyarakat sebagai wadah untuk: menyampaikan aspirasi, sekedar saling mempertahankan gagasan, dan presentasi penemuan baru dalam lingkup ilmu pengetahuan agar dapat dijadikan pedoman tata kelola negara. 

Pada tahun 1587, Paus Sixtus V menggagas proses penyelidikan calon orang suci dalam gereja. Paus menujuk seorang promotor fides atau promotor keyakinan untuk menentang penetapan status calon orang suci dengan pembuktian dan dalil-dalil yang diajukan oleh advocatus Dei atau pendukung Tuhan.[vi]  Aktus ini dibuat untuk membantu juri mengambil keputusan secara objektif sesuai dengan dalil  dari kedua perwakilan.  Pola ini kemudian dipakai oleh banyak lembaga pemerintahan untuk menemukan pembuktian secara objektif dan tentunya memiliki nilai kebermanfaatan bagi masyarakat.

Sebelum gagasan negara modern muncul, pada tahun 1684 di wilayah konfederasi Swiss untuk pertama kalinya dipergunakan term referendum untuk merujuk pada suatu peristiwa pemungutan suara yang diwakili oleh setiap warga kota laki-laki berusia enambelas tahun. Mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di dewan kota.[vii] 

Perjuangan rakyat untuk mendapat kesetaraan terus disuarakan dan diajarkan di universitas, komunitas dan ruang-ruang publik hingga pada tahun 1789 di Perancis meletus revolusi sosial politik oleh kaum liberal Perancis melawan sayap kiri pendukung monarki[viii].

Ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin (Louis XVI) yang tidak kompeten dan hidup foya-foya di tengah krisis keuangan di Perancis menjadi alasan rakyat bersatu untuk menggulingkan monarki. Runtuhnya tembok monarki menandai babak baru kesadaran setiap individu dalam bernegara. 

Revolusi Perancis memiliki dampak luas terhadap perkembangan sejarah modern. Pertumbuhan republik menggantikan monarki, demokrasi liberal dan pesatnya perkembangan ideologi modern menjadi tanda pentingnya revolusi sosial politik Perancis.

Demokrasi Menuju Meritokrasi

Sejak pertama kali Maximilien Robespirre berpidato pada tahun 1790 dan mengusulkan semboyan liberté, egalite, fraternité dalam usaha kaum revolusioner menggulikan kekuasaan monarki dan mendirikan negara republik. Semboyan ini kemudian menjadi begitu populer di kalangan masyarakat Perancis pada tahun 1793 dalam perjuangan rakyat melawan kelompok sayap kiri pendukung monarki. Pada setiap depan rumah warga terdapat tulisan liberté, égalité, fraternité, ou la mort ! (kebebasan, keadilan, persaudaraan, atau mati!)[ix]

Revolusi Perancis menjadi bukti bahwa sejarah panjang gerakan perubahan sosial budaya lewat perkembangan sastra, kesenian dan filsafat serta ilmu pengetahuan berhasil mencerahkan setiap generasi selanjutnya demi memperjuangkan hak dan kesetaraan dalam hidup bernegara. Rakyat Perancis adalah martir bagi keruntuhan penindasan monarki serta tonggak berdirinya demokrasi.  

Lucy Stone menginspirasi banyak perempuan di Amerika dan wilayah lainnya untuk bersuara memperjuangkan kesetaraan dalam berbagai aspek sebagai warga negara dan masyarakat dunia. Lucy Stone berani menerobos tembok pembatas tradisi masyarakat, menjadikan dirinya sebagai perempuan pertama peraih gelar sarjana di wilayahnya.

Pada tahun 1855, Stone mengorganisir konvensi hak perempuan menuntut negara bagian Amerika memberikan hak pilih kepada perempuan[x] dan kemudian ia bergabung bersama kelompok kulit hitam dalam memperjuangkan hak konstitusi sebagai warga negara Amerika. 

Amerika sebagai negara promotor demokrasi di dunia saat ini, dalam sejarah bernegara pernah jatuh pada ketidakpastian hukum dan kesetaraan antar warga negara dengan menerapkan tradisi patriaki serta strata sosial dalam menjalankan pemerintahan dan pandangan rasial terhadap warga menjadikan demokrasi hanya menjadi bagian dari kelompok tertentu tanpa melibatkan keterlibatan kelompok lain.

Demokrasi atau kekuasaan rakyat pada prinsipnya merupakan antonim dari arsitokrasi atau kekuasaan elit. Secara teoretis kedua kata ini saling bertentangan namun pada pelaksanaannya menjadi ambigu karena rakyat secara sadar memberikan kerterwakilan suara legislatif kepada kaum aristokrat atau kepada mereka dari golongan rakyat yang kemudian berperan sebagai aristokrat dan mengambil jarak dengan konstituen. Aristoteles berpandangan bahwa demokrasi ialah kebebasan, di mana dengan kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya.

Demokrasi sejatinya menjadi cara rakyat menciptakan kesetaraan dan menghapus otoriatarianisme, aristokrasi serta oligarki dalam bernegara. Alih-alih menciptakan alam demokrasi sebagaimana dicita-citakan Aristotles, warga negara justru terjerat pada perangkap demokrasi mayoritas melawan minoritas. Setidaknya Ray Dalio pendiri perusahaan investasi Bridgwater membuktikan dalam eksperimen terhadap tim kerja dalam perusahaannya.

Menurutnya cara-cara demokrasi dalam pengambilan keputusan tidaklah menguntungkan bagi jalannya perusahaan,  baginya pengambilan keputusan berdasarakan voting cuma menguntungkan mayoritas meskipun yang minoritas memiliki pemikiran lebih baik[xi]. Ray Dalio menggunakan meritokrasi membangun kerajaan bisnis dan tim ketimbang demokrasi untuk menjaga si mayoritas.

Meritokrasi adalah salah satu sistem politik yang memberi kesempatan kepada setiap orang atau warga negara untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan berdasarkan kekayaan atau kelas sosial, dinasti atau golongan tertentu. Sistem politik ini berpatokan pada penilaian kelompok masyarakat pada prestasi kerja berdasarkan pengujian atau pencapaian.

Sistem meritokrasi mengharapkan setiap warga memiliki kecakapan berpikir yang tidak melibatkan sentimen sosial, ekonomi, budaya dan rasial dalam hal penilaian terhadap calon pemimpin. Sistem meritokrasi menuntut setiap warga percaya pada prinsip kualitas kepemimpinan tanpa memandang golongan mayoritas-minoritas.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan, sistem meritokrasi pernah digunakan dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa. Prinsip-prinsip meritokrasi ditemukan dalam budaya musyawarah mufakat para pemikir dan tokoh bangsa Indonesia menentukan fondasi berbangsa dan bernegara.

Para tokoh perwakilan rakyat bukanlah berasal dari kaum feodal, aristokrat atau oligarki. Para tokoh kemerdekaan adalah perwakilan terdidik, berasal dari golongan rakyat serta dibekali kualitas berpikir dalam menentukan tujuan hidup berbangsa. Bukan berdasarkan proporsi minoritas versus mayoritas.  Namun, demi kebaikan bersama yang egaliter, menyentuh setiap hajat kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa menindas kelompok minoritas.

Prinsip meritokrasi dalam musyarwarah mufakat ini dikatakan Mohammad Hatta “Demokrasi asli kita hidupkan kembali, akan tetapi tidak pada tempat yang kuno melainkan pada tingkat yang lebih tinggi”[xii] sejalan dengan perkembangan jaman hari ini. Para pendahulu memodernisasi musyawarah mufakat dalam prinsip meritokrasi yang original.(AM/Lekontt.com)

 


*Penulis adalah Alumnus ITFK Ledelero dan Relawan Jaringan Kemanusiaan-Kupang (J-RUK Kupang) Menyukai jalan-jalan sambil berbagi senyuman.







Daftar Pustaka:



[i] Dikutip dari: https://www.theglobaleconomy.com/rankings/literacy_rate/Europe/, tanggal akses: 16-11-2022.

[ii] Grant, Adam. “Originals”. Jakarta: Penerbit Noura, 2017.

[iii] Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Renaisans. Tanggal akses: 16-11-2022

[iv] Dikutip dari: https://www.britannica.com/biography/Irnerius, tanggal akses: 17-11-2022

[v] Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Irnerius, tanggal akses: 17-11-2022

[vi] Grant, Adam. Loc cit., p. 216

[vii] Morel, Laurence  et Matt Qvortup (Ed), “Handbook to Referendum and District Democracy”. New York: Routledge. 2018

[viii] Diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Prancis, tanggal akses: 18-11-2022

[x] Grant, Adam. Loc cit., p. 131.

[xi] Ibid., p. 224

[xii] Latif, Yudi. Negara Paripurna,  Jakarta: Kompas Gramedia, 2014.,  p. 434.

Related Posts:

0 Response to "Pendidikan: Jalan Masyarakat Demokrasi Menuju Meritokrasi"

Posting Komentar