LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Dilarang Mengeluh meski Rakyat Dijual di Batam! - Leko NTT

Dilarang Mengeluh meski Rakyat Dijual di Batam!

 *RD. Paschal Chrisantus

Mobil jenazah yang mengantar pekerja migran Indonesia pulang ke kampung halamannya. Jaringan Solidaritas Kemanusiaan/AM/2022


Kenyataan paling menyedihkan dan menjengkelkan yang terus dibiarkan terjadi di Republik Indonesia adalah pembiaran atas transaksi ‘perdagangan manusia.’ Kejahatan itu terjadi di Batam. Pulau yang ‘diciptakan Indonesia’ untuk menggelinding bersama kemajuan Singapura maupun Malaysia. Sayangnya, penegakan hukum dibiarkan nihil dalam aspek ‘pengiriman buruh migran ke negeri jiran.’ Kengerian yang dibiarkan terus terjadi adalah perdagangan dilakukan secara terbuka oleh mereka yang berseragam di pintu perbatasan.

Rule of Money

Inilah ironinya. Mereka, para gerombolan berseragam seharusnya menjadi penegak hukum, malah ikut melacur. Tunduk pada hukum pasar. Mereka yang mampu membayar dibiarkan mengangkangi aturan hukum. Tak ada rasa malu orang menerima uang dengan cara melanggar hukum. Tak ada rasa risih memberi makan: atasan, anak, istri, mama dan bapak, dari  uang haram hasil penjualan orang. Ya, lain doa di bibir lain pula kelakuan. Bukan salah Bunda mengandung, tapi anak memang selalu memilih jalan yang salah. Kehidupan kaum berseragam cenderung terlalu dibuat sepermisif mungkin. Rule of law sebagai prinsip kenegaraan diganti dengan ‘Rule of Money’.

Penyelewengan dalam berbagai institusi negara terjadi secara berjenjangan. Korupsi alias ‘pungutan liar’ dengan cara memperdagangkan kewenangan dan otoritas, pembiaran atas perdagangan orang terjadi tanpa ada kemampuan untuk melawan. Pada era kuasa uang, sendi-sendi kenegaraan dibikin seencer mungkin. Mudah diaduk. Dengan sekejap bisa dijajakan seperti ‘Es Campur’. Hukum yang harusnya sakral dan menjadi sokoguru bangunan negara malah dibikin jadi dagangan kelontong. Di level atas barang dijual dalam skala grosir, di level bawah sekedar menjadi agen. 

Kuasa uang marak terjadi karena alasan konsumerisme para anggota. Akal budi manusia cenderung dibiarkan terpenjara dalam tawanan logika materi. Asal ada uang, asal ada setoran, asal ada barang, dipastikan hukum bisa libur kapan saja. Jika perlu hukum dibuat selucu mungkin. Sekedar jadi tontonan. Tak ada rasa malu, entah sebagai pribadi maupun institusi.

Kejadian pembiaran dan pungutan liar di Batam, sebagai Pulau Perbatasan dengan sekian ‘skema internasional’, meskipun sudah muncul menjadi headline koran terbesar di Indonesia, tidak membuat aparat negara bergegas mencari solusi permanen. Sebaliknya, penyelewengan dibuat sekedar menjadi persoalan ‘rimba administratif’, sebisa mungkin jika ketahuan diturunkan kepada mereka yang berpangkat terkecil. Sudah lama mereka yang berbunga dan berbintang, mabuk duluan tanpa minum bir. Hukum dibuat semau gue.

Permisifnya penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu kegagalam reformasi. Kasus perdagangan orang yang sedang terjadi di Batam, seharusnya bisa diatur. Sayangnya pihak yang berwenang malah memilih menjadi ‘pelaku pasar tenaga kerja’. Ikut menjadi rantai penyalur yang tidak bertanggungjawab. Asal terima setoran, mata hati bersedia dicungkil. Ditambah dengan tumpang tindih wewenang otorita dan perangkatnya, membuat kontrol area keluar perbatasan menjadi ambigu atau mendua, dan cenderung longgar. Di era hukum rimba, hanya yang beringas yang berkuasa. Sampai kapan watak barbarian ini ingin dipelihara?

 Bukan Mafia tapi Lintah

Pengiriman  ‘tenaga kerja ke negeri jiran’  ke Malaysia yang dilakukan secara ilegal tanpa menggunakan visa kerja dilakukan secara sistematis. Duit per hari disinyalir tak kurang dari 100 juta rupiah mengalir kepada mereka yang mengontrol titik keluar perbatasan, khususnya dari titik pemberangkatan Pelabuhan Batam Center dan juga Harbour Bay.

Ya, orang memang butuh kerja dan juga uang, tetapi mengapa skema perlindungan pekerja migran yang dirancang berbagai institusi negara diabaikan? Kondisi Batam Center dan Harbour Bay yang menjadi pintu keluar terakhir seolah berada di negeri tak ada hukum. Singkatnya di titik perbatasan ini negara seolah hilang. Warga negara diubah sekedar menjadi satuan komoditas uang gampang.

Amanat pendiri negara untuk menghapuskan perbudakan dianggap roman picisan. Ya, jadi aparat sekarang seolah tidak perlu menjadi  penegak hukum, cukup sekedar ‘bermain aman’ dan selamat. Asal jadi batu, diam, dan tak usah berekspresi, alias berlagak pion, tentu kantong ada isinya. Jika berani membangkang! Siap dihukum bahkan dikucilkan. Jika melawan, bukan tak mungkin dibunuh!

Tentang hal-hal ini pun juga kita dilarang mengeluh, karena untuk menerima jabatan dan bertahan pada jabatan itu, tak sedikit duit harus dikeluarkan. Skema rekrutmen padat modal ini lah yang membuat budaya korupsi menjadi hal teramat biasa. Bau busuk ini dinikmati sebagai sebuah kebiasaan baru. Untuk hidup orang harus biasa minum air comberan. Sambil sesekali menyebut nama Yang Maha Kuasa, agar dianggap tidak gila. Meskipun rajin komat-kamit menyebut Sang Esa, ya tetap saja sinting. Apa mungkin suara ilahi berkenan hadir, pada hari yang sama kejahatan dilakukan oleh sang pengampu doa yang mendaraskan nama yang suci pada bibirnya?

Mungkinkah berhenti di sini?

Orang kadang bertanya ‘mungkinkah kejahatan berhenti di sini? Salah satu tanda bahwa kejahatan itu terjadi sistematis, atau terjadi secara berjenjang dan dibiarkan oleh para pimpinan tertinggi masing-masing institusi negara yang berwenang, adalah para punggawa di lapangan maupun penguasa territorial senantiasa menyatakan ini di luar kuasa kami. Bagaimana mungkin mereka yang berseragam langsung merasa tak berdaya? Penegakan hukum dibiarkan mati. Lantas jika hukum yang seharusnya melindungi warga dianggap tak ada dan membisu, hukum model apa yang sedang mereka junjung? Sumpah apa yang sedang mereka hafal?

Akhir-akhir warga yang harus dilindungi cenderung menjadi obyek dagangan semata. Mereka yang harusnya melindungi, selalu merasa kurang tenaga, tidak kuat melawan kebatilan. Tubuh tidak lagi menjadi titik suci, tetapi tubuh dibiarkan sekedar menjadi lintasan arus perdagangan. Para aparat negara yang bersekutu menjalankan kuasa pasar semata, dan terlibat dalam perdagangan orang adalah penghianat negara. Bukan kita menolak pasar, pasar sebagai arena transaksi adalah hal yang tak dapat ditolak. Hal yang ditolak adalah kejahatan para aparat negara ‘menjual kewenangan’ yang dipercayakan kepada mereka, hanya karena ingin dapat duit gampang. Itu yang kita tolak.

Dahulu kala Belanda juga menjual budak. Mengapa di era modern yang ditandai dengan hadirnya republik, malah kini perbudakan modern ini dihidupkan kembali? Mengapa negara kalah di Batam? Kenapa kepala negara diam? Bukankah Republik Indonesia harus dipertahankan? Populisme kerakyatan tanpa diimbangi dengan penegakan hukum yang bermartabat pada akhirnya hanya lah kesian-siaan.

Tahun telah baru-kehendak baru semoga tak sekadar jadi slogan! Semoga di tahun baru ini, kejahatan perdagangan orang di Batam bisa dienyahkan! Siapa pun pelakunya harus dihukum. Tanpa terkecuali!(AM/Lekontt.com)




*Penulis adalah Rohaniawan dan Ketua Komisi Keadilan dan Migran Perantau-Keuskupan Pangkal Pinang

Related Posts:

0 Response to "Dilarang Mengeluh meski Rakyat Dijual di Batam!"

Posting Komentar