LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Membaca Perilaku Politik Penguasa - Leko NTT

Membaca Perilaku Politik Penguasa

Oleh: Ardy Milik*

Ilustrasi: Kompas

Situasi Negara bangsa hampir melewati terpaan badai Covid-19. Kondisi ekonomi terpuruk. Kondisi kesehatan dasar menjadi isu serius. Belum selesai dengan Covid, kelangkaan minyak goreng menjadi persoalan yang mengemuka. Bahkan, menteri perdagangan dalam rapat bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI menyatakan tidak sanggup mengatasi langkanya minyak goreng di pasaran.

Dalam situasi ini, santer berhembus isu perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Tidak tanggung-tanggung perpajangan masa jabatan ini, disambut dengan deklarasi relawan pendukung, barisan kepala desa yang siap mengusung dan pernyataan beberapa ketua partai yang menguatkan sinyalemen akan adanya pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar Pasal 7 untuk memuluskan jalan menuju perpanjang masa jabatan Presiden.

Berbagai dalih pembenaran mengenai alasan mendasar mengapa harus ada perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, di antaranya: Pertama, Negara baru saja mengalami pandemi Covid-19 yang menguras banyak anggaran belanja Negara sehingga pemilihan Presiden yang akan dilaksanakan sesuai jadwal 24 Februari 2024, menguras kas Negara; Kedua, pembangunan Ibu Kota Negara baru sementara berlangsung, maka butuh lebih banyak waktu bagi Presiden sekarang untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai; Ketiga, rakyat masih menginginkan Presiden sekarang berkuasa.

Argumen yang terbangun ini jelas terlihat tidak masuk akal (falacia nallar). Pembenaran demi melanggengkan kekuasaan mesti dilihat sebagai ketidakmampuan untuk menjalanankan amanah selama masa berkuasa. Tendensi absolutis kekuasaan selalu bermanifestasi dalam bentuk tirani yang lebih mengutamakan stabilitas kekuasaan, pembungkaman terhadap suara kritis dan orientasi kapital pada segelintir orang dalam lingkaran kekuasaan.

Dalih-dalih Irasional

Dalih kekurangan anggaran tidak memadai dijadikan sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan. Konstitusi harus ditegakkan demi menjamin keberlangsungan reformasi yang telah diperjuangan pada 34 tahun lalu. Bila keterbatasan anggaran dijadikan sebagai alasan, mengapa pembangunan Ibu Kota Negara baru yang memakan banyak biaya hingga membutuhkan investor begitu cepat dicetuskan legislasi yang mengaturnya bahkan sekarang telah dimulai pembangunannya? Alasan lain yang kemudian muncul, pembangunan Ibu Kota Negara baru sedang berlangsung sehingga Presiden sekarang harus menyelesaikan mega proyek yang sedang diprakarsainya.

Bila Presiden sekarang meyakini pembangunan Ibu Kota Negara demi tujuan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, maka ia pun harus mengamini bahwa penggantinya dapat menjalankan amanah yang telah dirintisnya.

Dalam prahara pandemi, kita dikejutkan dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke tempat yang baru. Pemindahan yang terkesan dipaksakan. Undang-undang yang ngebut dalam pengesahan dan penolakan masif dari berbagai pihak karena tinjauan yang belum matang terkait urgensi pemindahan Ibu Kota Negara. Ironi. Situasi paradoksal ini membuktikan bahwasanya pemindahan Ibu Kota Negara belum mendesak ketika situasi krisis sosial kemasyarakatan dasar belum sepenuhnya berhasil ditangani oleh Negara.

Pemindahan Ibu Kota yang didasari argumen; daya dukung kota yang tidak layak, sulitnya akses terhadap air bersih, polusi udara, kepadatan penduduk makin meninggi dan demi menciptakan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Sekian argumen ini, tidak menghadirkan rakyat sebagai pemilik sah republik ini dalam diskursus pemindahan Ibu Kota Negara.

Lahan Ibu Kota Negara yang baru sekarang berdiri di atas sekian konsensi perkebunan, perusahan tambang, wilayah pertanian, kawasan hutan lindung dan produksi serta kawasan pemukiman warga. Apakah aspek keberlanjutan lingkungan telah menjadi pertimbangan dalam pemindahan Ibu Kota Negara yang baru? Jika persoalan ketimpangan ekologis di Ibu Kota yang lama masih terus berlarut tanpa ada penyelesaiannya, tentu ada kemungkinan bahwa perpindahan Ibu Kota yang baru akan melahirkan krisis lingkungan yang baru.

Dalam laporan yang dirilis oleh JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) mengenai perpindahan Ibu Kota Negara tahun 2019 dikemukakan bahwa korporasi industri ekstraktif-lah yang akan mendapat untung besar dari pemindahan ibu kota Negara dengan konsep ganti rugi. Lokasi tempat Ibu Kota Negara berdiri di Kalimantan Timur ini bertempat di atas konsensi industri oligarki multinasional, yang berkaitan erat dengan lingkar kekuasaan saat ini.

Masyarakat adat pun terancam disingkirkan dari wilayah aslinya, ancaman pada bentangan infrastruktur ekologis dan potensi korupsi dalam konsesi tukar guling lahan.

Mengenai dalih rakyat masih menginginkan Presiden sekarang berkuasa. Kenyataannya, tidak ada bukti valid menunjukan rakyat yang mana yang menginginkan Presiden memperpanjang masa jabatannya. Kelas sosial manakah yang masih memimpikan pelanggengan masa jabatan. Klaim soal big data itu hingga kini belum mampu dibuktikan. Untuk menjamin adanya dukungan dari masyarakat setidaknya membutuhkan dukungan dari 51% jumlah daftar pemilih tetap yang mendukung adanya perpanjangan masa jabatan. Tetapi kembali lagi untuk menyerap aspirasi dan mengadakan survey dibutuhkan pembiayaan yang hampir sama besarnya dengan penyelenggaraan pemilu.

Kehendak Berkuasa

Perpanjangan masa jabatan Presiden merupakan perwujudan dari kehendak berkuasa, yang berusaha untuk tidak dibatasi oleh yurisdiksi yang baku. Dalam isu perpanjangan masa jabatan tidak ada keberpihakan soal masyarakat marginal yang paling banyak mendapat dampak dari nafsu berkuasa. Hanya kehendak untuk menyatakan diri sebagai yang unggul sehingga dibuat seolah layak untuk mendapat tempat sekali lagi di tampuk kekuasaan.

Opini-opini yang terus direproduksi oleh barisan pengusung perpanjangan masa jabatan, menjelaskan bahwa pelanggengan kekuasaan lebih diutamakan dalam menjalankan pemerintahan daripada menyelesaikan persoalan-persoalan struktural yang masih mendera Negara ini dari generasi ke generasi. Persoalan itu seperti korupsi, kemiskinan, pengrusakan lingkungan, perdagangan orang, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perampasan lahan, dan gizi buruk.

Sejarah telah membuktikan, pemusatan kekuasaan hanya pada segelintir orang cenderung menciptakan tirani. Orientasi tirani dalam menjalankan pemerintahan bukan saja melanggengkan kekuasaan-melainkan menciptakan struktur yang dengan leluasa menguasai sejumlah sumber-sumber material untuk akumulasi kekayaan. Dalam penciptaan ini, tirani akan bergandengan tangan dengan oligarki untuk menguasai sumber-sumber daya material yang dapat dieksplorasi sebagai sumber dana penyokong jalannya kekuasaan dan terbangunnya imperium bisnis.

Menjelang akhir masa jabatan ini, hendaknya Presiden dan barisan pendukungnya memfokuskan diri pada agenda-agenda kebijakan yang belum selesai dilaksanakan selama masa jabatannya.

Demi mencapai target sesuai dengan pencanangan kebijakan yang mengupayakan kesejahteraan rakyat. Memenuhi janji-janji kampanye yang belum terlaksana daripada fokus pada isu perpanjangan jabatan. Tendensi seperti ini hanya  menampakan tamaknya rezim dalam melanggengkan kekuasaannya.

Pada akhirnya, membaca perilaku politik penguasa adalah dengan melihat intensi di balik setiap momentum yang diciptakannya. Apa tujuan di baliknya. Tentu bukan sekadar isu yang dihembuskan tanpa tujuan sebenarnya. Mobilisasi aktor-aktor pemangku kepentingan untuk menyebarluaskan isu tiga periode mesti dibaca sebagai upaya mengukuhkan digdaya kekuasaan.

Ada tujuan yang lebih besar di balik kenampakan yang tidak terbaca. Kalau kita hanya membaca kenampakan permukaan, maka selamanya kita akan termakan dengan dalil dan jargon.  Meski, kenampakan di luar adalah demi kemaslahatan bersama, tetapi sejauh pengalaman-orasi-orasi basi ini hanyalah upaya merebut simpati untuk mencapai tujuan sebenarnya; mempertahankan kekuasaan demi akumulasi kapital sebagian kelas. Mengkritisi entitas kekuasaan adalah tanggung jawab dari semua masyarakat yang berpikir, agar dalam menjalankan kekuasaan tidak memakai logika perampasan tetapi menggunakan logika kerakyatan yang mengedepankan kebaikan bersama dalam pengejawantahannya.***

*Penulis: Alumnus Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandira-Kupang

Related Posts:

0 Response to "Membaca Perilaku Politik Penguasa"

Posting Komentar