LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Kota yang Terekam, Hasrat yang Diterka - Leko NTT

Kota yang Terekam, Hasrat yang Diterka

Oleh: Tim Nongkrong*


“Tugas seniman adalah berada di garis paling depan dalam pencarian jenis-jenis kategori baru dalam keberagaman yang sesuai dengan pengalaman masyarakat yang aktual, sebelum para filsuf mengonseptualisasikannya, sebelum para ilmuwan menelitinya, sebelum para pebisnis memodifikasinya, dan sebelum pemerintah mengaturnya” St. Sunardi.

Keberadaan sebuah kota tak dapat dipisahkan dengan fungsi dasarnya sebagai  lokasi dari tempat berlangsungnya kegiatan perekonomian, sebuah pasar. Kota adalah pusat pemenuhan kebutuhan. Pusat penggantungan harapan-harapan. Dalam sebuah kota modern, hidup bergerak dengan ritme yang cepat, mendesak-desak, dan cenderung menuntut. Hubungan antara individu mendapat bentuk-bentuk yang baru, hubungan manusia dengan alam mendapat pemaknaan yang beragam dan cenderung membawa manusia ke dalam berbagai keterasingan.

Berbincang tentang penggambaran sebuah kota, simaklah bagaimana seorang penulis Italia, Italo Calvino, di dalam bukunya “Invisible Cities”, menggambarkan kota-kota yang ditemui dalam perjalanan Marco Polo di bentang luas kerajaan Kublai Khan. Deskripsi berikut ini tentang kota bernama Zora, sebuah terjemahan yang sangat bebas dari edisi berbahasa Inggris.

“Di balik enam sungai dan tiga pegunungan, berdirilah Zora, sebuah kota yang tak bisa dilupakan siapapun yang telah menjumpainya. Tapi bukan karena seperti kota-kota yang penuh kenangan, Zora meninggalkan gambaran yang tak biasa saat dikenang. Zora dapat dengan ampuh tinggal di ingatan kita berupa tiap-tiap bagiannya; Jalan-jalan utamanya, rumah-rumah di pinggir jalan,pintu-pintu rumah dan juga jendelanya yang sebenarnya tak punya kecantikan khusus. Rahasia Zora terletak pada susunan musik tak tergantikan yang terdengar saat kita melemparkan pandangan pada bagian-bagian kotanya.“

Musik seperti apa yang anda didengar saat  berada di Kota Kupang? Lagu-lagu pop daerah yang asli maupun yang dikemas ala modern dari pemutar musik di angkutan-angkutan umum, Bemo, yang hilir mudik di urat nadi transportasi kota ini? Tembang kenangan dari stasiun radio swasta yang tua dan penyiarnya memiliki logat khas? Lagu-lagu dari radio-radio lain dengan penyiarnya yang berdialek Ibukota? Atau musik-musik dari akun-akun media sosial berfitur video yang sepertinya sangat mudah ditemui di tiap sudut kota.

Siapa yang bisa bicara sebagai wakil paling tepat untuk sebuah kota? Pemerintahan dan aparat-aparatnya? Penduduk dengan kelas-kelas sosialnya dan pola kehidupan ekonomi mereka?, Penduduk yang masih belum bisa lepas dari identitas muasal (etnis dan agama) mereka? Penduduk berdasarkan kelompok-kelompok umur yang masing-masing punya cara sendiri memaknai diri mereka sebagai orang kota? Para rohaniawan? Para akademisi? Politikus? Pedagang; dari yang punya kuasa menentukan arah perkembangan ekonomi dan sosial kota hingga yang menggantungkan diri seutuhnya pada kemungkinan- kemungkinan? Para seniman? Budayawan?

Pertanyaan di atas bisa dijawab: semua yang disebutkan, masing-masing bisa berpendapat tentang kota dan dari  jawaban-jawaban itu usaha kita untuk memahami sebuah kota mungkin bisa menjadi lebih dekat.

Memori di Pabrik Tua

Dalam pameran “Merekam Kota” yang diadakan oleh SKOLMUS  (17-31 Oktober 2020) bertempat di Pabrik Es Minerva, Kota Kupang menjadi sebuah sumber inspirasi dan tema besar bagi para seniman dan penggiat seni visual bidang fotografi ini. Kota Kupang dibongkar dari sudut memori yang dimilikinya.


Tim pameran menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan arsip-arsip terkait apa yang mereka nilai sebagai sejarah Kota Kupang, dan di tengah pandemik Covid-19 yang membawa kegamangan tersendiri bagi masyarakat kota Kupang, di tengah suasana masyarakat yang juga tengah berdebat soal mana lebih penting, taman-taman kota atau ketersediaan air bersih, di tengah alur kehidupan kota yang tergagap mengadaptasi media-media digital untuk bekerja, dan bersekolah, dilaksanakanlah pameran arsip ini.

Berlangsung selama dua minggu, pameran ini memiliki angka kunjungan yang tinggi (tercatat 1200 pengunjung). Karya-karya yang ditampilkan merupakan arsip-arsip, sebagian besar berupa foto, dan beberapa jenis lainnya berupa dokumen-dokumen tertulis. Sumbernya dari pihak pribadi-keluarga dan institusi, seperti salah satunya: Badan Arsip dan Perpustakaan kota Kupang.  Bila ingin melihatnya sebagai sebuah karya, mungkin bisa didekati pada cara tim pameran membahasakan kumpulan arsip-arsip tersebut.

Apa yang ada di kepala mereka, saat tangan mereka, sebagai seniman fotografi atau paling tidak individu yang asyik memainkan wacana seni pameran, menata pameran ini?

Saya menghindari bertanya “Pameran ini maksudnya apa?”, karena menurut saya itu tidak sopan. Kalau mereka bisa dengan langsung nan gamblang membeberkan maksud-maksud itu, buat apa mereka berlelah-lelah membuat pameran?

Sebagian besar anggota SKOLMUS, adalah seniman fotografi. Pada pameran ini, pelaksanaan teknis pameran ada pada Tim Arsip yang kiprahnya dapat dilihat dan terkemas dengan baik di akun media sosial pameran (@merekamkota) dan juga situs www.merekamkota.org. Membuat pameran tentu saja adalah sebuah hal tersendiri. Kita bisa menerka, apakah arsip-arsip terbahas dari aspek-aspek fotografi, misalnya teknis dan wacananya? Realita memori seperti apa yang disasar Tim Arsip?


Dalam kunjungan langsung, katalog pameran dibagikan kepada pengunjung, sapaan pertama untuk masuk dalam suasana “percakapan” yang ingin dibangun pameran. Linimasa yang ada terlihat lebih seperti karya instalasi seni yang mekanisme pemaknaannya bisa saja memerlukan refleksi-refleksi tersendiri.

Arsip-arsip foto memiliki bentangan waktu yang panjang. Ada foto rapat para raja atau bangsawan lokal di jaman kekuasaan politik berada di tangan Belanda di pintu masuk, dan pada pintu keluar terdapat foto-foto para mahasiswa sedang berbaris berdasarkan jurusan masing-masing di lapangan kampus. Mereka semua sedang berkumpul, dan tentu saja banyak percakapan yang telah terjadi di sana. Selamat menerka, bagaimana bunyi percakapan itu di kepala Anda sebagai pengunjung?

Pengunjung: Lintas Teknologi, Lintas Generasi

Soal para pengunjung, para penyimak, para tamu di pameran ini, apa yang sebenarnya membuat mereka datang? Di masa normal (lama), Kota Kupang bukanlah tempat yang punya banyak kegiatan seni-senian, apalagi di masa “normal baru”. Apa bagian dari pameran yang membuat para pengunjung ini datang?

Saya mengunjungi pameran ini beberapa kali, untuk menyimak isi pameran, dan juga untuk nongkrong dengan kawan-kawan dari komunitas-komunitas minat dan seni di Kupang. Kelompok-kelompok yang salah satu cara bersilaturahminya adalah saling mengunjungi bila ada komunitas yang berkegiatan. Celetukan “Wah, ini yang datang kotong-kotong lagi!” seperti biasa kembali terdengar, namun untuk kali ini sepertinya  tidak terlalu tepat, karena ternyata pengunjung yang datang punya latar belakang beragam, bukankah memang  kota ini isinya bukan “kotong-kotong” saja?

Para pengunjung usia muda cukup menarik perhatian, dari segi jumlah maupun cara mereka melihat pameran. Para Millenials. Pengemasan pameran dengan memakai gedung Pabrik Es Minerva (yang tentu saja sudah sekian dekade tak beroperasi) memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung muda. Mereka tumbuh dengan tradisi eksistensi di media digital yang kuat.


Bisa dipastikan, informasi tentang pameran mereka dapatkan lewat jejaringan media sosial, dan juga tentu saja foto-foto dengan latar belakang suasana pameran yang bagi kaum ini punya nilai estetis tersendiri atau mungkin lebih tepatnya eksistensi.

Membuat kita bertanya, jadi sebenarnya sebuah tempat menjadi menarik untuk dijadikan latar belakang foto karena pada dasarnya tempat itu benar-benar bagus (pembahasan tentang kebagusan dan keindahan bisa sangat panjang, jadi tak usah jauh berpikir soal ini) atau karena banyak orang berfoto di situ? Atau karena ada orang terkenal (dalam arti-arti keterkenalan yang ada di media sosial), yang berfoto atau bervideo di situ? Keindahan tempat dalam artian tertentu, dan juga eksistensi di media sosial, bila bisa diterka seperti itu, menjadi hasrat utama dari kaum ini.

Dalam pengamatan yang tak sempurna-sempurna amat, terlihatlah jenis pengunjung yang lain. Mereka yang bukan dari komunitas silaturahmi. Mereka yang memang memiliki minat-minat pada isi dan tema pameran. Orang-orang tua yang merupakan hasil dari sistem pendidikan yang berhasil membuat mereka menghargai nilai-nilai kebudayaan.

Kepentingan mereka bisa diterka berupa aktualisasi diri. Wacana-wacana yang membentuk konsep kota, tentulah erat juga dengan wacana-wacana kebangsaan. Generasi ini tumbuh di era ketika kebangsaan dibentuk dengan amat percaya diri dan menitik beratkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Angkatan ini terlihat mapan, berkarakter, tak kena polusi budaya dan media pop, dan sejarah menjadi jalan yang tenang untuk berefleksi. Untuk melihat sudah sejauh mana diri melangkah.

Para seniman, dan pegiat seni sendiri? Bagaimana melihat kehadiran pameran ini? Saya berbincang dengan beberapa kawan penggiat seni saat nongkrong-nongkrong di luar pabrik, tempat yang dipoles sedikit bisa menjadi lokasi kongkow kebudayaan yang menyenangkan. Beberapa teman menjadi terpantik dengan adanya pameran ini dan bahkan secara spontan ingin membuat karya berupa instalasi.

Pembicaraan tentang isi pameran bergulir seputar kekaguman atas foto-foto yang ada, pengalaman kepemilikan arsip dan foto seperti yang dipamerkan, memori tentang suasana Kupang di tahun 90-an (bagi saya misalnya), fakta sejarah perang yang ternyata kalau dilihat-lihat berjalan dengan kejam dan brutal. Penguasa-penguasa yang bisa membuat keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak, kisah-kisah perangnya orang Belanda, di mana orang Timor yang turun bunuh-bunuhan. Penduduk di pedalaman yang dipaksa tinggalkan kampung dan kehidupannya untuk agenda-agenda penguasa di kota. Ini bisa jadi sumber ide untuk berkarya.

Saya sendiri berharap bisa masuk lebih dalam lagi, siapa tahu ada hal-hal mengasyikan yang bisa kita temui dari memori-memori kolektif kota ini. Misalnya, siapa yang lebih berkuasa mengatur kota ini? Pemerintah atau para pemilik modal besar? Apakah dari sejarah itu kita bisa belajar sudah pernahkah keadilan yang merata dirasakan di kota ini? Atau jangan-jangan kenyamanan kota hanya milik tingkatan-tingkatan sosial tertentu? Bila ada istilah “American Dream” maka seperti apa gambaran dari “Impian Kupang”?


Terkaan saya tak jauh-jauh dari keamanan finansial, menjadi PNS (syukur-syukur punya jabatan tinggi), dan mengidentifikasi diri sebagai warga kota dengan simbol-simbol seperti kepemilikan rumah, mobil, dan status sosial yang bisa diwakili dengan bentuk-bentuk penampilan. Hal-hal yang makin mengukuhkan kota sebagai sebuah pasar.

Apakah bahasa utama di kota ini adalah uang bagi kepentingan personal? Lalu apakah ada keadilan sosial? Apakah kepelikan hidup masyarakat kota dan masalah-masalahnya harus dibuat terus “ada”? Supaya ada dana penuntasannya? Sebagai terkaan ini sangat mungkin untuk salah.

Bicara soal seniman dan karya seni, untuk kota dengan acara kesenian yang jarang diadakan, sulitlah untuk menerka-nerka seni seperti apa yang menjadi minat utama di kota ini. Apakah seni rupa dilihat sebatas sebagai hanya sebuah hiasan? Buah-buah karya keterampilan tangan yang akan jadi pemanis dari kehadiran diri maupun kelompok.

Karya seni jarang dimaknai sebagai suara untuk menggambarkan realita-realita yang dapat disampaikannya dengan caranya yang khas pada media-media lahiriahnya, melainkan dilihat hanya pada sisi-sisi bombastis seperti kemampuan-kemampuan meniru bentuk secara sempurna, dan sisi-sisinya sebagai hiburan remeh-temeh. Sekali lagi ini hanya terkaan.

Akhir kata, pameran yang sudah cukup memberi warna Kota Kupang  di masa pagebluk ini diharapkan akan mendapat respon. Bentuk respon dan pihak-pihak yang mengadakannya  tentulah beragam, dan tak ada satu cara yang paling benar soal itu. Diskusi dan nongkrong akan makin hidup dengan respon-respon yang tumbuh. Hidup akan terus berlangsung, memori akan menjejak, dan masa depan mungkin akan sedikit menghibur bila seni dipakai untuk menerkanya.***

*Tim Nongkrong adalah penulis (Armando Soriano, seorang guru SMP yang tinggal di Kupang) dan beberapa koleganya yang hobi “baomong pi sana-sini” (daring maupun luring) sampai jauh malam.

Foto-foto: Tim Dokumentasi Pameran Arsip Publik.

Related Posts:

3 Responses to "Kota yang Terekam, Hasrat yang Diterka"

  1. Terimakasih dan apresiasi buat komunitas Leko. Sebagai generasi muda beta bangga menjadi bagian dari alur panjang perjalanan sejarah Kota Kupang. Mungkin Beta bisa pinjam kacamata seniman sebentar supaya bisa mengenal kota Kupang lebih jauh.. hehehee
    Salam🙏🏻

    BalasHapus