LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Ledalero | Cerpen Hans Hayon - Leko NTT

Ledalero | Cerpen Hans Hayon


Jika memiliki anugerah untuk memahami, bahkan merekayasa masa depan, mungkin Barek tidak akan pernah mendukung keinginan anaknya menjadi seorang pastor. Namun apa boleh buat, kuasa gaib bukit Ledalero berhasil membuat hatinya gentar.


Bukit kecil menyerupai gundukan tanah itu tidak terlalu besar. Butuh waktu hanya sekitar tiga puluh menit untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Luasnya, jika dibandingkan, empat kali ukuran normal lapangan bola kaki. Namun, dengan ukuran yang nyaris tidak seberapa itu, nama mitis Ledalero berhasil menyedot perhatian banyak orang dari berbagai kampung. Mendengar namanaya saja, membuat bulu kuduk berdiri. Banyak orang telah hilang di sana.

Warga kampung Nita percaya bahwa bukit itu dihuni oleh puluhan, bahkan ratusan makhluk gaib. Tidak sedikit dari antara mereka yang karena lengah diculik oleh makhluk gaib tersebut. Karena keangkeran dan kengerian yang sedemikian hebat, warga menyebut bukit itu dengan nama Ledalero (dalam bahasa Sikka, Leda berarti tempat sandar dan lero berarti matahari) yang artinya tempat sandar matahari.

Menjelang sore hari, sebelum warga kampung Nita mendekam di dalam rumahnya masing-masing, dan matahari tepat bertengger di puncak bukit, terdengar isak tangis menguar dari dalam lebatnya pepohonan. Bersamaan dengan lenyapnya matahari dan datangnya kegelapan, rintihan itu semakin menjadi-jadi. Begitu memilukan. Seperti erangan seorang perempuan hamil ketika melahirkan anak pertamanya.

Warga Nita tahu. Bukit tidak pernah menangis. Itu tangisan anggota keluarga mereka yang telah hilang. Memang, banyak orang pernah tersesat di sana. Beberapa orang secara sadar ingin ke sana namun pada akhirnya tidak pulang-pulang. Sementara itu, beberapa yang lain, awalnya sekadar ingin lewat tetapi akhirnya mati kebingungan karena tidak menemukan jalan keluar.

Berita tentang kehilangan orang dalam jumlah yang besar itu membuat para pemuka adat, kepala suku, dan tokoh masyarakat menjadi begitu panik. Mereka khawatir mengenai jumlah warga yang mulai berkurang. Pengalaman kehilangan itu membuat mereka memikirkan kembali tentang tidak cukupnya jumlah petani di kebun, nelayan di laut, pegawai, dan prajurit perang. Apalagi, yang paling banyak hilang adalah para pemuda dan membuat mereka cemas jika pihaknya akan kalah dalam pertempuran melawan tentara Belanda.

Akhirnya, mereka berunding. Lalu dibuatlah aturan agar jangan sampai ada warga yang lewat lagi di sana. Semua warga diberi pekerjaan macam-macam agar mereka sibuk. Dengan sibuk bekerja, tidak ada lagi orang yang memasuki kawasan itu bahkan sejak dalam pikiran.

Sialnya, selalu saja ada warga yang bertindak ceroboh, terutama anak-anak. Parahnya, kehilangan ini bukan lagi terbatas pada warga kampung terdekat, melainkan menjangkau kampung terjauh bahkan warga dari pulau-pulau seberang. Hingga pada suatu hari, terjadilah musibah lain: sebelas anak menghilang dalam sehari.

Dan dari segala penjuru kampung, terdengar ratapan para ibu dan gerutuan para ayah. Mereka melumuri muka dengan debu tanah sambil menepuk dada, menyesal sekaligus dendam karena kehilangan penerus suku.

Namun apa hendak dikata. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun sudah melakukan ritual adat seperti memberikan sesajian diantaranya dengan menyembelih bermacam-macam hewan kurban, namun anak-anak mereka tak juga kunjung pulang. Lalu dibuatlah aturan yang semakin ketat. Pos ronda diaktifkan dan jam malam bagi warga diberlakukan. Tidak ada warga yang keluar rumah di atas pukul 20.00 WITA. Suasana menjadi begitu sepi dan angker.

Sebelum kampung-kampung di sekitar Ledalero kehabisan warga, datanglah seseorang mengunjungi salah satu kampung terdekat. Ia perkenalkan dirinya sebagai seorang pastor sekaligus arsitek. Bersamanya, beberapa orang tentara Belanda. Ia menyampaikan niatnya untuk mendirikan sebuah rumah ibadah di tempat tersebut. Apakah ini berita gembira ataukah bukan, warga antusias dengan rencana tersebut.

Tanpa berpikir panjang, para ketua kampung langsung bersepakat dan menyetujui usulan pastor tua itu. Mereka tahu, melawan hal gaib dengan tindakan bodoh seperti mendirikan rumah ibadah di tempat tersebut sama sekali tidak masuk akal, bahkan itu tindakan bunuh diri. Meskipun demikian, mereka tidak peduli.

Di luar dugaan, pastor itu berhasil mendirikan rumah ibadah di sana. Entah bagaimana caranya, ia juga mendirikan bangunan lain yang kemudian digunakan sebagai tempat pendidikan calon pastor. Bukan main rasa herannya warga. Dengan dibukanya tempat pendidikan di sana, perlahan orang mulai terbiasa melewati bahkan mengunjungi bukit yang dahulunya terkenal angker itu.

Entah bagaimana, ada begitu banyak pemuda mendaftar sekolah di sana. Setelah tinggal beberapa tahun di tempat itu, mereka lalu dikirim ke berbagai daerah. Apa nama daerahnya, warga sama sekali tidak tahu.

Hingga pada suatu hari, dari dalam sebuah kamar di kampung Ledalero, terdengar tangisan seorang ibu. Ia terkenang akan putera tunggalnya yang baru saja ditahbiskan menjadi pastor empat bulan yang lalu. Di tangan perempuan itu, selambar potret puteranya dan secarik kertas berisi telegram dari Rusia. Jangankan lokasi negara, nama Rusia saja baru ia dengar.

Semua orang kampung Ledalero tahu. Mereka kehilangan seorang pastor yang tewas ditembak ketika sedang memimpin Ekaristi. Meskipun demikian, tidak semua orang sangggup mengerti. Rasa sakit menjadi seorang ibu yang kehilangan putera tunggalnya.

Yogyakarta, 11 Juni 2019

*Hans Hayon, salah satu penulis muda dari Flores Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya berjudul Tuhan Mati di Biara (Ende: Nusa Indah, 2016) dan buku kumpulan esai Mencari yang Pintang, Menegakkan yang Terguncang (Yogyakarta: Rua Aksara, 2019).
Ilustrasi: kr.n/ dioaleksa

Related Posts:

0 Response to "Ledalero | Cerpen Hans Hayon"

Posting Komentar