LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Perempuan Dalam Dimensi Krisis Ekologi di NTT - Leko NTT

Perempuan Dalam Dimensi Krisis Ekologi di NTT


Oleh: Rima Melani Bilaut*



Seri diskusi online, Malam Jumat Bicara Alam NTT (Mama Bi’an) bersama WALHI NTT pada 11 Juni 2020 lalu mengusung tema “Khazanah Perempuan Dalam Dimensi Krisis Ekologi di NTT”.  Memberikan pendidikan publik tentang pentingnya gerakan perempuan dalam pelestarian lingkungan dan perlindungan wilayah kelola adalah tujuan utama dari diskusi ini.

Para narasumber yang terlibat adalah perempuan-perempuan dari organisasi penggerak masyarakat, organisasi advokasi lingkungan hidup, politikus dan masyarakat adat yang tengah berjuang melawan ketidakadilan ekologis. Dalam diskusi tersebut, ada empat poin penting yang dibahas.

Perempuan NTT dan Ketidakadilan Ekologis

NTT sebagai provinsi kepulauan tidak terlepas dari berbagai krisis akibat ketidakadilan ekologis. Berita tentang krisis air, alih fungsi lahan dan kawasan hutan, krisis pangan hingga kriminalisasi petani dan nelayan masih saja terjadi.

Contoh maraknya alih fungsi kawasan pesisir di NTT untuk kepentingan pariwisata berbasis investor dan konflik masyarakat adat Pubabu dengan Pemprov NTT. Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT, alih fungsi lahan pertanian di NTT telah mencapai 58.000 hektar.

Rambu Dai Mami (Komunitas Sabana Sumba) dan Martheda Esterlina Selan (Perempuan Adat Pubabu, TTS) adalah perwakilan perempuan-perempuan yang tengah memperjuangkan hak atas tanah ulayat dan wilayah kelola mereka yang dirampas untuk kepentingan investasi. Dari kesaksian Rambu Dai Mami, aktivitas perkebunan monokultur tebu oleh PT. Muria Sumba Manis (MSM) di Desa Wanga-Patawang Kabupaten Sumba Timur menyebabkan sumber-sumber mata air yang dipakai oleh masyarakat untuk irigasi lahan pertanian ditutup. Aktivitas pabrik tersebut juga merusak situs-situs adat Merapu bahkan menyebabkan banjir; yang sebelumnya tidak pernah terjadi di daerah sekitarnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Sementara itu, Martheda Esterina Selan secara emosional berkisah tentang perjuangannya bersama masyarakat adat Pubabu yang telah dilakukan selama 12 tahun. Perjuangan yang digalakkan sejak 2008 itu guna menuntut kepastian pemerintah terkait hak atas tanah dan hutan tempat mereka tinggal dan kelola.

Saat ini pemerintah sedang berencana untuk mengembangkan aktivitas peternakan dan perkebunan kelor di tanah tersebut. Martheda mengaku dirinya beserta perempuan Pubabu lainnya sudah sangat lelah. Mereka, tidak bisa berbuat apa-apa lagi sehingga pada kunjungan terakhir Gubernur NTT, mereka melakukan aksi buka baju.

Perempuan dalam statusnya jadi pihak yang 'paling'  merasakan dampak akibat investasi; yang merusak wilayah kelola masyarakat. Rambu Dai dan Martheda rela 'pasang badan' di garis depan. Dalam aksi tersebut, perempuan-perempuan ini harus melewati intimidasi oleh aparat dengan water cannon hingga senjata api. Bisa dibayangkan, bagaimana trauma psikologis yang mereka alami. Namun demikian, keduanya memilih untuk tidak gentar demi menyelamatkan tanah, sumber penghidupan yang mereka sebut sebagai ibu.

Perempuan NTT, Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim

Dalam konteks pangan, NTT juga dikenal sebagai provinsi dengan impor sektor pangan yang tinggi yakni 80 persen. Ketahanan dan kemandirian pangan di NTT masih menjadi PR besar hingga hari ini. Maria Loretha, Ketua Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan NTT, salah satu dari narasumber dari diskusi online ini adalah sosok perempuan yang turut mengambil tanggung jawab menghadapi krisis pangan di NTT.

Dengan keterbatasan dana, Maria Loretha bersama perempuan-perempuan di Flores membudidayakan sorgum, salah satu pangan khas NTT. Upayanya untuk melestarikan sorgum dilatarbelakangi oleh kesadarannya akan perubahan iklim yang terjadi di NTT dan krisis yang disebut olehnya sebagai melarat nasional pada 2010 ketika harga bahan pangan jatuh.

Melalui pengalamannya, sorgum adalah tanaman yang sangat adaptif dengan perubahan iklim sehingga cocok untuk dibudidayakan di NTT. Selain itu sorgum baginya merupakan identitas yang harus dijaga sehingga dalam kampanye-kampanyenya, Maria Loretha juga menolak jenis-jenis tanaman pangan yang bukan asli NTT.

Melalui pergerakan yang dirintis olehnya bersama Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan NTT, saat ini sudah ada 48 desa di NTT yang berhasil dibina untuk membudidayakan sorgum. Selain pengalaman Maria Loretha, peran perempuan dalam menyiasati pemenuhan kebutuhan pangan ditengah krisis perubahan iklim juga dilakukan oleh perempuan-perempuan petani di Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang.

Hal itu disampaikan oleh Abi Yerusa Sobeukum, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Kupang yang juga turut hadir dalam diskusi tersebut. Berdasarkan penuturan perempuan yang biasa dipanggil Ira ini, Desa Oeteta adalah salah satu desa penghasil beras di Kabupaten Kupang. Akan tetapi akibat curah hujan dan ketersediaan air yang kurang, perempuan-perempuan petani yang ada di desa tersebut mengalihfungsikan lahan yang sebelumnya ditanami padi dengan menanam tanaman lain seperti jagung dan kacang-kacangan.
 
Perempuan dan Isu Lingkungan di Ruang Politik

Isu perempuan dan lingkungan hidup adalah isu-isu yang masih jauh dari ranah politik. Abi Yerusa Sobeukum atau Ira selaku Wakil Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Kupang mengakui bahwa salah satu penyebab hal itu terjadi adalah minimnya keterwakilan perempuan dalam politik.

Di Kabupaten Kupang sendiri, perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPRD hanya lima dari total 40 anggota. Melihat dari jumlah ini, Ira dengan terbuka menyatakan dari segi jumlah, ia dan empat perempuan lainnya akan kalah jika isu perempuan diangkat sesuai sistem demokrasi suara.

Dalam kesempatan diskusi online tersebut ,Ira menyampaikan harapannya agar perempuan-perempuan NTT mau aktif terlibat dalam politik karena menurutnya yang mengerti isu perempuan adalah perempuan itu sendiri. Bagaimana agenda-agenda perempuan akan menang dalam pengambilan kebijakan jika hanya sedikit perempuan yang mau membawanya ke ranah tersebut.

Tantangan Perempuan Dalam Menghadapi Krisis Lingkungan Hidup Ke Depan

Menyikapi apa yang disampaikan oleh keempat narasumber sebelumnya, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional menyampaikan bahwa perjuangan-perjuangan perempuan sejak dahulu hingga saat ini adalah perjuangan melawan dominasi. Dominasi yang dimaksud, muncul dalam berbagai bentuk.

Nur menyebutkan perjuangan yang dilakukan oleh Rambu Dai Mami di Sumba Timur dan Martheda Selan di Pubabu-TTS dalam merebut kembali tanah mereka adalah perjuangan melawan dominasi industri investasi yang dianggap sebagai satu-satunya jalan kesejahteraan bagi masyarakat. Maria Loretha di Flores berjuang melawan dominasi pengetahuan yang datang dari luar, dalam hal ini upayanya dalam membudidayakan dan mengkampanyekan sorgum sebagai pangan lokal yang bisa tumbuh baik ketika perubahan iklim terjadi di NTT.

Sementara itu, Ira menghadapi dominasi keterwakilan kelompok dalam ruang pengambilan kebijakan dimana representasi perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Salah satu tantangan perempuan Indonesia, khususnya NTT dalam pengelolaan sumber-sumber penghidupan ke depan adalah Omnibus Law.

Omnibus Law sendiri menurut Yaya adalah salah satu contoh konkrit bagaimana dominasi mengenai jalan pembangunan atau jalan kesejahteraan melalui investasi ingin dipaksakan oleh pemerintah dengan mengabaikan kebutuhan masyarakat. Keberadaan Omnibus Law akan menderaskan arus investasi yang berpotensi menghancurkan sumber-sumber penghidupan perempuan. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, Omnibus Law akan menghilangkan kerja-kerja masyarakat yang sudah ada seperti petani dan nelayan.

Selain itu undang-undang tersebut akan memporak-porandakan sistem atau tatanan adat-sosial-budaya yang sudah ada sejak lama. Misalkan tatanan dalam kepemilikan tanah yang masih komunal. Sementara investasi yang akan datang adalah jenis-jenis investasi yang akan melakukan privatisasi terhadap seluruh kekayaan komunal. Dengan demikian intensitas konflik sesama warga maupun warga dengan pemerintah dan pemilik modal seperti yang terjadi di Sumba maupun Pubabu TTS akan terus meningkat di NTT.

Melihat tantangan tersebut, Yaya mengajak masyarakat khususnya perempuan harus bersuara lantang untuk menolak. Inisiatif-inisiatif seperti yang telah dilakukan oleh Maria Loretha harus dipertahankan dan dikembangkan. Perlu 'diperlihatkan' bahwa ada jalan-jalan lain yang membawa kesejahteraan dan kemandirian bagi masyarakat. Selain itu, ancaman-ancaman yang akan dihadapi perempuan perlu didiskusikan dengan sesama perempuan maupun kelompok masyarakat lain melalui penguatan kapasitas agar mereka tahu bahaya apa yang akan menimpa mereka.

Di akhir seri diskusi online Mama Bi’an, Umbu Wulang selaku Direktur WALHI NTT kembali menegaskan dua poin, antara lain:

Pertama, penderitaan yang dialami oleh perempuan akibat krisis ekologi bukanlah sebuah mitos. Adalah fakta yang telah terjadi di lapangan dan akan terus meningkat jika masyarakat di NTT tidak menolak investasi-investasi yang ekstraktif, rakus sumberdaya, rakus energi dan memanjinalkan masyarakat dari ruang-ruang wilayah kelolanya.

Kedua, melihat tantangan yang semakin banyak ke depan harusnya menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa peran perempuan sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Suara dari perempuan adalah suara bagi masa depan.

*Penulis, Koordinator Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT

Tonton diskusi online tersebut DI SINI

Related Posts:

0 Response to "Perempuan Dalam Dimensi Krisis Ekologi di NTT"

Posting Komentar