Irens Alupan, guru produktif di SMKS Katolik Kefamenanu. Pegiat film.
Catatan lepas untuk sebuah kepergian sahabat Benyamin O. Baba
Hujan masih sesekali jatuh di akhir Juni,
bahkan sampai awal Juli 2023 yang dingin, meski suhu udara di kota Kupang cukup
normal, di atas 25 derajat. Sudah beberapa hari saya di Kota Kupang untuk
urusan yang segera kelar. Kota Kupang semakin maju. Tembok-tembok beton merapat
perkasa, menjulang di bibir jalanan utama kota, membuat hiruk pikuk padat dan
kemacetan dari dua arah berlawanan tak bisa terhidarkan.
Saya baru tiba sekitar pukul delapan malam
lebih di rumah kerabat untuk beristirahat. Seharian penuh
menghabiskan waktu di rumah Komunitas Film Kupang, sebuah rumah kreatif
anak muda yang bergerak di dunia perfilman, yang beberapa tahun terakhir giat
menonton dan membikin film sampai menyabet banyak penghargaan.
Menghabiskan waktu, berbagi cerita tentang ide
film, pemutaran film, festival, produksi film, sampai kegelisahan anak muda di
tengah masyarakat dan bagaimana memakai akal sehat untuk terus menggerakan
tangan-tangan kreatif sehingga tidak menganggur dan bisa menghasilkan uang
untuk bertahan hidup adalah pembahasan paling berkualitas di KFK. Kompleksitas
persoalan anak muda kreatif di Indonesia ini, jatuh-jatuhnya sama dan tidak
jauh berbeda.
Pembicaraan itu selesai terlalu luas secara
pemaknaan, tapi begitu cepat dalam runutan waktu, secepat kabar yang saya
terima pukul sembilan. Seorang menelpon, teman saya Benyamin Omega Baba, baru
saja putus napas di rumah sakit Leona Kupang. Informasi ini masih kabur air.
Saya segera ke sana untuk memastikan. Kemudian di grup angkatan 2013, Jurusan
Ilmu Komunikasi Undana, seorang anggota grup memuat foto Benyamin, mengenakan jas hitam putih dengan keterangan bahwa rekan kami itu baru saja
meninggal di RSU WZ Johanes Kupang, pukul 9 lebih, Minggu 2 Juli 2023.
“Selamat Jalan Ben.”
Untuk kehilangan seorang sahabat, orang kerap
menyebutnya sebagai kehilangan semangat. Ada perjuangan yang dijunjung tapi
harus berakhir dalam durasi kehidupan yang amat singkat.
Benyamin adalah teman baik. Tahun 2013 pada
pertengahan Agustus, pertama kali kami berkenalan sebagai mahasiswa baru di
Jurusan Ilmu Komunikasi Undana. Tahun-tahun berlalu dan kami sangat akrab.
Sekitar tahun 2016, bersama beberapa
teman lain kami mulai menggagas UKM audiovisual, fotografi dan kelompok penulisan.
Hasil produksi dari proses belajar dan sedikit pengalaman dari beberapa teman
cukup baik. Akhirnya kami menyebut tim kecil itu sebagai Sampah Visual. Dari
sinilah kami menyabet beberapa penghargaan salah satunya juara 1 lomba film
dokumenter tentang air yang diselenggarakan NTT Satu Data.
Ben cukup punya andil besar dalam tim Sampah
Visual. Ide cerita film dan konsep membikin kegiatan, Ben salah satu yang kami
dengar dan percaya. Geliat berpikir dan ‘kegatalan’ membuat film itulah yang
akhirnya menjadi motivasi kami terus bergerak, kerja-kerja tanpa upah, intinya
berkarya. Di awal-awal tahun menggagas tim ini, kami adalah pekerja lepas yang menggantungkan
segalanya. Siang malam entah berapa banyak peluh yang mengalir, waktu tidur
sedikit dan hampir lupa makan, itu bagian paling indah. Ada kenangan di sana
yang patut kami ingat.
Sepenuhnya rasa ingin belajar dan berkarya
kami letakan jauh di atas segalanya. Mahasiswa lainnya sibuk dengan urusan
kampus yang lelah dan membosankan, kami lebih sibuk bekerja kreatif. Sampai
pada saatnya, ketika kami kembali menjadi mahasiswa dengan urusan kampus,
menyelesaikan tugas akhir, Ben masih saja begitu dan lulus dengan predikat
waktu cukup memuaskan, 7 tahun, 14 semester.
Pada tahun 2017 Ben adalah salah satu pegiat
film dari NTT yang mendapat kesempatan belajar Manajemen Produksi Film dari
Pusbang Film, Kemendikbud RI. Dari sanalah ia berkenalan dengan sutradara
muda, Harvan Agustryansah yang kemudian memproduksi film di NTT dan berhasil
meraih banyak penghargaan mancanegara. Salain film Empu besutan Harvan yang
mengambil tema gender itu, ada juga film Siko karya sutradara Manuel Alberto
Maia yang berhasil masuk nominasi piala citra 2020. Ben bertindak sebagai line
produser di kedua film ini. Posisi yang cukup urgen dalam sebuah produksi film.
Ben adalah representasi dan kecemasan pekerja
kreatif di NTT. Sampai mati, pekerja golongan ini hanya bisa terkenang-kenang
lewat karya. Itu yang mungkin akan abadi. Saat memulai berpikir keras menemukan
ide dan ingin membuat film dengan skala kecil untuk sekedar dinikmati, pembuat
film dari luar dengan modal besar justru lebih cepat merebut ini sebagai pasar.
Ide-ide anak lokal akhirnya kerdil seperti jagung hasil panen pasca seroja. Kosong
melompong, sampai mengering di batangnya. Belum lagi diperhadapkan dengan
urusan dana produksi. Itu yang paling banyak disuarakan anak-anak muda pekerja
kreatif hari ini. Mungkin saja, tangan-tangan kreatif harus mati dan mengambil
tugas lain?
Ide-ide yang berbau lokalitas menjadi jualan
paling laris dan siapapun dari mana saja bisa mengeskplotasi apapun, yang bisa
saja informasi riset yang diperoleh hasil comot dari internet. Dan sampai di
sini, kita masih saja tetap penonton. Saat PH-PH besar datang dan memproduksi film di NTT,
posisi kita tetap saja ‘babu’. Kesempatan untuk belajar bahkan sampai tidak
ada, karena kita dipekerjakan sebagai pekerja. Dikontrak, dibayar dan selesai.
Setelah film jadi, kita antrian di bangku paling depan sebuah bioskop dan
menanti 20 detik terakhir yang menegangkan untuk sebuah nama di barisan credit
title.
Di tengah banyak ketidakpastian sebagai
pekerja kreatif, Ben telah membantu memikirkan ide untuk sebuah film yang
sampai akhir hayatnya tidak terealisasi. Itu jugalah masalah teman-teman
komunitas seni di NTT. Terkendala dana dan kebijakan yang terlalu mengurusi
politik, seolah semuanya adalah produk politik dan kita hanya akan menjadi
konsumen dan imbas dari kebijakan-kebijakan itu.
Sekali lagi Ben adalah pekerja kreatif di
bidang film yang mati dengan ide ceritanya. Jika hanya berbicara menyoal ide
dan anak muda yang menaruh perhatian juga berkontribusi pemikiran untuk
pembangunan melalui kerja-kerja kreatif, berapa harga yang harus dibayar? Kita
bisa menyaksikan kepedihan yang melanda dan meluluhlantakan hati pekerja
kreatif hari ini. Jalan sunyi sudah dibawa pergi, meski suara-suara kemiskinan
dan ketidakadilan di negeri ini kian bising untuk menjadi frame-frame di kamera
filmmaker jalanan. Kita hendak menyongkong dan memberi sedikit suara lewat
audiovisual dengan ide-ide yang dilahirkan dari keresahan, tapi film-film hari
ini adalah jualan. Jatuh-jatuhnya eksplotasi.
Komersialisasi bergerak bergerilya masif ke
segala aspek kehidupan yang menghasilkan keuntungan. Dari manusia, sampai alam
dan budaya, kita jual saja dalam frame gambar. Ide-ide anak lokal biarlah dia
bawa sampai mati. Produksi film itu mahal harganya. Kita hanya penonton di
bangku depan bioskop.
Sebab kota terlalu maju dan orang-orang akan
menyaksikan mereka yang bekerja kreatif dari atas balkon dengan lantunan lagu
nan indah. Ben adalah pelajaran pekerja kreatif yang mati tanpa profesi,
menjiwai perjuangan lewat seni dan kelak hanya dikenang lewat karya. Cukup
sudah kita berkoar-koar kepada orang-orang bahwa membuat film itu juga
pekerjaan, bukan sekedar hobi yang membosankan. Lewat kerja-kerja kreatif
tangan-tangan tidak lagi menganggur dan tidak butuh banyak pengakuan bagi
sebuah profesi untuk menentukan tujuan hidup. Setidaknya ide cerita film Ben
pernah kami dengar, meskipun produksi film itu mahal harganya. Selamat jalan
Boi Ben.
Sabtu Pagi, 8 Juli 2023
0 Response to "Ben Dan Ide Cerita Film"
Posting Komentar