LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Listrik di Laboratorium Padam, Genset Tidak Ada, Mau Harap Siapa? - Leko NTT

Listrik di Laboratorium Padam, Genset Tidak Ada, Mau Harap Siapa?

Oleh: Lodimeda Kini*


Fasilitas publik seperti Laboratorium Biomolekuler adalah instalasi strategis di era pandemi. Apalagi untuk NTT yang baru punya dua laboratorium. Artinya satu laboratorium melayani 2,7 juta warga. Sehingga tidak mengherankan penumpukan sample bisa berlangsung berminggu-minggu. Namun laboratorium yang hanya dua ini pun tidak diatur dengan maksimal operasionalnya. Khususnya untuk Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT. Ini adalah laboratorium insiatif warga yang dimotori oleh Forum Academia NTT dan bertempat di Klinik Pratama Universitas Nusa Cendana, kerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTT.

Sejak Oktober 2020 keberadaan genset yang sudah didiskusikan dalam rapat multi pihak dengan Universitas Nusa Cendana dan Dinas Kesehatan Provinsi NTT hingga hari ini tidak berfungsi. Surat tertulis pengelola laboratorium sudah disampaikan pengelola kepada Undana dan Dinkes Provinsi NTT.

Sejak awal pula sudah disebut, jika listrik padam sekian jam akan berdampak pada (1) reagen yang harganya mahal, (2) kerusakan sample, dan (3) keselamatan laboran, terutama yang sedang bekerja di ruang ekstraksi. Dan itu terjadi semalam. Hampir dua jam listrik padam, pada saat ekstraksi manual (bermodalkan jari dan pipet) sedang berjalan.

“Aduh. Bisa minta Pemerintah segera bantu kah? Atau rame-rame patungan lagi beli genset. Daripada ini alat rusak. Mau berharap ke mana lagi?” seorang pengguna media sosial bertanya menanggapi pernyataan Kepala Laboratorium tentang pentingnya genset di Lab Biokesmas Provinsi NTT. Padamnya listrik ini bukan pertama kali terjadi.

“Ini masalah yang krusial sekali. Taruhannya selain umur alat, juga kualitas sampel dan reagen,” kata kak Fima menanggapi diskusi (ke arah) pengadaan genset untuk Lab Biokesmas Provinsi NTT.

Saya teringat pada hari ketika Lab Biokesmas diresmikan, bulan Oktober tahun lalu. Para petinggi turut hadir dan bergantian memberikan sambutan. Mulai dari yang mendukung dan berjalan bersama-sama sejak awal inisiasi lab, hingga petinggi yang sering kali membuat habis kesabaran, enggan repot-repot tapi haus akan pengakuan. Pada peresmian yang dilakukan di area samping, begitu banyak hal positif disampaikan, semua orang mendukung, anggaran siap dikucurkan, begitu tampaknya.

Waktu itu seorang rekan berbisik kepada saya, katanya, “beritahukan para wartawan bahwa konferensi pers akan dilakukan di belakang (area pintu masuk Lab).” Ketika memberikan pengumuman kepada para wartawan mereka sepakat akan pindah ke area belakang setelah Pak Gub meninggalkan lokasi. Perwakilan tim pooled-test sudah bersiap duduk di bagian depan. Para wartawan duduk tersebar di bawah tenda. Mobil rancangan Om Ben dan Kak Hendra yang dibuat untuk pengumpulan sampel, terparkir di bagian belakang tenda. Kak Hendra sendiri dan Kak Abdi, yang jika ada kendala terkait alat-alat dan listrik di Lab, akan selalu siap memberikan bantuan, duduk di sekitar mobil.

Berbeda dengan kegiatan di depan yang dilengkapi dengan sound system mewah, konferensi pers cukup menggunakan speaker kecil dan beberapa buah mic yang sering berisik. Jika pada peresmian pidato-pidato dipenuhi dengan janji super tentang masa depan Lab Biomolekuler yang akan didirikan sekian lantai dengan aktivitas ini dan itu, di belakang kita berbicara realitas yang dihadapi lab pada saat ini. Seorang wartawan bertanya tentang isu besarnya anggaran yang dikucurkan untuk penanganan Covid-19. Seorang rekan menjawab, “Anggaran kencing batu itu!”

Ia ceritakan pada pertemuan itu bahwa lab ini terbangun bukan hasil duduk manis tunggu uang datang. Ada alat-alat yang dibeli khusus untuk Lab baru-baru ini. Tapi sejak awal dirintis, mulai dari pelatihan, lab ini bisa dibilang hasil berburu dan pinjam alat dan ‘perpuluhan’ warga NTT di berbagai penjuru dunia. Ia bercerita bahwa ketika hendak menyelesaikan instalasi listrik untuk lab, para tukang yang mengerjakan pun tidak sampai hati menarik biaya normal untuk pekerjaan tersebut. Jika harus dibayar dengan harga normal, Lab tak akan sanggup bayar.

Laboratorium ini ada dan membantu warga, di tengah kekurangan dan minimnya dukungan. Namun tidak pernah mereka berhenti.

“Lihat saja di dalam itu, ada rice cooker, dan itu memang rice cooker yang kita ubah jadi water bath, dan itu dikerjakan oleh Abdi, mahasiswa teknik mesin Undana,” kata Kak Fima Inabuy, Doktor biomolekuler lulusan AS yang mempunyai ide mendirikan laboratorium. Ia dan kawan-kawan tidak pernah berhenti mencari akal. Sering kali protes mereka tidak dimengerti. Padahal ia ini relawan, bukan pula orang gajian.

Sudah biasa segala hal dicari dari sumbangan. Mulai dari makan siang, panel listrik laboratorium, perabot laboratorium, freezer, jalan masuk, kanopi tempat parkir mobil hingga gaji para laboran. Itu semua dikumpulkan dari warga. Dida, bendahara Forum Academia NTT (FAN), yang kerja sebagai arsitek, secara sukarela bertanggungjawab mengatur lalu lintas keuangan.

Kini lab telah beroperasi dan mengambil peran yang besar dalam penanganan Covid-19 di NTT. Para laboran sering pulang pagi. Jangan tanya berapa besar bayaran mereka. Sebagian diakomodir dalam tenaga honor provinsi NTT, sebagian lagi mungkin harus berbagi ‘dari tempat lain’. Kak Fima sendiri dibayar satu juta rupiah per bulan. Uangnya yang saru juta ini lebih banyak dipakai membeli kebutuhan rutin laboratorium. Keluarganya juga turut mencari sumbangan untuk membantu keperluan lab.

Kak Fima bekerja rata-rata 16 jam. Jam 9 pagi ia sudah ada di laboratorium, dan pulang dini hari. Tingginya permintaan pemeriksaan sample individual membuat mereka harus bekerja ekstra keras dengan alat ekstraksi manual. Tak jarang ia bekerja lima jam dalam ruang ekstraksi dengan pakaian APD lengkap, tanpa minum, dan makan.

“Saya tak punya pilihan, sample menumpuk, dan sifatnya emergency, walaupun sudah dibagi dalam dua shift tetap saja kurang, dan halangannya bukan pada mesin PCR, tetapi pada ketiadaan alat ekstraksi otomatis, tidak mahal untuk ukuran laboratorium harganya mungkin sekitar 1,3 Miliar Rupiah, dengan alat ini kita bisa memeriksa sample dalam hitungan ribu, dan saat ini masih berkisar di angka 250 sample per hari,” katanya menjelaskan.

Tantangan paling sulit mengkomunikasikan kebutuhan laboratorium adalah pada siapa dan lewat jalur apa. Keberadaan laboratorium untuk 2,7 juta warga NTT ini masih dianggap kebutuhan tersier, dan tidak ada jalan khusus dalam anggaran pemerintah.

Sudah sering, jika diminta untuk lebih responsif dalam mencari jalan keluar pada konteks kedaruratan, pemerintah merengek, “Jangan paksa kami korupsi!” Pemanfaatan anggaran dan analisa resiko memang tidak dikerjakan dengan baik. Akibatnya instalasi strategis dibiarkan merana.

Bangunan Klinik Pratama, tempat laboratorium ini, yang dibangun di era SBY ini memang menyimpan cerita tersendiri. Seharusnya jika diawasi dengan baik, kualitas pembangunannya bisa terjaga. Sekarang ini dari pihak Undana sudah sejak Oktober berjanji akan memperbaiki genset tapi belum terealisasi, sedangkan dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT mengatakan ini tanggungjawab Undana.

Kembali ke masalah listrik padam. Genset belum ada. Padahal menurut petugas PLN yang memeriksa kondisi padamnya listrik semalam, instalasi kelistrikan di Klinik Pratama Undana bermasalah. “Coba pengelola laboratorium buat surat kepada PLN agar bisa diperiksa dan dijelaskan apa persoalannya!” katanya.

Saat ini, sejak Desember 2020 upaya mencari 100 juta rupiah untuk membeli genset sudah dilakukan. “Baru kemarin kita kumpulkan uang 21 juta rupiah untuk perbaiki mobil swab, dan belum tahu bagaimana membayar sembilan tenaga laboran baru ini, kalau diminta untuk kumpul dana lagi untuk beli genset seharga 100 juta ya susah juga, jangankan itu gaji supir juga belum ada, cleaning service juga tidak ada sehingga kami harus membersihkan seluruhnya sendiri,” kata Fima menjelaskan.

Ya, orang hanya sering bilang pengelola laboratorium cepat sekali berbicara kepada publik, tetapi orang tidak tahu sejak Mei 2020 mereka bekerja sebagai sukarelawan untuk hidup kita semua. Bisa dibayangkan jika laboratorium biomolekuler kesehatan masyarakat Provinsi NTT tidak ada, artinya lab di RSU WZ Johanes harus melayani 5,4 juta warga. Jumlah cukup jomplang. Bandingkan di Provinsi Kepulauan Riau, satu laboratorium melayani 186,850 ribu warga. Ya, ini memang perbandingan langit dan bumi.

Ketika listrik padam kemarin, para direktur rumah sakit yang panik duluan. Mereka paham, sample mereka sedang diperiksa. Sejak November 2020, fokus Lab Biokesmas Provinsi NTT adalah menjaga agar sistem kesehatan tidak runtuh, sehingga yang dites massal secara rutin adalah tenaga kesehatan dari lingkup Puskesmas hingga rumah sakit. Tetapi untuk hidup bersama pun sedikit yang peduli, paham ancaman, dan bekerja benar dalam jabatannya.

*Penulis adalah anggota Forum Academia NTT dan peneliti di IRGSC

Related Posts:

0 Response to "Listrik di Laboratorium Padam, Genset Tidak Ada, Mau Harap Siapa?"

Posting Komentar