LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Sepasang Telinga | Cerpen Hans Hayon - Leko NTT

Sepasang Telinga | Cerpen Hans Hayon



Sejak lahir, aku dianugerahi kemampuan mendengar banyak hal. Berbeda dengan orang kebanyakan, aku dapat mendengar celotehan para semut.

Aku mendengar percakapan pepohonan tentang musim kemarau yang terlalu panjang. Bahkan aku sanggup mendengar pembicaraan dua janin kembar dalam kandungan seorang perempuan. Aku juga mendengar keluhan dedaunan sebelum pepohonan meranggas. Aku mendengar rasa khawatir air danau yang tercemar limbah. Aku mendengar semuanya. Tanpa kecuali.

Pernah, kuceritakan hal ini kepada beberapa orang kawan. Tentu saja mereka tertawa sementara yang lainnya menganggap aku sinting. Aku melihat dua ekor ulat bulu, mendengar ocehannya sepanjang hari tentang siapa diantara mereka yang kelak terlahir menjadi kupu-kupu paling cantik. Sejak saat itu, aku putuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun.

Hingga pada suatu ketika, datanglah segerombolan orang menemuiku. Setelah berbincang-bincang dengan berbagai cara yang cukup sulit dimengerti oleh kebanyakan manusia, barulah aku tahu maksud kedatangan mereka. Aku ditawarkan untuk masuk ke panti asuhan. Kata mereka, di sana aku akan diajarkan banyak hal. Salah satunya yakni bagaimana cara yang paling tepat untuk mendengar.

Menyadari hal ini, bukan main girang hatiku. Tanpa membuat pertimbangan lagi, kuputuskan untuk mengikuti mereka ke sana. Betapa kagetnya aku karena di panti asuhan itu terdapat begitu banyak orang sepertiku. Maksudnya, mereka yang dikategorikan cacat fisik.

Ada pria dewasa yang tidak memiliki kaki namun mampu melakukan banyak hal. Ada juga remaja puteri yang buta matanya tetapi sanggup berjalan ke mana saja tanpa menggunakan alat bantu seperti tongkat. Juga ada pula lelaki tua yang tidak bisa berbicara sejak lahir namun cakap dalam membahas segala sesuatu.

Singkatnya, entah bagaimana caranya, mereka sangat kreatif dan melakukan apa pun dengan begitu bersemangat. Selain itu, mereka suka bekerja sambil tertawa atau tersenyum tanpa alasan. Selama beberapa minggu di panti asuhan, inilah alasan yang membuat aku kerasan.

Meskipun demikian, aku membenci sesuatu. Semua kami dikelompokkan berdasarkan kebutuhan masing-masing. Tentu saja aku tulis kata kebutuhan dalam arti yang mereka maksudkan. Bersama dua belas orang lainnya, aku dimasukkan ke dalam kelompok tunarungu. Kelompok ini terkenal paling gemar berbicara tanpa tahu siapa yang sanggup mendengar.

Mungkin karena alasan itulah, kami diajarkan berkomunikasi dengan cara yang ganjil dan paling aku benci. Mereka menyebut hal itu sebagai bahasa isyarat. Maksudnya, mereka mengajarkan kami berkomunikasi dengan menggunakan jari-jari tangan. Pernah, aku berusaha semaksimal mungkin bahkan nyaris hampir gila untuk mengerti apa yang mereka sampaikan.

Celakanya, aku tidak mengerti apa-apa dan menertawai ketololanku itu. Sederhana saja alasanku. Seumur hidup, aku belum pernah menyaksikan jari-jari tangan manusia berbicara.

Dilanda kesengsaraan yang begitu hebat karena tinggal di sana, aku putuskan untuk melarikan diri. Setelah berpamitan dengan beberapa kawan yang sudah aku anggap sebagai sahabat, aku lalu meninggalkan tempat tersebut.

Di jalanan, aku berhenti sejenak di traffic light. Berjejer kendaraan bertumpuk-tumpuk seperti ular tangga. Kusaksikan ratusan pengendara menunjukkan raut wajah yang begitu letih seperti baru saja dihajar habis-habisan oleh pekerjaan dan rasa gelisah. Tampak mulut beberapa orang komat-kamit, tenggelam di dalam bunyi pacuan hasrat minta didahulukan.

Sementara itu, isi kepala mereka bukan main ributnya. Keributan itu membuat kepalaku mendadak pening. Jika tidak kutinggalkan tempat itu dengan segera, mungkin aku bisa pingsan di sana. Sambil memijat kepalaku, dengan susah payah kutinggalkan tempat paling macet di dunia itu.

Dalam perjalanan, secara tak sengaja aku melihat sebuah rumah ibadah. Didorong oleh rasa penasaran, aku melangkah masuk. Sesaat sebelum kakiku mencapai pintu, kepalaku kembali pusing. Aku paksakan saja melangkah masuk dan memilih tempat duduk paling depan.

Kulemparkan pandanganku ke seisi ruangan. Semua kepala tertunduk. Mulut mereka bungkam. Tetapi aku begitu heran: mengapa aku mendengar begitu banyak suara? Dilanda kebingungan yang luar biasa, aku tinggalkan tempat itu. Rupanya beberapa manusia sekarang semakin aneh. Ketika berdoa, mereka sanggup berbicara tanpa membuka mulutnya.

Setelah meninggalkan rumah ibadah, aku berjalan menuju pusat kota. Di tengah keramaian aku melihat seorang pemuda. Dari cerita-cerita yang kudengar dan beberapa selebaran yang kubaca, ia seorang tabib. Bersamanya ada segerombolan orang ikut serta. Pemuda dan gerombolan itu berhenti sebentar di sebuah bangunan tua.

Beberapa menit kemudian, pemuda itu lalu berbicara sementara puluhan orang lainnya duduk di tanah membentuk sebuah lingkaran. Melihat itu, tanpa berpikir panjang, kuberanikan diri menerobos kerumunan itu dan tersungkur di kakinya.

“Aku ingin mendengar,” kataku padanya. Ia menghentikan pengajarannya sejenak dan menatap mataku.

“Apa yang ingin kamu dengar?”

“Bahasa manusia,” jawabku singkat, sesaat sebelum aku merasa bingung dengan permintaanku sendiri. Mendengar itu, beberapa orang tampak tertawa.

“Apakah kamu yakin?”

“Tidak ada keragu-raguan yang cukup tangguh di dalam permintaan ini.”

Sampai di situ, aku hilang akal. Bagaimana aku bisa mendengar dan bercakap-cakap dengan orang ini padahal tidak pernah sekalipun ia membuka mulutnya?

“Aku mendengarmu,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kaget bukan main.

Pemuda itu lalu menyentuh kedua telingaku dengan tangannya. Tepat ketika ia menarik kembali tangannya, aku mendengar bunyi ribut-ribut.

“Imanmu telah menyelamatkan engkau,” katanya sambil berjalan pergi.

Untuk beberapa saat, aku bergeming sambil menyaksikan kepergiannya dengan hati yang kalut. Lamat-lamat, aku mendengar keributan yang luar biasa hebat. Setelah meneliti secara saksama keadaan sekitar, barulah aku sadar ternyata aku berada di tengah-tengah pasar.

Dua bulan kemudian, tersiar kabar menggemparkan. Pemuda itu mati dibunuh dengan cara digantung di atas salib. Dahulu, ketika bertemu, ingin rasanya kuperingatkan dia. Aku pernah mendengar rencana pembunuhan itu sebelumnya. Sayangnya, setelah telingaku sembuh, aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi, termasuk bagaimana kelanjutan rencana pembunuhan itu. Telingaku terlalu kecil untuk menampung begitu banyak hal yang dibicarakan orang.

Diam-diam aku merasa sedih karena telah terlanjur dapat mendengar. Rasanya telingaku mulai memanas. Aku tidak sanggup mendengar terlalu banyak keluhan.

Di mana-mana orang mengumbar bualan dan omong kosong. Bahkan terkadang telingaku diserang gatal-gatal ketika berhadapan dengan caci maki dan ujaran kebencian. Hingga pada suatu hari, aku ambil sebuah belati. Kulepaskan belati itu dari sarungnya dan kutatap kilaunya. Sebuah sinar kebebasan memancari mataku sesaat sebelum kupenggal sepasang telingaku sendiri. Darah semerah kunyahan pinang menetes di sekujur tubuhku.

Meskipun demikian, aku sama sekali tidak merasa sakit. Luka bekas sayatan belati rupanya tidak seberapa dibandingkan dengan hatiku yang mulai merasa damai.

Bukan main girangnya hatiku saat itu. Aku tidak lagi mendengar apa-apa selain sebuah keheningan yang teramat agung. Hingga beberapa saat menjelang, terdengar sebuah suara datang dari kejauhan entah dari mana. Suara itu semakin jelas terdengar dan menjelma keributan yang luar biasa. Kulemparkan pandangan ke sekitar berharap menemukan orang yang sedang bercakap-cakap. Tidak ada siapa-siapa selain diriku sendiri.

Setelah hampir dibuat nanar dengan fenomena ganjil ini, barulah aku tahu. Suara ribut itu justru berasal dari dalam kepalaku sendiri. Aku mengerling sebentar pada belati yang masih bersimbah darah. Sekali lagi kutatap kilaunya secara saksama. Aku tahu apa yang harus kuperbuat selanjutnya.

Yogyakarta, 10 Juni 2019
*Hans Hayonsalah satu penulis muda dari Flores Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya berjudul Tuhan Mati di Biara (Ende: Nusa Indah, 2016) dan buku kumpulan esai Mencari yang Pintang, Menegakkan yang Terguncang (Yogyakarta: Rua Aksara, 2019).

Ilustrasi: clstauss


Related Posts:

1 Response to "Sepasang Telinga | Cerpen Hans Hayon"