LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Hutan Sebagai Wujud Leluhur, Masyarakat Adat Pubabu Terus Menuntut - Leko NTT

Hutan Sebagai Wujud Leluhur, Masyarakat Adat Pubabu Terus Menuntut

Nais kio le nane hai alat, nais kio le nane on hai beë-nai, sebuah kalimat dalam Bahasa Dawan Amanuban yang memiliki arti hutan larangan itu adat kami, hutan larangan itu wujud leluhur kami.

Kalimat yang mengisyaratkan betapa orang Timor menyatu bersama hutan yang beri mereka hidup dan hidup mereka dilindungi sebagaimana para leluhur adalah pelindung selain Uisneno (Yang Transenden, Yang Tertinggi, Tuhan Langit, Tuhan). Itu sebabnya, bagi mereka hutan adalah salah satu wujud keterwakilan para leluhur di pah pinan (dunia).

Hutan Adat Pubabu: Konflik dan Perjuangan Panjang Masyarakat*

Orang Dawan Timor pada umumnya, secara khusus bagi masyarakat adat di Amanuban, Timor Tengah Selatan, hutan adat-hutan larangan (kio) sangat berharga, tidak bisa terlepas dari kehidupan mereka. Adalah luka dan duka apabila hutan kio dirusak oleh siapa saja. Kondisi hutan yang rusak menjadikan mereka merasa bersalah terhadap para leluhur, bahwa ada pembiaran terhadap segala wujud pengerusakan dan penghancuran yang marak terjadi.

"Kami akan berjuang sampai kapanpun apabila hutan kio kami dirusak atau tidak diakui. Atas tanggung jawab adat itulah kami berjuang melawan segala bentuk pengrusakan dan penghancuran hutan kio," kata Niko Manao, salah tokoh adat di Pubabu yang dalam beberapa tahun terakhir bersama masyarakat adat Pubabu memperjuangkan hutan kio mereka.
Perjuangan mereka ini pun tengah menjadi perbincangan dan fokus perhatian publik, sebab mereka tengah berhadapan dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT).
Perjuangan mereka  sesungguhnya adalah melawan segala proses pembangunan yang merusak hutan. Pembangunan itu dilakukan oleh Pemprov NTT terkait program GERHAN yang dimula sejak 1987 hingga 2008. Pada tahun 2003 hingga 2008, total keseluruhan luas hutan yang telah dirusak melalui program tersebut adalah 1.050 Hektar. Hal itu ditandai dengan adanya pemberian mandat oleh Ikatan Tokoh Adat Pencari Keadilan dan Kebenaran (ITA PKK) tertanggal 15 Desember 2008.

Mandat itu berisikan laporan untuk memperoleh penjelasan tentang kasus pengerusakan (pembabatan, pencurian kayu dan pembakaran) di hutan adat Pubabu-Besipae secara liar. Selain itu, termasuk di dalamnya  kasus dugaan KKN yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang merugikan negara dan masyarakat setempat. Oknum-oknum tersebut diduga dari pihak Dinas Kehutanan setempat.

Salah satu hasil perjuangan dari ITA PKK pada tanggal 6 April 2011, Komnas HAM Republik Indonesia mengeluarkan surat dengan Nomor: 873/K/PMT/IV/2011 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Isi surat itu sebagai berikut:

Pertama, menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut.

Kedua, menjaga agar kawasan hutan tetap lestari.

Ketiga, menghentikan untuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Provinsi NTT dan Dinas Kehutanan  Kabupaten Timor Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada penyelesaian.

Keempat, Komnas HAM akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan pemantauan ke lokasi  dan/atau melakukan upaya mediasi para pihak.

Selanjutnya pada tanggal 9 November 2012, Komnas HAM Republik Indonesia kembali mengeluarkan surat dengan Nomor: 2.720/K/PMT/XI/2012 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Berikut isi surat itu:

Pertama, mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Prov.NTT yang berakhir pada tahun 2000 kepada masyarakat untuk dikelola demi menghidupi keluarganya. Kedua, mengevaluasi UPTD Provinsi NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan masyarakat, dimana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan masyarakat tetapi justru membebani masyarakat.

Di tengah perjuangan ITA PKK pada 2013, Pemprov NTT justru mengeluarkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor: 00001/2013-BP.794953 tanggal 19 Maret 2013 dengan luas area 800.000 m². Surat itu sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pubabu yang kemudian memicu konflik semakin memanas dan membebani masyarakat adat Pubabu.  Itu sebabnya pada tahun  2011, ITA PKK mengirim pembatalan surat perpanjangan kontrak dengan Dinas Peternakan Provinsi NTT.

Tuntutan Masyarakat Adat Pubabu

Meninjau awal mula perjuangan masyarakat terkait hutan adat mereka yang rusak parah akibat kebijakan pemerintah, hingga saat ini mereka tetap konsisten memperjuangkan hutan adat mereka. Tujuannya satu, agar hutan adat diakui dan tidak dirusak lagi oleh pemerintah atas nama pembangunan.

Keberadaan masyarakat adat di kawasan Besipae merupakan bagian dari upaya untuk mengklaim dan kembali mengelola kawasan hutan adat Pubabu. Upaya itu pun untuk menghentikan proses pengerusakan hutan yang telah terjadi bertahun-tahun.
"Karena bagi kami masyarakat adat Amanuban, hutan kio adalah bagian yang melekat, harus ada dalam tata kelola sumber daya alam Amanuban."
Mempelajari awal mula dan proses perjuangan yang dimandatkan oleh ITA PKK, maka masyarakat adat Pubabu menuntut beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, mengembalikan dan menetapkan adanya kawasan hutan kio Pubabu yang merupakan kewajiban kami sebagai masyarakat adat yang ditentukan lewat musyawarah adat di Amanuban pada umumnya dan khususnya Pubabu.

Kedua, mencabut Sertifikat Hak Pakai tahun 2013.

Ketiga, mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dicaplok lewat Sertifikat Hak Pakai tahun 2013.

Keempat, masyarakat tetap tinggal di kawasan Besipae dan pemerintah boleh melakukan program dengan catatan sudah mencabut Sertifikat Hak Pakai 2013 dan telah duduk bersama dengan seluruh komponen masyarakat adat Amanuban umumnya dan Pubabu pada khususnya.

Kelima, meminta Gubernur dan DPRD NTT membentuk Tim Pencari Fakta bersama masyarakat, menindaklanjuti keberatan ITA PKK atas program Instalasi Peternakan Besipae.

Tindak lanjut itu sebagaimana yang pernah diajukan pemberitaan di media Pos Kupang pada tanggal 22 Mei 2017 halaman 6, yang bertema “PAD MENGALAMI PENINGKATAN DRASTIS”. Secara khusus klaim pemerintah terhadap lahan pengembangan peternakan seluas 3.784 Ha, dan jumlah ternak dalam pedok 37 ekor dan mitra 300 lebih ekor.

Hal ini sangat tidak benar bahwa pengembangan peternakan tidak ada lagi secara khusus di Pubabu Besipae, Desa Linamnutu. ITA PKK menduga ada praktek KKN dalam program tersebut karena fakta di lapangan tidak sesuai dengan pemberitaan.


Dari tuntutan tersebut, masyarakat adat selalu mau berdialog untuk segera menyelesaikan persoalan ini bersama pemerintah dan tokoh-tokoh adat di Amanuban serta lembaga lembaga independen. Masyarakat adat lewat ITA PKK meminta kepada pemerintah untuk menghentikan segala upaya paksa, intimidasi, kriminalisasi maupun adu domba kepada masyarakat adat yang berjuang selama ini. ITA PKK telah merasakan selama bertahun-tahun proses kekerasan yang dilakukan oleh Negara.

Tuntutan Tim Kuasa Hukum dan WALHI NTT

Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Pubabu menilai dan menegaskan bahwa sertifikat yang dikeluarkan pada tahun 2013 memang bermasalah. Adapun temuan kejanggalan yang ditemukan oleh Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Pubabu dalam sertifikat tersebut.

Pertama, ketidaksesuaian data fisik, data yuridis dan surat ukur Nomor: 00001/Mio/1983. Kedua, lokasi yang tertulis di sertifikat adalah Desa Mio Kecamatan Amanuban Tengah padahal lokasi tersebut berada di Kecamatan Amanuban Selatan. Ketiga, poin Asal Hak dalam sertifikat yang harusnya dicantumkan ternyata kosong.
Atas hal tersebut, Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu mempertanyakan mengapa sampai saat ini Pemprov NTT  tidak memberi klarifikasi temuan-temuan masyarakat terkait sertifikat yang menjadi akar permasalahan dari konflik ini.
Di lain pihak, WALHI NTT pun menanggapi poin-poin yang disampaikan oleh Masyarakat Adat Pubabu. WALHI NTT meminta Pemprov NTT untuk melihat arah perjuangan warga terkait hutan kio karena hutan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat.

"Persoalan ini adalah persoalan lama yang dari rezim sebelumnya tidak diselesaikan. Seharusnya Pemprov yang sekarang bisa menyelesaiakan persoalan ini dengan mengedepankan pendekatan humanis dan kultural yang partisipatif," tutur Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT. (klk)

*Tulisan ini diolah dari keterangan tertulis yang diterima Leko NTT pada 7 September 2020.

Related Posts:

0 Response to "Hutan Sebagai Wujud Leluhur, Masyarakat Adat Pubabu Terus Menuntut"

Posting Komentar